Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

APENDISITIS

Disusun Oleh :

Nur Indah Septiani

201720401011151

Pembimbing :

dr. Chrisna Budi Satriyo, Sp.B

SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus individu

ini dengan judul “Apendisitis”. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas

yang penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di SMF Ilmu Bedah RS

Muhammadiyah Lamongan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Chrisna Budi Satriyo selaku

dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas laporan kasus individu, terima kasih

atas bimbingan dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan

manfaat pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih

jauh dari kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan

saran yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Lamongan, Januari 2019

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan suatu keradangan pada apendiks yang disebabkan

oleh infeksi bakteri. Penyebab tersering yang dapat meyebabkan obstruksi

apendiks adalah feses yang stagnan atau feses yang keras (fekalit) selain itu

disertai dengan kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan

berserat seperti buah-buahan maupun sayuran.(9) Apendisitis sering terjadi pada

anak-anak maupun dewasa, insiden terbanyak terdapat pada laki-laki usia 10-14

tahun berkisar 27,6% kasus pe 10.000, sedangkan pada perempuan 15-19 tahun

sekitar 20,5% kasus per 10.000 dan insiden terendah pada bayi.(6)

Apendisitis merupakan kegawatdaruratan yang paling sering ditemukan

dalam ilmu bedah. Sebanyak 7% penduduk di negara maju terdiagnosis dan di

Amerika Serikat sebanyak 200.000 penduduk menjalani apendektomi dalam

setahun. (4) Keluhan utama yang dirasakan penderita ketika datang ke pelayanan

kesehatan adalah nyeri perut pada kanan bawah. Tidak jarang pasien datang

dengan keluhan nyeri seluruh perut dan akhirnya terdiagnosis dengan apendisitis

perforata, yaitu apendisitis stadium akhir dimana didapatkan nanah pada rongga

perut. Dari data yang didapatkan sebanyak 80% pasien terdiagnosis apendisitis

akut saat operasi, sedangkan sekitar 15-20% insideni apendisitis perforasi

ditemukan saat operasi. (5)

Angka kematian yang tiambul akibat apendisitis akut sekitar 0,2-0,8%

sedangkan angka kematian akibat perforasi sekitar 10-15%.(5) Perlunya penegakan


diagnosis dan penanganan lebih awal apendisitis agar mengurangi tingat

morbiditas dan mortilitas.


BAB 2
TINJAUAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Ny.
Usia : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Gemah Ripah, Gresik
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 8 Januari 2019
Nomor R.M : 73.36.86
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri Perut
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah dirasa sejak tiga hari Sebelum Masuk
Rumah Sakit (SMRS). Nyeri dirasa seperti disayat-sayat, awal mula nyeri
dirasakan daerah ulu hati setelah itu berpindah ke kanan bawah, keluhan
dirasa semakin kuat dan semakin hari bertambah parah, keluhan tidak
mengurang apabila dibuat rebahan atau istirahat. Keluhan nyeri disertai
dengan mual dan muntah, dua hari SMRS pasien muntah sebanyak lima kali
isi cairan dan makanan, setiap kali muntah +sebanyak 125cc, muntah tidak
disertai darah. Selain itu pasien megeluhkan satu hari SMRS merasa demam
tinggi, selama demam pasien tidak mengkonsumsi obat penurun panas.
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa,
selama nyeri pasien hanya makan sedikit dan tidak banyak seperti biasanya.
Pasien sering mengeluhkan buang air besar tidak rutin dan feses dirasa keras,
pasien biasa BAB dua hari sekali. Keluhan seperti, nyeri saat buang air kecil,
terasa panas, keputihan tidak dirasakan pasien selain itu pasien rutin minum
air putih.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Menurut pasien tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
2.2.5 Riwayat Sosial
Pasien tidak suka mengkonsumsi sayuran dan tidak rutin buang air
besar.
2.2.6. Riwayat ObsGyn
Pasien menstruasi teratur tiap bulan, setiap mentruasi selama +7 hari,
tidak ada keluhan nyeri menstruasi yang mengganggu aktivitas sehari-
hari. Riwayat keputiha-, bau-, nyeri-, gatal-. Saat ini pasien
mempunyai anak 1, riwayat keguguran-. riwayat KB hormonal +.
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Generalisata
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : GCS 456/ Compos Mentis
 Tanda Vital
o Tekanan darah : 121/75 mmHg

o Nadi : 124x/menit

o Suhu : 380C

o Pernafasan : 20x/menit

 Kepala dan Leher


o Anemis (-) Ikterus (-) Sianosis (-) Dyspneu (-)
o Pembesaran kelenjar getah bening (-)
o Pembesaran tiroid (-)
 Thorax
o Inspeksi : simetris, retraksi -/-
o Palpasi : simetris, nyeri tekan -, Fokal Fremitus dalam batas
normal
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-, BJ I dan II
tunggal reguler, murmur -, gallop –
 Abdomen
o Inspeksi : Flat
o Auskultasi : Bising usus + normal
o Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
o Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan +
inguinal dextra, Mc. Burney+, Rovsing’s sign+, Blumberg’s
sign+.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Lengkap
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

