Anda di halaman 1dari 6

LEMBAR TUGAS MANDIRI

[PBL Pemicu 2]

Nama : Marthin Anggia Sirait


NPM : 1706982683
Modul : Saraf dan Jiwa
Kelompok : 5

Komplikasi dan Prognosis Delirium dan Gangguan Panik

Pendahuluan
Pada pemicu 2, seorang laki-laki berumur 21 tahun diduga mengalami infeksi Clostridium
tentani pada sistem saraf pusat dan mengalami gejala berupa kaku sekujur tubuh disertai demam, mulut
terkunci dengan rapat, dan dehidrasi. Pasien juga mengalami delirium yang berhubungan dengan kondisi
dehidrasi dan infeksi yang dialaminya. Setelah pasien sembuh dari penyakit tetanusnya, pasien
mengalami gangguan panik dengan gejala berupa keringat dingin, dada terasa berdebar-debar, dan
ketakutan. Hal tersebut pasien rasakan jika Ia harus pergi keluar tanpa menggunakan alas kaki. Untuk
mengerti lebih lanjut mengenai gangguan psikiatri berupa gangguan panik dan delirium, diperlukan
pengetahuan mengenai komplikasi dan prognosis.

Pembahasan
1. Komplikasi Delirium
Delirium merupakan gangguan psikiatri yang ditandai dengan penurunan kesadaran dan kognisi
dengan kelainan terutama pada konsentrasi. Beberapa gejala yang terjadi pada kondisi delirium antara
lain adalah kelainan pada siklus tidur, gangguan psikomotorik, dan gangguan persepsi yang dimiliki oleh
pasien. Etiologi dari gangguan ini beragam, seperti delirium akibat pascaoperasi ataupun penyalahgunaan
obat-obatan seperti benzodiazepin dan opioid.1 Secara umum, dalam perjalanan penyakit ini, delirium
dapat mengakibatkan berbagai keluaran berupa komplikasi yang menambah beban yang dialami oleh
pasien. Pada Gambar 1, dapat terlihat bahwa delirium menyebabkan berbagai dampak di antaranya yaitu
komplikasi-komplikasi berupa stres psikologis, kelainan fungsional dan kognitif, bahkan kematian.2
Gambar 1. Dampak dari gangguan delirium2

Komplikasi pertama yang dapat terjadi akibat delirium adalah penurunan fungsi kognitif yang
persisten. Hal ini terjadi jika gejala-gejala yang terjadi pada delirium tidak kunjung menghilang meskipun
faktor-faktor yang menyebabkan gejala telah selesai atau menghilang ataupun pasien telah diberikan
tatalaksana yang adekuat. Pada kasus-kasus ini, pasien dapat mengalami delirium persisten yang semakin
memperberat penurunan kognitif.2 Mekanisme yang mendasari terjadinya komplikasi berupa penurunan
pada kognitif pasien delirium dihubungkan dengan penurunan volume otak menyeluruh dan atrofi pada
beberapa bagian otak yang spesifik. Bagian-bagian otak tersebut yang mengalami atrofi pasca delirium
utamanya berhubungan dengan fungsi eksekutif sistem saraf pusat dan memori, seperti lobus frontal
superior dan hipokampus. Komplikasi berupa kelainan kognitif dalam jangka panjang juga dihubungkan
dengan inflamasi sistemik, hipoperfusi serebral, dan hiperresponsivitas aksis HPA. Namun, mekanisme
yang mendasari kelainan-kelainan tersebut masih belum diteliti dengan jelas.3
Berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif persisten, komplikasi lain yang disebabkan oleh
delirium adalah demensia. Pada Gambar 2, dapat terlihat mekanisme yang menghubungkan antara
delirium dan juga demensia. Berdasarkan hipotesis mekanisme langsung, delirium dihipotesiskan
menyebabkan kelainan neurotransmiter, kematian sel neuron, dan disfungsi neuronal. Ketiga faktor
tersebut menyebabkan kondisi patofisiologis yang berakhir pada demensia. Sedangkan pada hipotesis
mekanisme tidak langsung, delirium mendukung terjadinya kondisi inflamasi pada sistem saraf pusat,
sehingga menyebabkan progresivitas delirium pre-klinis menjadi klinis. Delirium yang menyebabkan
demensia ini dihipotesiskan terjadi akibat inflamasi yang diinduksi oleh infeksi ataupun respons stres
yang berlebih melalui aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatik.4 Pada

2
penelitian yang meneliti delirium sebagai faktor pencetus demensia, ditemukan bahwa delirium
meningkatkan insidensi demensia. Delirium juga ditemukan menurunkan nilai Mini-Mental State
Examination (MMSE) pada objek penelitian. MMSE merupakan indikator fungsi kognitif yang
mengukur kemampuan memori, berbahasa, orientasi, dan visual-spasial. Penurunan nilai dari indikator
tersebut diasosiasikan dengan kondisi demensia.5

