Anda di halaman 1dari 14

VALIDASI METODE UJI

PENETAPAN KADAR BESI DALAM AIR SUNGAI


SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (SSA)
NYALA

AIDIL WALBAHRI
ANNISA DESTY RAMADINI
KHOIRUNNISA SALSABILA TUHFAH
NUR ILHAM FATHURRAHMAN

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK AKA BOGOR
2019
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PERCOBAAN

Percobaan ini bertujuan untuk menguji unjuk kerja metode penetapan kadar
Besi (Fe) dalam air minum secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) dan
membuktikan hasilnya dapat dipercaya. Hasil penetapan kemudian diolah dan
dibandingkan dengan standar keberterimaan Badan Standarisasi Nasional (BSN).

1. JENIS METODE : Metode SNI 6989.4:2009


2. RUANG LINGKUP
Metode ini digunakan untuk penentuan logam besi (Fe) total dan terlarut
dalam air dan air limbah secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) pada
kisaran kadar Fe 0,3 mg/L sampai dengan 10 mg/L dengan panjang gelombang
248,3 nm.
3. CARA UJI
3.1. PRINSIP PENETAPAN
Analit logam besi dalam nyala udara asetilen diubah menjadi bentuk
atomnya, menyerap energi radiasi elektromagnetik yang berasal dari
lampu katoda dan besarnya serapan berbanding lurus dengan kadar analit.

3.2. BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan berupa bahan uji dan bahan kimia. Bahan
uji yang digunakan yaitu sampel air sungai. Bahan kimia yang digunakan
yaitu aquades, asam nitrat pekat, larutan standar logam besi (Fe), gas
asetilen dengan tekanan minimum 100 psi, larutan pengencer HNO3 0,05
M, larutan pencuci HNO3 5% (v/v), larutan kalsium, dan udara tekan.

3.3. ALAT
Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)-
nyala, lampu katoda berongga besi, gelas piala 100 mL dan 250 mL, pipet
volumetric 10 mL dan 50 mL, labu ukur 50 mL, 100 mL dan 1000 mL,
Erlenmeyer 100 mL, corong gelas, kaca arloji, pemanas listrik,
seperangkat alat saring vakum, timbangan analtik dengan ketelitian
0,0001 g, dan labu semprot.

3.4. PENGAWETAN CONTOH UJI


Contoh uji di asamkan dengan HNO3 hingga pH < 2 dan disimpan
pada suhu ruang

3.5. PERSIAPAN UJI


3.5.1. Persiapan Contoh Uji Besi Total
Contoh uji dihomogenkan, dipipet 50 mL, dan dimasukkan ke
dalam gelas piala 100 mL atau Erlenmeyer 100 mL.
Ditambahkan 5 mL HN03 pekat, jika digunakan gelas piala
ditutup dengan kaca arloji dan bila digunakan Erlenmeyer
digunakan corong sebagai penutup. Dipanaskan perlahan-lahan
sampai sisa volume 15 mL – 20 mL, jika destruksi belum
sempurna, ditambahkan 5 mL HNO3 pekat dan ditutup kembali.
Proses ini dilakukan berulang hingga seluruh logam larut,
endapan dalam contoh uji berubah agak putih atau contoh uji
menjadi jernih. Kaca arloji dibilas dan air bilasan dimasukkan ke
dalam gelas piala. Contoh uji masing-masing dimasukkan ke
dalam labu ukur 50 mL, ditambahkan aquades hingga tanda tera,
dan dihomogenkan. Contoh uji diukur serapannya.
3.5.2. Pembuatan Larutan Induk Logam Besi 100 mg/L
Logam besi ditimbang ±0,100 g dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 1000 mL. Ditambahkan campuran 10 mL HCl (1+1) dan 3
mL HNO3 pekat sampai larut. Ditambahkan 5 Ml HNO3 pekat
dan diencerkan dengan aquades hingga tanda tera. Kadar
sesungguhnya dihitung kembali berdasarkan hasil penimbangan
3.5.3. Pembuatan Larutan Baku Logam Besi 10 mg/L
Larutan induk logam besi 100 mg/L dipipet 10 Ml dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 Ml. Ditepatkan dengan
larutan pengencer sampai tanda tera dan dihomogenkan
3.5.4. Pembuatan Larutan Kerja Logam Besi
Deret larutan standar dibuat dengan 1 blanko dan minimal 3
kadar yang berbeda secara proporsional dan berada pada rentang
pengukuran.