GDA 98 80-144
Metode I Non Reaktif Non Reaktif
HbsAg Negatif Negatif
PT 15.20 10.30 – 16.3
APTT 24.80 24.20 – 38.20
Leukosit 12.5 4.0 – 11.0
Neutropil 62.9 49.0 – 67.0
Limposit 2.6 25.0 – 33.0
Monosit 3.1 3.0 – 7.0
Eosinopil 30.9 1.0 – 2.0
Basofil 0.5 0.0 – 1.0
Eritrosit 3.87 3.80 – 5.30
Hemoglobin 12.5 14.0 – 18.0
Hematokrit 36.8 40-54
MCV 95.10 87.00 – 100
MCH 32.30 28.00 – 36.00
MCHC 34.00 31.00 – 37.00
RDW 10 10-16.5
Trombosit 297 150 – 450
MPV 5 5-10
LED 1/2 76 / 93 0 -1 / 1- 7

2.4.2 Pemeriksaan Radiologi


Ultrasonography regio sub mandibula dextra:
Hasil pemeriksaan :
 Hepar
Ukuran normal, sudut tajam, intensitas echoparenchym
normal tampak normal homogen, tepi rata, v.porta/v.hepatica
tampak normal, EHBD/IHBD tak melebar, tak tampak
nodul/kista/massa
Tak nampak massa/cysta
 Gallbladder
Ukuran normal, dinding tidak menebal, tak tampak
batu/massa/sludge
 Pankreas
Ukuran normal, intensitas echoparencyhm normal, tak
tampak pelebaran duktus pancreaticus, tak tampak
massa/cysta
 Lien
Ukuran normal, intensitas echoparencyhm normal, tak
tampak massa/cysta
 Ginjal kanan
Ukuran normal, intensitas echoparenchym normal, batas
sinus cortex tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak
batu/massa/cysta
 Ginjal kiri
Ukuran normal, intensitas echoparenchym normal, batas
sinus cortex tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak
batu/massa/cysta
 Buli
Volume cukup, tak tampak penebalan dinding, tak tampak
batu/clot/massa
 Prostat
-
 Ginek
Uterus : ukuran dan posisi normal, tak tampak massa
Adnexa kanan kiri, tak tampak lesi kistik/solid
 Lain-lain
Tak tampak intensitas echo cairan bebas extraluminal di
cavum abdomen
Mc Burney : tampak target sign, nyeri tekan probe +
Kesimpulan :
Susp appendicitis
Saat ini Hepar/GB/Lien/Pancreas/Ginjal kanan
kiri/Buli/Uterus/Adnexa kanan kiri tak tampak kelainan
Mohon kolerasi klinis.
2.5 Resume
Pasien datang ke IGD RSML dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah dirasa sejak tiga hari SMRS, rasa nyeri seperti disayat-sayat,
semakin hari nyeri semakin parah, awal nyeri terasa pada ulu hati
dan berpindah ke perut kanan bawah. Satu hari SMRS pasien
merasa demam sumer-sumer dan saat diperiksa di IGD suhunya
mencapai 380C. Selain itu pasien mengeluhkan mual dan muntah 2
hari SMRS, muntah sebanyak 5x isi cairan danmakanan +125cc,
selama nyeri pasien makan hanya sediki. Pasien sering mengalami
BAB keras dan jarang teratur, biasa BAB 2x sehari. Pasien tidak
suka mengkonsumsi sayuran. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan pada inguinal dextra+, Mc. Burney+, Rovsing’s sign+,
Blumberg’s sign+. hasil leb menunjukkan leukosit 12,5 (4-11),
limposit 2,6(25-33), eosinopil 30.9(10-20), LED1/2 76/93. Hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
megarah ke appendisitis akut.
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
 Diagnosis
Appendicitis akut
 Diagnosis Banding
Gastroenteritis
Limfadenitis Mesenterika
Pelvic inflammatory disease
KET
2.7 Analisis Kasus
 Perempuan usia 34th
 Nyeri inguina dextra+
 Febris
 Nausea Vomiting
 Mc. Burney+
 Rovsing’s sign+
 Blumberg’s sign+.
 Leukositosis
 Shift to the left
 BAB keras
 Jarang makan sayur
2.8 Rencana Penatalaksanaan
 Open Apendectomy
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung yang panjangnya memiliki

ukuran kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm). Lumen apendiks orang dewasa sempit

dibagian proksimal dan menyempit pada bagian distal, sedangkan pada bayi

memiliki bentuk kerucut, dimana pada bagian pangkal lebih lebar dan menyempit

pada ujungnya. Keadaan ini yang menyebabkan bayi jarang mengalami

apendisitis. Pada 65% orang memiliki apendiks yang terletak pada intraperitoneal,

beberapa lagi ada yang terletak di retrosekal, dibelakang kolon asendend, atau di

tepi lateral kolon asendens. Macam-macam letak apendiks berguna untuk

menentukan letak nyeri yang dirasakan oleh pasien. (1,2)

