Anda di halaman 1dari 15

Perbandingan Kebijakan antara Indonesia dan India dalam

Penanganganan Korupsi
disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah
Pengantar Kebijakan Publik
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Budi Winarno, M.A.
Randi Wirastama Windyatama, S.IP

Disusun oleh :
Bayu Prajanto
08/265216/SP/22661
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktik
korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun yang melibatkan
masyarakat yang lebih luas. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak
struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok
masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak.
Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan
uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga
akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai
abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di
negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih
ada praktik-praktik korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan
sosial masih sangat kuat dan control sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi
dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha
pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat
dorongan individu terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktik korupsi dan
usaha-usaha penggelapan.
Saat ini fenomena korupsi terjadi di hampir semua negara, baik negara maju maupun
negara berkembang. Namun demikian, di negara berkembang, tingkat korupsi cenderung tinggi
dibandingkan dengan negara maju. Dalam paper ini, Indonesia dan India akan dijadikan studi
kasus terkait dengan kebijakan penanganan korupsi di masing-masing negara. India sebagai
negara dengan wilayah daratan yang luas, mempunyai karakteristik permasalahan yang mirip
dengan Indonesia. Kondisi geografis menyebabkan struktur pemerintahan di India juga
bertingkat, disesuaikan dengan kebutuhan distribusi kekuasaan pada jenjang vertikal dari pusat

2
ke daerah (negara bagian) dan horizontal, mencakup seluruh wilayah pada tataran level
pemerintahan yang sama. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama juga mempunyai profil dan
struktur pemerintahan yang berjenjang. India dan Indonesia sendiri mempunyai beberapa
kemiripan antara lain adalah mengenai karakteristik geografis, populasi serta keadaan sosial
ekonomi yang mirip dengan Indonesia. Kesamaan dalam beberapa hal tersebut menjadikan
adanya hambatan yang sama pula dalam penanganan kasus korupsi. Yang menjadi perbedaannya
adalah kebijakan yang diterapakan oleh pemerintah India menunjukkan signifikansi terhadap
penurunan indeks tingkat korupsi di negara tersebut.

B. Rumusan Masalah
Paper ini akan mencoba membahas, bagaimana perbandingan kebijakan penanganan
korupsi di Indonesia dan India ?

