Anda di halaman 1dari 21

HADITS DAN KEGUNAANNYA DALAM STUDI ISLAM

DOSEN PEMBIMBING :

ABD. WAHID. M.Ush

DISUSUN OLEH :

ANDI MOH. FAJRIN


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam agama islam dikenal dua sumber utama yang menjadi acuan dalam menjalankan ajaran
agama islam , yaitu alquran dan segala hal yang bersumber dari nabi Muhammad SAW yang
lebih sering disebut sebagai hadits . Alquran adalah sumber pertama dan utama dalam kajian
islam . sedangkan hadits merupakan sumber kedua dalam ajaran islam . kedua sumber penting
itu merupakan pegangan hidup umat islam , yang jika dipegang secara teguh maka akan
mampu menghindarkan dari ketersesatan , baik didunia maupun diakhirat .

Sebagai sebuah sumber hukum yang penting bagi umat islam , hadits telah dikaji berkali kali
oleh umat islam dari masa kemasa . dalam kajian hadits , terdapat berbagai macam diskursus
yang menarik , terutamma terkait peristilahan yang digunakan untuk menyebut segala yang
merupakan sabda nabi Muhammad SAW , perilaku beliau , persetujuan beliau , atas sebuah
peristiwa maupun respon respon terhadap kondisi masyarakat sekitar . maka seringkali
disebutkan dalam literature literatur kajian hadits istilah hadits , sunnah , khabar , maupun
atsar . istilah istilah tersebut dipergunakan secara acak yang terkadang menimbulkan
pertanyaan terkait apakah istilah istilah ter sebut berbeda ataukah sama .

Oleh karena itu , makalah ini akan mengulas tentang beberapa hal seperti pengertian sunnah ,
hadits , khabar , dan atsar .

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan sunnah, hadits, khabar, dan atsar?

2. Bagaimana struktur pembentukan hadits (sanad dan matan) ?

3. Apa urgensi hadits dalam studi islam?


C. Tujuan

1. Untuk mengetahui makna dari sunnah, hadits, khabar, dan atsar

2. Untuk mengetahui struktur pembentukan hadits (sanad dan matan)

3. Untuk mengetahui urgensi hadits dalam studi islam


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sunnah, Hadits, Khabar, dan Atsar

1. Sunnah

Secara bahasa , sunnah berarti a way , course , rule , mode , or manner of acting or conduct of
life (jalan , arah jalan , aturan , cara berbuat atau tingkah laku kehidupan) . Dalam alquran , kata
sunnah dan bentuk jamaknya sunan diulang sebanyak lima belas kali yang mempunyai arti
pelaksanaan duct (garis garis tingkah laku) . Menurut pengertian etimologis ini , sunnah juga
berarti jalan hidup yang baik ataupun yang buruk .

Ibn Mandzur mengatakan bahwa sunnah adalah jalan yang telah ditempuh oleh orang orang
dahulu dan menjadi jalur bagi orang orang setelahnya , dan ditambahkan dalam Mukhtar al-
Sahah , baik itu bersifat terpuji ataupun tercela .

Secara terminologis , para ulama baik ulama hadits ulama ushul fiqih maupun ulama fiqih
berbeda dalam mendefinisika sunnah sesuai sudut pandang mereka dalam melihat nabi . ulama
hadits memandang nabi sebagai iman , pemberi petunjuk , pemberi nasehat , sebagai suri
tauladan , dan panutan . mereka menukil segala yang berhubungan dengan nabi berupa
perkataan , perbuatan , ketetapan , cirri fisik , dan budi pekerti baik , berupa hukum syara’
maupun bukan .

Dengan demikian , makna sunnah menurut ulama hadits sangat luas mencakup segala aspek
menunjukkan hukum syar’I ataaupun tidak . Nabi dipandang secara totalitas dari sisi sebagai
pemimpin , pemberi petunjuk , pemberi nasehat , suri tauladan , dan panutan baik setelah
mendapat wahyu dari Allah yang dimulai yang dimulai dari surah al-‘Alaq ayat 1-5 maupun
sebelumnya

ketika belum diangkat menjadi nabi dan rasul . Dalam hal ini , menguntip pendapat al-jazayri
dalam Tawjih al-Nazar , Mustafa A’zami menyatakan bahwa menurut ulama hadits sunnah
berkenaan dengan segala yang ditransmisikan dari Rasulullah , perkataan , perbuatan ,
persetujuannya , atau deskrpsi tentang sifat dan tampilan fisiknya .

