Anda di halaman 1dari 105

BAB 1

PENYAKIT MALARIA

Malaria merupakan infeksi protozoa genus plasmodium yang


dapat menjadi serius dan selalu menjadi salah satu masalah besar
kesehatan dunia (Winstay, 2001; Greenwood, 2002) . Setiap tahun
hampir 10 persen dari seluruh populasi dunia menderita malaria.
Dari jumlah itu sebanyak 500 juta penderita dengan gejala klinis
dan diantaranya menimbulkan 1-3 juta kematian tersebar di lebih
dari 90 negara (Sachs, 2002). Penyakit ini ditandai dengan adanya
demam dan menggigil dan dapat menimbulkan komplikasi
serebral, anemia berat, gastroenteritis, hipoglikemia, edema paru,
ruptur limpa, gagal ginjal dan kematian (Mandell, 2000).

Di Indonesia, angka kejadian malaria meningkat semenjak


terjadinya krisis moneter di tahun 1997. Di pulau Jawa misalnya,
angka kejadian parasit tahunan (annual parasite incidence rate -
API) meningkat dari 0.1 ke 0.8 infeksi per 1000 tahun orang antara
tahun 1996 dan 2000. Pada tahun 2002, angka ini meningkat lagi
hampir 70 % (Barcus, 2002).

1.1. Siklus hidup Plasmodium malaria


Dalam siklus hidupnya plasmodium memunyai dua hospes yaitu
manusia dan nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada
manusia disebut skizogoni dan siklus seksual yang membentuk
sporozoit di dalam nyamuk disebut sporogoni (Nugroho, 2000).

1.1.1.Siklus aseksual

1
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina
masuk ke dalam darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut.
Dalam waktu tiga puluh menit jasad tersebut memasuki sel-sel
parenkim hati dan dimulainya stadium eksoeritrositik daur
hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan
berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit
pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian mengalami
fagositosis. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki
eritrosit maka disebut stadium pre-eritrositik atau ekso-eritrositik.
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit menerobos masuk sel-sel
darah merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi
oleh sitoplasma yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai
membentuk tropozoit. Tropozoit berubah menjadi skizon muda,
kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri
menjadi beberapa merozoit. Dengan selesainya pembelahan
tersebut sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel
keluar dan bebas berada dalam plasma darah. Merozoit dapat
masuk sel darah merah lainnya lagi untuk mengulangi siklus
skizogoni. Selain dapat memasuki eritrosit kembali dan
membentuk skizon, merozoit dapat juga membentuk gametosit
yaitu bentuk seksual parasit plasmodium (Nugroho, 2000)
1.1.2. Siklus seksual

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang ada di


darah pasien tidak dicerna oleh sel-sel tubuh lain, masuk ke dalam
lambung nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah pasien.
Pada gamet jantan, kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang
bergerak ke pinggir parasit. Di pinggir ini beberapa filamen
dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet.
Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet ke dalam

2
makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk
seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat menembus
lapisan epitel dan membran basal dinding lambung nyamuk.
Ditempat ini ookinet membesar dan disebut ookista. Di dalam
ookista dibentuk ribuan sporozoit dan beberapa sporozoit
menembus kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk
menggigit/menusuk manusia memungkinkan sporozoit masuk ke
dalam darah dan mulailah siklus pre eritrositik (Nugroho, 2000 ;
Scheme Life Cycle Malaria). Gambar 1 menunjukkan siklus hidup
plasmodium.

Gambar 1 Skema Siklus Hidup Plasmodium ( Farmedia CD-ROM)