C. Landasan Konseptual
a) Proses Implementasi Kebijakan (George C. Edwards)1:
Salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-
konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Implementasi terkait
dengan pelaksanaan kebijakan yang diteruskan oleh aparat-aparat “birokrat” kepada
masyarakat. Variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik:
- Komunikasi, dalam birokrasi atau implementator.
- Sumber-sumber, yang digunakan sebagai alat atau modal untuk melaksanakan
kebijakan.
- Tendensi pelaksana, disebut juga sikap atau karakter pelaksana terhadap kebijakan
dan kenyataan di lapangan.
- Struktur birokrasi, susunan organisasi pelaksana.
- Standard Operating Procedure (SOP), program turunan kebijakan dan mekanisme
pelaksanaan.
- Kondisi sistem politik, sosial, ekonomi, dan politik, segala situasi di dalam dan
luar negeri yang menjadi pertimbangan implementator.
b) Bureaucracy-Authoritarian (Guillermo O'Donnell)2 :
Konsepsi yang dibangun dari pengalaman Amerika Latin, dimana peran birokrasi
sebagai instrumen rezim atau pemerintah untuk mengontrol dan juga membatasi
partisipasi masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar rakyat menerima kehadiran
pemerintah dan juga kehendak pemerintah. Sehingga kekuasaan berada dalam suatu
1
Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Bab Implementasi Kebijakan Publik. hal. 174-204.
2
Daniel Dhakidae. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. hal. 229
3
oligarki kelompok tertentu khususnya militer dan pemegang kekuasaan. Secara
umum, bureaucratic-authoritarianism dicirikan oleh adanya komitmen terhadap
perbaikan ekonomi dan pembangunan, sehingga membutuhkan birokrasi yang
otoriter dan mempunyai peran yang bersifat teknokratis.
D. Hipotesis
Korupsi telah lama menjadi permasalahan yang belum bisa dilepaskan dalam kehidupan
di negara Indonesia dan India. Kedua negara ini pun telah lama melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi tingkat korupsi yang terjadi di masing-masing negara. Indonesia yang telah lama
terbelenggu dengan koruspi, mulai dari jaman kolonial, orde baru dan bahkan hingga era
reformasi ini belum sepenuhnya mampu menanggulanginya. Praktik korupsi seakan telah
menjadi sesuatu hal yang lumrah. Selain itu mengenai aspek institusional, sampai saat ini belum
tercipta koordinasi yang optimal antara institusi-institusi yang menangani kasus korupsi
berakibat pada terjadinya tumpang tindih (overlapping) kewenangan. Di pihak lain, India yang
memiliki kondisi serupa dengan Indonesia saat ini lebih unggul dalam penanganan korupsi.
Indeks korupsi India, lambat laun telah lebih baik daripada Indonesia, dimana sebelumnya
negara ini sempat menjadi negara dengan tingkat indeks korupsi yang lebih buruk dari Indonesia.
Keberhasilan ini tercapai karena didasari penekanan terhadap pentingnya good will dan political
will dari semua pihak untuk bersama-sama terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Penanganan Korupsi di Indonesia
Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak tahun
1957. Dalam perjalanannya, upaya-upaya tersebut merupakan sebuah proses pelembagaan yang
cukup lama dalam penanganan korupsi. Tercatat paling tidak ada tujuh upaya pemberantasan
yang berskala besar sejak tahun 1957 sampai dengan tahun 2002. Lima di antaranya dilakukan
sebelum masa reformasi politik pada saat berakhirnya pemerintahan Orde baru. Upaya-upaya
tersebut adalah :
1. Operasi militer khusus dilakukan pada tahun 1957 untuk memberantas korupsi di bidang
logistik.
2. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 dibentuk dengan diberikan mandat
utama untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan.
3. Pada tahun 1970 dibentuk tim advokasi yang lebih dikenal dengan nama Tim Empat yang
bertugas memberikan rekomendasi. Sayangnya rekomendasi yang dihasilkan tidak
sepenuhnya ditindak lanjuti.
4. Operasi Penertiban (Opstib) dibentuk pada tahun 1977 untuk memberantas korupsi
melalui aksi pendisiplinan administrasi dan operasional.
5. Pada tahun 1987 dibentuk Pemsus Restitusi yang khusus menangani pemberantasan
korupsi di bidang pajak.
6. Pada tahun 1999 dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) di bawah naungan Kejaksaan Agung. Di tahun yang sama pula dibentuk
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN)
7. Pada tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana KPKPN
melebur dan bergabung di dalamnya.
Sejak tahun 2002, KPK secara formal merupakan lembaga anti korupsi yang dimiliki
Indonesia. Pembentukan KPK didasari oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan undang-undang tersebut, KPK memiliki tugas
melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sementara itu, kewenangan yang dimiliki oleh
5
KPK adalah mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, KPK merupakan ujung tombak
pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, visi KPK adalah "Mewujudkan
Indonesia yang Bebas Korupsi". Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera
dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN). Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah
korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan yang
komprehensif dan sistematis. Sedangkan misi KPK ialah "Penggerak Perubahan untuk
Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi". Dengan pernyataan misi tersebut diharapkan bahwa
komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat "membudayakan" anti korupsi di
masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia.3
Dari aspek organisasi sesuai dengan Lampiran Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-
07/KKPK02/2004 Tanggal 10 Pebruari 2004, KPK dipimpin oleh seorang Ketua dan terdiri dari
Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data,
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, dan Sekretariat Jenderal.
Namun demikian, kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus
korupsi di Indonesia bukan hanya terletak di KPK saja. Saat ini lembaga Kepolisian dan
Kejaksaan juga memiliki wewenang yang sama dalam hal penyelidikan dan penyidikan.
Sedangkan Kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penuntutan di pengadilan.
Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga ini memiliki konsekuensi tertentu yang
dapat berimplikasi positif maupun negatif. Implikasi positifnya antara lain adalah kasus-kasus
korupsi dapat cepat ditangani tanpa harus menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu.
Masyarakat juga dapat melaporkan indikasi kasus dugaan korupsi kepada lembaga-lembaga
terkait baik itu KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan. Namun demikian, hal tersebut juga
berimplikasi negatif yaitu terjadinya perbedaan interpretasi terhadap satu kasus korupsi. Dimana