Gambar 3.1 Anatomi Apendiks

1. A. Ileokolika, 2. ileum terminale, 3. a. apendikularis terletak di retroperitoneal, 4. a.


apendikulare didalam mesoapendiks, 5. ujung apendiks, 6. apendiks letak intraperitoneal, 7. sekum
letak intraperitoneal, 8. apendiks letak retroperitoneal, 9. pertemuan tiga tenia menuju pangkal
apendiks
Apendiks mendapatkan vaskularisasi dari a. appendikularis yang

merupakan cabang dari a. ileocolica dan lanjutan dari a. mesenterika superior.

Arteri appendikulatis merupakan arteri kolateral dan apabila arteri ini mengalami

terombus maka apendiks akan mengalami gangren. Persarafan parasimpatis

apendiks didapatkan melalui n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior dan

a. apendikularis. Nervus torakalis X memberikan gambaran nyeri, raba, suhu,

sesuai dermatom setinggi umbilikus. Apendiks mendapatkan persarafan simpatis

dari n. torakalis X, hal ini yang menyebabkan kebanyakan pasien dengan

apendisitis awalnya mengeluhkan nyeri di daerah umbilikus. (1,2)

Gambar 3.2 Anatomi Apendiks

Usus buntu, sekum; umbai cacing, Appendix vermivormis; ujung akhir dari dari usu
halus, Pars terminalis ilei; tampak dorsal.

Apendiks menghasilkan lendir sekitar 1-2 ml yang dialirkan kedalam

lumen lalu diteruskan kedalama sekum. Saluran cerna memiliki fungsi sebagai

imunoglobulin sekretoar, terutama Imunoglobulin A (IgA) yang dihasilkan oleh

Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT). Apendiks termasuk komponen integral


dari sistem GALT, walaupun dilakukan appendektomi tidak akan menyebabkan

imunodefisiensi atau predisposisi terjadiya sepsis. (1, 3)

3.2. Apendisitis Akut

3.2.1. Epidemiologi

Apendisitis merupakan kegawat daruratan yang paling sering

ditemukan di bidang ilmu bedah. Sebanyak tujuh persen penduduk di

negara barat mengalami apendisitis dan di negara Amerika Serikat

terdapat lebih dari 200.000 penduduk yang melakukan pendektomi dalam

setahun.(4) Sebanyak 80% pasien terdiagnosis apendisitis akut saat operasi,

sedangkan sekitar 15-20% insideni apendisitis perforasi ditemukan saat

operasi. Perforasi dapat terjadi 24-48 jam setelah awitan nyeri. Angka

kematian yang tiambul akibat apendisitis akut adalah 0,2-0,8% sedangkan

angka kematian akibat perforasi sekitar 10-15% . (5)

Apendisitis sering terjadi pada anak-anak maupuan orang dewasa,

insiden terbanyak apendisitis pada laki-laki usia 10-14 tahun berkisar

27,6% kasus pe 10.000, sedangkan pada perempuan 15-19 tahun sekitar

20,5% kasus per 10.000 dan insiden terendah pada bayi.(6) Menurut WHO

angka mortalitas akibat apendisitis adalah 22.000 jiwa dimana laki-laki

sekitar 12.000 jiwa dan perempuan 10.000 jiwa.(7)

3.2.2. Patofisiologi

Apendisitis merupakan suatu keradangan pada apendiks yang

disebabkan oleh infeksi bakteri. Faktor pencetus yang dapat menyebabkan


hal tersebut karena adanya obstruksi saluran apendiks yang diakibatkan

beberapa hal seperti timbunan tinja atau feses yang keras (fekalit),

hyperplasia jaringan limfoid, erosi mukosa oleh cacing askaris dan

E.histoliytica, parasit, adanya benda asing dalam tubuh, kanker primer dan

striktur.(8)

Penyebab tersering yang dapat meyebabkan obstruksi apendiks

adalah feses yang stagnan atau feses yang keras (fekalit) selain itu disertai

dengan kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan

berserat seperti buah-buahan maupun sayuran.(9) Frekuensi obstruksi

meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan

pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus

Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus

Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi. (10,11,12,13)

Obstruksi yang terjadi dapat menyebabkan kongesti apendiks

akibat tekanan intralumen yang meningkat, hal tersebut disebabkan karena

peningkatan sekresi mucus dan hasil exudat inflamasi.(7,14) Apendiks yang

membesar dapat memicu terjadinya inflamasi pada jaringan disekitarnya,

seperti periomentum dan lemak yang berada di sekitar sekum. Penanganan

yang tepat dapat mencegah terjadinnya perforasi apendiks.(9) Apendiks

yang meregang dikarenakan kapasitas intralumen yang sempit (normalnya

0,1mL) dan tekanan yang besar (mencapai 50-65mmHg). Feses yang

terdapat di sekum terperangkap dan tidak dapat didistribusikan ke kolon

ascenden dan seterusnya. Adanya gambaran feses pada sekum yang


membesar dengan penggunaan foto abdominal menunjukkan gejala

apendisitis akut.(9)