3
Keterangan Gambar 1:

Sewaktu nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi menghisap


darah manusia, maka terjadilah inokulasi sporozoites ke dalam
tubuh manusia . Sporozoit kemudian menginfeksi sel hati dan
akan berkembang menjadi skizon matang , yang akan pecah dan
melepaskan merozoit . (pada P. vivax and P. ovale bentuk
dorman - hypnozoit akan menetap di dalam hati dan
menyebabkan kasus relaps dengan melepasnya ke dalam aliran
darah dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun
kemudian). Setelah replikasi di dalam hati (exo-erythrocytic
schizogony ), parasit akan mengalami multipikasi aseksual di
dalam eritrosit (erythrocytic schizogony) . Merozoit menginfeksi
sel darah merah. Stadium tropozoit bentuk ring akan menjadi
bentuk skizon matang, yang akan pecah melepaskan merozoit .
Beberapa parasit berdiferensiasi menjadi stadium gametosit
(sexual erythrocytic stages) . Gametosit jantan
(microgametocytes) dan betina (macrogametocytes), masuk ke
lambung nyamuk sewaktu menghisap darah pasien . Multipikasi
parasit pada nyamuk disebut sebagai siklus sporogoni .
Makrogamet dan mikrogamet dalam lambung nyamuk akan
berkembang menjadi zigot . zigot bergerak dan memanjang
disebut ookinet yang akan menembus dinding usus nyamuk dan
berkembang menjadi oosist . Oosist berkembang, pecah dan
melepaskan sporozoit , kemudian masuk ke kelenjar saliva
nyamuk. Inokulasi dari sporozoit ke dalam tubuh manusia
selanjutnya sebagai hospes pada siklus hidup plasmodium .

1.2.Prinsip transmisi malaria

4
Malaria menyebar dari seorang ke orang lain melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina. Nyamuk ini mengalami infeksi dengan
bentuk seksual parasit yaitu gametosit, ketika menghisap darah
manusia yang terinfeksi malaria. Gametosit berkembang dalam
tubuh nyamuk selama 6 – 12 hari, setelah itu nyamuk ini akan
dapat menginfeksi manusia sehat bila ia menghisap darahnya.

Intensitas transmisi malaria di suatu daerah adalah kecepatan


inokulasi parasit malaria oleh gigitan nyamuk di daerah tersebut.
Keadaan ini menunjukkan angka annual entomological inoculation
rate (EIR), yaitu jumlah rata-rata infeksi akibat gigitan nyamuk
yang terinfeksi pada penduduk di area tersebut selama periode
satu tahun. Angka EIR ini menentukan seberapa besar perluasan
dan epidemiologi malaria serta pola klinis penyakit secara lokal.
Pada daerah dengan transmisi tinggi angka EIR bisa mencapai 500
– 1000, seperti beberapa daerah di Afrika, dan daerah transmisi
rendah dengan angka EIR ≤ 0,01, yang terdapat di daerah
temperate zone seperti Caucasus dan Central Asia dimana
transmisi malaria sedikit dan terbatas. Diantara kedua daerah
ekstrim ini, ada daerah dengan musim yang tidak stabil seperti
daerah Asia dan Amerika Latin dengan EIR ≤ 10, dan selalu
berkisar antara 1–2, dan situasi dengan musim yang stabil di
daerah Afrika Barat dengan EIR antara 10–100. Proporsi nyamuk
yang terinfeksi secara lokal berhubungan dengan jumlah manusia
yang terinfeksi di daerah tersebut. Oleh karena itu, dengan
mengurangi jumlah orang yang terinfeksi di suatu daerah, akan
menurunkan tingkat transmisi malaria di daerah tersebut, dan
juga menurunkan angka prevalensi dan insidensi secara lokal.
Hubungan antara EIR dan prevalensi malaria dipengaruhi oleh
imunitas alami dan ada tidaknya pengobatan yang efektif. Obat
antimalaria dapat menurunkan transmisi karena efeknya kepada

5
infektifitas parasit. Efek ini dapat secara langsung pada gametosit,
sebagai bentuk infektif yang ditemukan pada manusia
(gametocytocidal effect) atau ketika obat memasuki tubuh
nyamuk sewaktu menghisap darah penderita, akan memunyai
efek terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh nyamuk
(sporonticidal effect). Klorokuin dapat membunuh gametosit
muda, tetapi tidak memunyai efek menekan bentuk infektif yang
immature. Malah klorokuin menunjukkan kemampuan
memperbesar infektifitas gametosit terhadap nyamuk. Sebaliknya,
sulfadoksin-pirimetamin meningkatkan jumlah gametosit, tetapi
infektifitasnya berkurang terhadap nyamuk. Artemisinin
memunyai efek gametositosidal yang paling poten di antara
antimalaria saat ini. Obat ini dapat merusak gametosit immatur
sehingga mencegah masuknya gametosit yang infektif kedalam
sirkulasi. Tetapi efeknya terhadap gametosit yang matang kurang
dan tidak memengaruhi infektifitasnya yang tetap ada dalam
sirkulasi selama pengobatan (WHO, 2006).