3
Diakses dari http://www.kpk.go.id/modules/edito/content.php?id=1 pada 22 Juni 2011
6
masing-masing lembaga memiliki persepsi yang berbeda, contohnya penuntutan yang diajukan
oleh masing-masing lembaga di peradilan tidak seragam. Masing masing memiliki argumennya
sendiri-sendiri sehingga terkadang putusan hukuman di lembaga peradilan atas kasus-kasus
korupsi relatif kurang obyektif dan tidak memuaskan rasa keadilan di masyarakat.
Upaya-upaya lain yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam mencegah korupsi
mencakup reformasi birokrasi yang menekankan keterbukaan, kesempatan yang sama dan
transparansi dalam rekrutmen pegawai negeri, kontrak, retensi dan proses promosi termasuk
remunerasi dan diklat. Selanjutnya pemerintah juga memprioritaskan reformasi sektor pengadaan
barang dan jasa yang rentan dengan praktik-praktik korupsi. Kemudian menetepkan peraturan
perundang-undangan mengenai anti pencucian uang. Perjanjian ekstradisi juga menjadi hal yang
erat kaitannya dengan penanganan kasus-kasus korupsi. Disinyalir bahwa sejumlah tersangka
koruptor di Indonesia (khususnya kasus BLBI) melarikan hasil kejahatannya ke luar negeri.
Sehingga pemerintah memandang penting untuk melakukan perjanjian ekstradisi dengan
beberapa negara. Hingga saat ini tercatat sejumlah perjanjian ekstradisi telah ditandatangani oleh
Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara lain seperti Malaysia (tahun 1975), Filipina (tahun
1976), Thailand (tahun 1978), dan terakhir Singapura (tahun 2007).4
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura sebenarnya telah diinisiasi sejak lama,
akan tetapi baru pada tahun 2007 perjanjian ekstradisi berhasil disepakati oleh kedua negara. 5
Dalam sejarahnya, perjanjian esktradisi Indonesia-Singapura dilatarbelakangi oleh kegagalan
POLRI dan Kejaksaan RI membawa pulang buronan dari Singapura di tahun 1990-an, sehingga
pemerintah kembali menggagas perjanjian ekstradisi secara lebih serius. Pada Januari 2005,
Pemerintah Indonesia kembali melakukan negosiasi dengan Singapura mengenai hal ini dan
akhirnya pada pertemuan tingkat tinggi yang dilaksanakan di Bali pada bulan April 2007
ditandatangilah sejumlah perjanjian bilateral mencakup: perjanjian ekstradisi, perjanjian
kerjasama pertahanan, dan implementing agreement. Perjanjian kerjasama pertahanan inilah
yang kemudian menjadi pro dan kontra di kalangan anggota DPR dan masyarakat.
Namun demikian, masih banyak tersangka kasus-kasus korupsi yang merugikan negara
hingga milyaran rupiah masih tidak tersentuh oleh hukum dan beberapa yang diadili malah

