Anda di halaman 1dari 6

Aku menahan napas saat layar ponselku berkedip yang diiringi getaran. Bukan.

Aku
bukan takut dengan layar hidup-mati di gelap ruangan. Napasku tertahan karena
nama yang tertera
“Astaga, ngapain dia nelpon malem-malem gini?” ucapku cemas setelah melihat jam
yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima belas menit
Namun setelahnya aku tersadar. Mengapa aku harus ketakutan seperti ini. Zean. Ia
yang sedang menunggu aku menjawab panggilannya
Dengan tangan gemetar aku menggeser tombol hijau. “Kenapa, Ze?” tanyaku setelah
mengumpulkan napas
Terdengar suara bising dari ujung sana. “Ra” panggilnya pelan. Aku mengangkat
sebelah alisku “Iya?” tanyaku lagi
“Nggak bisa tidur” ucapnya setelah terdiam beberapa saat. Aku mengatupkan bibir.
Rasanya aku ingin menjitak kepalanya sekarang juga
“Kepikiran terus sih” lanjutnya. Aku merebahkan diriku. Selimut ku naikkan hingga
bawah dagu. “Kepikiran apa?” tanyaku
“Lo” jawabnya lalu terkekeh. Aku berdecak kesal “Nggak usah ngaco deh. Kalo mau
tidur, tidur aja” ucapku kesal
“Karena nggak bisa tidur mangkanya telpon lo” ucapnya mulai ngaco. “Tidur aja.
Tutup matanya. Besok sekolah loh” ingatku
Helaan napas terdengar masuk ke telingaku “Ya udah, gue tidur” ucapnya lalu diam
beberapa saat
Aku yakin pasti Zean sudah terlelap dan mulai berpetualang ke alam mimpi. Aku
menekan tombol end dan ikut tertidur
Inilah kisahku. Kisah sementara yang entah sampai kapan harus seperti ini. Aku
hanya berharap agar bisa berdiri di sampingnya. Bukan di samping yang lain
***
“Pagi, Pa” sapaku dengan papa yang sedang membaca koran sambil meminum kopi
hitamnya
Orangtuaku cerai tiga tahun yang lalu. Mamaku memilih kakakku untuk pergi
bersamanya dan aku ditinggal dengan papa
Sampai sekarang aku belom mengunjungi mama sejak tiga tahun yang lalu. Dengan
alasan yang pasti. Kehilangan kontak
Namun aku bangga dengan papa. Ia berusaha sebaik mungkin menjadi single parents
untukku disela pekerjaannya yang menumpuk
“Sayang, papa lusa harus ke Jogja. Maaf baru ngabarin kamu sekarang”
Dan juga papa sering pergi ke luar kota sebagai kesibukannya untuk melupakan tiga
tahun yang lalu
Aku mengangguk mengerti “Nggak pa-pa. Jangan lupa bawain Kara oleh-oleh aja”
ucapku bercanda
Papa mengangguk lalu bertanya tentang sekolahku dan bagaimana aku di sekolah.
Suara klakson mobil membuatku bergegas meneguk susu coklat hangat
“Kara berangkat, pa” pamitku sambil mencium pipinya sekilas. Aku mengambil
sepatu hitam di rak sepatu
“Pagi, temennya Zean” sapa Zean dari kaca mobil yang terbuka. Aku tersenyum lalu
duduk di samping kursi kemudi
“Pagi juga temennya Kara” balasku sambil memakai seat belt. Zean mulai menekan
pedal gas hingga mobil hitam ini berjalan meninggalkan rumahku
“Lo kenapa semalam telpon aku? Mau tidur juga” tanyaku kesal karena semalam.
