Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak usia pra sekolah biasanya mengalami perkrmbangan psikis menjadi balita yang
lebih mandiri, autonomy, dan dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta dapat
mengekspresikan emosinya. Disamping itu anak usia tersebut juga cenderung senang
bereksploitasi dengan hal-hal baru. Sifat perkembangan khas yang terbentuk ini turut
mempengarui pola makan anak. Pada masa ini anak mengalami proses perubahan pola makan
dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan. Pada masa ini anak sudah
menunjukkan proses kemandirian dimana perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan
perkembangan dan anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah dan anak
membutuhkan pengalaman belajar dari lingkungan dan anak orangtuanya (Hidayat, 2012).
Termasuk adalah salah satnya prilaku sulit masak.
Perilaku sulit makan adalah prilaku anak yang menolak untuk makan, hanya makan
makanan tertentu saja, dan mengahabiskan porsi makan dengan lambat bahkan sering tidak
menghabiskan porsi makan setiap jam makan. Kesulitan makan merupakan ketidakmampuan
untuk makan dan menolak makana tertentu. Pada kesulitan makan mempunyai gejala berupa
memenuhkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk didalam mulut, sama
sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut, makan berlama-lama dan memainkan
makanan, tidak menguyah tetapi langsung menelan makanan dan kesulitan makan (Rohmasari,
2013).
Berdasarkan Pantauan data Status Gizi (PSG) 2016 sampai 2017, yang dilakukan
Kementrian Kesehatan, bayi usia dibawah lima tahun (Balita) yang mengalami masalah gizi
pada 2017 mencapai 17,8% sama dengan tahun sebelumnya jumlah tersebut terdiri dari Balita
yang mengalami gizi buruk 3,8% dan 14% gizi kurang. Menurut status gizi berdasarkan indeks
Tinggi Badan terhadap Usia (TB/U), Balita Indonesia yang mengalami stunting/kerdil pada
tahun lalu memcapai 29,6% . Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dengan rincian
9,8% bayi dengan usia 0-59 bulan tersebut masuk katagori sangat pendek dan 19,8% katagori
pendek, sedangan menurut indeks Berat Badan terhadap Usia (BB/U) sebanyak 9,5% Balita
masuk katagori kurus dan turun disbanding tahun sebelumnya. Sedangan bayi mengalami
kegemukan (obesitas) mencapai 4,6% juga lebih rendah dari tahun sebelumnya. Dari hasil
publikasi Kesehatan dasat Kemnetrian Kesehatan pada 2018, Status balita mengalami stubting
mencapai 30 persen. Angka ini lebih rendah dibandingan survei kesehatan dasar yang dilakukan
pada 2013 silam yang mencapai 37,2 persen. Provinsi dengan proporsi tertinggi adalah Nusa
Tengara Timur mencapai 42,6 persen. Angka ini sudah lebih rendah dibangdingkan hasil survey
pada 2013 yang mencapai 51,7 persen. Sedangakan temuan stunting terendah pada 2018
adalaha DKI Jakarta dan Yogyakarta. Menurut rencana pemerintahan seperti tertuang dalam
RPJMN 2019, angka stunting ini akan terus ditekan. Berdasarkan standart WHO, suatu wilayah
mengalami masalah kekurangan gizi kronis jika prevanlensinya di atas 20%.
Berdasarkan data awal yang diambil di TK muslimat NU rahayu desa Miru, pada 16
juli 2019, diketahui bahwa dari 10 anak, 6 anak-anak lebih suka makan-makanan tertentu
seperti jajan ringan, tempura, es krim dll, dari pada mengkonsumsi sarapan pagi sebelum
beranfkat sekolah. Sedangkan 4 anak selalu disuapi ketika sarapan sebelum berangkat sekolah
maupun dirumah dengan menu makanan yang bervariasi seperti sayur-sayuran protein dan
karbohidrat, terhadap 35 siswa yang berusia 3-6 tahun. Pemebelajaran di TK dimulai pukul
08.00 samapai dengan pukul 10.00 WIB. Didalam sekolah terdapat banyak kegiatan yang dapat
menambah ilmu yang sangat bermanfaat.
Perilaku sulit makan yang berat dan berlangsung lama berdampak negatif pada
keadaan kesehatan anak, keadaan tumbuh kembang dan aktifitas sehari-harinya. Dampak
jangka pendek untuk anak berperilaku sulit makan adalah anak menjadi apatis, mengalami
gangguan bicara dan perkembangan. Sedangakan dampak jangka panjang adalah penurunan
skor IQ, penurunan perkembangan kognitif dan penurunan integrasi sensori. Oleh karena itu,
bila perilaku sulit makan dibiarkan begitu saja maka diprediksikan generasi penerus bangsa
akan hilang karena keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu unsur utama dalam penetuan
keberhasilan pembangunan Negara atau yang lebih dikenal sebagai Human Development
Indeks (HDI) (Depkes, 2012).
Prevelensi berat badan kurang (underweight) menurut provinsi dan nasional. Secara
nasional, prevelensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6% terdiri dari 5,7% gizi buruk
dan 13,9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevelensi nasional tahun 2007
(18,4%) dan tahun 2020 (17,9%) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevelensi gizi
buruk yaitu dari tahun 2007 (5,4%), pada tahun 2010 (4,9%) dan tahun 2013 (5,7%). Sedangkan
prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9% dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran MDG
tahun 2015 yaitu 15,5% maka prevelensi gizi buruk harus diturunkan sebesar 4,1% dalam
periode 2013 sampai 2015 (Riskesdas, 2013).
Menurut Soetjaningsih (2013), kelainan perilaku sulit makan disebabkan beberapa
faktor, antara lain kebiasaan makan, psikolog, dan organik. Kelainan kebiasaan makan biasanya
disebabkan oleh faktor lingkungan seperti mengikuti kebiasaan makan teman sebaya atau
orang-orang sekitar, menyukai dan menolak jenis makanan yang sama pada waktu yang
berbeda, atau suka memakan makanan yang tidak sesuai dengan usianya. Faktor yang
mempengaruhi pola makan anak ditentukan dari cara pengasuhan, lingkungan dan juga
hubungan didalam keluarga, semakin baik hubungan dalam keluarga maka semakin kecil
kemungkinan untuk anak mengalami anoreksia psikogenik atau kesulitan makan karena
gangguan psikolog. Dan faktor organik biasanya terjadi sulit makan pada anak akibat suatu
penyakit infeksi atau kelainan pada organ-organ seperti gigi dan mulut, gangguan menghisap
dan menguyah, penyakit bawaan/genetic dan prnyakit infeksi saluran cerna.
Upaya mengatasi sikap negative orang tua tentang cara memberikan pola makan pada
anak usia prasekolah (3-5 tahun) dapat dilakukan dengan memberikan konseling terhadap orang
tua tentang pola asuh yang baik oleh tenaga kesehatan, orang tua lebih telaten dalam memberi
asupan makanan seperti protein, karbohidrat, zat besi dan orang tua harus kreatif dalam
penyajian makanan sehingga anak tertarik untuk menghabiskan makanannya. Upaya yang
dilakukan perawat untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang pentingnya makan pada
anak.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1.4.2
1.5

Anda mungkin juga menyukai