4
Diakses dari http://www.interpol.go.id/id/uu-dan-hukum/ekstradisi/perjanjian-ekstradisi pada 23 Juni 2011

5
Diakses dari http://www.metrotvnews.com/read/newsaudio/2007/04/27/37737/-Perjanjian-Ekstradisi-Indonesia-
Singapura-Berlaku-Surut- pada 23 Juni 2011
7
mendapatkan vonis bebas karena tidak cukup bukti. Hal ini disebabkan karena beberapa
kelemahan, antara lain adalah belum terbentuknya sistem penanganan korupsi yang terintegrasi,
belum terwujudnya sistem pengembalian aset (asset recovery) atas hasil-hasil kejahatan korupsi,
belum terbentuknya sistem kerjasama penegak hukum yang terkait dengan penanganan korupsi.
Kemudian, kelemahan-kelemahan yang terkait dengan aspek institusional ialah belum
optimalnya koordinasi antara institusiinstitusi yang menangani kasus korupsi, terjadinya
tumpang tindih (overlapping) kewenangan, dan tidak adanya prioritas penanganan kasus-kasus
korupsi, khususnya yang menjadi sorotan publik.
B. Kebijakan Penanganan Korupsi di India
India saat ini merupakan salah satu negara di dunia yang mengalami pertumbuhan
ekonomi sangat pesat. Sejak tahun 2002, India secara konsisten mengalami pertumbuhan
ekonomi rata-rata diatas 8%. Salah satu faktor utama pencapaian India di bidang ekonomi ini
adalah adanya perbaikan penanganan korupsi oleh pemerintah negara tersebut. Dalam perjalanan
negara ini, korupsi merupakan salah satu “penyakit” yang telah meluas. Aktor-aktor yang terlibat
dalam kasus korupsi di India tidak lagi pada elemen birokrat, kalangan pengusaha juga
menempatkan diri sebagai aktor baru dalam praktik korupsi. Mulai dari praktik korupsi yang
dilakukan sebuah perusahaan besar yang menipu miliaran dollar Amerika Serikat, kontrak
pengadaan kertas tisu toilet perkampungan atlet yang tidak masuk akal saat event pertandingan
olahraga antarnegara anggota persemakmuran (Commonwealth Games), sampai ke praktik
korupsi kecil-kecilan saat membuat akta kelahiran atau surat keterangan pendaftaran sekolah.
Akan tetapi, secara berkala India mampu menangani permasalahan ini. Berdasarkan data
Political and Economy Risk Consultancy (PERC), peringkat India dalam kurun waktu antara
tahun 1997-2007 selalu berada di bawah skor rata-rata Asia. Namun demikian pada rentang
waktu tahun 2005-2007 terdapat peningkatan yang sangat baik, yaitu menembus skor terbaik di
bawah 7, setelah pencapaian terbaik sebelumnya pada tahun 1998.6 Hal ini merupakan indikasi
penting dari keseriusan dan itikad yang kuat berbagai pihak di India untuk memberantas korupsi.
Penyebab korupsi di India diyakini bukan karena rendahnya gaji atau kesejahteraan
pegawai. Faktor rendahnya gaji sebegai penyebab korupsi di India adalah sebuah mitos belaka.
Justru penegakan hukum yang masih lemah menjadi faktor yang berkontribusi langsung terhadap

6
Diakses dari http://defenceforumindia.com/documentary/8864-india-ranked-6th-most-corrupt-asia-paific.html
pada 23 Juni 2011
8
level korupsi di India. Penyebab terbesar terjadinya korupsi di India adalah aktivitas politik
dalam negeri, terutama dengan adanya eventevent pemilihan umum. India dengan struktur
kelembagaan pemerintahan federal, memiliki pemerintahan yang berjenjang, dari mulai
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Pemilihan umum yang dilakukan pada
masing-masing level pemerintahan kerap membuka peluang terjadinya korupsi.
Dalam penelasan yang lebih rinci, menurut Sondhi, seorang spesialis Ilmu Politik dari
University of Delhi menulis bahwa korupsi di India terjadi akibat beberapa faktor. 7 Pertama,
patronase atau kepemimpinan politik. Dari akar permasalahan patronase politik ini, kemudian
menurunkan banyak varian praktik korupsi yang berdampak pada aktivitas politik, ekonomi dan
sosial. Sebenarnya penurunan character building di India pasca periode 1974 menyebabkan dua
akibat langsung yaitu kekerasan dan ketamakan. Perang Dunia II menjadi faktor yang
menguntungkan sebagian orang, baik secara legal maupun ilegal.
Kedua, labirin administrasi. Sistem administrasi dan hukum India didesain pada
pertengahan abad ke 19 untuk melayani kepentingan pemerintah colonial Inggris pada masa itu.
Ketiga, hukum yang lemah. Faktor yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan korupsi di
India adalah hukum dan pranatanya yang menangani kasus korupsi secara biasa saja. Tidak
muncul itikad yang kuat untuk memberantas korupsi di India. Pelaku korupsi jarang ditangkap,
kalaupun tertangkap dan diadili, hanya akan mendapat hukuman yang ringan atau malah
dibebaskan dari segala tuduhan. Keempat, lingkungan sosial. Administrasi publik sebagai sub
sistem dari sistem politik, merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yaitu sistem sosial.
Oleh karenanya sistem sosial sangat berpengaruh terhadap administrasi publik.
Mengenai kasus korupsi di India, saat ini telah dibentuk dua lembaga yang utama yaitu
Central Bureau of Investigation (CBI) dan Central Vigilance Commission (CVC). Pada awalnya
CBI berasal dari Special Police Establishment (SPE) yang dibentuk Pemerintah India pada tahun
1941. Fungsi dari SPE pada saat itu adalah untuk menyelidiki kasus-kasus penyuapan dan
korupsi dalam transaksi yang dilakukan dengan War & Supply Departement selama Perang
Dunia II.8 Selanjutnya meskipun perang telah usai, kebutuhan akan institusi yang bertugas
menyelidiki kasus suap dan korupsi yang terjadi di Pemerintah Pusat masih tetap dirasakan.

