Anda di halaman 1dari 11

MENGAPA MANUSIA BERFILSAFAT

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu & Logika

Dosen
Drs. Sahat Saragih, M. Si.

Oleh:

Fandy Maramis, S.T. 1531700019

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2018
1
I. Makna Filsafat
Sebelum membahas mengapa manusia berfilsafat, kita perlu untuk mengkaji
makna filsafat. Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo”
berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebijaksanaan, sehingga kita dapat mengartikan
filsafat adalah cinta dengan kebijaksanaan. Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah
dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya segala upaya pemikiran untuk selalu
mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana di dalamnya mengandung dua makna yaitu
baik dan benar, baik adalah sesuatu yang berdimensi etika, sedangkan benar adalah
sesuatu yang berdimensi rasional, jadi sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis
dan logis.
Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu ialah
berpikir, dan hanya manusia yang telah tiba di tingkat berpikir, yang berfilsafat. Guna
lebih memahami mengenai makna filsafat berikut ini akan dikemukakan definisi filsafat
yang dikemukakan oleh para ahli:
1. Plato (427 – 347 S.M), mengartikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang
ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (382 – 322 S.M), mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
3. Al Farabi (870 – 950 M), seorang filsuf Muslim mendefinisikan filsafat sebagai ilmu
pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
4. Immanuel Kant (1724 – 1804), mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan yaitu: Metafisika
(apa yang dapat kita ketahui), Etika (apa yang boleh kita kerjakan), Agama (sampai
dimanakah pengharapan kita), dan Antropologi (apakah yang dinamakan manusia).
5. Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa
pengertian filsafat yaitu:
a. Philosophy is an attitude toward life and universe
b. Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry
c. Philosophy is a group of problems
d. Philosophy is a group of systems of thought
II. Ciri-ciri Filsafat

2
Berfilsafat adalah berpikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara
disiplin dan mendalam. Sudarto (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri berpikir filsafat
adalah:
a. Metodis: menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (ahli filsafat)
dalam proses berpikir
b. Sistematis: berpikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu
keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran filosofis
c. Koheren: diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang
bertentangan dan tersusun secara logis
d. Rasional: mendasarkan pada kaidah berpikir yang benar dan logis (sesuai dengan
kaidah logika)
e. Komprehensif: berpikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
f. Radikal: berpikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada
tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya
g. Universal: muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas
kehidupan manusia secara keseluruhan

Dalam pandangan. Kunto Wibisono (1997) dinyatakan bahwa karakteristik


Berpikir Filsafat, yaitu:
a. Menyeluruh/Universal: Melihat konteks keilmuan tidak hanya dari sudut pandang
ilmu itu sendiri
b. Mendasar: Mencari kebenaran dari ilmu itu sendiri
c. Spekulatif: Didasarkan kepada sifat manusia yang tidak dapat menangguk
pengetahuan secara keseluruhan.
d. Radikal: berpikir sampai keakarakarnya
e. Konseptual: memiliki kaidah - kaidah keilmuan yang jelas
f. Bebas: bebas dari nilai - nilai baik moral, etika, estetika.
g. Bertanggungjawab: hasil pengkajian dapat dipertanggungjawabkan sebagai satu
bidang kajian ilmiah.

III. Persoalan Filsafat

3
Ada enam persoalan yang selalu menjadi bahan perhatian para filsuf dan memerlukan
jawaban secara radikal, dimana tiap - tiapnya menjadi salah satu cabang dari filsafat
yaitu: ada, pengetahuan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan.
1. Tentang ”Ada” (being)
Persoalan tentang ”ada” menghasilkan cabang filsafat metafisika; dimana sebagai
salah satu cabang filsafat metafisika sendiri mencakup persoalan ontologis,
kosmologi (perkembangan alam semesta) dan antropologis (perkembangan sosial
budaya manusia).
2. Tentang ”Pengetahuan” (knowledge)
Persoalan tentang pengetahuan menghasilkan cabang filsafat epistemologi.
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam
dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas
pengetahuan.
3. Tentang ”Metode”(method)
Persoalan tentang metode menghasilkan cabang filsafat metodologi atau kajian /
telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan azas - azas logis
dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah.
4. Tentang ”Penyimpulan” (logic)
Logika yaitu ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir tepat dan benar.
Dimana berpikir adalah kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Logika sendiri dapat
dibagi menjadi 2, yaitu logika ilmiah dan logika kodratiah. Filsafat logika ini
merupakan cabang yang timbul dari persoalan tentang penyimpulan.
5. Tentang ”Moralitas” (morality)
Moralitas menghasilkan cabang filsafat etika (ethics). Etika sebagai salah satu cabang
filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal.
6. Tentang ”Keindahan” (Esthetics)
Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang lahir dari persoalan tentang
keindahan. Merupakan kajian kefilsafatan mengenai keindahan dan ketidakindahan.
Lebih jauhnya lagi, mengenai sesuatu yang indah terutama dalam masalah seni dan
rasa serta norma - norma nilai dalam seni.

