Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam
obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur terjadinya infeksi
korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi pada ibu. Ketuban pecah dini
(KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya
melahirkan, pada keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan
mengalami ketuban pecah dini (Prawirohardjo, 2008).
Ketuban pecah dini (KPD) di Indonesia secara global menyebabkan
80% kematian ibu. Pola penyebab langsung dimana-mana yaitu perdarahan
(25%) biasanya perdarahan pasca persalinan,sepsis (15%) hipertensi dalam
kehamilan (12%), partus macet (8%) komplikasi abortus tidak aman (13%),
ketuban pecah dini (4%) dan sebab-sebab lainnya (8%) (Wikjosastro, 2008).
Menurut Wahyuni (2009) kejadian ketuban pecah dini di indonesia
sebanyak 35,70% - 55,30% dari 17.665 kelahiran. Dalam keadaan normal
8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini.
Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan KPD preterm
terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan
cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.
Menurut Oxorn (2010), partus prematurus atau persalinan prematur
dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur yang
disertai pendataran dan atau dilatasi servix serta turunnya bayi pada wanita
hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259
hari) sejak hari pertama haid terakhir. Menurut Nugroho (2010) persalinan
preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan
kurang dari 37 minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin
kurang dari 2500 gram. Partus preterm adalah kelahiran setelah 20 minggu
dan sebelum kehamilan 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir
(Benson, 2012). Menurut Rukiyah (2010), partus preterm adalah persalinan

1
pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir antara
500-2499 gram.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep kegawatdaruratan pada kasus ketuban pecah
dini?
2. Bagaimanakah konsep kegawatdaruratan pada kasus partus premature?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep kegawatdaruratan pada kasus ketuban pecah
dini
2. Untuk mengetahui konsep kegawatdaruratan pada kasus partus
pretamure

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui konsep kegawatdaruratan pada kasus ketuban pecah
dini
2. Dapat mengetahui konsep kegawatdaruratan pada kasus partus
premature

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus Kegawatdaruratan Pada Obsetrik Gynekology : Pecah Ketuban


1. Definisi
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadi proses persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup
waktu atau kurang waktu (Cunningham, McDonald, Gant, 2003). Ketuban
Pecah Dini adalah rupturnya membran ketuban sebelum persalinan
berlangsung (Manuaba, 2003). Ketuban pecah dinyatakan dini jika terjadi
sebelum usia kehamilan 37 minggu. Suatu proses infeksi dan peradangan
dimulai di ruangan yang berada diantara amnion korion (Constance Sinclair,
2010).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ketuban
pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan.
Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya
melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu.
KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum
waktunya melahirkan.
2. Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini tidak diketahui atau masih belum jelas,
maka preventif tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekaninfeksi
(Mochtar, 2002).
Penyebab ketuban pecah dini karena berkurangnya kekuatan
membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau kedua faktor
tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan adanya infeksi yang
dapat berasal dari vagina dan serviks (Saifudin, 2000).
Menurut Manuaba (2009), penyebab ketuban pecah dini antara lain:
a. Serviks inkompeten yaitu kelainan pada serviks uteri dimana kanalis
servikalis selalu terbuka.
b. Ketegangan uterus yang berlebihan, misalnya pada kehamilan ganda
dan hidroamnion karena adanyapeningkatan tekanan pada kulit ketuban

3
di atas ostium uteri internumpada servik atau peningkatan intra uterin
secara mendadak.
c. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan
genetik)
d. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase
laten.
1) Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi
2) Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa
menimbulkan morbiditas janin
3) Komplikasi ketuban pecah dini makin meningkat
e. Kelainan letak janin dalam rahim, misalnya pada letak sunsang dan letak
lintang, karena tidak ada baganterendah yang menutupi pintu atas
panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membrane bagian
bawah.kemungkinan kesempitan panggul, perut gantung, sepalopelvik,
disproporsi.
f. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini.
Menurut Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
UI RSCM (2012), penyebab terjadinya ketuban pecah dini meliputi hal-hal
berikut:
a. Serviks inkompeten
b. Ketegangan rahim berlebihan seperti pada kehamilan ganda,
hidramnion
c. Kelainan letak janin dalam rahim seperti letak sungsang, letak lintang
d. Kemungkinan kesempitan panggul seperti perut gantung, bagian
terendah belum masuk PAP (pintu atas panggul), disproporsi
sefalopelvik
e. Kelainan bawaan dari selaput ketuban
f. Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.
KPD terjadi akibat mekanisme sebagai berikut:

4
a. Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi.
b. Jika terjadi pembukaan servik, selaput ketuban sangat lemah dan mudah
pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
c. Penyebab umum ketuban pecah dini adalah grandemulti, overdistensi
(hidramnion, kehamilan ganda), disproporsi sevalopervik, kehamilan
letak lintang, sunsang, atau pendular abdomen (Manuaba, 2009).
3. Konsep Patofisiologi
Menurut Taylor (2009), ketuban pecah dini ada hubungannya
dengan hal-hal berikut:
a. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban
pecah. Penyakit-penyakit seperti pieronetritis, sistitis,servisitis terdapat
bersama-sama dengan hipermotilitas Rahim
b. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
c. Infeksi (amniotitis atau korioamnionitis)
d. Faktor-faktor lain yang menyerupai predisposisi ialah: multipara-
malposisi disproprosi servik incompeten
e. Ketuban pecah dini artitisial (amniotomi) dimana ketuban pecah terlalu
dini.
Kadang-kadang agak sulit atau meragukan kita apabila ketuban
benar sudah pecah/ belum, apalagi bila pembukaan kenalis servikalis belum
ada atau kecil.

5
6
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik KPD menurut Mansjoer (2002) antara lain :
a. Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau
kecoklatan, sedikit sedikit atau sekaligus banyak.
b. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi
c. Janin mudah diraba
d. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering
e. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan
air ketuban sudah kering.
Menurut Manuaba (2009) mekanisme klinik ketuban pecah dini, antara
lain:
a. Terjadi pembukaan prematur servik
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi:
1) Devaskularisasi
2) Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
3) Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban, makin berkurang
Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat denga infeksi yang
mengeluarkan enzim preteolitik dan kolagenase.