1.3. Patobiologi P.falciparum

Semua gejala klinis yang khas ditemukan pada pasien malaria, baik
tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi, dasar patologinya
adalah perubahan-perubahan akibat eritrosit yang terinfeksi oleh
plasmodium aseksual atau blood stage parasite. Ketika
plasmodium berkembang di dalam eritrosit, maka sejumlah
substansi yang telah diketahui maupun yang belum diketahui yang
merupakan bahan-bahan produk parasit, seperti pigment
hemozoin dan bahan-bahan toksik lainnya terakumulasi di dalam
sel eritrosit yang terinfeksi. Ketika eritrosit ini mengalami lisis
untuk melepaskan merozoit, maka bahan-bahan toksik ini akan
hanyut ke dalam aliran darah. Hemozoin dan bahan toksik lainnya

6
seperti GPI (Glucose Phosphate Isomerase) akan merangsang
makrofag dan sel lain untuk memroduksi sitokin dan mediator
lainnya yang memicu terjadinya demam, menggigil serta
mekanisme lainnya yang menimbulkan patofisiologi yang
berkaitan dengan malaria berat (CDC, 2007).

Plasmodium falciparum, seperti organisme lainnya, mendapatkan


nutrisi dari lingkungan dan mengubah nutrisi tersebut menjadi
bentuk molekul lain atau berupa energi. Molekul-molekul dan
bentuk energi ini kemudian digunakan untuk mengatur
homeostasis parasit, proses pertumbuhan serta proses
reproduksi. Asam amino yang digunakan untuk sintesis protein
diperoleh melalui sintesis de novo yaitu dengan cara :
1. Fiksasi CO2, dengan sedikit penggabungan ke dalam protein.
2. Plasma hospes dengan pengambilan (uptake) semua asam
amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan seperti metionin,
sistein dan glutamat.
3. Penghancuran dan pencernaan Hb penjamu (Wiser, 2002).

Proses degradasi Hb hospes pada plasmodium terjadi dalam


vakuol makanan yang bersifat asam, disamping proses
katabolisme Hb yang melibatkan beberapa protease, antara lain
plasmapepsin I, plasmapepsin II. Hb dipecah menjadi bentuk
globin dan heme oleh protease yang berada dalam vakuol
makanan. Plasmapepsin akan memecah Hb menjadi globin.
Sistein, falsipain (protease karakteristik Plasmodium falciparum)
yang kemudian memecah globin menjadi peptida yang lebih kecil.
Oleh serin, peptide kecil ini dipecah lagi menjadi asam amino yang
akan ditransportasi dari vakuol makanan ke sitoplasma
plasmodium (Schneider, 2003).

7
1.4.Mekanisme pembunuhan parasit

1.4.1.Sistim imun

Mekanisme kerja tubuh terhadap parasit malaria sangat kompleks,


karena melibatkan hampir semua komponen imun, baik imunitas
yang timbul secara alami maupun didapat, karena adanya infeksi
yang spesifik maupun non spesifik, humoral maupun seluler.
Adanya toksin malaria yang dominan berupa GPI (Glucose
Phosphate Isomerase), yang merupakan komponen dari protein
membran plasmodium dan dapat mengaktifkan makrofag dan
endotelium vaskuler, merangsang TNF, IL-1, NO dan ekspresi ICAM
yang mengakibatkan timbulnya berbagai mekanisme patogenesis
malaria (Enger, 2001). Kadar TNF-α memunyai implikasi terhadap
patogenesis malaria dengan komplikasi. Korelasi yang positip
ditemukan antara kadar TNF-α dengan beratnya malaria.
Interleukin 10 (IL-10) bersifat imunosupresor yang kuat pada
malaria dan bekerja mengurangi respon imunoproliferatif dan
inflamasi (Nyangoto, 2005).