3.6. PEMBUATAN KURVA KALIBRASI DAN PENGUKURAN


CONTOH UJI
3.6.1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Alat dioperasikan dan dioptimasika sesuai dengan petunjuk
penggunaan alat untuk pengukuran besi. Larutan blanko
diaspirasikan ke dalam SSA-nyala dan diatur serapan hingga nol.
Larutan kerja diaspirasikan satu persatu ke dalan SSA-nyala dan
diukur serapannya pada Panjang gelombang 248,3 nm. Selang
aspirator dibilas dengan larutan pengencer. Dibuat kurva kalibrasi
danditentukan persamaan garis lurusnya. Jika didapatkan koefisien
regresi linear < 0,995 kondisi alat diperiksan dan langkah diulangi
hingga diperoleh nilai koefisien r ≥ 0,995.
3.6.2. Pengukuran Contoh Uji
Contoh uji diaspirasikan ke dalam SSA-nyala dan diukur
serapannya pada Panjang gelombang 248,3 nm. Dilakukan
pengenceran jika diperlukan.

3.7. PERHITUNGAN
Kadar logam besi
Fe (mg/L) = C x Fp
Keterangan :
C = kadar yang didapat hasil pengukuran
Fp = factor pengenceran
UJI PARAMETER

1. UJI PRESISI
Presisi menunjukan keseragaman, kecermatan, dan kedekatan
antara serangkaian data pengujian. Pada percobaan ini, presisi
ditetapkan berdasarkan uji repeatabilitas yaitu menguji sampel yang
sama dalam kondisi yang sama dengan metode yang sama dalam
waktu interval yang singkat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan
sumber galat (kesalahan) yang berasal dari kesalahan acak.
Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku
relative (koefisien variasi). Nilai presisi untuk pengujian yang
dilakukan lebih dari 2 kali (minimal 5 kali) replika ditentukan
berdasarkan nilai RSD. Tujuh larutan sampel dibuat sebagaimana
cara kerja preparasi larutan sampel. Hitung nlai %RSD dan %CV
Horwitz-nya.

Rumus :
𝑠𝑑
𝑅𝑆𝐷 = × 100%
𝑥̅

𝐶𝑉𝐻𝑜𝑟𝑤𝑖𝑡𝑧 = 2(1−0,5 log 𝐶)


Keterangan :
RSD = relative standard deviation
Sd = standard deviation
𝑥̅ = rerata hasil pengujian
C = fraksi konsentrasi analit dalam sampel
Replika pengujian yang dinyatakan dalam nilai %RSD umumnya
menggunakan Batasan keberterimaan presisis %RSD < 2/3 %CV Horwitz.

2. AKURASI
Akurasi dilakukan untuk mengetahui kedekatan antara hasil pengujian
dengan nilai yang sebenarnya. Semakin dekat nilai hasil ujian dengan nilai
sebenarnya maka semakin akurat data yang dihasilkan, oleh karena itu
parameter akurasi ini perlu dilakukan agar metode yang digunakan memiliki
ke akuratan yang tinggi. Akurasi dapat dinyatakan sebagai persen perolehan
kembali (recovery) analit yang ditambahkan.
Lakukan sebagai mana penetapan presisi sampel tetapi sebelumnya
dilakukan Teknik spiking (memperkaya) dengan cara menambahkan standar
analit dengan konsentrasi tertentu. Ukur serapannya (absorbansi) dan hitung
persentase perolehan kembalinya (persen recovery).

Rumus :

𝐶3 − 𝐶2
%𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑦 = × 100%
𝐶1

Atau

𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑗𝑖𝑎𝑛
× 100%
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎

Keterangan :
C3 = kadar analit dalam sampel setelah dispike analit standar
C2 = kadar analit dalam sampel sebelum dispike analit standar
C1 = kadar analit standar yang dispike (target value)
3. LIMIT DETEKSI INSTRUMEN
Ukuran jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang
masih membereikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko.
Tujuh larutan blanko dibuat kemudian ditera dengan akuades pada labu
takar 100 mL dan dihomogenkan.. Serapannya (absorbansi) diukur. Jika tidak
ada serapan, lakukan pengukuran serapan dengan pengenceran dari deret
standar terkecil.