5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ketuban pecah dini tidak sulit ditegakkan dengan keterangan
terjadi pengeluaran cairan mendadak disertai bau yang khas. Selain keterangan
yang disampaikan pasien dapat dilakukan beberapa pemeriksaan yang
menetapkan bahwa cairan yang keluar adalah air ketuban, diantaranya tes ferning
dan nitrazine tes.
Langkah pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah dini
dapat dilakukan, (Manuaba, 1998) :
a. Pemeriksaan spekulum, untuk mengambil sampel cairan ketuban di froniks
posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan pemeriksaan
bakteriologis.

7
b. Melakukan pemeriksaan dalam dengan hati-hati, sehingga tidak banyak
manipulasi daerah pelvis untuk mengurangi kemungkinan kemungkinan
infeksi asenden dan persalinan prematuritas.

Menurut Nugroho (2010), pemeriksaan penunjang ketuban pecah dini


dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG):
a. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri.
b. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering
terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion.

6. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini merupakan sumber persalinan prematuritas, infeksi
dalam rahim terhadap ibu maupun janin yang cukup besar dan potensiil. Oleh
karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang rinci
sehingga dapat menurunkan kejadian persalinan prematuritas dan infeksi dalam
rahim.
Memberikan profilaksis antibiotika dan membatasi pemeriksaan dalam
merupakan tindakan yang perlu diperhatikan. Disamping itu makin kecil umur
kehamilan, makin besar peluang terjadi infeksi dalam rahim yang dapat memacu
terjadinya persalinan prematuritas bahkan berat janin kurang dari 1 kg.
Sebagai gambabaran umum untuk tatalaksana ketuban pecah dini dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur khususnya maturitas paru
sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.
b. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi peicu sepsis,
meningitis janin, dan persalinan prematuritas.
c. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan
berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga
kematangan paru janin dapat terjamin (Manuaba, 2009).

8
Penatalaksanaan KPD memerlukan pertimbangan usia kehamilan, adanya
infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2010), meliputi :
a. Konservatif
1) Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu
maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit.
2) Berikan antibiotika (ampicilin 4 x 500 mg atau eritromicin bila tidak tahan
ampicilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
3) Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
4) Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, tes buss
negativ beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan
janin, terminasi pada kehamilan 37 minggu.
5) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam.
6) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
7) Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
8) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu
kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif
1) Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea.
Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali.
2) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan persalinan
diakhiri.
3) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak
berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
4) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam

9
Berikut bagan penatalaksaan ketuban pecah dini:

10
7. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Primer
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan:
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
a) Bersihan jalan nafas
b) Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
c) Distress pernafasan
d) Tanda – tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
2) Breathing dan ventilasi
a) Frekuensi nafas, usaha nafas, dan pergerakan dinding dada
b) Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
c) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
a) Denyut nadi karotis
b) Tekanan darah
c) Warna kulit, kelembaban kulit
d) Tanda – tanda perdarahan eksternal dan internal
b. Pengkajian Sekunder
Data yang dikaji pada ibu dengan ketuban pecah dini adalah:
Data Subjektif:
1) Data Biografi
Biasanya sering terjadi pada kelainan serviks, ketegangan rahim, kelainan
letak janin, kemungkinan kesempitan panggul, kelainan bawaan, infeksi.
2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama : klien dengan ketuban pecah dini mengeluh keluar
cairan pervaginam.
b) Keluhan saat dikaji : biasanya klien mengeluh nyeri hilang timbul.
Nyeri yang dirasakan menjalar dari perut ke pinggang.
c) Riwayat keluhan: Riwayat keluhan adalah pengkajian data mulai dari
timbulnya keluhan sampai dengan dilakukan asuhan keperawatan.
Contoh : waktu keluarnya cairan pervaginam, hasil TFU, His, DJJ,

11
pemeriksaan VT, efficement, masih ada atau tidaknya cairan ketuban,
penurunan hodge, pembukaan, dan ada atau tidaknya pemberian
antibiotik.
Data Objektif:
1) Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
a) GCS
b) Tingkat kesadaran
c) Tanda-tanda vital
d) BB
Head toe toe
a) Kepala
Wajah, Pucat, Cloasma, Sklera, Konjungtiva, Pembesaran k. Limphe,
Pembesaran k. Tiroid, Telinga.
b) Dada
Thorak
Inspeksi : kesimetrisan dada, jenis pernafasan thorak abdominal, dan
tidak ada retraksi dinding dada. Frekuensi pernafasan
normal 16-24 x/menit. Iktus kordis terlihat/tidak
Palpasi : payudara tidak ada pembengkakan.
Auskultasi : terdengar BJ I dan II di IC kiri/kanan. Bunyi nafas
norma vesikuler
c) Abdomen
Inspeksi : ada/tidaknya bekas operasi, striae, linea.
Palpasi : TFU, kontraksi ada/tidak, posisi, kandung kemih
penuh/tidak.
Auskultasi : DJJ ada/tidak
d) Genetalia dan perinium

Inspeksi : keberhasilan, ada/tidaknya tanda-tanda REEDA


(Red, Edema, Discharge, Approximately),

12
pengeluaran dari ketuban (jumlah, warna, bau), dan
lendir merah muda kecoklatan.
Palpasi : pembukaan serviks (0-4).
e) Ekstremitas
Atas : oedema, varises, CRT
Bawah : oedema, varises, CRT, refleks

8. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko infeksi dibuktikan dengan ketuban pecah sebelum waktunya
b. Nyeri melahirkan berhubungan dengan dilatasi serviks dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, perineum terasa tertekan, ekspresi wajah meringis, uterus
teraba membulat, frekunsi nadi meningkat dan prilaku ekspresif

9. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (SIKI)
Keperawatan Hasil (SLKI)

1. Resiko infeksi SLKI : Resiko infeksi SIKI : Risiko Infeksi


dibuktikan dengan
Setelah dilakukan Intervensi Utama Label:
ketuban pecah sebelum
intervensi selama 2 x 1 jam, Pencegahan Infeksi
waktunya
maka (Tingkat Infeksi)
Obervasi :
(Menurun) dengan
dengan kriteria hasil : 1. Monitor tanda dan
gejala infeksi local
1. Nyeri (1)
dan sistemik
2. Cairan berbau
Terapeutik :
busuk (5)
3. Letargi (5) 1. Batasi jumlah
pengunjung
2. Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak

13
dengan pasien dan
lingkungan pasien
3. Pertahankan teknik
pada pasien berisiko
tinggi
Edukasi :