Gambar 2. Mekanisme hubungan antara delirium dan demensia4

2. Prognosis Delirium
Prognosis delirium dalam perjalanan penyakit ini diasosiasikan dengan perpanjangan dari waktu
rawat inap di rumah sakit dan peningkatan angka mortalitas. Umumnya delirium merupakan kondisi
reversibel dan bersifat transien, namun tidak semua individu dengan gangguan delirium akan sembuh
dari gejala-gejalanya. Kondisi delirium berkepanjangan ini disebut sebagai delirium persisten dan tipe
delirium ini memiliki prognosis yang buruk.6 Sebanyak 1 dari 3 pasien delirium mengalami keadaan
persisten ini. Jika dibandingkan dengan pasien delirium yang reversibel, pasien dengan delirium persisten
memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi disertai dengan penurunan kognisi dan fungsi yang lebih
banyak. Lalu, meskipun pasien dapat sembuh dari seluruh gejala delirium, beberapa pasien dapat
merasakan gangguan trauma dan perasaan tidak nyaman akibat rekoleksi pengalaman yang dirasakan
pada saat awitan penyakit tersebut.7

3
3. Komplikasi Gangguan Panik
Gangguan panik adalah kumpulan dari golongan gejala seperti gastrointestinal, kardiorespirasi,
otonom, otoneurologik, dan kognitif yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadi secara rekuren. Dalam suatu
serangan panik, terdapat peningkatan rasa tidak nyaman dan rasa takut yang mencapai titik puncak dalam
hitungan menit dan menimbulkan sekelompok gejala seperti palpitasi ataupun nyeri dada.1 Gangguan
panik memiliki beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu perilaku bunuh diri, penyalahgunaan zat
seperti alkohol, dan gangguan depresi mayor.
Pertama, gangguan panik yang termasuk dalam spektrum gangguan cemas memiliki hubungan
yang erat dengan timbulnya ekspresi keinginan untuk bunuh diri. Berdasarkan model kognitif dari
keinginan bunuh diri, kelainan seperti gangguan panik berguna sebagai faktor yang memfokuskan atensi
seseorang terhadap ide dari bunuh diri itu sendiri. Peningkatan atensi ini meningkatkan rasa putus asa
pada pasien, sehingga meningkatkan risiko bunuh diri menjadi lebih lebih besar lagi. Model kognitif lain
yang menjelaskan mengenai etiologi perilaku bunuh diri juga menjelaskan bahwa perilaku ini umumnya
diawali terlebih dahulu oleh kondisi cemas yang akut, salah satu kondisi yang termasuk dalam kecemasan
akut adalah serangan panik. Keinginan bunuh diri juga digunakan oleh pasien-pasien untuk menghindari
rasa sakit psikologis yang dirasakan akibat gangguan kesehatan jiwa yang mereka alami.8
Komplikasi selanjutnya yang dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan panik adalah gangguan
penyalahgunaan zat seperti alkohol (alcohol use disorders). Pasien dengan gangguan panik memiliki
risiko besar mendapatkan gangguan kecanduan alkohol. Teori mekanisme yang menjelaskan mengenai
hubungan kausal antara adiksi alkohol dan gangguan panik adalah Self-Medication Model. Pada teori ini,
penyalahgunaan alkohol dilakukan oleh pasien-pasien dengan gangguan panik dengan tujuan
menurunkan efek-efek negatif yang dibawa oleh gangguan pasikiatrik ini. Alkohol digunakan pasien
untuk meringankan gejala pada episode panik akut dan menurunkan respons stres, sehingga disebut
sebagai self-medication atau pengobatan mandiri terhadap gejala yang dimiliki oleh pasien tersebut.9
Selain keinginan bunuh diri dan ketergantungan zat, pasien dengan gangguan panik juga dapat
mengalami komplikasi berupa gangguan depresi mayor. Kelainan psikiatri berupa gangguan depresi
mayor merupakan gangguan yang menyebabkan depresi yang konstan, penurunan motivasi, kelainan
fungsi kognitif dan menunjukkan gejala vegetatif seperti gangguan nafsu makan dan juga gangguan
tidur.10 Sebanyak 2 dari 3 orang dengan gangguan panik akan mengidap gangguan depresi mayor dalam
perjalanan penyakitnya.11 Hubungan antara depresi sebagai komplikasi gangguan panik adalah adanya
disintegritas struktural pada nukleus raphe pada pasien dengan gangguan panik. Kelainan nukleus raphe
menyebabkan gangguan pada sirkuit serotonergik yang bertanggung jawab dalam mengatur emosi seperti