Teknan intralumen yang menigkat (diatas 85mmHg) menyebabkan

pembuluh darah balik vena dan pembuluh darah arteri tidak dapat

mengalir sehingga terjadi kongesti vaskuler dan edema apendiks. Selain

itu dapat juga menyebabkan hipoksia mukosa, selanjutnya mengalami

ulserasi yang dapat menyebabkan sistem pertahanan mukosa melemah dan

terjadi invasi bakteri menuju dinding apendiks.(9) Bakteri yang umumnya

terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi

adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi

dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.


(10,11,13)

Tabel 3.1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta (11)

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Batang Gram (-)


Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Inflamasi apendiks dapat meluas ke serosa, peritoneum parietal dan

organ-organ yang berdekatan, akibatnya serabut saraf eferen viseral yang


memasuki sumsum tulang belakang T8-T10 terstimulasi, menyebabkan

gambaran nyeri epigastrik dan periumbilikal yang sesuai dengan

dermatome. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix

berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan

teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix yaitu

RLQ, khususnya di titik Mc Burney’s (9,12).

Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri

somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai

peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran

infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di

punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak

dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan

frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau

Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat

menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine

.
(12)

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan

terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang

melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling

sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,

invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi

biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik.(10,11,12,13)

Hal tersebut dapat terjadi dalam kurun waktu 24-36 jam. Anoreksia, mual,

dan muntah biasanya terjadi seiring dengan memburuknya patofisiologi.(9)


Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal

atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas

ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap

perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu

melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada

pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,

dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus

lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak

omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi

akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau

remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat

diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan

fisik.(12)

3.2.3. Maninfestasi klinis

Pada sebagian besar pasien nyeri perut merupakan keluhan utama

mereka, berupa nyeri yang konstant pada daerah preumbilical atau

epigastric, kemudian sesuai perkembangan penyakit nyeri menjadi jelas

dan terlokalisir di kuadran kanan bawah dekat titik Mc Burney.(10)

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam,

dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama

Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus

terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang

timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam.
Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi

anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh;

Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ

menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis

menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan

nyeri testicular.(10,11,15,13,16)

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi

Appendix, biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi,

suhu tubuh meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai

Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya

terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan

ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia,

diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka

diagnosis Appendicitis diragukan.(11,16) Muntah yang timbul sebelum nyeri

abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut

dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar.

Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak.(11,15,16) Diare dapat

timbul setelah terjadinya perforasi Appendix.

3.2.4. Alvarado score

Nyeri perut merupakan suatu gejala yang tidak spasifik, apendisitis

akut merupakan salah satu penyakit dengan gejala utama nyeri abdomen

yang banyak membutuhkan penanganan operasi segera. Alvarado score


merupakan penilaian yang digunakan untuk mendiagnosis apendisitis akut.

Penelitian Hamid kariman et all, 2014 menunjukkan keakuratan penilaian

alvardo score dalam mendiagnosis apendisitis akut, sebanyak 93% pasien

dengan nyeri abdomen dapat terdiagnosis apendisitis dengan alvarado

score >7.(17) Penilaian yang dilihat mulai dari riwayat keluhan pasien,

pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium seperti:

Tabel 3.2. Alvarado Score

Keterangan Skor

Keluhan Mual atau muntah 1

Nyeri berpindah tempat ke perut 1


kanan bawah

Anorexia 1

Pemeriksaan Nyeri perut kanan bawah 2

Nyeri lepas 1

Peningkatan suhu (>37,3oC atau 1


>99,1oF

Laboratorium Leukositosis >10.000 2

Leukositosis dengan shift to the 1


left

Jumlah skor keseluruhan 10, bila skor 1-4 menunjukkan bukan

apendisitis, skor 5-7 kemungkinana apendisitis, 8-10 kemungkinana tinggi

apendisitis. Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila

skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan. Singkatan yang sering

digunakan dalam mengingat alvarado score yaitu MANTRELS: Migration

to the right iliac fossa, Anorexia, Nausea/Vomiting, Tenderness in right


iliac fossa, Rebound tenderness, Elevated temperature (fever),

Laukocytosis and Shif of neutrophils to left.(18)

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu

muda atau terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya

sering terlambat sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi.

Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi,

irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam,

dan nyeri.(16)

3.2.5. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik merupakan metode awal yang tidak

membutuhkan biaya dan sangat membantu dalam menegakkan diagnostik

apendisitis. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gembaran spesifik.