III. Mengapa Manusia Berfilsafat

4
Sampailah kita pada pokok bahasan kita yaitu, “Mengapa manusia berfilsafat?”
Salah satu jawaban yang terkesan spekulatif namun paling mungkin adalah, “Karena
pada suatu saat kita secara tidak sadar sudah bergelut dengan suatu permasalahan
filsafat, yang dengan sendirinya jadi bahan pemikiran kita.” Meskipun kita tidak memiliki
minat untuk belajar filsafat, ada masalah-masalah filsafat yang menarik perhatian kita.
Masalah persisnya tentu berbeda dari orang ke orang. Setiap orang pasti menyimpan
asumsi-asumsi atau keyakinan-keyakinan filsafat.
Daya tarik filsafat seringkali membuat kita lebih peka terhadap hal-hal yang tidak
pernah terpikirkan sebelumnya. Beberapa kita yang beragama mungkin termasuk
orang-orang yang sejak kecil terbiasa berdoa tanpa pernah memikirkan bagaimana
pendapat orang-orang ateis mengenai hal itu. Ada orang-orang dewasa yang kerap
menguliahi anak-anak mereka tentang betapa jahatnya pengaruh narkotika, sementara
mereka kecanduan minuman alkohol. Contoh lain, bagaimana dengan mereka yang
meyakini adanya U.F.O.? Orang-orang gila? Akan tetapi, kemungkinan mereka
mengalami gegar budaya ternyata jauh lebih kecil dibanding kita yang tidak percaya
U.F.O., yakni ketika atau apabila suatu saat nanti terungkap bahwa ternyata “kita tidak
sendirian” di alam raya ini. Di bawah ini, di tingkat akar rumput macam inilah, awal mula
berkembangnya persoalan besar filsafat.
Rangsangan untuk mulai berfilsafat seringkali muncul ketika orang berhadapan
dengan sebuah pernyataan yang dirasanya sebagai keliru. Misalnya, kita pasti akan
terusik ketika mendengar pernyataan: “Orang tidak harus bertanggungjawab atas
perbuatannya.” Orang yang tidak menaruh minat pada teori-teori filsafat dapat tertarik
pada satu/dua permasalahan filsafat tertentu. Tujuan utama pengantar filsafat
biasanya adalah mengamati beberapa contoh penting permasalahan filsafat.
Sama seperti kaum profesional lainnya, para filsuf seringkali menulis dalam
bahasa khusus menurut spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik
suatu teori. Tidak jarang, teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas masalah-
masalah yang lain lagi. Untuk memberi gambaran, mari kita lihat bagaimana orang-
orang yang bukan filsuf dapat terbawa kepada pemikiran filsafat, biasanya melalui
persoalan-persoalan yang secara langsung relevan dengan kepentingan mereka.
Perhatikan contoh-contoh berikut:

