Disusun Oleh :
Sheren Regina (406182182)
Pembimbing :
dr. Johan Lucas H. Sp. B
Abstrak
Pendahuluan:
Cedera tumpul panggul sering dihubungkan dengan fraktur pelvis dan cedera
pada rektum dan sistem genitourinari. Fraktur pelvis dapat menyebabkan
perdarahan yang mengancam nyawa, penyebab umum morbiditas dan
mortalitas pada trauma. Identifikasi awal pada pasien dengan fraktur pelvis yang
berrisiko perdarahan berat membutuhkan pengendalian perdarahan segera
adalah penting. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui faktor awal yang
memprediksi kebutuhan intervensi pengendalian perdarahan pada trauma
tumpul pelvis.
Metode:
Rekam medis 1760 pasien trauma ditinjau secara retrospektif antara Januari
2013 dan Juni 2018. 187 pasien berusia lebih dari 15 tahun dengan fraktur
pelvis karena trauma tumpul dimasukkan ke dalam penelitian. Klasifikasi fraktur
pelvis berdasarkan Orthopedic Trauma Association. Model regresi logistik
multivariat digunakan untuk menentukan prediktor independen kebutuhan
intervensi pengendalian perdarahan.
Hasil:
Tipe fraktur pelvis paling umum adalah tipe A (54.5%), diikuti tipe B (36.9%)
dan C (8.6%). Diantara 187 pasien, 48 (25.7%) membutuhkan intervensi
pengendalian perdarahan pelvis. Intervensi paling sering dilakukan pada pasien
dengan fraktur tipe B (54.2%). Analisa multivarian regresi logistik menunjukan
pola fraktur tipe B (OR = 4.024, 95% CI = 1.666-97.39, p = 0.002) dan C (OR =
7,077, 95% CI = 1.781028.129, p = 0,005), penurunan suhu tubuh (OR = 2.275,
95% CI = 0.134-0.567, p<0.001) dan peningkatan serum laktat (OR = 1.234, 95%
CI = 1.061-1.435, p = 0,006) merupakan faktor yang memprediksi kebutuhan
intervensi pengendalian perdarahan pada pasien dengan trauma tumpul pelvis.
Kesimpulan: Pasien dengan fraktur tipe A dan B, hipotermi atau peningkatan
serum laktat merupakan dalam risiko perdarahan dan membutuhkan intervensi
pengendalian perdarahan pelvis.
Pendahuluan
Cedera pelvis sering terjadi, hampir 9% dari semua pasien dengan trauma
tumpul. Cedera pelvis yang terjadi dari mekanisme dengan tinggi energi seperti
jatuh dari ketinggian atau tabrakan lalu lintas seringkali dihubungkan dengan
fraktur pelvis dan cedera pada rektum dan sistem genitourinari. Derajat
keseriusan fraktur pelvis terletak pada kemungkinan terjadinya hematoma
retroperitoneal dan syok hemoragik. Kebanyakan perdarahan pelvis terjadi dari
tempat vena dan fraktur (85%). Pada pasien dengan cedera berat pelvis yang
tidak stabil secara hemodinamik, perdarahan arteri sering terjadi. Laju
mortalitas rata-rata pada pasien dengan fraktur cincin pelvis 8%-13.5%. Fraktur
pelvis dengan instabilitas hemodinamik dihubungkan dengan insiden tinggi
cedera vaskular pelvis dan perdarahan, laju mortalitas sebesar 30%-57%.
Perkembangan stabilisasi pelvis dengan cepat oleh fiksasi eksternal atau
pelvic binding, dan hemostasis dengan embolisasi angiografik, rescuscitative
endovascular balloon occlusion or preperitoneal pelvic packing telah menurunkan
laju mortalitas pada cedera berat pelvis. Namun, deteksi awal perdarahan tidak
mudah pada fraktur pelvis. Pada taruma tumpul pelvis pada instabilitas
hemodinamik, susah untuk mencapai hemostasis adekuat.
