Diare Akut Dewasa
Diare Akut Dewasa
PENYAKIT MALARIA
1.1.1.Siklus aseksual
1
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina
masuk ke dalam darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut.
Dalam waktu tiga puluh menit jasad tersebut memasuki sel-sel
parenkim hati dan dimulainya stadium eksoeritrositik daur
hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan
berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit
pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian mengalami
fagositosis. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki
eritrosit maka disebut stadium pre-eritrositik atau ekso-eritrositik.
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit menerobos masuk sel-sel
darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi
oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai
membentuk tropozoit. Tropozoit berubah menjadi skizon muda,
kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri
menjadi beberapa merozoit. Dengan selesainya pembelahan
tersebut sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel
keluar dan bebas berada dalam plasma darah. Merozoit dapat
masuk sel darah merah lainnya lagi untuk mengulangi siklus
skizogoni. Selain dapat memasuki eritrosit kembali dan
membentuk skizon, merozoit dapat juga membentuk gametosit
yaitu bentuk seksual parasit plasmodium (Nugroho, 2000)
1.1.2. Siklus seksual
2
makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk
seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus
lapisan epitel dan membran basal dinding lambung nyamuk.
Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Di dalam
ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit
menembus kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk
menggigit/menusuk manusia memungkinkan sporozoit masuk ke
dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Nugroho, 2000 ;
Scheme Life Cycle Malaria). Gambar 1 menunjukkan siklus hidup
plasmodium.
3
Keterangan Gambar 1:
4
Malaria menyebar dari seorang ke orang lain melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina. Nyamuk ini mengalami infeksi dengan
bentuk seksual parasit yaitu gametosit, ketika menghisap darah
manusia yang terinfeksi malaria. Gametosit berkembang dalam
tubuh nyamuk selama 6 – 12 hari, setelah itu nyamuk ini akan
dapat menginfeksi manusia sehat bila ia menghisap darahnya.
5
infektifitas parasit. Efek ini dapat secara langsung pada gametosit,
sebagai bentuk infektif yang ditemukan pada manusia
(gametocytocidal effect) atau ketika obat memasuki tubuh
nyamuk sewaktu menghisap darah penderita, akan memunyai
efek terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh nyamuk
(sporonticidal effect). Klorokuin dapat membunuh gametosit
muda, tetapi tidak memunyai efek menekan bentuk infektif yang
immature. Malah klorokuin menunjukkan kemampuan
memperbesar infektifitas gametosit terhadap nyamuk. Sebaliknya,
sulfadoksin-pirimetamin meningkatkan jumlah gametosit, tetapi
infektifitasnya berkurang terhadap nyamuk. Artemisinin
memunyai efek gametositosidal yang paling poten di antara
antimalaria saat ini. Obat ini dapat merusak gametosit immatur
sehingga mencegah masuknya gametosit yang infektif kedalam
sirkulasi. Tetapi efeknya terhadap gametosit yang matang kurang
dan tidak memengaruhi infektifitasnya yang tetap ada dalam
sirkulasi selama pengobatan (WHO, 2006).
Semua gejala klinis yang khas ditemukan pada pasien malaria, baik
tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi, dasar patologinya
adalah perubahan-perubahan akibat eritrosit yang terinfeksi oleh
plasmodium aseksual atau blood stage parasite. Ketika
plasmodium berkembang di dalam eritrosit, maka sejumlah
substansi yang telah diketahui maupun yang belum diketahui yang
merupakan bahan-bahan produk parasit, seperti pigment
hemozoin dan bahan-bahan toksik lainnya terakumulasi di dalam
sel eritrosit yang terinfeksi. Ketika eritrosit ini mengalami lisis
untuk melepaskan merozoit, maka bahan-bahan toksik ini akan
hanyut ke dalam aliran darah. Hemozoin dan bahan toksik lainnya
6
seperti GPI (Glucose Phosphate Isomerase) akan merangsang
makrofag dan sel lain untuk memroduksi sitokin dan mediator
lainnya yang memicu terjadinya demam, menggigil serta
mekanisme lainnya yang menimbulkan patofisiologi yang
berkaitan dengan malaria berat (CDC, 2007).
7
1.4.Mekanisme pembunuhan parasit
1.4.1.Sistim imun
1.4.2.Radikal Bebas
8
menghasilkan radikal peroksinitrit yang sangat reaktif dan dapat
membunuh parasit (Abbas et al, 2000).
9
killer (NK) sel sehingga mengoptimalkan kerja sel-sel tersebut
dalam proses ADCC (antibody-dependent cell-mediated
cytotoxicity) terhadap skizon dalam eritrosit (Grau et al, 1989;
Torre et al, 2002)
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang
pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang
sebenarnya beracun tetapi dapat menekan pertumbuhan
protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan
Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride)
yang pada saat itu lebih efektif daripada kinin dan toksisitasnya
lebih ringan. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap
lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba
10
secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria
dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Obat tersebut juga
mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obat-obat
lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan
secara terus menerus. Namun baru-baru ini strain Plasmodium
falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan
adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria
sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Indonesia,
Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan
Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain
Plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit
yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta bahwa jenis
nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan
terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan
peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di berbagai negara
tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria mengalami
peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang
berkunjung ke Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan juga di antara
para pengungsi dari daerah itu sendiri (www.infeksi.com).
*****
11
BAB 2
12
P.knowlesi sebagai spesies plasmodium terbaru ditemukan pada
manusia, telah diidentifikasi pertama kali pada tahun 1931 pada
monyet jenis long-tailed macaque (Macaca fascicularis) dan
dapat menginfeksi manusia dengan menginokulasikan darah
terinfeksi pada tahun 1932 (Singh et al, 2004). Pada tahun 2004
telah dilaporkan P.knowlesi sebagai penyebab malaria di Kapit
division of Malaysian Borneo dan telah diidentifikasi secara
biomolekuler dengan nested PCR screening (Imwong et al, 2009).