5
1. Seorang ahli kimia, yang sedang meneliti unsur-unsur kimia mulai mempertanyakan
bagaimana kombinasi unsur-unsur yang menyusun tubuh manusia dapat memberi
kehidupan kepada manusia.
2. Seorang psikolog aliran behaviorisme, yang semakin berhasil memprediksikan
perilaku manusia, bertanya-tanya, adakah tindakan manusia yang dapat dikatakan
“bebas”.
3. Mahkamah Agung, ketika merumuskan suatu peraturan tentang karya seni yang
sopan dan yang tidak sopan, terpaksa harus bergelut dengan pertanyaan tentang
hakikat dan fungsi seni.
4. Seorang antropolog, yang mengamati bahwa setiap masyarakat ternyata memiliki
konsepsinya sendiri tentang kode moral, mulai mempertanyakan apa sebenarnya
yang membedakan antara sudut pandang moral dan sudut pandang bukan moral.
5. Seorang ahli bahasa, dalam penyelidikannya tentang bagaimana bahasa
membentuk pandangan kita terhadap dunia, menyatakan bahwa tidak ada satu
“kenyataan sejati” karena semua pandangan mengenai kenyataan dikondisikan dan
dibatasi oleh bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan
itu.
6. Seorang kepala perpajakan, ketika harus menentukan organisasi-organisasi religius
mana saja yang harus dibebaskan dari pajak, terpaksa harus merumuskan apa yang
dimaksudkan dengan “religius” dan apa “kelompok religius”.

Kita mungkin baru sadar bahwa diri kita sudah ada di dalam filsafat dan terlibat
dalam persoalan-persoalannya, tidak hanya berdiri di luar dan menunggu sampai
diyakinkan bahwa kita harus terlibat di dalamnya. Bolehlah dikatakan bahwa kodrat
berfilsafat telah ada di dalam diri setiap manusia, karena lingkungan dan bahkan kita
sendiri sesungguhnya telah menyimpan permasalahan-permasalahan filsafat. Kita
dapati di sini sebagian dari kebenaran pernyataan bahwa “Semua orang memang filsuf”.
Namun harus dicatat juga bahwa sedikit sekali orang yang berfilsafat secara sistematis.
Karena disadari bahwa untuk itu diandaikan suatu sikap ilmiah yang baru diperoleh
setelah studi bertahun-tahun.

6
III.1. Manusia Berfilsafat Karena Keheranan
Plato dan Immanuel Kant berpendapat bahwa rasa heran merupakan asal filsafat.
Menurut Plato, mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit.
pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari penyelidikan ini filsafat
berasal. Sebagaimana tertulis dalam nisan Immanuel Kant (1724-1804): “Coelum
stellatum supra me, lex moralis intra me.” Yang mengherankannya yaitu langit
berbintang-bintang diatasnya dan hukum moral dalam hati manusia. Keheranan
menjadi titik tolak awal manusia berfilsafat.
Dalam tingkat pertumbuhan manusia, ada keheranan-keheranan dalam setiap
tingkatnya. Ada banyak anak kecil bertanya-tanya: Kenapa orang tuanya pergi? Kenapa
kita harus pindah rumah? Dan lain-lain. Seiring bertambahnya usia, keheranan pun
berbeda lagi. Pertanyaan-pertanyaan orang dewasa “tidak sama” seperti anak kecil tadi.
Pertanyaannya menjadi: Kenapa saya kerja? Apa itu rumah? Dan lain-lain. Tapi sayang
sekali, zaman sekarang “sense of wonder” ini sudah berkurang baik pada anak kecil atau
pun orang dewasa. Pada umumnya orang tidak lagi “heran” terhadap sekitarnya. Yang
ada itu kecenderungan sikap “acuh tak acuh” Karena itu tidak heran filsafat menjadi
semakin terasing. Padahal filsafat adalah “usaha” manusia untuk terus mengenali segala
yang mengherankannya.

III.2. Manusia Berfilsafat Karena Kesangsian/Keraguan


Berbeda dengan Plato, Agustinus dan Rene Descartes beranggapan lain. Menurut
mereka, berfilsafat itu bukan dimulai dari kekaguman atau keheranan, tetapi sumber
utama mereka berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian. Ketika manusia heran,
ia akan ragu - ragu dan mulai berpikir apakah ia sedang tidak ditipu oleh panca inderanya
yang sedang keheranan? Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk
berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan
kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini
disebut dengan berfilsafat.
Awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam
menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Aliran yang mengaku merujuk pada
pemikiran Aristotelian ini mengandaikan segala sesuatu dipengaruhi ketakhayulan dan
cenderung spekulatif. Jelas klaim ini amat bertolak belakang dengan pemikiran