Oleh karena itu, pengenalan awal perdarahan penting karena dapat
meningkatkan laju kesuksesan tatalaksana non-bedah seperti angioembolisasi,
dan apabila terdapat indikasi pembedahan, pembedahan yang awal mempunyai
prognosis lebih baik. Apabila proses perdarahan dan koagulopati meningkat,
tidak ada tatalaksana yang diharapkan dapat menghasilkan hasil klinis yang
baik. Sehingga, tujuan penelitian ini untuk mengeathui faktor-faktor dini dalam
memprediksi kebutuhan interveni pendengalian perdarahan pada pasien dengan
trauma tumpul pelvis.
Metode
Pemilihan pasien dan pengumpulan data
Selatan dari Januari 2013 - Juni 2018. Dari 1870 pasien trauma >15 tahun,
patien dengan cedera penetrasi dieksklusikan (n = 82). Pada pasien dengan
trauma tumpul tanpa fraktur pelvis (n = 1184), yang di evaluasi pada rumah
sakit lain (n = 252), meninggal dalam beberapa menit setelah kedatangan di IGD
(n = 45) dan yang dirujuk ke rumah sakit lain (n = 10) dieksklusikan. Sehingga,
penelitian dilakukan dengan total 187 pasien. Pasien dibagi menjadi mereka
yang tidak dibawah intervensi pengendalian perdarahan dan yang dilakukan
intervensi. Intervensi pengendalian perdarahan termasuk angioembolisasi,
fiksasi eksternal atau preperitoneal pelvic packing.
Variabel Klinis
Variabel yang dianalisa mencakup jenis kelamin, usia, mekanisme cedera,
tanda-tanda vital, skor GCS, penggunaan antikoagulasi, skor Abbreviated Injury
Scale, Injury Severity Score, skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
II, analisa gas darah (pH, base excess, nilai laktat). Foto radiografi pelvis setiap
pasien dibagi menjadi tiga klasifikasi fraktur pelvis, tipe A, B, dan C berdasarkan
Orthopedic Trauma Association. Klasifikasi berdasarkan penemuan dokter bedah
trauma dan bedah ortopedi, yang didukung oleh penemuan pembedahan dan
radiologi.
Analisa statistik
Analisa statistik dilakukan dengan SPSS Statistics 23.0. Data kategori
ditampilkan sebagai angka (%) dan dibandingkan dengan chi-square atau
Fisher's exact test. Variable kontinu ditampilkan sebagai standard deviasi rata-
rata atau median (kuartil 25 dan 75), dan dibandingkan antara dua kelompok
menggunakan Student t-test atau Mann-Whitney U Test. Faktor yang ditemukan
secara signifikan berhubungan dengan kebutuhan intervensi perdarahan pada
analisa univariat, dimasukkan kedalam analisa multivarit. Model regresi logistik
dilakukan dengan metode kemungkinan terbesar dan backward stepwise
selection. Kecocokan data dianalisa dengan test Hosmer-Lemeshow. Odds ratio
diberikan dengan 95% confidence intervals. P value < 0.05 dianggap signifikan
secara statistik.
Hasil
Pasien
Dari total 187 pasien, 48 menjalankan intervensi pengendalian
perdarahan dan 139 tidak menjalani intervensi. Rasio jenis kelamin 125:62 laki-
laki terhadap perempuan. Tidak ada perbedaan signifikan antara kedua
kelompok dalam pengunaan antikoagulan (p = 0.530). Saat diklasifikasikan
berdasarkan mekanisme cedera, cedera pejalan kaki akibat kecelakaan motor
merupakan paling sering dikedua kelompok, diikuti dengan karena jatuh.
Namun, tidak ada perbedaan signifikan diantara kelompok yang mendapatkan
intervensi dan tidak (p = 0.497).
Pembahasan
Cedera tumpul pelvis karena mekanisme high-energy sering dikaitkan
dengan fraktur pevis dan cedera pada rektum dan sistem genitourianri.