2. Hadits

Secara bahasa , kata hadits(al-hadits)berarti baru , yaitu Aljadid minal asya’(sesuatu yang baru) ,
bentuk jamak hadits dengan makna ini hidats, hudatsa’ , dan huduts , dan lawan katanya
qadim(sesuatu yang lama) . menurut ilmi Hajar al-‘Asqalani , sebagaimana dikutip oleh subhi al-
Salih , yang dimaksud dengan hadaits dalam tradisi syara’adalah sesuatu yang disandarkaan
kepada nabi Muhammad SAW seolah olah dimaksudkan sebagai bandingan dengan Al-quran
yang bersifat qadim . Disamping berita baru , al-hadits juga mengandung arti dekat (alqorib)
,yaitu sesuatu yang dekat ,yang belum lama terjadi dan juga berarti berita (alkhobar) yang sama
dengan hiddits, yaitu (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang
lain).

Dengan pengertian ini , segala perkataan nabi Muhammad SAW yang tidak nmengandung misi
kerasulannya , seperti tentang cara berpakaian , berbicara , tidur , makan , minum , atau segala
yang menyangkut hal ihwal nabi , tidak termasuk hadits . Muhammad ibn ‘Ali al -Farisi
menyatakan bahwa hadits menurut para ulama adalah perkataan Rasulullah SAW , dan berita
tentang perbuatannya serta ketetapan ketetapannya . perkataan nabi disampaikan dengan
tujuan dan keadaan yang berbeda beda ., sedangkan perbuataan nabi diberitakan oleh para
sahabat seperti cara berwudhu , cara mendirikan sholat wajib dengan syarat dan rukunnya ,
cara melaksanakan manasik haji , dan sebagainya .

3.Khabar

Secara etimologis khabar berarti berita . dalam pengembanagnan bentuk katanya ,kata khabar
bisa berarti pemberitaan . baik itu berita yang benar maupun berita yang salah . kata khabar ini
tidak seperti kata hadits dan sunnah yang telah

dipergunakan cukup sering didalam alquran maupun hadits . Adapun secara terminologis , para
ulama hadits tidak sepakat dalam mendefenisikan khabar . sebagian dari mereka berpendapat
bahwa khabar adalah sinonom dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian . diantara
defenisi khabar yang beredar digambarkan secara lengkap oleh ibnu hajar sebagaimana berikut
ini :

Syaikul islam( ibnu hajar )menuturkan dalam syarh nuhbah “ khabar menurut pakai istilah
merupakan sinonim dari hadits , dimana keduanya merupakan sesuatu yang disandarkan pada
nabi SAW. Sahabat dan Tabi’in . pendapat lain mengungkapkan , bahwa hadits adalah hadits
adalah sesuatu yang berasal dari nabi SAW sementara khabar berasal dari selain nabi SAW .
maka dari itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalian kajian sunnah
disebut muhaddits , dan orang yang berkecimpung dalam bidang tarikh/sejarah dan sesamanya
disebut akhbariy . pendapat lain mengatakan dengan konsep umum khusus , dalam arti setiap
hadits adalah khabar , dan belum tentu setiap khabar itu hadits .

Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih terlihat dalam literature
literature hadits hingga kini . para pakar kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-
maliki , Manna Khalil Qattanhan , hingga Subhi Shaleh tetap menguraikan perbedaan defenisi
khabar diantara para ulama . hanya saja , Subhi Shaleh terlihat lebih memilih konsep
umum_khusus dalam membedakan khabar dan hadits . Dalam arti bahwa setiap hadits itu pasti
khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits . hal ini mengingat bahwa khabar lebih dominnan
sebagai pemberitaan atau pemberitahuan ,dari manapun datangnya .

4. Atsar

Secara etimologi ,Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti pula
sesuatu yang di nukil (dikutip) . misalnya sering terdengar ungkapan bahwa “ ini tafsir bil
ma’tsur” yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan perkataan atau “bekas
bekas “ orang sebelumnya .

Sedangkan secara terminology ada dua pendapat mengenai defenisi atsar ini . pertama , kata
atsar sinonim dengan hadits . kedua , atsar adalah perkataan, tindakan , dan ketetapan sahabat
.
Menurut istilah jumhur ahli hadits mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar juga hadits ,
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW , sahabat , dan tabi’in. dari
pengertian menurut istilah ini , terjadi perbedaan pendapat diantara ulama .

Sedangkan menuirut ulama khurasan , bahwa atsar untuk yang mauquf(yang disandarkan
kepada sahabat)dan khabar untuk yang marfu (yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW
.