13
Diagnosis dini dan pengobatan segera merupakan salah satu dari
prinsip strategi global dalam mengendalikan malaria. Hasil guna
dari intervensi ini sangat tergantung pada obat antimalaria yang
digunakan, tidak hanya aman dan efektif, tetapi juga mudah
didapat (available), terjangkau harganya (affordable), dan dapat
diterima oleh populasi yang berisiko menderita penyakitnya
(acceptable). Penggunaan yang rasional dan efektif dari obat
antimalaria tidak hanya bertujuan mengurangi risiko penyakit
menjadi berat dan menyebabkan kematian, tetapi juga
memperpendek masa sakit, dan menghambat perkembangan
resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria yang
digunakan. Cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat
antimalaria yang konvensional merupakan tantangan yang serius
dalam strategi mengendalikan penyakit malaria (WHO, 2001).
14
Resistensi terhadap obat antimalaria telah menyebar secara
intensif selama 15 – 20 tahun (Bloland et al, 1993, 1998; Marsh,
1998). Sementara perkembangan obat-obat antimalaria baru
sangat terbatas dan tidak merata. Penelitian efek antimalaria dari
bahan tanaman obat pada umumnya dilakukan dengan uji in-vitro
di laboratorium atau uji in-vivo pada hewan coba, sedangkan pada
tingkat uji klinis belum ada dilaksanakan. Problem lain dari obat-
obat baru tersebut berhubungan dengan distribusi dan
penggunaannya yang berkaitan dengan situasi daerah atau negara
tertentu. Di beberapa daerah endemik malaria, ternyata sulit
untuk mendapatkan obat antimalaria yang digunakan dalam
pengobatan maupun pencegahan. Obat sering diperoleh dari
sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan kualitas
yang bervariasi dan dosis yang tidak ditetapkan secara tepat
(Bloland, 2001).
15
2) Mencegah malaria tanpa komplikasi menjadi berat dan
kemungkinan kematian.
3) Memperpendek episode malaria dan mengurangi kejadian
anemia yang berhubungan dengan tingginya tingkat
transmisi malaria.
4) Mengurangi kemungkinan terjadinya malaria plasental yang
berhubungan dengan pencegahan infeksi pada ibu hamil.
5) Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi
terhadap obat anti malaria. (WHO, 2001)
16
obat antimalaria telah menunjukkan penurunan
efektifitasnya.
2. Efikasi yang tinggi dari artemisin atau derivatnya untuk
membersihkan parasit dari dalam darah serta
menghilangkan gejala malaria
3. Belum ada laporan resistensi terhadap artemisin dan
derivatnya hingga saat ini
4. Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi
jika dilakukan pengobatan kombinasi
5. Efek artemisin terhadap gametosit dapat menghambat
penularan malaria didaerah dengan tingkat transmisi
rendah dan sedang (WHO, 2001).
17
antimalaria yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Pemikiran
global dan aksi lokal sangat diperlukan dalam penanganan
masalah malaria secara nasional maupun internasional.
*****
BAB 3
18
kina, namun terhadap kedua obat tersebut Plasmodium
falciparum juga telah menunujukkan resistensi. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan, melaporkan pertama kali
resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-
sulfadoksin pada 9 kasus di Papua, dimana sebelumnya pada
tahun 1981 daerah itu telah dinyatakan resisten terhadap
klorokuin (Sungkar&Pribadi, 1992). Ginting dkk pada tahun 2001
telah melakukan penelitian di Kecamatan Siabu Kabupaten
Mandailing Natal dan melaporkan resistensi terhadap klorokuin
sebesar 47,5% dan terhadap pirimetamin-sulfadoksin 50% secara
invivo. Kombinasi terapi kina dan tetrasiklin sebagai obat alternatif
terhadap malaria falsiparum, memunyai efek terapi yang baik,
namun ditemukan efek samping dari kina yang serius berupa
mual, muntah, gangguan keseimbangan, telinga berdenging dan
hilangnya nafsu makan (Bunnag et al, 1996).
Daerah yang mengalami resistensi terhadap obat antimalaria
semakin luas dan pada tahun 2000 tercatat 77 kabupaten meliputi
158 kecamatan. Berdasarkan laporan dari Subdit Malaria Depkes
RI, masalah resistensi terhadap obat antimalaria telah dilaporkan
hampir diseluruh propinsi dengan derajat resistensi yang berbeda
(Konsensus PAPDI, 2003). Beberapa kabupaten yang dikenal sudah
mengalami resistensi antara lain Kab. Simeulue (NAD), Kab.
Lampung Selatan (Lampung), Banjarnegara dan Purworejo
(Jateng), Kab. Kulonprogo (DIY), Kabupaten Pasir (Kaltim), Kab.
Minahasa (Sulut), Kab. Landak (Kalbar), masing-masing Kab.Alor,
Kab. Sumba Barat dan Sumba Timur (NTT), Kab.dan Kota Jaya Pura
serta Timika (Papua), Maluku, Kab. Halmahera (Maluku Utara) dan
DKI Jakarta (Depkes, 2004).
Kecepatan penyebaran resistensi plasmodium terhadap obat
malaria tidak sama pada setiap daerah atau negara. Menurut
White ada tiga faktor yang menimbulkan resistensi, yaitu 1). faktor
19
operasional, seperti dosis subterapeutik, kepatuhan penderita
yang kurang, 2). faktor farmakologik, dan 3). faktor transmisi
malaria, termasuk intensitas, drug pressure dan imunitas. Untuk
mencegah atau memperlambat laju resistensi, maka terapi
kombinasi antimalaria yang rasional sangat dianjurkan. Salah satu
cara untuk meningkatkan mutu pengobatan dan menekan
penyebaran resistensi obat yaitu dengan pemberian obat
kombinasi (Radlofi et al, 1990). Di daerah endemis malaria yang
resisten terhadap klorokuin, WHO pada tahun 2001 menganjurkan
kombinasi antimalaria dengan basis artemisin (WHO, 2001).