4
panik dan depresi, sehingga pasien dengan gangguan panik memiliki kemungkinan akan mendapat
gangguan depresi.12

4. Prognosis Gangguan Panik


Prognosis pasien dengan gangguan panik beragam karena relaps dari penyakit ini dapat terjadi
tiba-tiba setelah terjadi periode remisi gejala. Gangguan rekuren ini dapat terjadi selama beberapa tahun,
sehingga gangguan panik cenderung merupakan penyakit yang kronik. Meskipun pengobatan telah
dilakukan secara adekuat, tingkat relaps gangguan panik dapat mencapai lebih 50 persen setelah
menjalani penghentian pengobatan selama 12 bulan. Berdasarkan penelitian lain, tingkat rekurensi
penyakit setelah penghentian pengobatan bervariasi dari 25% sampai dengan 85%. Hanya sebanyak 20
sampai dengan 50% pasien mengalami perbaikan gejala setelah pengobatan. Pasien dengan gangguan
panik juga memiliki tingkat keinginan bunuh diri dan gangguan psikososial yang tinggi dan keduanya
mempengaruhi prognosis pasien.1
Karena penyakit ini sering memiliki beberapa penyakit psikaitrik komorbid, prognosis pasien
yang memiliki penyakit komorbid tersebut lebih buruk. Pasien dengan gangguan depresi mayor memiliki
prognosis lebih buruk meskipun sudah mendapatkan tatalaksana. Pada pasien yang mengalami gangguan
panik yang komorbid dengan agorafobia, tingkat kesembuhan lebih rendah dengan estimasi dari 18%
sampai dengan 64%.13

Penutup
Pasien pada pemicu mengalami delirium pada saat mengidap tetanus dan setelah itu mengalami
gangguan panik yang rekuren. Sebagai kesimpulan, komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca
delirium adalah penurunan fungsi kognitif dan demensia. Prognosis pasien delirium buruk jika
mengalami episode delirium rekuren, namun pada pemicu tidak terdapat ciri-ciri delirium rekuren
sehingga dapat disimpulkan prognosis pasien tersebut baik. Lalu, untuk gangguan panik, pasien pada
pemicu memiliki kemungkinan untuk mengalami komplikasi berupa penyalahgunaan alkohol, keinginan
bunuh diri, dan gangguan depresi. Prognosis untuk gangguan panik pada pasien ini relatif buruk karena
tingkat relaps penyakit yang tinggi dan bersifat kronik.

5
Referensi
1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan and sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. 10th
ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2017. p. 3053-6, 3065-6, 4417.
2. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: diagnosis, prevention and
treatment. Nat Rev Neurol. 2009 Apr;5(4): 210-20.
3. Popp J. Delirium and cognitive decline: more than a coincidence. Curr Opin Neurol. 2013
Dec;26(6):634-9.
4. Fong TG, Davis D, Growdon ME, Albuquerque, Inouye SK. The interface of delirium and
dementia in older persons. Lancet Neurol. 2015 Aug;14(8):823-32.
5. Davis DH, Terrera GM, Keage H, Rahkonen T, Oinas M, Matthews FE, et al. Delirium is a strong
risk factor for dementia in the oldest-old: a population-based cohort study. Brain. 2012
Sep;135(9):2809-16.
6. Martins S, Fernandes L. Delirium in elderly people: a review. Front Neurol. 2012;3:101.
7. Young J, Inouye SK. Delirium in older people. BMJ. 2007 Apr 21;334(7598):842-6.
8. Bentley KH, Franklin JC, Ribeiro JD, Kleiman EM, Fox KR, Nock MK. Anxiety and its disorders
as risk factors for suicidal thoughts and behaviors: a meta-analytic review. Clin Psychol Rev.
2016 Feb;42:30-46.
9. Smith JP, Randall CL. Anxiety and alcohol use disorders: comorbidity and treatment
considerations. Alcohol Res. 2012;34(4):414-31.
10. Otte C, Gold SM, Penninx BW, Pariante BW, Etkin A, Fava M, et al. Nat Rev Dis Primers. 2016
Sep 15;2:16065.
11. Holt RL, Lydiard RB. Management of treatment resistant panic disorder. Psychiatry (Edgmont).
2007 Oct;4(1):48-59.
12. Sobanski T, Wagner G. Functional neuroanatomy in panic disorder: status quo of the research.
World J Psychiatry. 2017 Mar 22;7(1):12-33.
13. Francis JL, Weisberg RB, Dyck IR, Culpepper L, Smith K, Edelen MO, et al. Characteristics and
course of panic disorder and panic disorder with agoraphobia in primary care patients. Prim Care
Companion J Clin Psychiatry. 2007;9(3):173-9.

Anda mungkin juga menyukai