Jadi , atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in
,tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW .

B. Struktur Pembentukan Hadits (Sanad dan Matan)

Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai umat Islam kita
harus menggunaknnya sebagai acuan dalam menjalani hidup.Hadits merupakan sesuatu yang
disandarkan kepada nabi, untuk itu kita harus meneladaninya seperti halnya Al-Qur’an.

Namun banyak terjadi permasalahan mengenai hadits. Hal ini diakibatkan oleh banyak hal
antara lain penghimpunan hadits yang memakan waktu lama, tidak seluruh hadits tertulis pada
zaman nabi, jumlah kitab hadits yang banyak dan beragam dengan metode penyusunan yang
beragam pula, serta timbulnya pemalsuan hadits.

Dalam periwayatannya sendiri, hadits nabi berbeda dengan Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an, semua
periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadits nabi, sebagian
periwayatnnya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi Ahad. Sehingga dalam
pemaknaannya pun banyak terjadi perbedaan dan perdebatan.

Ada juga yang mempermasalahkan mengenai keshahihan dan tidaknya suatu hadits. Penilaian
hadits dapat dikatakan shahih tergantung dari berbagai hal.

Salah satu yang menjadi acuan penelitian shahih atau tidaknya suatu hadits adalah dilihat dari
struktur haditsnya yang terdiri dari sanad, matan dan rawi. Disini akan dijelaskan tentang
pengertian sanad, matan dan rawi secara lebih mendalam.
A.) Sanad Hadits

Sanad menurut bahasa adalah al-mu’tamad artinya “sandaran” atau sesuatu yang dijadikan
sandaran, pegangan dan pedoman. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya.

Sedangkan menurut Istilah ada beberapa pengertian, antara lain:

‫سلسلة الرجال الموصولة الى المتن‬

(mata rantai para perawi hadits yang menghubungkan sampai kepada matan hadits)

Yang lain mengatakan sanad adalah:

‫اإلخبار عن طريق المتن‬

(berita tentang jalan matan)

Ada juga yang merumuskan sanad yaitu:

‫سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن مصدره األول‬

(mata rantai para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama)

Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam
bukunya atau kitab hadits hingga mencapai Rasulullah.

Agar lebih jelas, berikut akan dipaparkan contoh sanad hadits:

“Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari Qatdah dari

Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

Sanad mengandung dua bagian penting, yakni:

1. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan Hadits yang bersangkutan.


2. Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat
dalam meriwayatkan Hadits yang bersangkutan, misalnya Sami’tu, Akhbarani, ‘an, dan
Anna.”[1][1]

Para ulama hadits menilai bahwaKedudukan Sanad dalam Hadits sangat penting karena Hadits
diperoleh/atau di diriwayatkannya. Dengan Sanad, suatu periwayataan Hadits dapat diketahui
mana yang dapat diterima dan di tolak dan mana Hadits yang Shohih atau tidak, untuk
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada
beberapa Riwayat dan Atsar yang menerangkan keutama’an Sanad.

Andaikata salah seorang dalam Sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap
para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (mustahil), maka hadis
tersebut dha`if sehingga tidak dapat di jadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa
hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratannya, yakni adil, takwa, tidak fasik,
menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memiliki daya ingat yang kredibel, Sanadnya
bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama,
maka Hadisnya di nilai Sebuah Hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur
atau Perawi bervariasi dalam lapisan atau tingkatan Sanadnya. Lapisan dalam Sanad disebut
dengan Thabaqah. Thabaqah ialah:

‫عبارة عن جماعة اشتركوا فى مرا حدوا‬

“Orang-orang yang bersekutu pada satu urusan”

Thabaqah diklasifikasikan menjadi thabaqah Sahabat, tabi’in dan perawi. Para ulama berselisih
tentang jumlah thabaqah sahabat dan perawi. Al Hakim membaginya menjadi dua belas
thabaqah:

1. Sahabat-sahabat yang masuk Islam di Makkah separti Khalifah empat.

2. Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum penduduk Makkah Darun Nadwah.