Kembung sering terlihat pada pasien dengan komplikasi perforasi.

Penonjolan perut kanan bawah bisa terlihat pada massa atau abses

periapendikular. Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka

kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya

rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis. Peristaltik usu sering normal, peristaltik dapat

hilang oleh karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat

apendisitis perforata. (1)

Terdapat beberapa teknik pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan

untuk menentukan diagnosis apendisitis, dikatakan positif apabila pasien


mengeluhkan nyeri ketika dilakukan pemeriksaan tersebut, teknik

pemeriksaan yang dimaksud antara lain: (19)

a. Mc. Burney’s

Terknik ini digunakana dengan cara, tangan pemeriksa menekan di

kuadran kanan bawah. Penekanan dilakaukan pada suatu titik sepertiga

lateral garis imaginer antara umbilicus dan spina iliaca anterior superior.

Gambar 3.3 Pemeriksaan 1. Mc. Burney, 2.Lanz’s, 3.Munro’s

b. Blumberg Sign

Teknik ini dikatakan positif bila pasien mengeluhkan nyeri ketika

dilakukan lepas tekan pada sepertiga lateral garis imaginer antara ubilicus

dengan spina iliaca anterior superior

c. Rovsing’s Sign

Teknik ini dikatakan positif ketika dilakukan penekanan di LLQ

(left lower quadran) oleh pemeriksa dan pasien mengeluhkan nyeri yang

menjalar di RLQ (rigt lower quadran).


Gambar 3.4 Pemeriksaan Rouvsing sign

d. Obturator Sign

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan nyeri

ketika dilakukan penegangan otot obturatorium. Teknik ini dilakukan

dengan cara pemeriksa memfleksikan hip join dextra dan dilakukan

endorotasi.

Gambar 3.5 Pemeriksaan Obturator Sign

e. Psoas Sign

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan nyeri

ketika dilakukan penegangan otot psoas mayor. Teknik pemeriksaan ini

bisa menggunakan cara aktif dan pasif. Teknik aktif dingunakan dengan

cara pasien meluruskan tungkai kaki kanan lalu memfleksikan hip join
sendiri. Teknik pasif dilakukan dengan cara pasien meluruskan tungkai

kaki kanan lalu pemeriksa memposisikan tubuh pasien menjadi left lateral

decubitus dan mengektensikan hip join kanan pasien ke arah belakang.

Gambar 3.6 Pemeriksaan Psoas Sign

f. Tenhorn Sign

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien mengeluhkan nyeri di

RLQ ketika pemeriksa menarik testis pasien ke arah kaudal.

g. Dunphy Sign (nyeri RLQ saat batuk)

Teknik ini dikatakan positif apabila pasien megeluhkan nyeri RLQ

saat pasien batuk.

h. Colok Dubur

Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi

bisa dicapai dengan jari telunjuk. Cara pemeriksaannya ialah posisikan

pasien terlentang dengan posisi kaki litotomi. Nyeri tekan arah jam 9-12

ketika dilakukan colok dubur, mengindikasikan adanya apendisiti. Pada


apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis

adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.(1)

Gambar 3.7 pemeriksaan colok dubur pada orang dewasa

1. Rongga peritoneum, 2. Peritoneum perietale, 3. sekum, 4. apendiks (apendisitis akut)

3.2.6. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium (21,20)

Dalam pemeriksaan darah lengkap, jumlah sel darah putih memiliki

nilai diagnostik pada apendisitis akut dimana nilai leukosit menunjukkan

>10.000/mm3. Beberapa kasus yang parah seperti peritonitis difus,

menunjukkan leukosit yang menurun dibandingkan peningkatan leukosit,

perlu tambahan informasi lain baik anamnesis maupuan pemeriksaan fisik

yang mengarah ke apendisitis. CRP atau C-Reaktif Protein merupakan tes

darah yang digunakan untuk mengukur jumlah protein dalam darah, kadar

CRP akan meningkat tinggi bila terjadi infeksi atau derdapat penyakit

kronis.
C-reaktif Protein (CRP)

 Tingkat CRP> 1 mg / dL umum terjadi pada pasien dengan radang

usus buntu

 Kadar CRP yang sangat tinggi pada pasien dengan radang usus

buntu menunjukkan perkembangan penyakit gangren, terutama jika

dikaitkan dengan leukositosis dan neutrofilia.

 Pada orang dewasa yang memiliki gejala lebih dari 24 jam, tingkat

CRP normal memiliki nilai prediksi negatif 97-100% untuk

apendisitis.

b. Uiltrasoundgrafi Abdomen (20)

Karena minimal invasiv dan mudah digunakan, pemeriksaan ini sering

digunakan untuk mendiagnosis apendisitis. Pada apendiks yang normal

tidak dapat tervisualisasi oleh pemeriksaan ini, ketika apendiks mengalami

inflamasi dan hipertrofi maka dapat tervisualisasi dengan USG. Penilaian

apendiks meliputi, hipertrofi dinding apendiks, gangguan struktur lapisan

apendiks, ada atau tidak dinding yang rusak, cairan purulen dan fecalit

didalam lumen apendiks.