1. Jelaskan tanda dan


gejala infeksi
2. Nyeri melahirkan SLKI : Nyeri Melahirkan SIKI : Nyeri Melahirkan
berhubungan dengan
Setelah dilakukan Intervensi Utama Label :
dilatasi serviks
intervensi selama 2 x 1 jam,
dibuktikan dengan 1. Manajemen Nyeri
maka
mengeluh nyeri, Observasi :

perineum terasa 1. (Tingkat Nyeri) a. Identifikasi skala

tertekan, ekspresi wajah (Menurun) dengan kriteria nyeri

meringis, uterus teraba hasil : b. Identifikasi

membulat, frekunsi nadi pengetahuan dan


a. Keluhan nyeri (5)
meningkat dan prilaku keyakinan tentang
b. Perineum terasa
ekspresif nyeri
tertekan (5)
c. Identifikasi pengaruh
c. Uterus teraba
nyeri pada kualitas
membulat (5)
hidup
d. Frekuensi nadi (5)
Edukasi :
e. Perilaku (5)
2. (Kontrol Nyeri) a. Jelaskan penyebab,
(Meningkat) dengan periode dan pemicu
kriteria hasil : nyeri
a. Kemampuan b. Jelaskan strategi
menggunakan meredakan nyeri
teknis non- c. Anjurkan memonitor
farmakologis (5) nyeri secara mandiri

14
b. Dukungan orang 2. Pengaturan Posisi
terdekat (5) Terapeutik :
3. (Status Intrapartum) a. Tempatkan pada
(Membaik) dengan posisi terapeutik
kriteria hasil : b. Tempatkan objek
a. Perdarahan vagina yang sering
(5) digunakan dalam
b. Frekuensi kontraksi jangkauan
uterus (5) c. Ubah posis setiap 2
c. Periode kontraksi jam
uterus (5) Edukasi :
d. Intensitas kontraksi
a. Ajarkan cara
uterus (5)
menggunakan postur
e. Tekanan darah (5)
yang baik dan
4. (Tingkat Ansietas)
mekanika tubuh yang
(Menurun) dengan
baik selama
kriteria hasil :
melakukan
a. Verbalisasi
perubahan posisi
khawatir akibat
3. Terapi Relaksasi
kondisi yang
Observasi :
dihadapi (5)
a. Identifikasi teknik
b. Perilaku gelisah (5)
relaksasi yang pernah
c. Perilaku tegang (5)
efektif digunakan
d. Konsentrasi (5)
b. Monitor respons
terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik :

a. Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan dengan

15
pencahayaan dan
suhu ruang nyaman,
jika memungkinkan
Edukasi :

a. Jelaskan tujuan,
manfaat, Batasan dan
jenis relaksasi yang
tersedia
b. Anjurkan mengambil
posisi nyaman
c. Anjurkan sering
mengulangi atau
melatih teknik yang
dipilih.

10. Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan.
Tujuan implementasi adalah mengatasi masalah yang terjadi pada manusia.
Setelah rencana keperawatan disusun, maka rencana tersebut diharapkan dalam
tindakan nyata untuk mencapai tujuan yang diharapkan, tindakan tersebut harus
terperinci sehingga dapat diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan
baik dan sesuai dengan waktu yang ditentukan Implementasi ini juga dilakukan
oleh perawatdan harus menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia
yang unik (Hidayat, 2002).

16
11. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Hidayat, 2002).
Menurut Rohman dan Walid (2009), evaluasi keperawatan ada 2 yaitu:
a. Evaluasi proses (formatif) yaitu valuasi yang dilakukan setiap selesai
tindakan. Berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus-menerus
sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
b. Evaluasi hasil (sumatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna. Berorientasi pada masalah keperawatan dan
menjelaskan keberhasilan atau ketidakberhasilan. Rekapitulasi dan
kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang
ditetapkan.

17
B. Kasus Kegawatdaruratan Pada Obsetrik Gynekology : Partus Premature
1. Definisi
Menurut Oxorn (2010), partus prematurus atau persalinan prematur dapat
diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur yang disertai
pendataran dan atau dilatasi servix serta turunnya bayi pada wanita hamil yang
lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari
pertama haid terakhir. Menurut Nugroho (2010) persalinan preterm atau partus
prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu
(antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram. Partus
preterm adalah kelahiran setelah 20 minggu dan sebelum kehamilan 37 minggu
dari hari pertama menstruasi terakhir (Benson, 2012). Menurut Rukiyah (2010),
partus preterm adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu
atau berat badan lahir antara 500-2499 gram.
Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan yaitu Partus
Prematurus Iminens (PPI) adalah adanya suatu ancaman pada kehamilan dimana
timbulnya tanda-tanda persalinan pada usia kehamilan yang belum aterm (20
minggu-37 minggu) dan berat badan lahir bayi kurang dari 2500 gram.

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :
a. Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD,
pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion
b. Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk
uterus, riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks,
pemakaian obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus.
Namun menurut Nugroho (2010) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan
partus prematurus yaitu :
a. Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus,
serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks
mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat
abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem

18
sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan preterm, riwayat operasi
konisasi, dan iritabilitas uterus.
b. Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10
batang perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada
trimester I lebih dari 2 kali.
Sedangkan menurut Manuaba (2009), faktor predisposisi partus prematurus
adalah sebagai berikut:
a. Faktor ibu : Gizi saat hamil kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35
tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti;
hipertensi, jantung, ganguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerjaan
yang terlalu berat
b. Faktor kehamilan : Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan
antepartum, komplikasi hamil seperti pre eklampsi dan eklampsi, ketuban
pecah dini
c. Faktor janin : Cacat bawaan, infeksi dalam Rahim

3. Tanda dan Gejala


Partus prematurus iminen ditandai dengan :
a. Kontraksi uterus dengan atau tanpa rasa sakit
b. Rasa berat dipanggul
c. Kejang uterus yang mirip dengan dismenorea
d. Keluarnya cairan pervaginam
e. Nyeri punggung
Gejala diatas sangat mirip dengan kondisi normal yang sering lolos dari
kewaspadaan tenaga medis.
Menurut Manuaba (2009), jika proses persalinan berkelanjutan akan
terjadi tanda klinik sebagai berikut :
a. Kontraksi berlangsung sekitar 4 kali per 20 menit atau 8 kali dalam satu jam
b. Terjadi perubahan progresif serviks seperti pembukaan lebih dari 1 cm,
perlunakan sekitar 75-80 % bahkan terjadi penipisan servik.