3. Muhajirin Habasyah.
4. Sahabat yang menghadiri Al ‘Aqabatul Ula.

5. Sahabat yang menghadiri Al ‘Aqabatus Tsaniah. Kebanyakan dari Anshar.

6. Muhajirin yang menyusul ke Quba’ sebelum nabi masuk ke Madinah.

7. Sahabat yang ikut dalam perang badar.

8. Sahabat yang hijrah ke Madinah sesudah peperangan Badar sebelum Hudaibiyah.

9. Sahabat yang turut menyaksikan Bai’atur Ridwan di Hudaibiyah.

10. Sahabat yang berhijrah antara perdamaian Hudaibiyah dengan penaklukan Makkah.

11. Para sahabat yang Islam pada hari pengalahan Makkah.

12. Anak-anak yang dapat melihat Nabi pada hari pengalahan Makkah dan pada haji Wada’.

Sedangkan yang perlu dicermati dalam memahami al-Hadits terkait dengan Sanadnya ialah:

1. Keutuhan Sanadnya.

2. Jumlahnya.

3. Perawi akhirnya.

Kemudian dari kata sanad keluarlah kata isnad, musnid dan musnad.

1. Isnad Hadits

Menurut lughat, ialah menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.

Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut

‫فعر لحدا يث لىا قا ئله وناا قله‬

“Mengangkat Hadits kepada yang mengatakannya, atau yang menukilkannya”


Ath Thibi mengatakan, bahwa sanad dan isnad berdekat-dekatan ma’nanya, karena para
penghafal hadits dalam menshahihkan dan mendlaifkan berpegang pada sanad itu. Ibnu
Jama’ah mengatakan, bahwa para muhadits memakai kalimat isnad dan sanad dalam satu
pengertian.

2. Musnid

Musnid adalah orang-orang yang menerangkan hadits dengan sanadnya.

3. Musnad

Musnad secara bahasa yaitu sesuatu yang kita sandarkan kepada yang lain. Sedangkan menurut
istilah ada beberapa pengertian yakni:

a. Nama bagi Hadits yan disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan menerangkan sanadnya
yang bersambung walaupun pada dhahirnya.

b. Nama bagi kitab yang mengumpulkan Hadits yang diriwayatkan oleh seorang shahabi. Atau
dengan kata lain hasil karya musnid. Misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar
r.a. dengan judul Musnad Abu Bakar.

c. Dipakai dengan makna mashdar (isnad), seperti Musnad Asy-Syihab, ialah: sanad-sanad yang
dibawakan oleh Asy Shihab.

Contoh Sanad

‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه‬

‫ (رواه البخاري‬. ‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه قرأ فى المغرب الطور‬: ‫) قال‬

Artinya:

“Memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik

dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku
mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-
Bukhori)Shahih

B.) Matan Hadits

Matan menurut lughat, ialah: tengah jalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi.

Menurut istilah, ialah:

‫لفاا ظ لحدا يث لتىا تتقو م لمعاابها نى‬

“ Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”[3][3]

Sebagai contoh:

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang

ia cinta untuk dirinya sendiri”.

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadits ialah:

1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.

2. Matan Hadits itu sendiri dalam hubunganya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya
(apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-
Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).

Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan Al-
Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, fakta sejarah dan
prinsip-prinsip pokok ajaran islam.

Matan harus melalui proses penelitian mengenai isinya agar bisa dikatakan maqbul (diterima).
Tolok ukur penelitian matan yang dikemukakan ulama tidak seragam. Menurut Al-Khatib Al-
Baghdadi (wafat 463 H/1072 M), suatu matan dinyatakan diterima apabila:
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat

2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah Muhkam (ketentuan hukun yang
telah tetap)

3. Tidak bertentangan dengan Hadits Mutawatir.

4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama
salaf)

5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

6. Tidak bertentangan dengan Hadits Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.

Dalam praktik, penelitian matan memang tidak mudah. Sebagai penyebab sulitnya penelitian
matan ialah:

1. Adanya periwayatan secara makna.

2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja.

3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah dapat dikketahui.

4. Adanya kandungan hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional.

Contoh matan:

‫ من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو‬, ‫ قال رسول هللا‬: ‫عن أم المؤمنين عا ئشة رضى هللا عنها قالت‬

‫ (رواه متفق عليه‬. ‫) رد‬

“Warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang

siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia
tertolak’. ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan
‫ من أحدث‬hingga lafadz‫ فهو رد‬atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari
contoh hadis di atas ialah lafadz ‫من أحدث فى‬

‫“ أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk
dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak”.

C. Urgensi Hadits Dalam Studi Islam

1.) Pengertian Urgensi

Urgensi berasal dari bahasa Latin “urgere” (kata kerja) yang berarti mendorong. Dalam bahasa
Inggris “urgent”(kata sifat) dalam bahasa Indonesia “urgensi” ( kata benda). Istilah urgensi
menujuk pada sesuatu yang mendorong kita yang memaksa kita untuk diselesaikan. Dengan
demikian mengandalkan ada suatu masalah dan harus ditindak lanjuti. “Urgensi” bisa berarti
“penting nya, misalnya urgensi kepemimpinan muda” itu lebih berarti pentingnya
kepemimpinan muda.