7
Sonil Sondhi, 2000. Combatting Corruption in India: The Role of Civil Society. Hal. 7

8
GP. Joshi. 2007. The Central Vigilance Commission and the Central Bureau of Investigation: A breaf history of some
development. CHRI : New Delhi. Hal 2
9
Delhi Special Police Establishment Act kemudian disahkan pada tahun 1946. Undang-undang
tersebut menyerahkan kepemimpinan SPE ke Departemen Dalam Negeri, dan kemudian
fungsinya diperlebar mencakup seluruh departemen dalam Pemerintahan India. Yurisdiksi SPE
pun diperluas ke seluruh Union Territory dan dapat ditambah ke tingkat negara bagian sepanjang
disetujui oleh pemerintah negara bagian.
Pada awalnya, CBI hanya menyelidiki pelanggaran-pelanggaran korupsi di tingkat
pemerintah pusat yang dilakukan pegawai pemerintah pusat. Namun dalam perkembangannya,
karena jumlah sektor publik terus meningkat, maka pegawai-pegawai negeri di luar pemerintah
pusat juga termasuk dalam kewenangan penyelidikan CBI, termasuk juga sektor perbankan
publik yang dinasionalisasi pada tahun 1969 beserta seluruh pegawainya. Lingkungan eksternal
yang berkembang sedemikian rupa, menyebabkan CBI tidak lagi hanya menyelidiki kasus-kasus
korupsi akan tetapi ia bertransformasi menjadi sebuah lembaga penyelidikan nasional. Sejak
tahun 1965, CBI diberikan wewenang lebih untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran yang
berdampak pada kerugian ekonomi, dan kasus-kasus kriminal konvensional penting lainnya
seperti pembunuhan, penculikan, teroris dan lain sebagainya secara selektif.9
Setelah mengalami beberapa kali perubahan baik dalam hal struktur kelembagaan dan
kewenangan, CBI India telah memainkan peranan pentingnya sebagai lembaga penyelidik yang
memperoleh kredibilitas tinggi baik dari masyarakat, parlemen, lembaga peradilan serta
pemerintah sendiri. Kelembagaan CBI telah berevolusi dari sebuah lembaga anti korupsi menjadi
sebuah lembaga kepolisian yang multi disipliner, penegak hukum dengan kapabilitas, kredibilitas
dan memiliki mandat hukum untuk menyelidiki dan menuntut tindak kejahatan (termasuk
korupsi) di seluruh India. Bahkan saat ini, CBI memiliki CBI Academy sebagai sebuah lembaga
pendidikan dan pelatihan bagi para penegak hukum untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan mereka dalam hal penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan secara hukum.
Pendidikan dan pelatihan ini dirancang untuk mengantisipasi setiap modus kejahatan yang
semakin hari semakin berkembang.
Terkait dengan penanganan kasus korupsi, pada tahun 2003, Pemerintah India
membentuk Central Vigilance Commission (CVC) dengan tujuan agar penanganan korupsi
menjadi lebih independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif. 10 Hal ini mengingat CBI
telah mengalami evolusi menjadi lembaga yang berada di bawah kekuasaan pemerintah,

9
Diakses dari http://cbi.nic.in/history/hist.php pada 23 Juni 2011.
10
sehingga perlu menjaga independensi dan obyektifitasnya. Pengawasan yang dilakukan CVC
juga meliputi institusi-institusi pemerintah pusat dalam hal perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi terhadap kewaspadaan (vigilance) dari tindak pidana korupsi yang
mungkin terjadi.