Mengingat permasalahan tersebut di atas dan ancaman terhadap
makin meningkatnya resistensi obat-obat antimalaria terhadap
Plasmodium falciparum, maka perlu dicari obat alternatif untuk
mengatasi infeksi malaria yang telah resisten terhadap obat. Di
negara berkembang pemakaian obat alternatif lainnya harus
memperhitungkan segi biaya dimana harganya perlu murah. Jadi
dalam penanganan kasus resistensi plasmodium terhadap obat
antimalaria perlu dilakukan dengan obat kombinasi yang murah,
mudah didapat, dan tersedia di seluruh daerah endemis malaria
(Bloland et al, 2000).
20
Resistensi plasmodium terhadap suatu obat antimalaria adalah
kemampuan plasmodium tersebut untuk dapat hidup dan
berkembang biak setelah diberi obat dalam dosis yang optimal
atau lebih tinggi dari pada dosis yang biasa diberikan, tetapi yang
masih dalam batas toleransi penderita. Teori Clyde menyebutkan
kemungkinan adanya mekanisme defensif parasit. Pirimetamin
bekerja sebagai inhibitor enzim dihidrofolat reduktase yang
menyebabkan parasit tidak mampu membentuk asam
tetrahidrofolat, yang menyebabkan parasit tidak mampu
melanjutkan siklus hidupnya, tetapi Plasmodium falciparum yang
telah menjadi resisten terhadap pirimetamin ternyata mampu
membentuk enzim dihidrofolat reduktase yang abnormal dalam
jumlah banyak. Sulfadoksin bekerja sebagai kompetitor inhibisi
PABA dengan menggunakan enzim dihidropteroat sintetase
sehingga pembentukan asam didropteroat terganggu dan asam
folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk. Penyebab resistensi
terhadap sulfadoksin karena parasit mampu menggunakan jalan
pintas sehingga terhindar dari pengaruh sulfadoksin. Klorokuin
bekerja dengan mengikat feriprotoporfin IX yang merupakan suatu
hematin hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Laktan
feriprotoporfirin IX-klorokuin ini mampu melisiskan membran
parasit. Resistensi terhadap klorokuin terjadi karena tempat ikatan
klorokuin dalam eritrosit berkurang sehingga parasit dalam
eritrosit tidak dapat dibunuh. Menurut Cowman pada umumnya
resistensi terjadi oleh mutasi gen karena pemakaian obat secara
terus-menerus dalam waktu lama dan bersifat massal. Mutasi ini
menyebabkan parasit mengambil jalur metabolisme lain sehingga
terhindar dari pengaruh obat. Pada anti folat terjadi mutasi pada
gen tunggal dan pada klorokuin terjadi mutasi yang multigenik
sehingga timbul secara perlahan-lahan (Sungkar dkk, 1992)
*****
21
BAB 4
Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional
yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
secara turun temurun. Keuntungan obat tradisional yang
dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk
memerolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan
sendiri, murah dan dapat diramu sendiri setempat (Depkes, 1983).
Hampir setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan
obat untuk mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada
tubuh selama hidupnya, baik ketika masih bayi, kanak-kanak,
maupun setelah dewasa. Dan diakui serta dirasakan manfaat
tumbuhan obat ini dalam menyembuhkan penyakit yang diderita
atau meredakan kelainan yang timbul pada tubuh.
22
mantera-mantera yang diyakini memunyai kekuatan penyembuh
bila dikerjakan oleh orang-orang tertentu seperti dukun.
23
yang bersifat rahasia, digambarkan dalam terminologi tradisional,
diterjemahkan ke dalam istilah-istilah modern dan dikirim ke
institut medis untuk dikaji ulang, dengan menggunakan teknik-
teknik pemeriksaan laboratorium modern.
24
Indonesia merupakan mega-senter keragaman hayati dunia, dan
menduduki urutan terkaya kedua di dunia setelah Brazil. Bila biota
laut ikut diperhitungkan, maka Indonesia menduduki urutan
terkaya pertama di dunia. Di bumi kita ini diperkirakan hidup
sekitar 40.000 spesies tumbuhan, dimana 30.000 spesies hidup di
kepulauan Indonesia. Di antara 30.000 spesies tumbuhan yang
hidup di kepulauan Indonesia, diketahui sekurang-kurangnya
9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih
300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh
industri obat tradisional. Indonesia juga merupakan negara
agraris, memunyai banyak area pertanian dan perkebunan yang
luas serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan obat.
Indonesia masih banyak memiliki area terlantar yang belum
dimanfaatkan. Hutan Indonesia yang demikian luas menyimpan
kekayaan yang demikian besar, di antaranya berpeluang sebagai
obat bahan alam. Ekspor obat tradisional dan simplisia Indonesia,
walaupun belum dalam jumlah yang besar, namun menunjukkan
tanda-tanda peningkatan. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Asosiasi Pengusaha Eksportir Tanaman Obat Indonesia (APETOI)
dan Informasi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional
(GP Jamu) serta Koperasi Jamu Indonesia, ekspor tumbuhan obat
terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan dari beberapa
negara cukup besar dan kadang kala untuk beberapa jenis
tanaman Indonesia tidak dapat memenuhinya (Permenkes RI,
2007).
25
digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi
persyaratan aman, bermanfaat dan sudah terstandarisasi. Bukti
persyaratan yang diperlukan harus berdasarkan data yang sahih
(Depkes, 2000).
*****
26
BAB 5
27
terjadi secara meluas dan tidak tersedia jenis obat baru lainnya.
Penelitian akan tanaman obat ini telah berkembang luas di
beberapa negara, seperti Cina, India, Thailand, Korea, dan Jepang
(Andrographis in Depth Review, 2005)
28
dewasa tanpa komplikasi, diperoleh hasil tujuh penderita
membaik demamnya dan parasite clearance tercatat pada hari ke
tujuh.