Dalam pembahsan ini akan dibahas pentingnya Hadits. Seluruh ummat islam, tanpa terkecuali
telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati
kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi ummat
islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin (penjelasan)
terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapapun tidak bisa memahami Al-
Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami Al-Qur’an
karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat,
dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan
Al-Qur’an. Dengan demikian antara hadits dan Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang
satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam islam tidak dapat diragukan karena terdapat
penegasan yang banyak, baik didalam Al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi Muhammad SAW,
Jumhur Ulama menyatakan bahwa Al-Hadits menempati urutan kedua dalam islam setelah Al-
Qur’an. Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 59

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Oleh karena itu, Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman hidup yang tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu keduanya juga merupakan sumber hukum
dalam islam. Al-Qur’an sebagai hukum yang pertama dan utama banyak memuat ajaran yang
bersifat umum dan global. Hadits yang menjadi sumber hukum islam yang kedua menjadi
penjelas (bayan) terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang masih bersifat umum tersebut.

Urgensi Hadits Nabi baik dalam studi islam maupun implementasi ajarannya bukanlah hal yang
asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadits
menempati posisi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri’ al-Islami)
setelah Al-Qur’an. Sebagai referensi kedua setelah Al-Qur’an, hadits membentuk hubungan
simbiosis mutualism dengan Al-Qur’an sebagai teks senral dalam peradaban islam bukan hanya
dalam tataran normatif-teoritis namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika
keilmuan dan praktek keberagaman ummat islam seluruh dunia di sepanjang sejarahnya.
Bersama Al-Qur’an hadits merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban islam,
menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Mengingat strategisnya posisi hadits dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadits
memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadits, mendokumentasikan dalam
kitab dan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-
kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadits dari kekeliruan dan kesalahan dalam
periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadits. Dalam konteks ini, para
ulama hadits secara khusus mengambil tanggung jawab utama dan peran penting dalam al-
riwayah dan al-dirayah hadits dari zaman ke zaman. Mereka berupaya untuk menjaga
otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dari kandungan hukum dan hikmahnya. Dari aspek
al-riwayah para ulama hadis meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga
hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta upaya sengaja dari pihak-pihak
tertentu yang ingin memalsukannya.

Dalam sejarah periwayatan hadis muncul permasalahn tadlis yang dinilai mempengaruhi status
validitas hadis. Tadlis terjadi ketika seorang perawi yang memiliki guru hadis yang pernah
ditemui atau didengar darinya sejumlah hadis kemudian dia meriwayatkan hadis tertentu yang
tidak didengarnya langsung dari guru tersebut dengan menggunakan lambang periwayatan
(sighah al-tahdith) yang berkonotasi atau terkesan (yuwham) dia mendengar langsung (sama’)
darinya

seperti ‘an, qala, anna, dan lain-lain. Biasanya, seorang perawi mudallis melakukan tadlis untuk
menyembunyikan kekuranagn atau cacat yang terdapat pada sanad. Pada kasus keterputusan
sanad, perawi mudallis sengaja menghilangkan atau menyembunyikan nama gurunya dengan
meriwayatkan hadis tersebut langsung melalui guru dari gurunya untuk menampakkan sanad
yang lebih berkualitas dengan mengesankan bagi orang yang sanad itu sebagai sanad muttasil
tanpa ada perawi yang terputus (saqt) dan tersususn atas para perawi thiqat.

2.) Urgensi dan Tujuan Studi Islam

Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip
fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi pasti akan lenyap dengan
sendirinya. Karenanya agama islam dari dulu hingga sekarang dengan tangguh menyatakan
eksistensinya. Hal ini berarti bahwa agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan
fungsinya di masyarakat. Oleh karena itu, study slam dituntut untuk membuka dirinya agar
study islam mampu berkembang dan beradapatasi dengan dunia modern serta menjawab
tantangan kehidupan dunia dan budaya modern.

Di era perang pemikiran atau ghazwul fikr seperti ini, para muslim seakan diguncang oleh
deburan paham-paham asing yang akan menggeserkan nilai-nilai kehakikian islam. Banyak para
muslim yang memang notabennya selalu mengerjakan ibadah shalat, puasa Ramadhan dan
mengeuarkan zakat tergelincir pada paham-paham sekuler bahkan liberal.