Rumus:
IDL (mg/L) teoritis = (konsentrasi blanko) + (3 x SD)

∑(𝑥𝑖 − ̅̅̅
𝑥)
𝑆𝐷 = √
𝑛−1
Keterangan :
SD = standar deviasi
Xi = nilai konsentrasi ke-i

4. LIMIT QUANTISASI
Konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat ditentukan dengan
tingkat presisi dan akurasi yang dapat diterima

5. LIMIT DETEKSI METODE


Tujuh larutan sampel dibuat sebagaimana cara kerja preparasi larutan
sampel. Ukur serapannya (absorbansi) dan hitung nilai LDM. Jika konsentrasi
analit logam dalam larutan sampel lebih tinggi daripada deret larutan kalibrasi
standar kerja yang dibuat maka lakukan pengenceran. Jika konsentrasi analit
dalam larutan sampel lebih kecil daripada nilai limit deteksi instrument, maka
dilakukan Teknik sipiking dengan penambahan standar analit dengan
konsentrasi pembacaan analit dalam sampel berada dalam rentang konsentrasi
kurva kalibrasi standar.

Rumus :
𝐿𝐷𝑀 = (𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) + 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 × 𝑆𝐷

̅̅̅
∑(𝑥𝑖 −𝑥)
𝑆𝐷 = √ 𝑛−1

Keterangan :
LDM = Limit Deteksi Metode
SD = Standar Deviasi
𝑋𝑖 = Nilai konsentrasi ke-i
𝑥̅ = Nilai rata-rata konsentrasi (mg/L)
N = Jumlah ulangan pengukuran
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , 𝛼 = 99% 𝑎𝑡𝑎𝑢 95%

6. Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode memberikan respon
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel, minimal 5 konsentrasi
larutan standar yang berbeda yang menaik dengan rentang 50-100% dari
rentang komponen uji. Tujuan linearitas adalah untuk mengetahui
kemampuan standar dalam mendeteksi analit dalam contoh, diharapkan
respon linear terhadap konsentraasi larutan baku dengan nilai koefisien
relative ( r ) mendekati 1,00 dan nilai derajat kemiringan kurva mendekati 45⁰
(evaluasi berdasarkan nilai slope).
Lima larutan kalibrasi dibuat sesuai rentang kerja standar kerja yang
digunakan dengan memindahkan larutan standar induk 1000 mg/L
menggunakan buret ke dalam masing-masing labu takar 100 Ml, ditera
dengan larutan blanko, dan dihomogenkan. Kelima larutan standar tersebut
diukur serapannya dengan instrument yang sesuai. Lakukan tiga kali
pengulangan pembacaan. Selanjutnya dibuat kurva kalibrasi yang
menghubungkan antara konsentrasi dan absorbansi sehingga didapatkan nilai
koefisien korelasinya.

Rumus :
∑ 𝑥𝑦
∑ 𝑥𝑦−( )
𝑛

2
√∑ 𝑛2 −((∑ 𝑥)²).√∑ 𝑦 2 −((∑ 𝑦 )
𝑛 𝑛

Keterangan :
r = nilai koefisien korelasi (linearitas)
x = nilai konsentrasi standar (mg/L)
y = nilai pembacaan absorbansi standar
n = jumlah deret standar yang digunakan

7. ROUBUSTNESS (Ketahanan Metode Uji)


Ketahanan suatu metode terhadap perubahan kecil (10-20)% dari
kondisi pada prosedur, misalnya : stabilitas larutan analit, jenis pelarut,
konsentrasi pelarut, perubahan temperatur. Ketahanan metode uji dievaluasi
denganuji standar keberterimaan akurasi dan presisi atau dengan uji-t
(ketepatan) dan uji F (ketelitian). Pengujian dilakukan pengujian terhadap
sampel uji berulang (minimal 7x) pada kondisi normal dan kondisi
perubahannya, kemudian dievaluasi terhadap syarat keberterimaan (akurasi dan
presisi) sesuai syarat keberterimaan yang digunakan.
 Uji Simpangan Baku (Uji F)
Hipotesis (𝐻𝑂 ) ∶ 𝛿1 = 𝛿2
Hipotesis 1 ((𝐻1 ) ∶ 𝛿1 ≠ 𝛿2
𝛿12
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝛿22

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = (𝛼 ; 𝑑𝑏)
Keterangan :
𝛿1 = Simpangan baku dengan nilai yang besar
𝛿2 = Simpangan baku dengan nilai yang kecil
Db = Derajat bebas (𝑛1 − 𝑛2 )
α = Kesalahan yang masih dapat diterima (5%)

Jika F hitung < F tabel : 𝛿1 = 𝛿2 maka hasil simpangan baku 1 dan 2


tidak berbeda nyata, artinya : presisi kedua kondisi ini diterima.
Jika F hitung > F tabel : 𝛿1 ≠ 𝛿2 maka hasil simpangan baku 1 dan 2
berbeda nyata, artinya : presisi kedua kondisi ditolak.

Anda mungkin juga menyukai