7
Aristoteles. Pasalnya, filsafat Aristoteles bertolak dari prinsip pertama ”substansi
konkret” sebuah prinsip fundamental yang abadi bertentangan dengan prinsip filsafat
“ide” Plato. Descartes juga diresahkan oleh kepercayaan yang kuat kalangan gereja
mengenai doktrin Anselmus bahwa dasar filasafat hanyalah iman, credo ut intelligam.
Kecemasan-kecemasan ini memantik Descartes untuk berikhtiar menemukan
basis ”kebenaran” yang rasional dan sistematis, tidak spekulatif juga tidak sekedar
yakin. Karena itu, ia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala
sesuatu. Gejala-gejala yang nampak, ia ragukan semua. Ia ragu terhadap apa yang ia
tangkap melalui inderawi. Sampai akhirnya ia menemukan yang pasti; sesuatu yang
sama sekali tidak ia ragukan dan tidak bisa diragukan oleh siapapun, yaitu “saya sedang
ragu”. “Saya sedang ragu” disebabkan karena “saya berpikir”. “Saya berpikir”
merupakan suatu kebenaran karena tidak ada yang meragukan lagi. “Saya berpikir”
adalah benar, karenanya pasti “ada”. Jika “saya berpikir” menjadi “ada”, maka
kesimpulannya “saya berpikir, maka saya ada”. Cogito ergo sum.
Rene Descartes dalam filsafatnya mengemukakan metode kesangsian untuk
merenungkan terus sesuatu hal sampai tidak ada keragu-raguan lagi. Dia dijuluki sebagai
“bapak filsafat modern” karena ia menempatkan akal (rasio) pada kedudukan yang
tertinggi, satu hal yang memang didambakan oleh manusia di zaman modern. Menurut
Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas, maka terlebih dahulu
kita harus meragukan segala sesuatu. Bagi Descartes, pengertian yang benar haruslah
dapat menjamin dirinya sendiri. Untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan yang tidak
diragukan lagi kebenarannya, Descartes menggariskan 4 langkah aturan sebagai berikut:
1. Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu
keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas
sehingga mustahil disangsikan.
2. Setiap persoalan yang diteliti dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang
diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
3. Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana
sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan
mutlak sampai pada pengertian yang komplek dan nisbi.
4. Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada
yang dilalaikan.

8
III.3. Manusia Berfilsafat Karena Keterbatasan Akal Budinya
Bagi manusia, berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan
keterbatasan pada dirinya. Apabila seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan
terikat terutama pada saat mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan
adanya kesadaran akan keterbatasannya itu manusia berfilsafat. Ia akan memikirkan
bahwa di luar manusia yang terbatas, pastilah ada sesuatu yang tidak terbatas yang
dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran yang hakiki.
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diantara semua mahluk
ciptaan Tuhan yang lain. Selain memiliki hawa nafsu yang menjadi faktor penggerak
daya hidup jasmani, manusia juga dianugrahkan akal budi oleh Tuhan untuk memfilter
segala sesuatu tindakan yang akan dilakukan sesuai kehendak hawa nafsu tadi. Sehingga
bukan hal yang aneh jika manusia mampu berbuat sesuatu yang terkadang keluar dari
koridor sisi - sisi kemanusiaannya. Hal tersebut dikarenakan buah pikir yang dimiliki
manusia yang senantiasa mencoba sesuatu pembaharuan dan ingin memecahkan
segala hal yang semestinya hanya menjadi rahasia Tuhan.
Tentunya kita masih ingat bagimana seorang Revolusioner, Charles Darwin
dengan karyanya The Origin of Species yang menjelaskan tentang teori evolusi melalui
seleksi alam. Teori ini menggemparkan dunia pada pertengahan abad 19 dimana dengan
hasil penelitiannya tersebut Darwin berani menyatakan bahwa nenek moyang dari
manusia adalah kera. Teori ini muncul berkat penelitian yang dilakukan Darwin sehingga
menghasilkan buah pikir yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Meski
perlahan teori evolusinya Darwin mulai ditinggalkan dan dianggap sebagai eksperimen
usang yang tidak berdasar, namun hingga kini masih ada para Daarwinisme yang tetap
mendewakan hasil pikir dari Darwin tersebut.
Seiring kemajuan teknologi, hal - hal yang dahulu dianggap kontroversi mulai
lebih mudah untuk dibuktikan keakuratannya. Saat ini semua hal yang dihasilkan oleh
akal budi manusia harus ditelisik akurasi datanya sebelum diakui secara universal
kebenarannya. Namun seiring kemajuan zaman yang terjadi, metode tentang kekuatan
akal budi manusia justru semakin pesat pula perkembangannya untuk diterapkan dalam
berbagai disiplin ilmu yang ada didunia. Manusia sekarang justru merasa bahwa melalui
kemampuan pola pikirnya, maka semua hal yang ada didunia ini dapat dirasionalisasikan
dengan kaidah - kaidah teoritis yang dihasilkan oleh akal budi manusia.