Zean nyengir lalu menggelengkan kepalanya. “Iseng aja”balasnya
“Ra, lo ikut nggak?” tanyanya tiba-tiba. Aku diam menunggunya melanjutkan
kalimatnya. Namun tidak kunjung dilanjutkan
“Ikut apa?” tanyaku kemudian. “Reuni SMP” jawabnya cepat. Aku memutar kedua
bola mataku. Dasar anak aneh
“Ikutlah, gue mau ketemu sama Sena” balasku langsung bersemangat. Arsena
Davenda, teman sebangkuku saat SMP yang sering mengajakku berantem dengan
Keira
“Lo? Mau ketemu David?” tanyaku lagi karena dia diam saja. Dia mengangguk sekilas
“Yang lain juga” sambungnya
“Eh, gue mau tahu nanti. David bareng Belva nggak, ya datengnya?” heranku sendiri.
Karena yang aku tahu, teman sekelasku itu—Belva—tertarik pada David
“Kata anak sekolahan dia, udah jadian malah” ucap Zean membuatku kaget setengah
mati. “ASTAGA!” teriakku spontan
Zean memarkirkan mobilnya di tempat biasa, di bawah pohon mangga. Aku
membuka pintu lalu merapikan sedikit seragam batikku dan rambutku yang memang
selalu kuurai
Kelas kami berbeda. Aku di A-2 dan Zean di A-5. Karena arah kelas kami satu arah
dan kelasku duluan, kami lebih sering berjalan bersama menuju kelas
“Gue duluan, Ze” ucapku pada Zean lalu segera masuk ke kelas. Sebelumnya, ia
sempat mengajakku tos. Aku berjalan menuju barisan depan meja guru dan duduk di
kursi paling belakang.
Di sampingku, Hani sedang sibuk dengan kukunya. “Bareng Zean lagi?” tanyanya
tanpa meihatku
Radesya Hania, temanku sejak awal MOS sekolah
Aku diam saja. Mungkin dia sudah tahu apa jawabannya. Hani meletakkan kikiran
kukunya “Ra, lo kapan sadar sih? Zean itu suka sama lo” ucapnya sambil menekan
kata suka
Sudah biasa Hani seperti ini. Mungkin efek terlalu banyak membaca novel, pikirku
“Ayolah, Han. Udah berapa kali lo ngulang kalimat itu?” tanyaku membuat ia
terkekeh sendiri. “Nggak pa-pa. Biar lo makin inget aja” ucapnya santai lalu kembali
mengikir kukunya
Kemudian beberapa siswa lainnya perlahan mulai mengisi kelas menjadi penuh.
“Wey, pagi Kara!” sapa Kevin ceria sambil mengajakku tos
Yang satu ini temannya Zean yang terkenal dengan sifatnya yang ceria. “Siang banget
datang” ucapku yang memang lima belas menit lagi bel akan berbunyi
Kevin duduk di kursi depanku “Udah datang dari tadi, sih. Cuma mengeratkan tali
pertemanan dulu” ucapnya lalu kami berdua tertawa
Aku melirik Hani yang menatapku sambil geleng-geleng kepala. Semua siswa
perempuan di kelas A-2 sudah tahu, bahwa aku memang dekat dengan hampir
semua siswa laki-laki
Bel masuk berbunyi dan kami segera bergegas keluar kelas. Hari ini adalah hari
Kamis. Selain aku suka memakai baju batik yang menurutku keren, aku suka dengan
kegiatan literasi
Aku mengambil novel dan selembar kertas juga pena. Seluruh siswa kelas XI dan XII
akan duduk di lapangan sesuai kelas dan membaca buku yang mereka bawa.