1.4.2.Radikal Bebas

Efek peningkatan TNF-α pada malaria mencakup juga pelepasan


radikal bebas dan NO serta meningkatkan fagositosis oleh
makrofag dan netrofil. Tumor Necrozing Factor α (TNF-α) dapat
merangsang netrofil untuk menghasilkan radikal bebas dalam
jumlah besar sebagai respon terhadap parasit. Radikal oksigen
bebas berupa super oksida (O2-), peroksida (O22-) dan radikal
hidroksi (HO-) yang dapat meningkatkan penghancuran
makromolekul seluler dan lipid. Radikal O2 bersama-sama dengan
INOS dapat melakukan oksidasi fagosit yang dalam fagosom asidik

8
menghasilkan radikal peroksinitrit yang sangat reaktif dan dapat
membunuh parasit (Abbas et al, 2000).

1.5. Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Interferon (IFN)

TNF merupakan mediator utama pada radang akut sebagai respon


terjadinya infeksi. TNF disebut juga TNF- untuk suatu alasan
sejarah dan membedakannya dari TNF- atau limfotoksin. Fungsi
utama TNF adalah untuk menstimulasi penerimaan neutrofil dan
monosit serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk
menghancurkan mikroba (Abbas et al, 2000).

Aktivitas TNF-α sebenarnya terjadi pada konsentrasi rendah. Pada


konsentrasi rendah TNF-α meningkatkan perlekatan endotel
terhadap leukosit neutrofil. Rendahnya konsentrasi TNF-α juga
memicu produksi IL1, IL6 dan IL8 yang berperan dalam proses
inflamasi, menghambat pertumbuhan stadium darah plasmodium
dengan mengaktifkan sistim imunitas seluler, juga dapat
membunuh parasit secara langsung namun aktifitasnya hanya
lemah. Peninggian konsentrasi TNF-α menyebabkan TNF-α dapat
masuk ke sirkulasi sistemik. Munculnya demam merupakan reaksi
TNF-α pada hipotalamus akibat peningkatan sintesis prostaglandin
oleh sel-sel hipotalamus yang distimulasi sitokin (Abbas et al,
2000; Kasper et al, 2001). Level TNF-α sampai 8 pg/ml
digolongkan pada level yang rendah, yang secara klinis sangat
menguntungkan dalam meningkatkan respon imun seluler pada
infeksi Plasmodium falciparum, karena dengan kadar yang rendah
ini, TNF-α dapat meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I,
sehingga mengoptimalkan kerja limfosit T-sitotoksik (CD8) dalam
melisis hepatosit pada fase intra hepatik. Kadar TNF-α yang
rendah ini juga mengaktivasi monosit/makrofag serta natural

9
killer (NK) sel sehingga mengoptimalkan kerja sel-sel tersebut
dalam proses ADCC (antibody-dependent cell-mediated
cytotoxicity) terhadap skizon dalam eritrosit (Grau et al, 1989;
Torre et al, 2002)

Jika TNF-α berada dalam konsentrasi sangat tinggi, misalnya pada


konsentrasi serum 100 – 500 ugm/l atau lebih, akan menghambat
kontraktilitas otot jantung dan otot polos vaskular sehingga terjadi
penurunan tekanan darah atau shock (Abbas et al, 2000).
Respon imun akibat infeksi malaria sangat kompleks dan spesifik.
Seperti pada stadium hepatik, yang berperan penting adalah CD8 +.
Efek protektif CD8+ mungkin diperantarai oleh lisisnya sporozoit
atau sekresi IFN-γ dan aktivasi hepatosit memroduksi nitrik oksida
dan zat-zat lain yang dapat membunuh parasit. Kebanyakan
manifestasi patologi infeksi malaria disebabkan aktivasi sel T,
makrofag dan produksi TNF (Fried et al, 1998; Abbas et al, 2000).
Penelitian di India menunjukkan bahwa kadar IL-1β yang tinggi
berasosiasi dengan kejadian malaria serebral, sedangkan kadar IL-
12 dan IFN-γ yang tinggi berasosiasi dengan malaria berat yang
non serebral (Prakash et al, 2006)