19
4. Patofisiologi
Persalinan prematur menunjukkan adanya kegagalan mekanisme yang
bertanggung jawab untuk mempertahankan kondisi tenang uterus selama
kehamilan atau adanya gangguan yang menyebabkan singkatnya kehamilan atau
membebani jalur persalinanan normal sehingga memicu dimulainya proses
persalinan secara dini. Empat jalur terpisah, yaitu stress, infeksi, regangan dan
perdarahan (Norwintz, 2007).
Enzim sitokinin dan prostaglandin, ruptur membran, ketuban pecah, aliran
darah ke plasenta yang berkurang mengakibatkan nyeri dan intoleransi aktifitas
yang menimbulkan kontraksi uterus, sehingga menyebabkan persalinan prematur.
Akibat dari persalinan prematur berdampak pada janin dan pada ibu. Pada
janin, menyebabkan kelahiran yang belum pada waktunya sehingga terjailah
imaturitas jaringan pada janin. Salah satu dampaknya terjdilah maturitas paru
yang menyebabkan resiko cidera pada janin. Sedangkan pada ibu, resiko tinggi
pada kesehatan yang menyebabkan ansietas dan kurangnya informasi tentang
kehamilan mengakibatkan kurangnya pengetahuan untuk merawat dan menjaga
kesehatan saat kehamilan.

5. Komplikasi
Menurut Nugroho (2010), komplikasi partus prematurus iminens yang
terjadi pada ibu adalah terjadinya persalinan prematur yang dapat menyebabkan
infeksi endometrium sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya
penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan pada bayi prematur memiliki resiko
infeksi neonatal lebih tinggi seperti resiko distress pernafasan, sepsis neonatal,
necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventikuler.
Menurut Benson (2012), terdapat paling sedikit enam bahaya utama yang
mengancam neonatus prematur, yaitu gangguan respirasi, gagal jantung kongestif,
perdarahan intraventrikel dan kelainan neurologik, hiperilirubinemia, sepsis dan
kesulitan makan.
Sedangkan menurut Oxorn (2010), prognosis yang dapat terjadi pada
persalinan prematuritas adalah :

20
a. Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi prematur
b. Gangguan respirasi
c. Rentan terhadap kompresi kepala karena lunaknya tulang tengkorak dan
immaturitas jaringan otak
d. Perdarahan intracranial 5 kali lebih sering pada bayi prematur dibanding bayi
aterm
e. Cerebral palsy
f. Terdapat insidensi kerusakan organik otak yang lebih tinggi pada bayi
prematur (meskipun banyak orang–orang jenius yang dilahirkan sebelum
aterm).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi : Pengkajian getasi (dengan berat badan janin 500 sampai 2500
gram)
b. Tes nitrazin : menentukan KPD
c. Jumlah sel darah putih : Jika mengalami peningkatan, maka itu menandakan
adanya infeksi amniosentesis yaitu radio lesitin terhadap sfingomielin (L/S)
mendeteksi fofatidigliserol (PG) untuk maturitas paru janin, atau infeksi
amniotik
d. Pemantauan elektronik : memfalidasi aktifitas uterus/status janin.

7. Penatalaksanaan
a. Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1) Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu:
1) Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan
lagi jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
2) Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan
salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek
samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50
µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau

21
terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg
setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,
edema paru.
3) Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya
ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada
ibu dan bayi).
4) Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac,
nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan
menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk
produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX
yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada
janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam
konteks percobaan klinis.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan
intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a) Oligohidramnion
b) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c) Preeklamsia berat
d) Hasil nonstrees test tidak reaktif
e) Hasil contraction stress test positif
f) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan
pasien stabil dan kesejahteraan janin baik
g) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

22
h) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.
b. Algoritma Resusitasi Bayi Baru Lahir
1. Bayi baru lahir bernafas atau menangis dan tonus otot bai, maka laukan
perawatan rutin berupa :
i. Pastikan bayi tetap hangat
ii. Keringkan bayi. Jika pada bayi dengan berat < 1500 gram, bayi
langsung dibungkus plastic bening tanpa dikeringkan terlebih
dahulu kecuali wajahnya, kemudian dipasang topi, bayi tetap
dapat distimulasi walaupun dibungkus plastik
iii. Lanjutkan observasi pernapasan, laju denyut jantung dan tonus
2. Pada bayi baru lahir tidak bernafas atau menangis dan tonus tidak baik,
maka :
Langkah awal :
i. Nyalakan pencatat waktu
ii. Pastikan bayi tetap hangat
iii. Atur posisi dan bersihkan jalan nafas
iv. Keringkan bayi. Jika pada bayi dengan berat < 1500 gram, bayi
langsung dibungkus plastic bening tanpa dikeringkan terlebih
dahulu kecuali wajahnya, kemudian dipasang topi, bayi tetap
dapat distimulasi walaupun dibungkus plastic
v. Posisikan kembali
3. Kemudian observasi usaha nafas, laju denyut jantung (LDJ) dan tonus otot
4. Jika bernafas spontan, cek penafasan BBL, jika :
a) Distres nafas (Takipneu, retraksi atau merintih) maka lakukan
Continuous positive airway pressure (CPAP) apabila LDJ > 100
kali permenit dan target saturasi oksigen tercapai yaitu tanpa alat
maka lanjutkan ke perawatan onservasi dan jika dengan alat
lanjutkan ke perawatan paska-resusitasi. PEEP 5-8 cmH2O.
Pemantauan SpO2. Jika Gagal CPAP, PEEP 8 cmH2O, FiO2 >
40%, dengan distress nafas, maka pertimbangkan intubasi