9
Pada dasarnya ada hal - hal tertentu yang sebenarnya manusia tidak dapat
mengkajinya dengan akal budi yang mereka miliki. Karena sama - sama kita pahami
bahwa ada batasan bagaimana seorang manusia dapat mengoptimalkan segala
kemampuannya untuk menggunakan daya nalarnya. Sebab seandainya seorang
manusia diberikan kemampuan untuk mengkaji berbagai hal yang ada didunia termasuk
konsep ketuhanan, maka bukan hal yang mustahil manusia tersebut akan menyatakan
dirinya sederajat dengan Tuhan kerana mampu memikirkan dan bahkan memecahkan
segala sesuatu yang Tuhan ketahui dan seharusnya manusia tidak ketahui.
David Hume pernah menyatakan bahwa peran akan budi dalam memutuskan
masalah - masalah moral merupakan hasil dari rasa simpati atau sentimen dari manusia
itu sendiri. Dengan kata lain Hume menegaskan bahwa keidealisan seorang manusia
dalam menilai sesuatu tidak akan pernah benar secara mutlak dimana akal budi yang
dihasilkan pasti akan terkontaminasi dengan nafsu pribadinya. Sebab semua manusia
yang ada didunia memiliki nafsu yang ada didalam dirinya, sehingga tidak menutup
kemungkinan disaat seorang manusia mencoba mengkaji sesuatu dengan kemampuan
akal budinya, maka nafsu yang dia miliki juga ikut ambil bagian dalam menyimpulkan
hasil buah pikirnya akan sesuatu.
Dari penjabaran hakikat dan sifat dasar manusia diatas dapat sedikit disimpulkan
bahwa pada dasarnya manusia itu memang tidak dapat merasionalkan segala hal yang
ada didunia karena ada keterbatasan daya nalar yang dimiliki oleh akal budi seorang
manusia. Meskipun tidak jarang ada manusia yang meyakini dirinya memiliki
kemampuan untuk mengkaji segala hal termasuk konsep ketuhanan sekalipun.
Namun dengan segala kemampuan yang dimiliki oleh manusia itu, terkadang
manusia justru lupa dengan hakikat dan sifat dasarnya. Dimulai dari rasa egoisme dan
individualis yang lebih dominan untuk menguasai dirinya dalam berpikir karena dia
meyakini setiap tindakan yang dilakukannya senantiasa benar dan tidak keliru karena
sesuai dengan apa yang dia kehendaki.
Padahal tanpa disadari keterbatasan akal budi yang dimiliki oleh manusia namun
selalu dipaksakan untuk bekerja optimal sehingga mampu menjawab berbagai
tantangan yang ada justru perlahan menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri karena
perlahan mulai keluar dari koridor hakikat kemanusiaanya.

10
IV. Daftar Pustaka
Harry Hamersma. 1984. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta. Gramedia.
Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka
Sinar Harapan,
Uhar Suharsaputra, Drs, M.Pd. 2004. FILSAFAT ILMU JILID 1. Universitas Kuningan.
Harry Hamersa, Dr. 2008. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat Edisi Kedua. Yogyakarta. Kanisius.
https://www.kompasiana.com/ekaka_lubis/keterbatasan-akal-budimanusia_551041f48
13311573bbc604c (diakses tanggal 25 Maret 2018)

11

Anda mungkin juga menyukai