29
mengetahui sejauh mana efikasi antimalaria dari sambiloto
dengan dosis 500 mg terhadap pasien malaria falsiparum dewasa
tanpa komplikasi, dan untuk mengetahui apakah kombinasi
sambiloto dengan obat antimalaria standar memunyai efikasi yang
tidak berbeda dengan kombinasi bersama artesunat, yang pada
masa yang akan datang dapat mengatasi masalah resistensi di
daerah multidrug resistance malaria.
*****
30
BAB 6
SAMBILOTO
31
6.1.Uraian Tumbuhan
32
xuyên tâm liên, yaa kannguu yijianxi (Fauziah Mukhlisah, 2002 ;
Andrographis in Depth Review, 2005).
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Solanales
Suku : Acanthaceae
Marga : Andrographis
Jenis : Andrographis paniculata Nees
33
Daun Andrographis paniculata Nees (Sambiloto) mengandung :
saponin, flavonoida, dan tanin. Kandungan kimia daun dan
cabang sambiloto : diterpene lakton yang terdiri dari : deoxy
andrographolide, andrographolide (zat pahit),
neoandrographolide, 14-deoxy-11,12
didehydroandrographolide, dan homoandrographolide.
Flavonoid dari akar mengandung : polymethoxyflavone,
andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin, apigenin-7, 4-
dimethyl ether, alkane, ketone, aldehyde, kalium, kalsium,
natrium, asam kersik, dan damar. Kandungan lain yaitu :
andrographolida < 1 %, kalmegin (zat amorf), dan hablur
kuning (yang memiliki rasa pahit). Disamping itu juga
mengandung turunan flavonoida yaitu andrografidin A, B, C,
D, E dan F, Juga mengandung seskuiterpena lakton yaitu
panikulida A, B, dan C (Tang W, Eisenbrand G, 1992) serta
logam alkali (Dep. Kes. RI, 1989).
Gamba
Andrograpolida Neoandrograpolida
Gambar 3. Rumus Kimia Andrgrapolis dan Neoandrograpolida
34
Bila sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat
alternatif yang digunakan secara tradisionil, maka bagian yang
sering digunakan adalah daunnya. Tanaman ini tumbuh tegak
dengan banyak cabang. Tingginya mencapai 50 - 80 cm. Daunnya
terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik
(menghilangkan demam oleh berbagai penyebab). Rumus bangun
kimianya dapat dilihat pada gambar 3.
35
dari lisat bakteri, dan ini menunjukkan bahwa terdapat induksi
terhadap Salmonella-specific cell-mediated response/immune
response (Xu et al, 2007).
36
Gambar 4 Struktur kimia dari beberapa compound yang
diisiolasi dari akar Andrographis paniculata (Parasite Biology).
37
dengan klorokuin difosfat (Widyawaruyanti dkk, 1995). Penelitian
di Kuala Lumpur, membandingkan efek anti malaria dari AP
dengan dua jenis herbal lainnya daun sirih (Piper sarmentosum)
dan brotowali (Tinospora crispa), dan mendapatkan efek anti
malaria dari AP lebih besar secara invivo (Nik Najib et al, 1999).
Melchior et al, 2000, melakukan uji klinis fase III terhadap pasien
infeksi saluran nafas tanpa komplikasi dan mendapatkan
perbaikan yang sangat signifikan dari kelompok AP dibanding
dengan placebo dalam menghilangkan gejala dan tanda infeksi
saluran nafas.
38
berlabel secara IV setelah 48 jam, dan didapati kadar obat
diberbagai organ sebagai berikut: otak 20,9%, limfa 14,9%,
jantung11,1%, paru-paru 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati
5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, usus halus 3,2%. Absorpsi dan
ekskresinya cepat, 80% diekskresikan dalam 8 jam melalui ginjal
dan saluran cerna, 90% dikeluarkan dari tubuh dalam waktu 48
jam (Andrographis in Depth Review).
*****
39
BAB 7
40
Gambar 6 Daun Herbal Sambiloto Gambar 7 Serbuk Herbal Sambiloto
41
Pelarut : Etanol Air 50%
Cara :
42
Gambar 9 Granul kapsul Andrographidis
43
bahan pengering/pengembang (amilum manihot dan sakarum
laktis) sehingga diperoleh massa yang kompak, kemudian dibuat
granul dengan mengayak massa tersebut. Dikeringkan di lemari
pengering selama 2-3 jam sehingga diperoleh granul kering
(Gambar 9). Diayak kembali dan dicampur dengan amilum maydis
dan Mg-stearat sehingga mencapai bobot yang sesuai.
Dimasukkan ke dalam kapsul dengan alat pengisi kapsul.
44
tidak tersisa. Syarat : Waktu hancur tidak boleh lebih dari 15
menit.(FI edisi III). Kapsul sambiloto terlihat pada gambar 10
*****
45
BAB 8
UJI INVITRO
8.1.Persiapan obat :
Timbang 5 mg
46
Gambar 11 menunjukkan persiapan obat uji invitro artemisin,
klorokuin dan sambiloto dan persiapan working solution.
47
Tabel 1 Kultur Malaria
Keterangan : C = Control
A = Obat uji artemisinin
K = Obat uji klorokuin
S = Obat uji ekstrak sambiloto
A+K = Obat uji kombinasi atemisinin dengan klorokuin
A+S = Obat uji kombinasi artemisinin dengan ekstrak
sambiloto
48
8.4.Hasil
49
Gambar 12 Prosedur Uji invitro Dengan Berbagai Dosis Obat Uji
50
Tabel 2. Penurunan Kepadatan Parasit Plasmodium falciparum
dengan Peningkatan Dosis Obat Uji
51
Secara grafik, penurunan tingkat kepadatan Plasmodium
falciparum dengan peningkatan dosis obat uji dapat dilihat pada
gambar 13.