Keseriussan fraktur pelvis terletak pada kemungkinan terjadinya hematoma
retroperitoneal dan shok hemoragik. Fraktur pelvis yang tidak stabil
dihubungkan dengan perdarahan berat, yang merupakan penyebab utama
kematian pad apasien dengan fraktur pelvis berat. Pada penelitian, pasien
dengan perdarahan pelvis memiliki laju mortalitas yang tinggi dibandingkan
tanpa perdarahan pelvis. Pasien dengan fraktur pelvis juga memiliki nilai
keparahan yang berhubungan dengan trauma seperti GCS, ISS, RTS dan TRISS
lebih tinggi pada kelompok intervensi pengendalian perdarahan. Sehingga,
pasien trauma yang membutuhkan intervensi segera atau pemebedahan untuk
perdarahan yang berlangsung memiliki kesempatan yabg lebih tinggi bila waktu
antara cedera dan intervensi pengendalian perdarahan diminimalisasi.
Perkembangan terakhir stabilisasi cepat pelvis dengan fiksasi eksternal
atau pelvic binding dan hemostasis dengan embolisasi angiografi, resuscitative
endovascular balloon occlusion atau preperitoneal pelvic packing telah
menurunkan laju mortalitas pada cedera berat pelvis. Namun, deteksi awal
perdarahan tidak mudah pada fraktur tumpul pelvis. Walau terdapat perdarahan
pada pasien cedera berat yang sampai di rumah sakit, tanda vital pasien dapat
tidak menunjukan perubahan tipikal pada periode awal setelah cedera. Pada
trauma pelvis dengan instabilitas hemodinamik, sulit untuk mencapai
hemostasis adekuat. Sehingga, prediksi cepat dan awal untuk kebutuhan
intervensi pengendalian perdarahan pada cedera pelvis penting.
Pada penelitian, fraktur tipe B dan C merupakan faktor independen yang
memprediksi kebutuhan intervensi pengendalian perdarahan pada pasien
trauma pelvis. Fraktur tipe B dan C menunjukan pola fraktur pelvis termasuk
instabilitas cincin posterior pelvis. Fraktur tipe B disebabkan kekuatan
rotasional yang menyebabkan gangguan parsial kompleks sakroiliac posterior.
Gangguan komplit kompleks posterior terjadi pada fraktur tipe C, tidak stabil
secara rotasional dan vertikal. Pada penelitian ini, kebutuhan untuk intervensi
awal pengendalian perdarahan 4 dan 7 kali lipat lebih tinggi untuk fraktur tipe B
dan C dibanding untuk fraktur tipe A.
Walau pasien dengan cedera cincin pelvis mungkin tidak terdapat
perdarahan signifikan, risiko perdarahan meningkat dengan derajat instabilitas
cincin posterior pelvis. Manson et al. melaporkan bahwa kebutuhan transfusi
dan mortalitas lebih tinggi pada instabilitas cincin posterior dibanding fraktur
pelvis tanpa terlibatnya struktur posterior, dan ini menyarankan bahwa
peregangan dan robekan jaringan lunak seperti arteri dan vena, sekitar cincin
posterior pelvis menunjukan instabilitas perdarahan lebih besar pada kompresi
lateral III, kompresi anterior-posterior III dan pergeseran vertikal. Costantini et
al. dengan serupa mengatakan terdapat kebutuhan lebih tinggi untuk intervensi
pengendalian perdarahan pada instabilitas cincin posterior pelvis, seperti
kompresi anterior-posterior III atau fraktur terbuka pelvis. Pada panduan,
marker perdarahan pelvis juga termasuk deformasi anterior-posterior dan
pergeseran vertikal pada rontgen standar.
Dalam penelitian ini, pola fraktur pelvis dievaluasi dengan radiografi
pelvis. CT telah menggantikan radiografi dalam mengklasifikasi fraktur pelvis. CT
dengan kontras juga membantu mendiagnosa hematoma pelvis dan ekstravasasi
aktif kontras. Multidetektor CT memiliki waktu akusisi yang singkat yang
memungkinkan untuk identifikasi cepat dan penilaian perdarahan pelvis. Namun
CT tidak dapat dilakukan untuk semua pasien dan bergantung pada sitausi,
seperti instabilitas hemodinamik atau tidak adanya sumber daya.