Pada apendisitis catarrhal dinding apendiks menunjukkan tiga lapisan,

apabila dinding appendik tidak terlihat jelas maka gambaran tersebut bisa

terdapat pada apendisitis phlegmon. Tidak ditemukannya lapisan dnding

apendiks menunjukkan gangren apendisitis lanjut (Gambar 3.7)


Gambar 3.8. Gambaran Ultrasonografi pada macam-macam apendiks

Gambaran akumulasi cairan disekitar apendiks menunjukkan proses

pembentukan abses skunder akibat perforasi. Gambaran echo yang tinggi

disekitar apendiks menunjukkan agregasi omentum dan jaringan di

sekitarnya akibat proses inflamasi. Jika terdapat gambaran yang ditemui di

atas maka indikasi dilakukan operasi.

c. Ct-scan (20)

CT lebih unggul dibandingkan dengan ultrasonografi dalam beberapa

hal, karena temuannya lebih objektif dan tidak terpengaruh oleh adanya gas

usus. Diagnosis appendisitis oleh CT tergantung pada hipertrofi dinding

apendiks, pembesaran apendiks, pembentukan abses periappendiceal,

adanya fecalith, peningkatan kepadatan jaringan adiposa periappendiceal,

dan atau keberadaan asites di kantong Douglas. CT dapat menggambarkan

lampiran yang dapat diperbesar, tetapi tidak dapat memvisualisasikan

dinding apendiks sebagus USG. Dengan demikian, ultrasonografi lebih

unggul dari CT untuk menilai keparahan apendisitis.


3.2.7. Diagnosis banding (1)

Diagnosis banding apendisitis sering merupakan tantangan klinis

karena radang usus buntu dapat meniru beberapa kondisi perut. Pasien

dengan banyak kelainan lainnya hadir dengan gejala yang mirip dengan

radang usus buntu, seperti berikut ini:

a. Gastroenteritis, keluhan mual dan muntah lebih dominan dibandingkan

dengan keluhan nyeri perut. Nyeri perut lebih ringan dan tidak

berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Demam dan

leukositosis yang muncul tidak separah apendisitis.

b. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului entritis atau

gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai

dengan keluhan mual, nyeri tekan perut samat, terutama kanan.

c. Kelainan ovulasi, folikel ovarium yang pecah memberikan keluhan

nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Nyeri

biasanya timbul selama 24 jam tapi biasanya menetap selama 2 hari.

Tidak ada tanda radang.

d. Infeksi panggul, salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan

apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari apendisitis dan nyeri

perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya

disertai keputihan dan infeksi rutin. Pada colok vagina akan timbul

nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan.


e. Kehamilan diluar kandungan, terdapat riwayat terlambat haid dimana

keluhan tidak menentu. Pada ruptur tuba atau abortus kehamilan diluar

rahim dengan perdarahan, timbul nyeri mendadak difus di daerah

pelvis kemungkina bisa terjadi syok hipovolemik. Pemeriksaan vagina

didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada

kuldosintessi didapatkan darah.

f. Urolitiasis pielum/ ureter kanan, terdapat riwayat kolik dari pinggang

ke perut menjalar ke inguinal merupakan gambaran khas, ditemukan

eritosuria. Foto polos dan IVP dapat menegakkan diagnosis tersebut.

Pieonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri

kostovetebra dan piuria.

3.2.8. Penatalaksanaan

Bila diagnosis apendisitis dutah ditegakkan, satu-satunya pilihan

yang terbaik dilakukan dengan apendektomi. Pada apendisitis tanpa

komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali paendisitis

reforata atau apendisitis gangrenosa. Penundaan tindakan bedah dengan

pemberian antibiotik dapat menyebabkan abses dan perforasi apendiks.

Pada pasien dengan apendisitis perforata perlu dilakukan perbaikan

keadaan umum dengan pemberian cairan infus, pemberian antibiotik,

mengobati gejala klinis dengan terapi simptomatis, dan pemasangan pipa

nasogastrik perlu dilakukan sebelum tindakan bedah. Laparotomi yang

dilakukan pada apendisitis perforata memerlukan insisi panjang.(1)


Pada pasien dewasa dengan massa periapendikuler pendidingan

sempurna (terjadinya apendisitis ganggrenosa yang diselimuti omentum

dan dan atau lekuk usu halus) dianjurkan untuk dirawat dan diberikan

antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa dan luas peritonitis.

Bila demam menghilang, leukosit normal, massa periapendikuler

menghilang, penderita boleh pulang dan direncanakan apendektomi elektif

2-3 bulan selanjutnya agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan.