10
GP. Joshi. 2007. The Central Vigilance Commission and the Central Bureau of Investigation: A breaf history of
some development. CHRI : New Delhi. Hal 3
11
BAB III
ANALISA

Dalam melakukan perbandingan diperlukan adanya suatu indikator Perbandingan yang


jelas. Adapun indikator yang dipakai dalam analisa antara lain adalah sumber kebijakan,
komunikasi, kondisi ekonomi, sosial, politik dan struktur birokrasi. Selanjutnya terdapat pula
kecenderungan pelaksanaan serta SOP11 yang berlaku. Untuk lebih fokus dalam pembahasan,
makalah ini akan menganalisa mengenai kondisi pihak pelaksana (birokrasi) dan kondisi
eksternal.
A. Kondisi Pihak Pelaksana (Birokrasi)
Analisa pada aspek ini dapat dilihat dari bagaimana komunikasi serta SOP antar lembaga
telah terjalin dengan baik dan sesuai dengan kerangka kerja tugas masing-masing lembaga.
Apabila dilihat dari pembahasan pada bab sebelumnya, pada aspek ini India lebih baik dari
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan institusi yang telah berhasil mencitpakan
komunikasi dan pembagian tugas yang jelas. Keberadaan CBI yang sebelumnya hanya fokus
pada permasalahan penanganan korupsi mampu di pemerintahan pusat, dalam perjalanannya
berubah menjadi lembaga anti korupsi yang memiliki cakupan kerja di seluruh negara bagian di
India. Bahkan saat ini CBI telah menjadi sebuah lembaga yang multi disipliner. Hal ini dapat
diraih oleh CBI berkat sepak terjangnya selama ini yang kredibel dan kemudian selanjutnya
mendapat dukungan penuh dari seluruh aspek birokrat, baik dari eksekutif dan legislatif.
Dibentuknya CVC juga merupakan sebuah indikasi, bahwa pemerintah India ingin lebih
memaksimalkan pemberantasan korupsi di negaranya. Keberadaan CVC yang independen dan
terlepas dari struktur pemerintahan, menjadikannya lembaga yang lebih obyektif dalam
penanganan kasus korupsi. Dengan adanya CVC, posisi lembaga anti korupsi di India menjadi
semakin kuat.
Berbeda dengan yang dialami oleh Indonesia. KPK sebagai lembaga anti korupsi yang
independen, sampai saat ini dapat dikatakan belum mampu berperan secara optimal dalam
penanganan kasus korupsi di Indonesia. Penyebab utama dari permasalahan ini adalah mengenai
aspek institusi. Di Indonesia, institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan
hukum terkait kasus korupsi tidak hanya KPK semata, melainkan terdapat pihak Kepolisian dan

11
Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Bab Implementasi Kebijakan Publik. hlm. 174-204.
12
juga Kejaksaan. Dari sinilah permasalahan tersebut timbul, dimana seringkalai terjadi tumpang
tindih kewenangan antar lembaga. Selain itu juga seringkali muncul adanya perbedaan
interpretasi terhadap satu kasus korupsi, dimana masing-masing lembaga memiliki persepsi yang
berbeda terhadap suatu kasus korupsi yang terjadi.
B. Kondisi Eksternal (Kondisi sosial, ekonomi, politik, geografi)
Kondisi sosial di kedua negara pada dasarnya relatif sama. Warga negara baik di
Indonesia maupun India menentang keras berlangsungnya praktik korupsi. Sebelumnya,
penaganan korupsi di kedua negara terlihat setengah hati. Bukti nyatanya adalah kedua negara ini
selalu menempati peringkat atas terkait indeks tingkat korupsi di Asia. Bedanya, saat ini
lingkungan sosial di India lebih unggul daripada Indonesia terkait penanganan kasus korupsi. Hal
ini disebabkan karena semakin meningkatnya kualitas SDM di negara tersebut. Warga negara
India semakin menyadari bahwa segala bentuk tindak korupsi yang dilakukan akan menjadi
penghambat bagi perkembangan ekonomi mereka yang saat ini tumbuh sangat pesat. Ditambah
lagi, birokrasi setempat juga total dalam melakukan tindakan tegas terhadap korupsi. Berbeda
dengan Indonesia, hingga saat ini kualitas SDM Indonesia terkait kesadaraan dalam
pemberantasan korupsi masih rendah. Budaya korupsi yang telah lama berlangsung di negara ini
berpengaruh pada cara pandang warga negaranya. Korupsi dianggap sebagai hal yang lumrah
untuk dilakukan.
Dalam kaitannya dengan penanganan kasus korupsi, di Indonesia kepentingan politik
masih lebih berkuasa dibandingkan dengan terciptanya keadilan. Independensi dari KPK banyak
mengalami intervensi baik dari kalangan pemerintah, kejaksaan maupun kepolisian. Keadaan
penanganan kasus korupsi di Indonesia kemudian diperburuk dengan berlangsungnya sistem
pemerintahan yang desentralistik (otonomi daerah). Apabila dahulu pada masa orde baru
berlangsung lingkar korupsi sebagian besar terjadi hanya sebatas di tingkat pusat, saat ini justru
praktik korupsi menyebar merata ke seluruh daerah pelosok tanah air. Pemimpin-pemimpin di
daerah yang telah dipilih melalui mekanisme demokrasi, yang selalu mendengungkan
memperjuangakan kepentingan rakyatnya, justru berlomba-lomba “mencuri” uang rakyat untuk
kepentingan pribadinya.