1.6. Obat antimalaria

Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang
pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang
sebenarnya beracun tetapi dapat menekan pertumbuhan
protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan
Jerman berhasil menemukan atabrin (quinacrine hydrocloride)
yang pada saat itu lebih efektif daripada kinin dan toksisitasnya
lebih ringan. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap
lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba

10
secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria
dibandingkan dengan atabrin atau kinin. Obat tersebut juga
mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obat-obat
lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan
secara terus menerus. Namun baru-baru ini strain Plasmodium
falciparum, yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan
adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria
sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Indonesia,
Vietnam, Thailand dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan
Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain
Plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit
yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, serta fakta bahwa jenis
nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan
terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan
peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di berbagai negara
tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria mengalami
peningkatan pada para turis Amerika dan Eropa Barat yang
berkunjung ke Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan juga di antara
para pengungsi dari daerah itu sendiri (www.infeksi.com).

*****

11
BAB 2

MASALAH PENGOBATAN MALARIA


DI INDONESIA

Untuk pertahanan menghadapi serbuan Inggeris, Daendels


membangun benteng untuk mengawasi perairan Selat Sunda.
Tetapi pembangunan benteng tersebut gagal total. Baik para
pekerja paksa pribumi, serdadu infanteri maupun kesatuan-
kesatuan artileri disapu habis oleh malaria (Ananta Toer, 2005).
**
Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan di negara tropis
dan subtropis di dunia sampai saat ini. Di wilayah Indonesia yang
tergolong tropis, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak
penderitanya. Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa
bernama Plasmodium, ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles. Saat ini ada 5 jenis plasmodium yaitu Plasmodium
vivax menyebabkan malaria tertiana, P. malariae dan P.ovale
menyebabkan malaria kuartana, P. falciparum mengakibatkan
malaria falsiparum dan P.knowlesi yang terakhir ditemukan.

12
P.knowlesi sebagai spesies plasmodium terbaru ditemukan pada
manusia, telah diidentifikasi pertama kali pada tahun 1931 pada
monyet jenis long-tailed macaque (Macaca fascicularis) dan
dapat menginfeksi manusia dengan menginokulasikan darah
terinfeksi pada tahun 1932 (Singh et al, 2004). Pada tahun 2004
telah dilaporkan P.knowlesi sebagai penyebab malaria di Kapit
division of Malaysian Borneo dan telah diidentifikasi secara
biomolekuler dengan nested PCR screening (Imwong et al, 2009).

Jenis malaria falsiparum paling berbahaya dan sering


menyebabkan kematian. Gejala yang ditimbulkannya dapat
menurunkan produktivitas penderitanya. Penyakit ini ditandai
dengan gejala-gejala demam, sakit kepala dan berkeringat, badan
terasa tidak enak. Demam atau peningkatan suhu tubuh dapat
mencapai 40oC. Jenis keadaan yang berat dikenal dengan nama
Malaria tropika, yaitu malaria falsiparum dengan komplikasi.

Penyakit malaria, terutama malaria falsiparum di Indonesia masih


merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sampai saat ini
belum dapat ditanggulangi secara efektif dan dikontrol secara
baik, bahkan di berbagai daerah di Indonesia, sering menimbulkan
wabah atau kejadian luar biasa. Salah satu masalah
penanggulangannya adalah terjadinya resistensi parasit P.
falciparum terhadap obat-obat antimalaria standar yang
digunakan di Indonesia, seperti klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin.

Saat ini obat-obat anti malaria konvensional seperti klorokuin,


pirimetamin-sulfadoksin, dan kina masih banyak digunakan
masyarakat, tetapi efektifitasnya sudah mulai menurun.

13
Diagnosis dini dan pengobatan segera merupakan salah satu dari
prinsip strategi global dalam mengendalikan malaria. Hasil guna
dari intervensi ini sangat tergantung pada obat antimalaria yang
digunakan, tidak hanya aman dan efektif, tetapi juga mudah
didapat (available), terjangkau harganya (affordable), dan dapat
diterima oleh populasi yang berisiko menderita penyakitnya
(acceptable). Penggunaan yang rasional dan efektif dari obat
antimalaria tidak hanya bertujuan mengurangi risiko penyakit
menjadi berat dan menyebabkan kematian, tetapi juga
memperpendek masa sakit, dan menghambat perkembangan
resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria yang
digunakan. Cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat
antimalaria yang konvensional merupakan tantangan yang serius
dalam strategi mengendalikan penyakit malaria (WHO, 2001).