Apendektomi dilakukan 6-8 minggu selanjutnya pada pasien dengan

infiltrat periapendikuler tanpa pus yang sudah ditenangkan dengan

antibiotik.(1)

a. Operatif

Tindakan operasi yang dilakukan pada apendisitis merupakan

tindakan yang dianjurkan. Terdapat dua teknik operasi yang digunakan

yaitu open apendektomy dan laparoscopy apendectomy. Open apendectomi

dilakukan dengan menggunakan insisi Mc. Burney’s. insisi dimulai dari

cutis, subcutis, musculus obliqus externa, musculus obliqua interna,

musculus tranversus dan yang terakhir peritoneum. Temukan caecum dan

cari bagian ujung dimana letak apendiks berada lalu lakukan apendectomy.

Teknik open apendectomi dengan menggunakan insisi Mc. Burney’s dapat

dilakukan pada kasus apendisitis acut, sedangkan apendectomi dengan

insisi panjang digunakan untuk kasus paendisitis perforata.(22)

Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik

untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta.
Laparoscopy sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan

abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah

membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta.(10)

Gambar 7. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy (10)

b. Medikamentosa (22)

Antibiotik merupakan terapi yang baik untuk apendisitis. Pada

beberapa penelitian menunjukkan pemberian antibiotik spektrum luas 30

menit sebelum tindakan pembedahan memberikan hasil yang bagus.

Pemberian antibiotik pasca operasi tergantung pada hasil temuan bedah dan

melihat faktor resiko seperti diabetes melitus dan penyakit yang lainnya.
− Profilaksis perioperatif: dosis tunggal sefalosporin Cefoxitim, amoxicillin

+ asam klavulanat, piperasilin, atau klindamisin / gentamisin,

metronidazole dosis tunggal bukan terapi yang tepat.

− Perawatan pasca operasi, gangrenous atau perforasi dilakukan pemberian

antibiotik spektrum luas selama 3-5 hari.

− Peritonitis, berikan antibiotik spektrum luas + metronidazole selama 5-10

hari.
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 34 tahun datang ke IGD RSML dengan keluhan nyeri

perut kanan bawah dirasa sejak tiga hari SMRS, setelah dilakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diketahui bahwa pasien

terdiagnosis apendisitis akut. Hasil anamnesi didapatkan pasien mengeluhkan

nyeri sejak 3 hari SMRS, nyeri dirasa seperti disayat-sayat pada daerah ulu hati

lalu menjalar ke perut kanan bawah. Satu hari SMRS pasien merasa demam

sumer-sumer dan saat diperiksa di IGD suhunya mencapai 380C. Selain itu pasien

mengeluhkan mual dan muntah 2 hari SMRS, muntah sebanyak 5x isi cairan dan

makanan +125cc, selama nyeri pasien makan hanya sediki. Pasien sering

mengalami BAB keras dan jarang teratur, biasa BAB 2x sehari. Pasien tidak suka

mengkonsumsi sayuran. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada

inguinal dextra+, Mc. Burney+, Rovsing’s sign+, Blumberg’s sign+. hasil leb

menunjukkan leukosit 12,5 (4-11), limposit 2,6(25-33), eosinopil 30.9(10-20),

LED1/2 76/93.

Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium didapatkan

tanda-tanda berupa nyeri perut kanan bawah, mual dan muntah, nyeri tekan lepas

RLQ, leukositosis, febris, migration pain, sehingga Alvarado score adalah 8.

Diagnosis pada pasien ini merupakan apendisitia akut DD Gastroenteritis ,

Limfadenitis Mesenterika, Pelvic inflammatory disease, KET. Sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan imaging untuk


menegakan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Hasil Ultrasonografi

menunjukkan nyeri tekan probe+ dan tampat target sigan pada Mc. Burney

sehinga diagnosis pasti yang dapat ditegakan pada pasien ini adalah apendisitis

akut.

Apendisitis akut merupakan inflamasi apendiks yang banyak diakibatkan oleh

infeksi bakteri dimana faktor pencetus paling sering disebabkan karena obstruksi

saluran apendiks akibat timbunan feses. Selain itu kurangnya konsumsi makanan

yang berserat dapat menyebabkan konstipasi dan penumpukan feses di usus besar,

dimana dapat terjadi trapping feses di lumen usus. Hal yang sama didapatkan pada

pasien ini dimana, pasien jarang mengkonsumsi makanan berserat dan sering

kesulitan BAB.

Obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks akibat feses menjadi tempat

perkembang biakan yang baik bagi kuman. Seiring dengan peningkatannya

tekanan intraluminal menyebabkan gangguan aliran limfatik dan terjadi oedem

yang hebat. Hal tersebut menyebabkan tekanan intraluminal meningkat dan

menggangu aliran vaskularisasi apendiks yang akhirnya menyebabkan iskemi

jaringan intraluminal, infark dan gangren. Proses selanjutnya bakteri akan

melakukan invasi ke dinding apendiks sampai ke luar dinding apendiks. Kejadian

tersebut akan diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat pelepasan mediator

inflamasi.