52
Pada uji statistik dengan tes Kolmogorov-Smirnov, diketahui
bahwa sebaran data jumlah parasit pada uji invitro ini tidak
normal. Uji statistik dilanjutkan dengan tes Kruskal-Wallis , dan
ternyata penurunan jumlah parasit pada peningkatan dosis obat
uji pada semua kelompok berbeda sangat bermakana (p < 0,001).
Sedangkan perbedaan efek obat terhadap penurunan jumlah
Plasmodium falciparum pada uji invitro ini tidak berbeda
bermakna antara kelima kelompok obat uji (p = 1).
*****
BAB 9
53
9.1.Desain penelitian
54
Pasien dengan gejala klinis malaria falsiparum tanpa komplikasi
yang datang ke RSU Penyabungan, Klinik Malaria Kecamatan
Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal, dan yang ditemukan di
lapangan sewaktu kunjungan pasien, akan diminta kesediaannya
untuk dapat diikutsertakan dalam penelitian.
55
mengundurkan diri dari penelitian atas permintaan sendiri, dan
tidak bersedia untuk turut dalam penelitian.
56
Untuk membandingkan efek antimalaria pada masing-masing
kelompok pengobatan dilakukan uji X2 (chi square)
membandingkan efikasi. Dengan nilai signifikan apabila p < 0,05.
Untuk membandingkan tingkat penurunan parasitemia (parasite
clearance) pada masing-masing kelompok pengobatan dilakukan
uji statistik Kruskal-Wallis. Digunakan perangkat computer dengan
software SPSS 12.
9.8.Cara Kerja
57
Dari tiap kelompok perlakuan, diambil 10 sampel secara acak dan
diperiksa TNF-α dan IFN- sebelum diberikan pengobatan, dan
pada hari ke tujuh setelah pengobatan. Pemeriksaan TNF-α dan
IFN- dengan metode ELISA dilakukan di Laboratorium Prodia
Jakarta melalui Laboratorium Padang Sidempuan Tapanuli Selatan.
58
Bila ditemukan kasus yang resisten terhadap pengobatan, maka
diberi pengobatan lanjutan dengan kombinasi kina dan doksisiklin
selama tujuh hari atau obat kombinasi malaria lain yang tersedia
pada peneliti, dan pasien tetap ditindaklanjuti sampai
pemeriksaan darah tepi malaria negatip.
59
Kapsul klorokuin
Kapsul artesunat
Kapsul plasebo
60
9.11. Daerah Penelitian
61
Dilakukan kunjungan lapangan ke desa-desa yang diketahui
sebagai kantong-kantong malaria, dan kepada setiap penduduk
yang memunyai keluhan demam atau ada riwayat demam atau
keluhan lain yang tidak khas, seperti sakit kepala, nyeri otot, mual
atau diare, ditempat dilakukan pemeriksaan fisik dan diambil
darah tepi untuk pemeriksaan malaria. Hasil sementara kemudian
dikonfirmasi lagi di laboratorium Rumah Sakit Umum
Panyabungan dan di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran
USU Medan. Pemeriksaan tes cepat dengan Acon yang dilakukan
pada awal penelitian tidak satupun menunjukkan hasil positip,
sementara pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan parasit
Plasmodium falciparum. Oleh karena itu, pemeriksaan tes cepat
tidak dilanjutkan pada penelitian ini.
62
Pada hari ke tujuh (H7), diulang pengambilan darah pasien untuk
pemeriksaan darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar gula
darah, dan pada pasien yang telah ditandai untuk diperiksa
kembali kadar TNF-α dan INF-γ.
63
protokol penelitian sampai akhir periode penelitian sebanyak 40
orang.
Mean Umur P
Kelompok Jumlah Laki-laki Perempuan (th)
ES250 45 19 26 35,56 NS
ES500 45 19 26 36,72
64
ES+K 45 15 30 38,43
ES+A 45 18 27 37,49
Total 180 71 109 36,90
Mialgia 117 65
Sakit Kepala 82 45.6
Mual 44 24.4
Menggigil 32 17.8
Demam 22 12.2
Diare 13 7.2
65
ES 250 57.8095 11.91478 NS
ES 500 54.3158 12.75431
ES + K 57.0000 13.68057
ES + A 56.4333 12.65898
Keterangan:
ES: Ekstrak Sambiloto ; K: Klorokuin ; A: Artesunat ; BB: Berat
Badan ; SD: Standard Deviasi ; NS: Non Signifikan
66
SD 1818.769 .2279 1.9358 1.57041 115.976 2.485 .0646
SE Mean 234.802 .0294 .2499 .20274 14.972 .321 .0083
Df 59 59 59 59 59 59 59
Prosedur Pemeriksaan
67
menggunakan alat Anogen Catalogue Number: EL10024.
(www.anogen.ca). Pada masing-masing kelompok uji pengobatan,
diambil 10 sampel serum secara simple random untuk diperiksa
kadar TNF-α dan IFN-γ sebelum pengobatan (H0) dan setelah hari
ke tujuh pengobatan (H7). Serum disimpan di dalam freezer
dengan suhu -200C di Laboratorium Rumah Sakit Umum
Panyabungan, dan selanjutnya secara kolektif di kirim ke
Laboratorium Prodia Jakarta, melalui Laboratorium Prodia Padang
Sidempuan. Gambar 14 menunjukkan alur pemeriksaan TNF-α
dan IFN-γ pada pasien.
68
Gambar 14 Alur Pemeriksaan TNF-α dan IFN-γ
Hasil pemeriksaan IFN-γ, dari 40 sampel serum, hanya satu sample
yang memunyai kadar IFN-γ sebesar 27 pg/ml pada H0 dan < 15,6
pg/ml pada H7, yaitu dari kelompok uji ekstrak herba sambiloto +
klorokuin. Sisanya, semua menunjukkan kadar < 15,6 pg/ml, yang
tergolong dalam katagori undetectable. Selanjutnya, dilakukan
perhitungan ekstrapolasi. Tabel 7 menunjukkan hasil pemeriksaan
kadar TNF-α pada masing- masing kelompok uji sebelum dan
setelah hari ke 7 pengobatan.