23
b) Sianosis sentral persisten tanpa distress napas, maka
pertimbangkan suplementasi oksigen apabila LDJ > 100 kali
permenit dan target saturasi oksigen tercapai yaitu tanpa alat maka
lanjutkan ke perawatan onservasi dan jika dengan alat lanjutkan ke
perawatan paska-resusitasi, kemudian pemantauan SpO2
5. Jika tidak bernafas/ megap-megap, dan atau LDJ < 100 x/menit,
6. Lakukan ventilasi tekanan positif (VTP) apabila LDJ > 100 kali permenit
dan target saturasi oksigen tercapai yaitu tanpa alat maka lanjutkan ke
perawatan onservasi dan jika dengan alat lanjutkan ke perawatan paska-
resusitasi. Dan pemantauan SpO2.
7. Bila LDJ tetap < 100 x/menit, maka lihat pengembangan dada
a) Jika dada mengembang adekuat namun LDJ < 60 x/menit, maka
lakukan VTP (O2 100%) + Kopresi dada (3 kompresi setiap 1 nafas),
kemudian pertimbangkan intubasi (Intubasi endotrakea dapat
dipertimbangkan pada langkah ini apabila VTP tidak efektif atau telah
dilakukan selama 2 menit, kemudian observasi LDJ dan usaha nafas
tiap 30 detik. Dan jika LDJ masih < 60 x/menit maka pertimbangkan
pemberian obat dan cairan intravena
b) Bila dada tidak mengembang adekuat, maka evaluasi posisi kepala
bayi, obstruksi jalan nafas, kebocoran sungkup, tekanan puncak
inspirasi cukup atau tidak. Jika dada sudah mengembang adekuat
namun LDJ < 60 x/menit, maka lakukan VTP (O2 100%) + Kopresi
dada (3 kompresi setiap 1 nafas), kemudian pertimbangkan intubasi
(Intubasi endotrakea dapat dipertimbangkan pada langkah ini apabila
VTP tidak efektif atau telah dilakukan selama 2 menit, kemudian
observasi LDJ dan usaha nafas tiap 30 detik. Dan jika LDJ masih < 60
x/menit maka pertimbangkan pemberian obat dan cairan intravena.

24
2) Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan
surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome
(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis,
dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus.
Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35
minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason.
Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin
terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:
1) Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2) Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin
releasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-
iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan.
Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan
komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan
surfaktan.
3) Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian
antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis
dan sepsis neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan
mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat
diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3
hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau
dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan
pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.

25
c. Algoritma resusitasi bayi baru lahir

26
Upaya resusitaasi yang efesien dan efektif berlangsung melalui
rangkaian tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan
lanjutan. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh
tiga tanda penting, yaitu :
a. Penafasan
b. Denyut jantung
c. Warna kulit
Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak
bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar
pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif
(VTP).
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu :
a. Dua helai kain / handuk.
b. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang,
handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk
mengatur posisi kepala bayi.
c. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
d. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
e. Kotak alat resusitasi.
f. Jam atau pencatat waktu.
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang
dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :
a. Memastikan saluran terbuka
1) Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
2) Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
3) Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan
saluran pernafasan terbuka.

27
b. Memulai pernafasan
1) Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
2) Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon
atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
c. Mempertahankan sirkulasi
1) Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
2) Kompresi dada.
3) Pengobatan

Langkah-Langkah Resusitasi
a. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan
selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
b. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang
datar.
c. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
d. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah
bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
e. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan
mengusap-usap punggung bayi.
f. Nilai pernafasan Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama
6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika
merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut
jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
1) Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
2) Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui
ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi
tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke
mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
3) Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil
kalikan 10.
a) 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.

28
b) 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
c) 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV,
disertai kompresi jantung.
d) < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
e) Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi
jantung :
a. Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi
tubuh bayi.
b. Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang
tubuh bayi.
c. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
d. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
e. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin
1 : 10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
f. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
g. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis
diatas tiap 3 – 5 menit.
h. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2
MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007)

Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua
faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
a. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi
dapat terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi
atau asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan
intrapartum.

29
b. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan
minumum antara lain :
1) Alat pemanas siap pakai
2) Oksigen
3) Alat pengisap
4) Alat sungkup dan balon resusitasi
5) Alat intubasi
6) Obat-obatan

Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :


a. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
b. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang
harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
c. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama
sebagai suatu tim yang terkoordinasi.
d. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan
berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
e. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan
siap pakai.

8. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Primer (Primary Survey)
1) Airway
a) Kaji kepatenan jalan napas
b) Kaji ada/tidaknya suara napas tambahan
2) Breathing
a) Kaji frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan
dalam/dangkal/regular/ireguler
b) Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, untuk
mempertahankan saturasi >92%

30
c) Kaji irama pernapasan cepat/lambat dan penggunaan otot bantu dada
pernapasan
d) Nilai apgar score pada menit ke-1 dan menit ke-5
3) Circulation
a) Kaji nadi cepat/tidak dan teratur/tidak
b) Kaji akral, hangat atau dingin
c) Kaji suhu tubuh bayi
d) Kaji warna kulit dan membran mukosa (pucat, sianosis, dan
kemerahan)
e) Pada Ibu : Hipertensi, Edema patologis (tanda hipertensi karena
kehamilan (HKK), penyakit sebelumnya.
4) Disability
a) Kaji respon/reaksi bayi
b) Kaji suara tangisan bayi (keras/lemah)
c) Kaji gerakan otot bayi
5) Exposure
Jaga suhu tubuh bayi agar tidak jadi hipotermi.
b. Pengkajian Sekunder / Secondary Survey
Secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1) Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi :
a) Keluhan utama
b) Riwayat kesehatan sekarang
c) Riwayat kesehatan dahulu
Prenatal care
a. Pemeriksaan kehamilan :

31
b. Keluhan selama hamil :
c. Kenaikan BB selama hamil :
Natal
a. Tempat melahirkan :
b. Jenis persalinan :
c. Penolong persalinan :
Post natal
Kondisi bayi :
d) Riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
e) Riwayat menstruasi
a. Menarche :
b. Siklus :
c. Lama :
d. Dismenorhea :
e. Flour albus :
f. HPHT/TP :
f) Status perkawinan
a. Umur nikah :
b. Lama :
c. Nikah ke :
d. Status pernikahan :
g) Riwayat Obstetri
Kehamilan Persalinan Bayi Nifas

Hamil UK Komp Jenis penolong tempat komplikasi sex Bb/tb h/m t/g umur Lac K kom
likasi B plik
ke
asi

h) Riwayat Kehamilan Sekarang


 Mulai periksa : UK....
 Tempat :...........Pemeriksa......