Seketika, seluruh penjuru sekolah menjadi hening
Tiba-tiba ada yang mencoel pundak ku. “Apa?” tanyaku lalu memutar kepalaku ke
samping. Ada Zean yang sudah menggantikan Hani sedang tersenyum sambil
menutupi wajahnya dengan buku ensiklopedia yang ia bawa
“Kenapa disini? Ini bukan barisan kelas lo” ucapku pelan. Takut kedengaran oleh guru
pengawas. Zean menggeleng “Nggak pa-pa” ucapnya lalu membaca kembali
Aku juga ikut melanjutkan membaca. Hingga fokusku kembali terpecah saat ada yang
menyenggol lenganku hingga novel yang kubaca tertutup
“Ah, sial. Halaman berapa tadi?” umpatku kesal lalu mulai mencari halaman terakhir
yang ku baca. Aku bernapas lega saat berhasil menemukannya
“Apa lagi?” tanyaku pada Zean yang masih menyenggol lenganku. Zean nyengir
dengan watados-nya “Bagi kertas dong” ucapnya
Aku menggeleng cepat “Cuma bawa selembar. Minta sama yang lain aja” ucapku
lataalu kembali melanjutkan membaca tanpa menghiraukannya lagi
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, yang artinya kegiatan literasi telah
usai. Aku langsung bangkit menuju kelas bersama Hani
“Han, lo kenapa? Bete banget keliatannya” tanyaku pada Hani yang dari tadi diam
saja. Biasanya dia akan mengajakku mengoceh
Hani yang awalnya melamun langsung tersenyum sambil menatapku “Ah, nggak pa-
pa kok” ucapnya
Aku menautkan kedua alisku, merasakan sesuatu yang mengganjal di ucapan Hani.
Mungkin firasatku saja
Seperti biasa, kegiatan belajar-mengajar langsung dilaksanakan. Dan pelajaran
pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia yang sangat membosankan
“Maaf, saya harus izin cepat hari ini. Kerjakan halaman 54 sampai 58. Saya permisi”
Setelah guru itu keluar, seisi kelas bersorak gembira. Akhirnya kelas A-2 mencatat
rekor pernah jamkos di pelajaran Bahasa Indonesia
Karena tak suka menunda pekerjaan, aku langsung mengerjakan tugas. Dengan
waktu sepuluh menit aku berhasil mengerjakan semua soal yang tentu saja di bantu
oleh Google
“Yes, tugas gue selesai” ucapku sambil merapikan meja. Kerjaan Hani selain mengikir
kuku adalah menggosip dengan teman sekelas yang lain
Aku memutar kedua bola mataku melihat tingkah Hani yang sibuk menceritakan—
sepertinya—gosip terbaru
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan mulai men-scroll instagram. Sebuah
notifikasi masuk membuatku terdiam sebentar
Erlnd.Zean : Ra?
Karadst : Knp?
Aku memang sering membalas setiap pesan yang masuk dengan singkat
Erlnd.Zean : Gpp, mau nanya aja
Karadst : Ap?
Erlnd.Zean : Di kelas ad guru gk?
Karadst : Gk ad, brusan keluar
Karadst : Ad urusan ktanya
Tiba-tiba ketukan di jendela atas membuat seisi kelas menoleh ke sumber suara. Aku
terkejut saat kepala Zean muncul di jendela
Aku segera berjalan keluar kelas. Ternyata ada Rafa yang menggendongnya. “Woy,
orangnya udah keluar. Turun, berat tau!” ucapnya
Tiba-tiba Rafa kehilangan keseimbangan hingga mereka berdua terjatuh bersama.