69
Tabel 7 Kadar TNF-α pada masing-masing kelompok Uji Sebelum
pengobatan dan pada Hari ke 7 pengobatan
70
7 2,76 3,55
8 3,01 2,54
ES 500 n=9 1 4,19 4,55
2 2,26 4,02
3 2,20 6,11
4 3,33 5,14
5 5,63 8,61
6 2,97 8,75
7 2,87 3,60
8 3,02 3,25
9 8,25 8,69
ES 250 + K 1 2,39 2,55
n=9 2 3,15 2,65
3 2,06 2,50
4 4,13 2,18
5 3,42 4,29
6 5,37 7,04
7 3,07 3,89
8 1,73 1,83
9 2,74 3,24
ES 250 + A 1 18,35 15,98
n = 10 2 4,64 4,51
3 3,76 3,43
4 5,69 5,88
5 2,97 8,58
6 3,12 6,93
7 7,23 2,55
8 2,99 3,21
9 2,58 2,29
10 2,36 2,75
Keterangan: ES 250 = ekstrak sambiloto 250 mg, ES 500 = ekstrak sambiloto
500 mg, ES 250 +K = ekstrak sambiloto 250 mg + Klorokuin, ES 250 + A =
ekstrak sambiloto 250 mg + Artesunate.
Untuk melihat perbedaan mean dari kadar TNF-α dari masing-
masing kelompok uji pengobatan, maka sebelumnya dilakukan uji
sebaran data secara statistik. Berdasarkan uji Kolmogorov-
Smirnov, didapati nilai p < 0,0001, berarti sebaran data tidak
normal. Selanjutnya dilakukan uji statistik dengan Wilcoxon signed
ranks test, dan didapat hasil uji sebelum pengobatan dan setelah
hari ke tujuh pengobatan dari masing-masing kelompok uji
pengobatan sebagai berikut (Tabel 8).
71
Tabel 8 Perbandingan mean kadar TNF-α sebelum pengobatan
dan pada hari ke 7 pengobatan pada masing-masing kelompok uji
Pengobatan
72
Kelompok IFN-(pg/ml) IFN-γ(pg/ml)
Obat Uji Mean H0 Mean H7
Sambiloto 250
n=8
9,586±1,213 9,483±0,481
Sambiloto 500
n=9
8,354±3,018 9,175±0,989
ES 250+
Klorokuin
n=9 8,683±1,029 8,231±0,752
ES 250+
Artesunat
n = 10 9,196±1,389 8,806±0,883
*****
BAB 10
73
Tabel 10 menunjukkan penurunan rata-rata jumlah parasit
Plasmodium falciparum sampai hari ke 28 pada masing-masing
kelompok uji pengobatan. Pada hari ke tujuh pengobatan, pada
semua kelompok uji tidak ditemukan lagi Plasmodium falciparum
dalam darah tepi, dan tetap tidak ditemukan sampai hari ke 28
tindak lanjut pengobatan. Dari analisis statistik dengan pengujian
normalitas data (Uji Kolmogorov-Smirnov, p < 0,05), menunjukkan
penyebaran data tidak normal. Maka analisis statistik dilanjutkan
dengan melakukan uji Kruskal-Wallis (Dahlan, 2004). Dengan Uji
Kruskal Wallis, terhadap tingkat penurunan parasitemia pada ke
empat kelompok uji pengobatan dari hari pertama sampai hari ke
enam, tidak ada perbedaan bermakna penurunan tingkat
parasitemia.
74
Kel.Terapi ES 250 ES 500 ES + K ES + A
Mean (n =40) (n = 38) (n = 37) (n =
Parasitemia/ml 40)
75
Gambar 15 Penurunan Jumlah Parasite P.falciparum pada 4
kelompok Uji Pengobatan
76
Total 78 8 86
ES : Ekstrak Sambiloto ; p = 0,617 (Fisher’s Exact Test)
77
*****
BAB 11
PEMBAHASAN
78
Sambiloto dikenal sebagai salah satu tanaman obat tradisional
sejak abad ke 18. Tanaman berdaun kecil dengan tinggi 40-100 cm
ini memunyai daftar panjang dalam menanggulangi berbagai
penyakit. Dalam sebuah majalah kedokeran (medical journal),
tamanan ini dilaporkan mampu mengatasi berbagai jenis penyakit
infeksi, termasuk malaria. Sambiloto dilaporkan pula memunyai
khasiat sebagai anti bakteri, anti radang, penghambat reaksi
imunitas, penghilang nyeri dan pereda demam.
79
dalam bahan. Setiawan bersama rekannya dari Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 2003 telah melakukan penelitian
untuk membuat ekstrak kering sambiloto ini. Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa teknologi "spray drying" dapat
menghasilkan ekstrak kering herbal sambiloto yang memunyai
spesifikasi (konsistensi dan aliran ) baik serta menunjukkan lebih
banyak bahan yang terlarut dari pada ekstrak yang dikeringkan
secara konvensional. Hal ini dapat ditunjukkan dengan alat spektra
ultraviolet maupun rekaman kromatogram (Setiawan dkk, 2003).
80
Dalam uji toksisitas terhadap tikus dan kelinci yang diberi ekstrak
sambiloto 1 gr/Kg BB selama tujuh hari tidak memengaruhi bobot
badan, faal darah, fungsi hati atau ginjal dan organ penting
lainnya. Ekstrak sambiloto tidak menimbulkan toksisitas
reproduksi pada tikus jantan yang diberi dosis sebesar 10 – 1000
mg/Kg BB secara intra gastrik setiap hari selama 60 hari. Secara
keseluruhan, bukti-bukti yang telah ada sampai saat ini
menunjukkan bahwa andrografolida yang terdapat dalam ekstrak
sambiloto memunyai toksisitas rendah bila digunakan dengan
tepat (Andrographis in Depth Review).