Demikian juga halnya di Indonesia, resistensi plasmodium


terhadap obat antimalaria merupakan masalah serius dan kendala
dalam pemberantasan penyakit malaria, dimana klorokuin salah
satu obat anti malaria yang utama dilaporkan telah mengalami
resistensi (Tjitra, 1996). Parasit malaria yang resisten terhadap
obat anti malaria di Indonesia, terutama klorokuin penyebarannya
tidak merata, namun semua propinsi telah melaporkan kasus yang
tergolong resisten terhadap obat tersebut. Salah satu daerah di
Indonesia yang dinyatakan sebagai daerah resisten klorokuin yang
bersifat sporadis adalah Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing
Natal, Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1994 (Depkes RI,
1995). Penelitian yang dilakukan kembali pada tahun 2001 di
daerah tersebut, ditemukan resistensi terhadap klorokuin sebesar
47,5% dan terhadap pirimetamin–sulfadoksin 50% secara in-vivo
(Ginting dkk, 2001).

14
Resistensi terhadap obat antimalaria telah menyebar secara
intensif selama 15 – 20 tahun (Bloland et al, 1993, 1998; Marsh,
1998). Sementara perkembangan obat-obat antimalaria baru
sangat terbatas dan tidak merata. Penelitian efek antimalaria dari
bahan tanaman obat pada umumnya dilakukan dengan uji in-vitro
di laboratorium atau uji in-vivo pada hewan coba, sedangkan pada
tingkat uji klinis belum ada dilaksanakan. Problem lain dari obat-
obat baru tersebut berhubungan dengan distribusi dan
penggunaannya yang berkaitan dengan situasi daerah atau negara
tertentu. Di beberapa daerah endemik malaria, ternyata sulit
untuk mendapatkan obat antimalaria yang digunakan dalam
pengobatan maupun pencegahan. Obat sering diperoleh dari
sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan kualitas
yang bervariasi dan dosis yang tidak ditetapkan secara tepat
(Bloland, 2001).

Untuk mengatasi kasus resistensi terhadap obat klorokuin


pemerintah telah menyediakan obat alternatif yang sudah
tersedia di Indonesia seperti pirimetamin-sulfadoksin dan kina,
namun kedua obat tersebut telah mengalami penurunan
sensitivitas terhadap parasit Plasmodium falciparum (Sungkar,
Pribadi, 1992).

Kebijakan nasional dalam pengobatan malaria adalah


mengupayakan populasi yang memunyai risiko penyakit dapat
mengakses obat yang aman, berkualitas baik, efektif, tidak berefek
samping, mudah penggunaannya, dan dapat diterima secara luas,
sehingga dapat dicapai keadaan sebagai berikut:

1) Penyembuhan klinis yang cepat dan bertahan lama.

15
2) Mencegah malaria tanpa komplikasi menjadi berat dan
kemungkinan kematian.
3) Memperpendek episode malaria dan mengurangi kejadian
anemia yang berhubungan dengan tingginya tingkat
transmisi malaria.
4) Mengurangi kemungkinan terjadinya malaria plasental yang
berhubungan dengan pencegahan infeksi pada ibu hamil.
5) Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi
terhadap obat anti malaria. (WHO, 2001)

Berbagai penelitian terus dilakukan dalam rangka mengatasi


resistensi parasit malaria terhadap obat antimalaria. Salah satu
usaha yang dilakukan adalah dengan menggunakan pengobatan
kombinasi beberapa obat antimalaria (Radlofi et al, 1990, WHO,
2000). Beberapa terapi kombinasi telah dilaporkan dalam usaha
mengatasi malaria dengan resistensi obat, tetapi sampai saat ini
belum ada yang efektif dan aman.

Dalam menanggulangi malaria yang resisten terhadap klorokuin di


daerah endemis, WHO pada tahun 2001 menganjurkan kombinasi
antimalaria dengan basis artemisinin (Bloland, 2001). Artemisinin
telah direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan R.I dan telah
beredar dalam jumlah terbatas, berupa kombinasi artesunat atau
derivatnya dengan meflokuin atau amodiakuin.

