A. Pendahuluan
Manusia merupakan puncak ciptaan Allah, karena manusia merupakan makhluk
yang mulia. Kemuliaan manusia akan sirna jika dirinya tidak mampu memahami potensi
diri dan tugas yang diembannya. Sebagai Abdullah dan kekhalifatullah pada diri manusia,
ia mampu membuat kedamaian dan kemakmuran dengan cara memahami dan mengola
alam semesta dengan perangkat iman dan ilmu pengetahuan.
B. Hakikat Manusia Dalam Islam
Dalam pandangan Al-Qur’an dan sunnah rasul, manusia diciptakan Allah dari
tanah lalu ditiupkan roh. (Q.S. 15:28-28), dan sudah menjadi pemahaman manusia
pertama (Q.S. 2:30-35), walaupun dalam Al-Qur’an tidak menerangkan secara konkrit
tentang manusia pertama. Dari kisah Adam dapat diperoleh pemahaman tentang eksistensi
manusia dari kemanusiaan. Menurut Al-Qur’an bahwa manusia dilahirkan secara individu
dan berakhir (mati) secara individu pula dengan kata lain menghadap Allah secara
individu (Q.S. 2:156)
Manusia dijadikan khalifah di muka bumi (Q.S. 2:30:6:165). Hal ini menunjukkan
bahwa Allah telah memberikan status dan martabat yang tinggi kepada manusia (Q.S.
17:70;95:4), sekaligus manusia telah dipercaya Allah memegang amanah (Q.S. 33;72).
Penciptaan tugas kemanusiaan (kekhalifaan) manusia menyebabkan makhluk yang lain
(malaikat) menjadi risau (Q.S. 2:30), bahkan iblis sampai menentang tidak mau
menghormati kemuliaan manusia (Q.S. 15:31-33).
Kelebihan dan keunggulan manusia dengan makhluk yang lain adalah penerimaan
pendidikan dari Allah, karena manusia memiliki fitrah dan akal (Q.S. 30:30). Dengan
pengembangan potensi akal dan fitrah ini manusia akan mencapai kebahagiaan dan
kemuliaan. Kenyataan lain yang tidak kalah pentingnya, bahwa didalam diri manusia juga
ada kelemahannya (insan dhaif) yang berwawasan pendek, karena memang manusia
diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Q.S. 4:28;70:19-210).
Dari konsep dasar tentang manusia tersebut diatas, maka dapat dirumuskan bahwa
eksistensi dan esensi manusia dalam pandangan islam adalah sebagai berikut:
Firman Allah:
Sebagai contoh, manusia memiliki nafsu makan, nafsu seksual. Jika makan
berlebihan dan apa saja dimakan tidak mengenal batas-batas yang ditentukan Tuhan,
maka sama dengan binatang. Nafsu seksual berlebihan tidak terkontrol, maka akan
menjadi budak nafsu biologis. Di sinilah pentingnya puasa itu dengan menahan diri dari
hawa nafsu.
“Ismail bin Sayid Muhammad Said al Qadiri”, membagi nafsu menjadi 7 (tujuh)
yaitu nafsu :
1) Ammarah
2) Lawwamah
3) Mulhammah
4) Muthmainnah
5) Radiyyah
6) Mardhiyah
7) Kamilah
Dari tujuh nafsu tersebut diklasifikasikan menjadi dua yaitu pertama nafsu tercela dan
kedua nafsu terpuji. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1) Yang tergolong nafsu tercela, meliputi nafsu ammarah dan lawwamah. Ciri-ciri
nafsu ammarah (lengkapnya ammarah bissu’) ada tujuh macam yaitu; kikir,
tamak, dengki, jahl(bodoh), takabbur, syahwat (hedonistik), dan pemarah
(ghadhab). Sedangkan ciri-ciri nafsu lawwamah berjumlah sembilan macam yaitu
suka mencerca (laum), mengumbar nafsu(hawa), menipu, bangga dengan amalnya
(ujub), mengumpat, riya, dhalim, dusta, dan lupa mengingat Allah.
2) Nafsu yang terpuji meliputi lima macam, yaitu Mulhammah, Muthmainnah,
Radhiyah, Mardhiyah, dan Kamilah. Ciri-ciri nafsu Mulhammah adalah pemurah ,
qona’ah, hilm (bijak), tawaddu’ (rendah hati), taubat, sabra dan tahan uji (at-
tahammul). Ciri-ciri nafsu muthmainnah adalah sifat dermawan, tawakkal, ibadah
dengan ikhlas, syukur ridha, dan takut berbuat maksiat. Ciri-ciri nafsu Radhiyah
meliputi dermawan zuhud, ikhlas, menjauhi subhat dan haram (wara’), mengganti
perilaku tercela dengan terpuji (riyadhah) dan menepati janji (al-wafak). Ciri-ciri
nafsu Mardiyah meliputi, berbudi luhur, meninggalkan apa saja selain Allah, kasih
sayang sesama makhluk, mengajak kebaikan, memaafkan, mencintai sesamanya
dan memasukkan sifat terpuji. Sedang ciri nafsu Kamilah ialah ilmul-yakin, ‘ainul
yakin, dan haqqul yakin. (Ahmad Syafi’I Mufid, 1992:25-26)
D. Segi Positif dan Negatif Manusia
Dalam kitab suci disebutka walaupun manusia telah diciptakan dalam bentuk yang
sebaik-baiknya (positif) tetapi secara intern di dalam diri manusia itu punya kelemahan
(negatif).