13
BAB IV
KESIMPULAN
Pemberantasan korupsi merupakan permasalahan yang telah lama menjadi agenda utama
bagi negara Indonesia dan India. Kedua negara menyadari, bahwa korupsi yang telah
berlangsung lama dan bahkan menjadi sebuah budaya yang lumrah untuk dilakukan di kedua
negara harus segera ditangani. Terlebih lagi, korupsi merupakan salah satu faktor utama yang
menjadi penghambat dalam pertumbuhan perekonomian. Untuk menanggulanginya, kedua
negara juga melakukan langkah yang sama, yakni dengan jalan membentuk sebuah lembaga anti
korupsi yang independen. Tujuan utama pembentukan lebaga independen ini adalah untuk
menghindari adanya konflik kepentingan dan konflik politik yang bisa saja berpengaruh pada
obyektifitas lembaga anti korupsi Independen tersebut dalam menangani suatu kasus korupsi.
Akan tetapi disini terdapat perbedaan antara lembaga anti korupsi di Indonesia (KPK)
dan India (VCV). Dapat dikatakan disini bahwa pembentukan KPK adalah sebagai wujud
optimalisasi pemberantasan korupsi, setelah sebelumnya dua lembaga yang memiliki
kewenangan (Polisi dan Kejaksaan) tidak mampu berbuat optimal dalam menangani kasus
korupsi. Sedangkan VCV di India terbentuk untuk menjadi lembaga anti korupsi independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif. Walaupun dalam perjalanannya CBI telah terbukti
berhasil dalam menangani kasus korupsi, akan tetapi lembaga ini telah mengalami evolusi
menjadi lembaga yang berada di bawah kekuasaan pemerintah, sehingga perlu menjaga
independensi dan obyektifitasnya.
Kedua lembaga anti korupsi di India, CBI dan VCV hingga saat ini mampu menjalankan
peranannya dengan baik. Indeks tingkat korupsi India yang semakin membaik menjadi bukti
bahwa lembaga ini mampu menjadi salah satu motor utama pemberantasa kasus korupsi di India.
Sedangkan KPK, sebagai satu-satunya lembaga independen yang memiliki kewenangan terhadap
penanganan masalah korupsi hingga saat ini belum mampu bekerja dengan optimal. KPK yang
semestinya medapat dukungan penuh dari seluruh elemen birokrat baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif justru mendapatkan tekanan dari pihak-pihak tersebut. Inilah salah satu bukti
bahwa sampai detik ini, penanganan kasus korupsi di Indonesia masih terhambat karena
banyaknya kepentingan politik dari para elit penguasa yang sebagian besar terkait dengan kasus
korupsi.

14
Keberadaan lembaga anti korupsi bukanlah solusi akhir bagi pemberantasan korupsi di
suatu negara. Lembaga anti korupsi harus didukung oleh komitmen dari semua pihak tanpa
terkecuali. Selain itu, adanya SDM yang memadai dan profesional, independen, bebas dari
berbagai konflik kepentingan juga harus menjadi modal dasar. Terlebih lagi, perlu ditanamkan
pemikiran bahwa budaya korupsi harus segera dihapuskan, karena korupsi merupakan faktor
penghambat bagi kemajuan ekonomi. Yang terakhir adalah adanya landasan hukum yang
memberikan kewenangan penuh bagi lembaga tersebut untuk melakukan langkah-langkah yang
dianggap perlu dalam menyelidiki kasus-kasus korupsi.

15

Anda mungkin juga menyukai