32
No UK Keluhan Frek periksa Obat yg HE
diterima
1 Trim 1
Trim 2
Trim 3

i) Riwayat Persalinan Sekarang


j) Riwayat KB
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh
langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat
atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan
gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,
plester,makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)

33
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

2) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak
nafas, pergerakan tremor, reflek tendon hyperaktif dan ini terjadi pada
stadium pertama.
b) Tanda-tanda vital
Pada umunya terjadi peningkatan respirasi
c) Kulit
Pada kulit biasanya terdapat sianosis
d) Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala bukit, fontanela mayor dan minor masih
cekung, sutura belum menutup dan kelihatan masih bergerak
e) Mata
Pada pupil terjadi miosis saat diberikan cahaya
f) Hidung
Yang paling sering didapatkan adalah didapatkan adanya pernafasan
cuping hidung.
g) Dada
Pada dada biasanya ditemukan pernafasan yang irregular dan
frekwensi pernafasan yang cepat
h) Neurology / reflek
Reflek Moro
 Reflek menghisap (refleks rooting)
 Refleks menggenggam (palmar grasp reflex)
 Refleks leher (tonic neck reflex)
 Refleks mencari (rooting reflex)
 Refleks moro (moro reflex)
 Babinski Reflex .

34
 Swallowing Reflex.

3) Pemeriksaan Penunjang
a) Ultrasonografi : pengkajian getasi (dengan berat badan janin 500 –
2500 gram)
b) Tesnitrazin : menentukan KPD
c) Jumlah sel darah putih : jika mengalami peningkatan, maka itu
menandakan adanya infeksi amniosintesis yaitu radio lesiten terhadap
sfingomielin (L/S) mendeteksi fofatidi gliserol (PG) untuk maturitas
paru janin atau infeksi amniotik.
d) Pemantauan elektronik : Memfalidasi aktifitas uterus/status janin.

9. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuscular dibuktikan dengan tidak mampu batuk, mengi, wheezing dan
atau ronchi kering, meconium dijalan napas (pada neonates), gelisah, sianosi,
bunyi nafas menurun, frekuinsi napas berubah, dan pola napas berubah
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis dibuktikan
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola
napas abnormal (misalnya takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul),
pernapasan pursed lip, pernapasan cuping hidung.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi dibuktikan dengan PCO2 meningkat atau menurun, PO2 menurun,
takikardi, pH arteri meningkat atau menurun, bunyi napas tambahan, sianosis,
gelisah, napas cuping hidung, pola napas abnormal, warna kulit abnormal,
kesadaran menurun.
d. Hipotermia berhubungan dengan kekurangan lemak subkutan dibuktikan
dengan kulit teraba dingin, menggigil, suhu tubuh dibawah nilai normal,
akrosianosis, bradikardi, dasar kuku sianotik, hipoksia, dan kutis memorata.

35
10. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI

KEPERAWATAN KRITERIA HASIL


(SIKI)
(SLKI)

1. Bersihan jalan Setelah dilakukan asuhan SIKI : Manajemen Jalan Napas


nafas tidak efektif
keperawatan selama ... x ...
Observasi
jam diharapkan bersihan
□ Monitor pola napas (frekuensi,
jalan napas tidak efektif
kedalaman, usaha napas)
dapat teratasi dengan kriteria
□ Monitor bunyi napas tambahan (mis.
hasil :
gurgling, wheezing, mengi, ronkhi
SLKI : Bersihan Jalan
kering)
Napas
□ Monitor sputum (jumlah, warna,

□ Adanya batuk efektif aroma)

□ Produksi sputum

menurun

□ Tidak ada mengi Terapeutik

□ Tidak ada wheezing


□ Pertahankan kepatenan jalan napas
□ Tidak ada dispnea
dengan head-tilt dan chin-lift (ja-
□ Tidak ada ortopnea
thrust jika curiga trauma servikal)

36
□ Tidak ada sianosis □ Posisikan semi fowler atau fowler

□ Tidak gelisah □ Berikan minum hangat

□ Frekuensi napas dalam □ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

batas normal □ Lakukan penghisapan lendir kurang

□ Pola napas membaik dari 15 detik

□ Lakukan hiperoksigenasi sebelum

penghisapan endotrakeal

□ Keluarka sumbatan benda padat

dengan forsep McGill

□ Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

□ Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,

jika tidak kontraindikasi

□ Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

□ Kolaborasi pemberian bronkodilator,

ekspektoran, mukolitik, jia perlu

SIKI : Pemantauan Respirasi

Observasi

□ Monitor nilai AGD

□ Monitor saturasi oksigen

□ Monitor kemampuan batuk efektif

37
□ Monitor adanya produksi sputum

□ Monitor adanya sumbatan jalan napas

□ Monitor frekuensi, irama, kedalaman

dan upaya napas

□ Monitor pola napas (bradipnea,

takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,

Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)

□ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

□ Auskultasi bunyi napas

□ Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

□ Atur interval pemantauan respirasi

sesuai kondisi pasien

□ Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

□ Jelaskan tujuan dan prosedur

pemantauan

□ Informasikan hasil pemantauan, jika

perlu

2. Pola napas tidak Setelah dilakukan asuhan SIKI : Manajemen Jalan Napas

efektif keperawatan selama ... x ...


Observasi
jam diharapkan masalah pola

38
napas tidak efektif dapat □ Monitor jalan napas (frekuensi,

teratasi dengan kriteria hasil : kedalaman, usaha napas)

□ Monitor bunyi napas tambahan (mis.


SLKI :
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
□ Tidak ada
kering)
penggunaan otot
□ Monitor sputum (jumlah, warna,
bantu napas
aroma)
□ Tidak ada
Terapeutik
pemanjangan fase
□ Perhatikan kepatenan jalan napas
ekspirasi
dengan head tilt chin lift (jaw thrust
□ Pola napas normal
jika curiga trauma servikal)
(tidak ada takipnea,
□ Posisikan semi-fowler atau fowler
bradipnea,
□ Berikan minum hangat
hiperventilasi,
□ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
kussmaul)
□ Lakukan penghisapan lendir kurang
□ Tidak ada pernapasan
dari 15 detik
pursed lip
□ Lakukan hiperoksigenasi sebelum
□ Tidak ada pernapasan
penghisapan endotrakeal
cuping hidung
□ Keluarkan sumbatan benda padat

dengan forsep McGill

□ Berikan oksigenasi, jika perlu

Edukasi

39
□ Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,

jika tidak kontraindikasi

□ Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

□ Kolaborasi pemberian

bronkodilator, ekspektoran,

mukolitik, jika perlu

SIKI : Dukungan Ventilasi

Observasi

□ Identifikasi adanya kelelahan otot

bantu napas

□ Identifikasi efek perubahan posisi

terhadap status pernapasan

□ Monitor status respirasi dan

oksigenasi (mis. frekuensi dan

kedalaman napas, penggunaan otot

bantu napas, bunyi napas tambahan,

status oksigenasi)