Meskipun evaluasi sendi sakrum dan sakroiliac terkadang terbatas pada
radiograf portabel anteroposterior, radiografi pelvis merupakan salah satu alat
yang dapat memperlihat pola fraktur pelvis dan umumnya idlakukan sebagai
pemeriksaan awal. Radiografi pelvis pada pasien tidak stabil secara
hemodinamik, dapat membantu mengidentifikasi cedera cincin pelvis yang
mengancam nyawa.
Pola fraktur pelvis diklasifikasikan sebagai tipe A, B dan C dengan
klasifikasi OTA, berdasarkan stabilitas fraktur, terutama stabilitas lesi posterior.
Fraktur tidak stabil pelvis lebih sering dihubungkan dengan perdarahan.
Klasifikasi OTA lebih mudah digunakan untuk mengklasifikasi fraktur pelvis
dibandingkan klasifikasi Young-Burgess, yaitu berdasarkan mekanisme cedera.
Klasifikasi Young-Burgess tidak dapat digunakan sebagai panduan kebutuhan
transfusi dan kebutuhan untuk angiografi dan embolisasi.
Pada analisa regresi multivariat, suhu tubuh secara signifikan rendah
dalam kelompok intervensi. Dalam kata lain, hipotermi merupakan prediktor
kebutuhan intervensi pengendalian perdarahan. Hipotermia umum pada korban
trauma dan dihubungkan dengan peningkatan risiko perdarahan berat dan
peningkatan mortalitas. Pada penelitan Gentilello et al, kelompok pasien trauma
dengan suhu 34.5°C menghasilkan mortalitas 100% ketika gagal dihangatkan
menjadi 36°C. Sehingga, penghangatan dan eutermia pada pasien trauma dengan
fraktur pelvis sangat penting.
Pedoman saat ini menyarankan antara serum laktat atau pengukuran
defisit basa sebagai uji sensitive untuk mengestimasi dan memonitor tingkat
perdarahan dan syok. Sebagai tambahan, pengukuran serial parameter tersebut
dapat digunakan untuk memonitor respons terhadap terapi. Jumlah laktat
diproduksi oleh glikolisis anerobik adalah penanda secara tidak langsung akan
kekurangan oksigen, hipoperfusi jaringan dan keparahan syok hemoragik. Hasil
defisit basa yang berasal dari analisa gas darah juga merupakan estimasi indirek
asidosis jaringan secara umum karena perfusi yang terganggu. Laktat dan defisit
basa sering disebutkan pada penelitian sebagai nilai prediktif berhubungan
dengan perdarahan pada pasien trauma dengan fraktur pelvis. Pada penelitian
ini, serum laktat merupakan sebagai prediktor independen untuk kebutuhan
intervensi pengendalian perdarahan. Pada penelitian lain, kadar awal serum
laktat dan klirens laktat setelah 6 jam diidentifikasi sebagai faktor risiko
independen untuk mortalitas pada pasien trauma. Peningkatan kadar serum
laktat juga dihubungkan dengan perdarahan hebat pada fraktur cincin pelvis dan
kadar serum laktat yang terukur saat periode pre-hospital ditemukan
berhubungan dengan outcome klinis pada pasien trauma.
Penelitian dengan analisa multivariat logistik regresi dilakukan dengan
pengunaan antikoagulan sebagai prediktor potensial. Tidak terbantahkan bahwa
antikoagulan dapat memperparah perdarahan pada pasien trauma. Namun,
walau signifikansi klinis antikoagulan, hasil akhir tidak berubah apabila
pengunaan antikoagulan digunakan atau tidak pada analisis tersebut. Sehingga,
hasil harus diinterpretasi dengan hati-hati dan digunakan pada kontext yang
lebih luas terhadap kondisi klinis pasien, clinical setting dan faktor individual.
Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian ini. Pertama merupakan
penelitian retrospektif. Kedua, mungkin sulit untuk menggeneralisasi hasil
penelitian ini karena merupakan penelitian single-center. Ketiga, kekuatan
statistik tidak cukup karena jumlah subjek yang sedikit. Sehingga, penelitian
multi-center diperlukan untuk mengatasi keterbatasan ini.
Kesimpulan
Fraktur tipe B dan C, hipotermi dan peningkatan kadar laktat merupakan faktor
independen dalam memprediksi kebutuhan pengendalian perdarahan pada
pasien dengan trauma tumpul pelvis. Fraktur tipe B dan C lebih besar
kemungkinanya untuk berhubungan dengan cedera vaskular dibanding tipe A.
Hipotermi juga diketahui memperparah koagulopati. Laktat merupakan penanda
perfuusi jaringan sistemik dan meningkat dalam kasus hipoperfusi jaringan
seperti syok hemoragik. Ketiga faktor tersebut mencerminkan keparahan dan
terjadinya perdarahan pada pasien dengan trauma tumpul pelvis. Sehingga,
prediktor dapat membantu dalam membuat keputusan mengenai
penatalaksanaan fraktur pelvis dengan perdarahan.
Telaah Kritis
1. Pendahuluan
Cedera pelvis sering terjadi, hampir pada 9% pasien trauma tumpul.
Cedera pelvis akibat jatuh dari ketinggian atau tabrakan lalulintas sering
dihubungkan dengan fraktur pelvis dan cedera pada rektum dan sistem
genitourinari. Perdarahan sering terjadi karena perdarahan vena dan di tempat
fraktur tersebut. Mortalitas karena fraktur cincin pelvis sekitar 8-13% dan akan
lebih tingga, 30-57%, bila disertai cedera vaskular pelvis dan perdarahan pada
pasien yang secara hemodinamik tidak stabil.
Perkebangan terakhir mengenai stabilisasi cepat pelvis dengan fiksasi
eksternal atau pelvic binding dan dari hemostasis dengan embolisasi angiografi,
rescuscitative endovascular balloon occlusion atau preperitoneal pelvic packing
telah menurunkan laju mortalitas pada cedera berat pelvis.
Menteahui perdarahan secara dini penting karena dapat meningkatkan
angka kesuksesan tatalaksana non-bedah seperti angioemboisasi, dan apabila
dilakukan bedah, bedah yang awal memiliki prognosis lebih baik. Tujuan
penelitian ini merupakan untuk mengeathui faktor-faktor awal yang
memprediksi kebutuhan untuk intervensi pengendalian perdarahan pada pasien
dengan trauma tumpul pelvis.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan
- Penelitian merupakan retrospektif, tidak mencari hubungan sebab-akibat.
- Penelitian juga dilakukan single-center, sehingga jumlah pasien terbatas dan
dapat tidak mewakili populasi.
- Dapat terjadi bias informasi, karena penelitian ini berdasarkan pengambilan
hasil rekam medis
Kesimpulan
1. Penelitian Manson et al. menyatakan bahwa kebutuhan transfusi dan
mortalitas lebih tinggi secara signifikan pada instabilitas cincin posterior
dibanding graktur pelvis tanpa keterlibatan struktur posterior
2. Penelitian Costantini et al. menyatakan terdapat kebutuhan untuk intervensi
pengendalian perdarahan lebih tinggi pada instabilitas cincin pelvis posterior,
seperti kompresi III anterior-posterior atau fraktur terbuka pelvis.
3. Penelitian Gentilello et al. mendapatkan bahwa kelompok pasien trauma
dengan suhu rata-rata 34.5°C menunjukan mortalitas sebesar 100% ketika gagal
dinaikkan menjadi 36°C.
4. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa kadar inisial serum laktat dan
klirens laktatt setelah 6 jam merupakan risiko independen untuk mortalitas
pada pasien trauma.