Rafa mendorong Zean yang posisinya di atas hingga terjatuh ke samping Rafa
“Kenapa di dorong?!” tanya Zean kesal lalu berdiri. Aku membantu Rafa yang
sepertinya gepeng ditimpa Zean
“Kok gue nggak ditolong sih?” tanya Zean merengek melihatku menolong Rafa. Aku
memutar kedua bola mataku “Lo nya aja udah berdiri” ucapku lalu membantu Rafa
duduk di kursi beton
“Gila, berat lo berapa sih? Serasa ditimpa gajah gue” ucap Rafa sambil meregangkan
ototnya. Kulihat Zean mendelik kesal, membuatku menahan tawa
“Lo-nya aja yang terlalu kurusan” balas Zean sewot. Rafa mendorong lengan Zean
hingga Zean terhuyung dan hampi menabrak seseorang jika tidak sempat
mengendalikan diri
Degup jantungku berdetak kencang melihat siapa yang lewat di depanku. Gara-gara
dia aku jadi seperti ini
“Weee, hati-hati bro” ucapnya santai lalu tertawa bersama Zean. Aku mengalihkan
wajahku, seolah menatap koridor yang sepi
“Siapa nih? Cewek lo, Ze?” saat mendengar pertanyaan itu rasanya aku ingin
langsung masuk ke kelas dan kembali membaca novel atau men-scroll instagram lagi
Aku langsung memutar kepalaku. Mataku tiba-tiba bertemu dengan mata hitam itu
lagi. Aku tersenyum membalasnya “Ze, gue masuk ya. Entar kena marah Kainan”
pamitku lalu segera berdiri masuk ke kelas
Hembusan napasku menjadi tak karuan mengikuti detak jantungku yang masih
berantakan. “Kenapa harus ada Aris” gumamku lalu menempelkan dahiku ke atas
tumpukan tangan
Perlahan, mata ku tertutup
***
“Ra” sayup-sayup aku mendengar ada yang memanggilku. Perlahan aku membuka
mata lalu mengangkat kepala. Di depanku sudah ada Zean yang menatapku dengan
cemas
“Lo sakit?” tanyanya sambil menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Aku
mendengus pelan sambil menyingkirkan tangan Zean dari dahiku
Aku mengucek mataku pelan, namun tanganku di hentikan Zean “Jangan dikucek,
entar infeksi” ucapnya membuatku hanya mengerjapkan mata saja
Keheningan melanda isi kepalaku. Walaupun ini waktu istirahat, tidak akan mungkin
sampai sehening ini. Apakah ini sudah waktu pulang? Tidak mungkin
“Bel pulang lima belas menit yang lalu” ucap Zean membuatku membulatkan mataku
kaget. “Serius?!” tanyaku tak percaya lalu mengecek jam di ponsel yang ada di atas
mejaku
Benar, sudah jam 2:17. ternyata aku tertidur hampir empat jam? Dan tidak ada yang
membangunkanku?
“Udah, lagian jam pelajaran terakhir nggak ada guru kok—“
“Tau dari mana lo?” potongku cepat sambil merapikan rambutku yang entah sudah
seperti apa bentuknya
“Lah, kan gue punya banyak mata-mata” ucap Zean asal lalu berdiri. “Yuk, lo mau
beneran nginep disini?” ajaknya
Aku menyambut tangan besar itu lalu dengan pas terkait di antara jemariku. “Eh,
minggu depan nonton gimana?” tanya Zean
Lorong di sekolah sudah sepi, beberapa lewat karena masih harus mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler
“Boleh, asal jangan anime” ucapku. Dua kali terakhir aku diajak nonton Zean, yang
tayang saat itu adalah anime, kartun Jepang
Zean nyengir “Nggak deh. Kali ini seru filmya” balas Zean. Mataku membulat saat
melihat Hani yang sedang memimpin pemanasan cheers
“Entar, gue mau ke Hani dulu” pamitku lalu segera menerobos lapangantanpa lihat-
lihat. Padahal sudah tahu kalau lapangan lagi dipake anak basket
“AWAS, RA!!” semua orang berteriak ke arahku, termasuk Hani. Aku baru sadar kalau
bola oranye meluncur cepat ke arahku. Mataku tanpa sadar terpejam
“Hampir” perlahan aku membuka mata saat mendengar suara itu. jantungku rasanya
ingin copot melihat ia tersneyum di depanku. “Eh, temen curhat gue hampir luka”
ucapnya lalu berbalik membelakangiku
“WOY, SIAPA YANG LEMPAR BOLA TADI?!!!” teriak Aris. Seorang cowok kacamata
mendekati Aris “Sorry, Ris. Niatnya mau nge-shoot malah meleset. Maaf ya, Ra”
Aku mengangguk santai. Nggak kena, nggak masalah. “Mangkanya, kalo lagi latihan
basket kacamta tuh dipake. Gaya sok-sok an tapi meleset” sayup-sayup aku masih
bisa mendengar ocehan Aris

Anda mungkin juga menyukai