81
Ekstrak herba sambiloto telah diketahui memunyai empat
komponen aktif yang bersifat antimalaria, dan telah dibuktikan
terhadap Plasmodium berghei secara invivo pada binatang
percobaan dan terhadap Plasmodium falciparum secara invitro.
Inilah yang menjadi dasar, bahwa ekstak ini memunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan parasit dan
sebagai alasan untuk melakukan uji klinik terhadap pasien malaria
falsiparum tanpa komplikasi. Dua dari komponen Andrographis
paniculata, yaitu neoandrografolida dan deoxyandrografolida
disebut yang paling efektif dari keempat komponen.
Pada penelitian ini, uji invitro dari ekstrak herba sambiloto tunggal
dibandingkan dengan antimalaria lain, yaitu klorokuin dan
artemisinin (sebagai obat uji invitro yang tersedia di
Laboratorium), juga dengan kombinasi masing-masing dengan
sambiloto. Meskipun pada dosis 0,5 ug dan 1 ug dari sambiloto
tunggal belum menunjukkan efek menghambat pertumbuhan
Plasmodium falciparum, tapi pada peningkatan dosis berikutnya, 5
ug dan seterusnya terlihat efek membunuh terhadap Plasmodium
falciparum dengan terjadinya ”crisis form” dari parasit tersebut.
Dosis setinggi 200 ug efek maksimalnya untuk membunuh parasit
ini pada sel kultur selama 48 jam terlihat sama dengan klorokuin
dan artemisinin maupun kombinasi dengan keduanya. Penurunan
jumlah parasit pada sel kultur dengan peningkatan dosis obat uji,
terlihat lebih cepat pada kombinasi sambiloto dengan klorokuin
dan dengan artemisinin dibandingkan dengan sambiloto tunggal,
tapi analisis statistik menunjukkan tingkat penurunan secara
keseluruhan jika dibandingkan pada semua kelompok uji obat
tidak berbeda bermakna. Sedangkan peningkatan dosis obat uji,
jelas akan meningkatkan penurunan jumlah parasit Plasmodium
82
falciparum pada media kultur, yang secara statistik bermakna (p <
0,001), baik pada sambiloto tunggal maupun kombinasi.
Sayangnya, pada uji in-vitro ini, Plasmodium falciparum yang
digunakan untuk kultur bukan berasal dari pasien malaria dari
Madina, tetapi berasal dari cell line Plasmodium falciparum
Papua. Hal ini disebabkan karena tidak dapat dilakukan
pengambilan sampel darah pasien malaria falsiparum untuk
dibawa ke laboratorium Sentral Biomedik di Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang sebab transport media spesimen
untuk jarak tempuh yang jauh tidak tersedia.
83
Penelitian sebelumnya membandingkan efikasi kombinasi
sambiloto 250 mg + klorokuin dengan klorokuin tunggal
di Madina, terhadap pasien malaria falsiparum dewasa
tanpa komplikasi, menunjukkan efikasi 87,5% (Umar
Zein, dkk 2004). Pada penelitian ini terlihat efikasi ekstrak
herba sambiloto menunjukkan peningkatan mencapai
angka diatas 90%. Peningkatan efikasi ini berkaitan
dengan kualitas bahan sambiloto serta pengolahannya.
Pada penelitian ini bahan ekstrak yang diambil berasal
dari satu daerah pembenihan dan proses tanam dan
panen juga sudah terstandarisasi, yaitu dari budidaya
tanaman sambiloto PT Kimia Farma Tbk di Kebun
Pertanian Banjaran Bogor.
84
Infeksi Plasmodium falciparum pada manusia akan melibatkan
respon imun humoral dan seluler, dengan tujuan untuk
mengeliminasi parasit dari dalam tubuh manusia. Respon imun
humoral akan menghasilkan beberapa jenis antibodi, seperti
antibodi terhadap sporozoit yang akan menghambat invasi
sporosit ke hepar, antibodi terhadap merozoit yang menghambat
invasi merozoit ke eritrosit, antibodi terhadap antigen malaria
dalam eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum yang
dapat menghambat proses sitoadheren pada endotel pembuluh
darah, dan akan terbentuk pula antibodi yang menetralisir toksin
yang dihasilkan oleh Plasmodium falciparum. Sedangkan respon
imun seluler dapat mengaktivasi sel limfosit T-helper (CD4) untuk
menghasilkan berbagai macam limfokin, mengaktivasi limfosit T-
sitotoksik (CD8) guna melisis parasit intrahepatik (hepatosit yang
terinfeksi parasit), dan terhadap parasit di dalam eritrosit, memicu
terjadinya ADCC (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity).
Jadi sebetulnya respon imun tubuh cukup efektif guna mengatasi
infeksi plasmodium, tapi pada kenyataannya, orang banyak juga
terserang penyakit malaria ini. Hal ini disebabkan karena
plasmodium mampu menghindar dari respon imun tubuh melalui
kemampuannya membentuk variasi antigenik, seperti kemampuan
Plasmodium.falciparum mengsekresikan pfEMP1 (Plasmodium
falciparum erythrocyte membrane protein-1) dengan berbagai
variasi antigeniknya sehingga dapat menghindar dari blokade
antibodi terhadap perlekatan pada endotel vaskuler, dan
menghindar dari lisis oleh mekanisme ADCC (Daniel-Ribeiro,
2000).