Inflamasi yang terjadi pada serosa apendiks dapat menstimulasi saraf eferen

viseral T8-T10 yang memberikan gambaran nyeri daerah epigastric dan

periumbilikal. Apabila hasil exudat inflamasi dinding apendiks berhubungan

dengan peritoneum parietal akan menstimulasi saraf somatik yang memberikan


gambaran nyeri lokal pada lokasi Mc. Burney. Hal tersebut yang menyebabkan

penderita merasakan nyeri awal di ulu hati dan berpindah ke perut kanan bawah.

Distensi yang terjadi pada apendisitis akut menimbulkan keluhan muntah, refleks

mual, dan nyeri yang lebih nyata.

Penatalaksanaan apendisitis akut pada pasien ini adalah open apendektomi,

penatalaksanaan secara bedah dilakukan apabila pengobatan medis tidak

memebrikan perbaikan.
BAB V

KESIMPULAN

Apendicitis akut merupakan peradangan apendiks yang disebabkan karena

menyempitnya lumen apendiks akibat obstruksi fekalit, hiperplasia jaringan limfe

maupun parasit atau tumor. Obstruksi lumen apendiks banyak disebabkan oleh

fekait, yang pada akhirnya menimbulkan infalamasi dan distendi apendiks.

Keluhan yang muncul berupa mual muntah, nyeri perut kanan bawah, nyeri

berpindah dari ulu hati ke kanan bawah, tidak nafsu makan, peningkatan suhu

tubuh. Untuk mempermudah diagnosis apendisitis akut perlu dilakukan

penghitunga Alvarado score, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

lainnya.

Dari hasil anamnesi didapatkan pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah,

nyeri berpindah tempat, mual muntah, hipertermia, dari hasil pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan lab menunjukkan nyeri tekan Mc. Burney+, rovsing’s sign+,

blumberg’s sign+, leukositosis. Hasil Alvarado score 8, perlu dilakukan

pemeriksaan penunjang dengan USG, halis dari pemeriksaan tersebut

menunjukkan tampak target sign dan nyeri tekan probe++ pada Mc. Burney yang

mendukung tegaknya diagnosis apendicitis akut. Penatalaksanaan yang dilakukan

pada pasien ini yaitu tindakan operatif dengan cara open apendectomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,


Jakarta : EGC

2. Omar Faiz and David Moffat, 2006, Anatomy at a Glance, Surabaya:


Erlangga, pp139.

3. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
2005:1119-34.

4. Doherty GM, Way LW. Current surgical diagnosis and treatment. Edisi ke-
12. New York: The McGraw Hill companies; 2006.

5. Wim DJ, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2004.

6. Zinner MJ, dan Ashley SW. Maingot’s abdominal operation. 11th Edition.
New York: McGraw-Hill; 2007.

7. WHO. Globlal burden disease. [diakses 3 Januari 2013]. Tersedia pada: http:
//www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/BD_report_2004update_An
nexA.pdf.; 2004.

8. Sjamsuhidajat R, dan Wim De Jong. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC;
1996.

9. Petroianum A, Villar Barroso TV, 2016, Pathophysiology of Acute


Appendicitis, JSM Gastroenterol Hepatol 4(3): 1062.

10. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93.
11. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
2005:1119-34.

12. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1.
Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,
Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62.

13. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of
Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins. 2001: 1466-78.

14. Chandrasekaran, T. V., & Johnson, N. (2014). Acute appendicitis. Surgery


(Oxford), 32(8), 413–417. doi10.1016j.mpsur.2014.06.004.

15. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72.

16. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of
Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at
October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html.

17. Kariman, H., Shojaee, M.,Sabzghabaei, A., et all, 2014, Evaluation of the
Alvarado score in acute abdominal pain, Ulus Travma Acil Cerr Derg, vol.
20, No.2.

18. Jade .R, Muddebihal .U, N. Naveen, 2016, Modified Alvarado Score and its
Application in the Diagnosis of Acute Appendicitis, international Journal of
Conteporary Medical Research, Vol. 3, Issue 5.

19. Jason A. B. MD, Shadys MD, 2013, Apendicitis, NIH.


www.gigestive.niddk.nih.gov.

20. Ishikawa Hiroshi, 2003, Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis,


Departement of Surgery, Sasebo Municipal Hospital, JMAJ 46(5): 217-221.
21. Craig S. Appendicitis. Department of Emergency Medicine, University of
North Carolina at Chapel Hill School of Medicine. Update : Jan 19th 2017.
Available at : http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
(Accessed : September 25th, 2017 ).

22. Paya, Kurosh, 2008, Appendicitis in book: pediatric surgery diagnosis and
management, edition: 1st/edne/2008, Chapter:54, Publish: Jaypee Brothers
Medical Publish LTD, pp. 596-617.

Anda mungkin juga menyukai