Keuntungan dari kombinasi obat antimalaria dengan artemisin


atau derivatnya adalah:

1. Diharapkan efektifitas penanggulangan malaria dapat lebih


meningkat, mengingat pengobatan dengan lini pertama

16
obat antimalaria telah menunjukkan penurunan
efektifitasnya.
2. Efikasi yang tinggi dari artemisin atau derivatnya untuk
membersihkan parasit dari dalam darah serta
menghilangkan gejala malaria
3. Belum ada laporan resistensi terhadap artemisin dan
derivatnya hingga saat ini
4. Memperlambat perkembangan dan penyebaran resistensi
jika dilakukan pengobatan kombinasi
5. Efek artemisin terhadap gametosit dapat menghambat
penularan malaria didaerah dengan tingkat transmisi
rendah dan sedang (WHO, 2001).

Program Roll Back Malaria yang merupakan gagasan WHO


mengupayakan untuk menurunkan kasus malaria sebanyak 50%
pada tahun 2010. Indonesia juga harus dapat menerima program
tersebut terhadap penemuan obat antimalaria baru.
Permasalahan dari obat antimalaria ini terdapat pada penyediaan
bahan baku yang belum dapat mengikuti kebutuhan dunia. Untuk
melancarkan secara operasional kebutuhan ini, maka dibentuk
Malaria Medicine and Supply Service. Disamping itu, upaya
pencegahan dilakukan dengan penggunaan kelambu yang telah
dicelup dengan insektisida, yang juga harus disediakan dalam
jumlah yang cukup, sementara menyiapkan seluruh obat-obatan
yang akan dibutuhkan beserta tes diagnostik yang memadai
(Nelwan, 2005).

Oleh karena hal-hal tersebut di atas dan ancaman terhadap makin


meningkatnya resistensi P.falciparum terhadap obat-obat
antimalaria di seluruh dunia, maka perlu dicari jenis obat lain yang
mungkin terdapat di Indonesia dan memunyai potensi sebagai

17
antimalaria yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Pemikiran
global dan aksi lokal sangat diperlukan dalam penanganan
masalah malaria secara nasional maupun internasional.

*****

BAB 3

RESISTENSI PARASIT TERHADAP OBAT MALARIA

Pada saat ini telah terjadi peningkatan insiden malaria disebabkan


oleh berbagai macam faktor, salah satu di antaranya berupa kasus
malaria yang resisten terhadap obat-obat antimalaria. Resistensi
parasit malaria terhadap klorokuin muncul pertama kali di
Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika Serikat pada tahun
1962. Dari kedua fokus ini, resistensi meluas keseluruh dunia. Di
Indonesia resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin
ditemukan pertama kali di daerah Kalimantan Timur pada tahun
1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan pada tahun 1996
kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia (Depkes RI, 1995; Laihad dkk; 2000;
Acang, 2002). Salah satu daerah di Indonesia yang dinyatakan
sebagai daerah resisten klorokuin yang bersifat sporadis pada
tahun 1994 adalah Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal,
Propinsi Sumatera Utara (Depkes. RI, 1995).

Untuk mengatasi kasus resistensi parasit malaria terhadap obat


klorokuin pemerintah telah menyediakan obat alternatif yang
sudah tersedia di Indonesia seperti pirimetamin-sulfadoksin dan