85
terjadi pelepasan toksin dan selanjutnya terjadi produksi dari
sitokin untuk secara sistematik menimbulkan respon imun dari
host. Plasmodium tumbuh di dalam sel-sel eritrosit dengan
mencernakan hemoglobin di dalam sitoplasma dan selanjutnya
merubah heme menjadi toxic pigment. Di saat beberapa eritrosit
yang terinfeksi plasmodium ruptur bersamaan, maka akan terjadi
pelepasan toksin yang masif yang akan menyebabkan over
produksi sitokin, seperti TNF-α, IFN-γ, dan IL-1. Pada saat
meningkatnya kadar TNF-α sebagai respon terhadap rupturnya
eritrosit, maka akan terjadi respon demam yang berkaitan dengan
infeksi malaria (Malaria, Available from : www.bio/
davidson.edu/..).
86
Dalam beberapa literatur sudah banyak dibuktikan bahwa
tanaman obat sambiloto juga bersifat atau berkhasiat sebagai
imunomodulator (atau tepatnya sebagai imunostimulator).
Sebagai imunomodulator, AP dapat menstimulasi produksi
antibodi spesifik terhadap antigen sel darah merah domba,
meningkatkan reaksi alergi tipe lambat (Delayed Type
Hypersensitivity). Terhadap makrofag, meningkatkan indeks
migrasi (macrophage imgration index = MMI) dan meningkatkan
fagositosis terhadap sel target Escherichia coli yang dilabel 14C-
leucine. Terhadap limfosit yang diisolasi dari limpa, meningkatkan
aktifitas proliferasinya, sehingga AP disebut sebagai
Imunostimulator (Puri et al, 1993).
87
berkaitan dengan mekanisme sistim imun, seperti infeksi,
termasuk malaria (Zhang et al, 1995).
88
dengan ekstrapolasi. Dan dari perhitungan statistik, tidak terdapat
perbedaan yang bermakna pada semua kelompok uji kadar IFN-γ
pada saat sebelum pengobatan (H0) dan pada hari ke 7
pengobatan. Kondisi ini masih memerlukan evaluasi ulang dengan
pemeriksaan kadar IFN-γ dengan kit yang lebih sensitif. Level IFN-γ
tidak berbeda bermakna pada semua kelompok uji dibandingkan
dengan kontrol, berarti pemberian ekstrak sambiloto tidak
meningkatkan sekresi IFN-γ, atau dengan kata lain tidak
memengaruhi sekresi sitokin oleh subset Th1 (T-helper-1), padahal
dalam eliminasi parasit, peran sitokin Th-1 sangat penting. Dengan
demikian, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah
sampel yang lebih besar, terutama terhadap malaria tanpa
komplikasi dan dengan komplikasi. Dan diperlukan pengamatan
level sitokin yang disekresikan oleh Th-1 (IL-12, TNF- α, dan IFN-γ)
serta sekresi sitokin olehTh-2 (IL-4, IL-5, dan IL-10).
89
terhadap fungsi organ vital tubuh hewan coba juga telah
dibuktikan.
90
sebelum dan setelah hari ke tujuh pengobatan. Hal ini
membuktikan bahwa ekstrak herba sambiloto dalam pengobatan
malaria falciparum tidak mempengaruhi fungsi hematologik, hati,
ginjal, dan kadar gula darah.
*****
91
BAB 12
KESIMPULAN
92
BAB 13
SARAN
93
*****
Daftar Kepustakaan
94
Bloland PB . Beyond chloroquine: implications of drug resistance
for evaluating malaria therapy, efficacy and treatment policy in
Africa 1993, Journal of Infectious Diseases ; 167(4):932–937.
95
Traditional Chinese Medicine. available from URL
http://chinesemedicineherbs.net/ May 20, 2006
96
Departemen Kesehatan RI : Penggunaan Artemisinin Untuk Atasi
Malaria Di Daerah Yang Resisten Klorokuin.; Available from URL
http://www.depkes.go.id/. 27 April 2004
Fried M, Muga RO, Misore AO. and Patrick E Duffy: Malaria Elicits
Type 1 Cytokines in the Human Placenta : IFN- and TNF-
Associated with Pregnancy Outcomes. J Immunol 1998 ; 160 :
2523-30
97
Uncomplicated Malaria Falciparum in Siabu District, Mandailing
Natal Regency Sumatera Utara Province, Kongres Bersama PETRI,
Yogyakarta. 2001.(Abstract)
98
Kloppenburg J. Petunjuk lengkap mengenai tanam - tanaman di
Indonesia dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisional
(terjemahan), CDRS Bethesda dan Andi Offset,
Yogyakarta.1988;149.
99
http://www.ayurvedanc.com/research/Andrographis.htm, April 8,
2005
Mandell GL, Bennett JE, Dolin RM. Douglas and Bennet's Principles
and Practices of Infectious Diseases, 6th ed. 2000, Philadelphia,
Elsevier Churchill Livingstone, 3304–3307
100
Nugroho A, Wagey MT. Siklus hidup Plasmodium Malaria.
Dalam :Harijanto PN (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis, & Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta 2000 ; 38-53.
101
Sachs J, Malaney P. The economic and social burden of malaria.
Nature 2002, 415 (6872): 680-5, 2002.
http://www.cchem.berkeley.edu/mmargrp/research/malaria/hrp.
html. April 12, 2003
102
Tang W, Eisenbrand G. Chinese Drugs of Plant Origin: Chemistry,
Pharmacology, and Use in Traditional and Modern Medicine.
Springer-Verlag. Berlin. 1992; 97
.
Taylor TE, Strickland GT. Malaria. In : Strickland GT (Ed). Hunter’s
Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th ed. W.B.
Saunders Company, Philadelphia, 2000, 614- 43.
Thamlikitkul V, DechatiwongseT, Theerapong S, et al : Efficacy of
Andrographis paniculata, Nees for Pharyngotonsilitis in Adults
(Abstract), J Med Assoc Thai, 1991 ; 74 : 437 – 42.
103
WHO 2004 : WHO monographs on selected medicinal plants -
Volume 2 : Herba Andrographidis, 11 - 21
104
paniculata extract or andrographolide. 2007, Int.
Immunopharmacol 2007 ; 7(4) : 515-23
105