Ummat islam saat ini berada dalam kondisi problematis, saat ini ummat islam masih berada
dalam posisi termarginalkan (pinggir) dan lemah dalam aspek kehidupan sosial budaya yang
harus berhadapan dengan dunia modern yang maju dan canggih, untuk itu ummat islam harus
melakukan gerakan pemikiran yang menghasilakan konsep yang cemerlang dan operasional
untuk mengantisipasi perkembangan tersebut.

Jika ummat islam hanya berpegang pada ajaran islam penafsiran ulama-ulama islam terdahulu
yang merupakan warisan turun temurun yang dianggapnya sudah paling benar, maka mereka
mengalami kemandekan intelektual, melalui pendekatan yang bersifat objektif rasional studi
islam mampu memberi alternatif dari kondisi tersebut . ummat manusia dan peradabannya
saat ini sedang berada dalam keadaan yang problematis, pesatnya perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan telah membuka era baru dalam perkembanagn budaya dan peradaban
ummat manusia yang dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan semakin
dekatnya jarak dengan hubungan serta komunikasi antar bangsa dan budaya ummat manusia.

Pentingnya studi islam adalah untuk melihat islam dari berbagai sudut pandang baik dari sudut
normativitas ajaran wahyu yang dibangun, diramu,dibakukan dan ditelaah melalui doktrin
teologis. Sedangkan historisitas keberagaman ditelaah melalui berbagai sudut pendekatan
keilmuwan sosial keagamaan yang bersifat multidisipliner baik lewat pendekatan historis,
psikologis, sosiologis,cultural,maupun antropologis.

Tujuan dari studi islam adalah:

1. Untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran islam agar mereka dapat
melaksanakan dan mengamalakan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan
pedoman hidup.

2. Mendalami tentang hakikat islam, seperti yang kita ketahui bahwa islam adalah wahyu Allah
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah,berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup, sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan di akhirat.

3. Mendalami terhdap sumber dasar ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah

4. Mendalami terhadap pokok-pokok isi ajaran islam, yaitu akidah, ibadah dan muamalah.

3.) Fungsi Hadits Terhadap Pendidikan Islam

Hadits memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pendidikan agama islam
yang mana hadits merupakan penjelas dari Al-Qur’an dan Al-Qur’an merupakan dasar syariat
yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya menonton menggunakan dasar Al-Qur’an
saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan banyak sekali masalah yang tidak
terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan.

Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk
mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali sholat dilaksanakan dalam sehari semalam,
lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. Orang yang hanya berpegang
pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja
yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan
lain-lain.

Maka disinilah urgensitas hadits, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan penjelas
dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara
utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-
Qur’an yaitu:

1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-
Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya sama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah di
dalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam Firman-Nya QS. Al-Hajj ayat 30 yang
artinya “dan jauhilah perkara dusta”. Kemudan Nabi dengan haditsnya menguatkan:
“Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!”
sahut kami: “Baiklah hai
Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua
orang tua.” Saat itu Raulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi:”Awas!
Berkata (bersaksi) palsu” dan seterusnya (Riwayat Bukhari-Muslim).

2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan
taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan
sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah
raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan
jika dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil
(diterangkan secara terperinci dan dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari keempat pengertian diatas yaitu sunnah, hadits, khabr, dan atsar terdapat kesamaan dan
perbedaan makna menurut istilah maing-masing. Keempatnya memiliki kesamaan maksud,
yaitu segala yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun takhril nya. Sedangkan perbedaan antaar semuanya adalah bahwa Hadits adalah istilah
khusus untuk sabda Nabi, Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
Khabar adalah berita yang datangnya bukan dari Nabi SAW, tetapi disandarkan kepada Nabi
SAW, dan Atsar adalah perkataan yang datang dari para sahabat yang disandarkan kepada Nabi
SAW.

Dan didalam struktur pembangunan Hadits sangat diperlukan sanad dan matan, karena
keduanya saling berkaitan dan hadits juga sangat urgen, karena Hadits merupakan mubayyin
(penjelasan) terhadap Al-Qur’an. Dan antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat, yang
satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.

B. SARAN

Sesuai dengan perkembangan Hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah
sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu eksplisit. Mengingat luasnya materi dari Hadits ini
besar harapan kami untuk kelompok selanjutnya agar menguraikan materi sesuai dengan
bahasan masing-masing, tentunya dengan satu tujuan untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan kita yang berhubungan dengan hadits.

Anda mungkin juga menyukai