Terapeutik

□ Pertahankan kepatenan jalan napas

□ Berikan posisi semi fowler atau

fowler

40
□ Fasilitasi mengubah posisi senyaman

mungkin

□ Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan

(mis. nasal kanul, masker wajah,

masker rebreathing atau non -

rebreathing)

□ Gunakan bag valve mask, jika perlu

Edukasi

□ Ajarkan melakukan teknik relaksasi

napas dalam

□ Ajarkan mengubah posisi secara

mandiri

□ Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

□ Kolaborasi pemberian bronkodilator,

jika perlu

3. Gangguan Setelah dilakukan asuhan SIKI : Pemantauan Respirasi

pertukaran gas keperawatan selama ... x ...


Observasi
jam diharapkan gangguan
□ Monitor nilai AGD
pertukaran gas dapat teratasi
□ Monitor saturasi oksigen
dengan kriteria hasil :
□ Monitor kemampuan batuk efektif
SLKI : Pertukaran Gas
□ Monitor adanya produksi sputum

41
□ Tingkat kesadaran □ Monitor adanya sumbatan jalan napas

meningkat □ Monitor frekuensi, irama, kedalaman

□ Tidak adanya dispnea dan upaya napas

□ Tidak adanya bunyi □ Monitor pola napas (bradipnea,

napas tambahan takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,

□ Tidak adanya takikardia Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)

□ Tidak adanya pusing □ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

□ Penglihatan tidak kabur □ Auskultasi bunyi napas

□ Tidak adanya diaforesis □ Monitor hasil x-ray toraks

□ Tidak gelisah Terapeutik

□ Tidak menggunakan
□ Atur interval pemantauan respirasi
pernapasan cuping
sesuai kondisi pasien
hidung
□ Dokumentasikan hasil pemantauan
□ PCO2 dalam batas
Edukasi
normal (33 mmHg – 45
□ Jelaskan tujuan dan prosedur
mmHg)
pemantauan
□ PO2 dalam batas normal
□ Informasikan hasil pemantauan, jika
(75 mmHg – 100
perlu
mmHg)
SIKI : Terapi Oksigen
□ pH arteri dalam batas

normal (7,35-7,45) Observasi

□ Tidak terjadi sianosis □ Monitor kecepatan aliran oksigen


□ Pola napas membaik □ Monitor posisi alat terapi oksigen

42
□ Warna kulit membaik □ Monitor aliran oksigen secara

periodik dan pastikan fraksi yang

diberikan cukup

□ Monitor efektifitas terapi oksigen

(misal oksimetri, AGD), jika perlu

□ Monitor kemampuan melepaskan

oksigen saat makan

□ Monitor tanda-tanda hipoventilasi

□ Monitor tanda dan gejala toksikasi

oksigen dan atelektasis

□ Monitor tingkat kecemasan akibat

terapi oksigen

□ Monitor integritas mukosa hidung

akibat pemasangan oksigen

Terapeutik

□ Bersihkan sekret pada mulut hidung

dan trakea, jika perlu

□ Pertahankan kepatenan jalan napas

□ Siapkan dan atur peralatan pemberian

oksigen

□ Berikan oksigen tambahan, jika perlu

43
□ Tetap berikan oksigen saat pasien

ditransportasi

□ Gunakan perangkat oksigen yang

sesuai dengan tingkat mobilitas pasien

Edukasi

□ Ajarkan pasien dan keluarga cara

menggunakan oksigen di rumah

Kolaborasi

□ Kolaborasi penentuan dosis oksigen

□ Kolaborasi penggunaan oksigen saat

aktivitas atau tidur

4. Hipotermia Setelah dilakukan asuhan SIKI : Manajemen Hipotermia

keperawatan selama ... x ...


Observasi
jam diharapkan hipotermia
□ Monitor suhu tubuh
dapat teratasi dengan kriteria
□ Identifikasi penyebab hipotermia
hasil :
(mis. Terpapar suhu lingkungan
SLKI :
rendah, pakaian tipis, hipotalamus,

□ Tidak menggigil penurunan laju metabolism,

□ Suhu tubuh normal kekurangan lemak subkutan)

(36,6°C - 37°C) □ Monitor tanda dan gejala akibat

□ Tidak terjadi hipotermia (Hipotermia ringan :

akrosianosis takipnea, disartria, menggigil,

44
□ Tidak ada bradikardi hipertensi, diuresis. Hipotermia

□ Dasar kuku tidak sedang : aritmia, hipotensi, apatis,

sianotik koagulopati, reflex menurun.

□ Tidak ada hipoksia Hipotermia berat : oliguria reflex

□ Tidak ada kutis menghilang, edema paru, asam – basa

memorata abnormal)

Terapeutik

□ Sediakan lingkungan yang hangat

(mis. atur suhu ruangan, inkubator)

□ Ganti pakaian dan/atau linen yang

basah

□ Lakukan penghangatan pasif (mis.

selimut, menutup kepala, pakaian

tebal)

□ Lakukan penghangatan aktif eksternal

(mis. kompres hangat, botol hangat,

selimut hangat, perawatan metode

kangguru)

□ Lakukan penghangatan aktif internal

(mis. infus cairan hangat, oksigen

45
hangat, lavase peritoneal dengan

cairan hangat)

Edukasi

□ Anjurkan makan/minum hangat

SIKI : Perawatan Kanguru

Observasi

□ Monitor faktor orang tua yang

mempengaruhi keterlibatannya dalam

perawatan terapeutik

Terapeutik

□ Pastikan status fisiologi bayi

terpenuhi dalam perawatan

□ Sediakan lingkungan yang tenang,

nyaman, dan hangat

□ Berikan kursi pada orang tua, jika

perlu

□ Posisikan bayi terlungkup tegak lurus

di dada orang tua

□ Miringkan kepala bayi ke salah satu

sisi kanan atau kiri dengan kepala

sedikit tengadah (ekstensi)

46
□ Hindari mendorong kepala bayi fleksi

dan hiperekstensi

□ Biarkan bayi telanjang hanya

mengenakan popok, kaus kaki, dan

topi

□ Posisikan panggul dan lengan bayi

dalam posisi fleksi

□ Posisikan bayi diamankan dengan

kain panjang atau pengikat lainnya

□ Buat ujung pengikat tepat berada

dibawah kuping bayi

Edukasi

□ Jelaskan tujuan dan prosedur

perawatan kanguru

□ Jelaskan keuntungan kontak kulit ke

kulit orang tua dan bayi

□ Anjurkan orang tua menggunakan

pakaian yang nyaman dengan bagian

depan terbuka

47
11. Implementasi Keperawatan
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan
resusitasi. Upaya resusitaasi yang efesien dan efektif berlangsung melalui rangkaian
tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Penilaian untuk
melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu :
a. Penafasan
b. Denyut jantung
c. Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau
membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan
menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera
ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan
positif (VTP).
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu :
a. Dua helai kain / handuk.
b. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk
kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala
bayi.
c. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
d. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
e. Kotak alat resusitasi.
f. Jam atau pencatat waktu.
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
sebagai ABC resusitasi, yaitu :
a. Memastikan saluran terbuka
1) Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
2) Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
3) Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.

48
b. Memulai pernafasan
1) Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
2) Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
c. Mempertahankan sirkulasi
1) Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
2) Kompresi dada.
3) Pengobatan

Langkah-Langkah Resusitasi
a. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan
selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
b. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
c. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
d. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih
kemudian lanjutkan ke hidung.
e. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-
usap punggung bayi.
f. Nilai pernafasan Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6
detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah
/ sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100
x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
4) Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
5) Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag
atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi
mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV
40 – 60 x / menit.
6) Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan
10.
a) 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
b) 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
c) 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai
kompresi jantung.

49
d) < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
e) Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi
jantung :
a. Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh
bayi.
b. Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh
bayi.
c. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
d. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
e. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 :
10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
f. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
g. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas
tiap 3 – 5 menit.
h. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg
BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007)
Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua
faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
a. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat terjadi
tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat
diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
b. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum
antara lain :
1) Alat pemanas siap pakai
2) Oksigen
3) Alat pengisap
4) Alat sungkup dan balon resusitasi
5) Alat intubasi
6) Obat-obatan

50
Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
a. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
b. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus
dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
c. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai
suatu tim yang terkoordinasi.
d. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya
ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
e. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap
pakai.
Implementasi adalah suatu tindakan yang kita lakukan untuk mengaplikasikan
intervensi atau rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya sesuai dengan kondisi
pasien, adapun yang harus diperhatikan adalah :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Meningkatkan konsep diri dan penerimaan situasi
c. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, resiko komplikasi dan
kebutuhan pengobatan lainnya
12. Evaluasi Keperawatan
Pada akhir pelaksanaan asuhan keperawatan didapatkan evaluasi. Evaluasi adalah
membandingkan suatu hasil / perbuatan dengan standar untuk tujuan pengambilan
keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai.
a. Evaluasi keperawatan : membandingkan efek / hasil suatu tindakan keperawatan
dengan norma atau kriteria tujuan yang sudah dibuat.
b. Tahap akhir dari proses keperawatan.
c. Menilai tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak.
d. Menilai efektifitas rencana keperawatan atau strategi askep.
e. Menentukan efektif / tidaknyatindakan keperawatan dan perkembangan pasien
terhadap masalah kesehatan.
Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi status dan kemajuan klien
terhadap pencapaian hasil setiap hari. Tujuan evaluasi adalah untuk menentukan

51
seberapa efektifnya tindakan keperawatan itu untuk mendegah atau mengobati respon
manusia terhadap prosedur kesehatan.
Adapun evaluasi yang diharapkan pada kasus asfiksia pada neonatorum sesuai
dengan diagnosa yang diangkat adalah :
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
Kriteria hasil :
1) Respirasi dalam batas normal
2) Irama pernafasan teratur
3) Kedalaman pernafasan normal
4) Tidak ada akumulasi sputum
b. Ketidakefektifan Pola Jalan Nafas
Kriteria hasil :
1) Respirasi dalam batas normal
2) Irama pernafasan teratur
3) Kedalaman pernafasan normal
4) Suara perkusi dada normal (sonor)
5) Retraksi otot dada
6) Tidak terdapat orthopnea
7) Taktil fremitus normal antara dada kiri dan dada kanan
8) Ekspansi dada simetris
9) Tidak terdapat akumulasi sputum
10) Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas
c. Gangguan Pertukaran Gas
Kriteria hasil :
1) PaO2 dalam batas normal (80-100 mmHg)
2) PaCO2 dalam batas normal (35-45 mmHg)
3) pH normal (7,35-7,45)
4) SaO2 normal (95-100%)
5) Tidak ada sianosis
6) Tidak ada penurunan kesadaran
d. Hiportemia
Kriteria hasil :
1) Berat badan normal

52
2) Tidak menggigil
3) Perpindahan dari inkubator ke box bayi
4) Irama nafas teratur
5) Tidak dehidrasi
6) Kadar bilirubin dalam darah normal.

53
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi proses
persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu.
Penyebab ketuban pecah dini karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya
tekanan intra uterin atau kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran
disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan servik

Partus prematurus atau persalinan prematur dapat diartikan sebagai dimulainya


kontraksi uterus yang teratur yang disertai pendataran dan atau dilatasi servix serta
turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang
dari 259 hari) sejak hari pertama haid terakhir. Persalinan prematur menunjukkan adanya
kegagalan mekanisme yang bertanggung jawab untuk mempertahankan kondisi tenang
uterus selama kehamilan atau adanya gangguan yang menyebabkan singkatnya kehamilan
atau membebani jalur persalinanan normal sehingga memicu dimulainya proses persalinan
secara dini. Empat jalur terpisah, yaitu stress, infeksi, regangan dan perdarahan

B. Saran
Melalui makalah yang berjudul Kegawatdaruratan pada Obstesetric Gynekologi:
Ketuban Pecah Dini dan Partus Premature penulis berharap dapat membantu pembaca
dalam menambah wawasan tentang kegawatdaruratan ketuban pecah dini dan partus
premature serta penulis berharap melaluis makalah ini pembaca dapat mengetahui
penatalaksanaan yang tepat.

54

Anda mungkin juga menyukai