18
kina, namun terhadap kedua obat tersebut Plasmodium
falciparum juga telah menunujukkan resistensi. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan, melaporkan pertama kali
resistensi Plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-
sulfadoksin pada 9 kasus di Papua, dimana sebelumnya pada
tahun 1981 daerah itu telah dinyatakan resisten terhadap
klorokuin (Sungkar&Pribadi, 1992). Ginting dkk pada tahun 2001
telah melakukan penelitian di Kecamatan Siabu Kabupaten
Mandailing Natal dan melaporkan resistensi terhadap klorokuin
sebesar 47,5% dan terhadap pirimetamin-sulfadoksin 50% secara
invivo. Kombinasi terapi kina dan tetrasiklin sebagai obat alternatif
terhadap malaria falsiparum, memunyai efek terapi yang baik,
namun ditemukan efek samping dari kina yang serius berupa
mual, muntah, gangguan keseimbangan, telinga berdenging dan
hilangnya nafsu makan (Bunnag et al, 1996).
Daerah yang mengalami resistensi terhadap obat antimalaria
semakin luas dan pada tahun 2000 tercatat 77 kabupaten meliputi
158 kecamatan. Berdasarkan laporan dari Subdit Malaria Depkes
RI, masalah resistensi terhadap obat antimalaria telah dilaporkan
hampir diseluruh propinsi dengan derajat resistensi yang berbeda
(Konsensus PAPDI, 2003). Beberapa kabupaten yang dikenal sudah
mengalami resistensi antara lain Kab. Simeulue (NAD), Kab.
Lampung Selatan (Lampung), Banjarnegara dan Purworejo
(Jateng), Kab. Kulonprogo (DIY), Kabupaten Pasir (Kaltim), Kab.
Minahasa (Sulut), Kab. Landak (Kalbar), masing-masing Kab.Alor,
Kab. Sumba Barat dan Sumba Timur (NTT), Kab.dan Kota Jaya Pura
serta Timika (Papua), Maluku, Kab. Halmahera (Maluku Utara) dan
DKI Jakarta (Depkes, 2004).
Kecepatan penyebaran resistensi plasmodium terhadap obat
malaria tidak sama pada setiap daerah atau negara. Menurut
White ada tiga faktor yang menimbulkan resistensi, yaitu 1). faktor

19
operasional, seperti dosis subterapeutik, kepatuhan penderita
yang kurang, 2). faktor farmakologik, dan 3). faktor transmisi
malaria, termasuk intensitas, drug pressure dan imunitas. Untuk
mencegah atau memperlambat laju resistensi, maka terapi
kombinasi antimalaria yang rasional sangat dianjurkan. Salah satu
cara untuk meningkatkan mutu pengobatan dan menekan
penyebaran resistensi obat yaitu dengan pemberian obat
kombinasi (Radlofi et al, 1990). Di daerah endemis malaria yang
resisten terhadap klorokuin, WHO pada tahun 2001 menganjurkan
kombinasi antimalaria dengan basis artemisin (WHO, 2001).
Mengingat permasalahan tersebut di atas dan ancaman terhadap
makin meningkatnya resistensi obat-obat antimalaria terhadap
Plasmodium falciparum, maka perlu dicari obat alternatif untuk
mengatasi infeksi malaria yang telah resisten terhadap obat. Di
negara berkembang pemakaian obat alternatif lainnya harus
memperhitungkan segi biaya dimana harganya perlu murah. Jadi
dalam penanganan kasus resistensi plasmodium terhadap obat
antimalaria perlu dilakukan dengan obat kombinasi yang murah,
mudah didapat, dan tersedia di seluruh daerah endemis malaria
(Bloland et al, 2000).

Mekanisme Terjadinya Resistensi

Secara umum resistensi terjadi sebagai akibat seleksi dan mutasi


genetik pada parasit malaria. Hal ini disebabkan oleh pemakaian
obat malaria tertentu dalam waktu yang lama. Resistensi terhadap
obat malaria yang bekerja lemah dan lambat terhadap fase
skizogoni darah secara relatif timbul lebih cepat dibandingkan
dengan resistensi terhadap obat yang bekerja kuat dan cepat
terhadap skizogoni tersebut (Sutisna, 2004).

20
Resistensi plasmodium terhadap suatu obat antimalaria adalah
kemampuan plasmodium tersebut untuk dapat hidup dan
berkembang biak setelah diberi obat dalam dosis yang optimal
atau lebih tinggi dari pada dosis yang biasa diberikan, tetapi yang
masih dalam batas toleransi penderita. Teori Clyde menyebutkan
kemungkinan adanya mekanisme defensif parasit. Pirimetamin
bekerja sebagai inhibitor enzim dihidrofolat reduktase yang
menyebabkan parasit tidak mampu membentuk asam
tetrahidrofolat, yang menyebabkan parasit tidak mampu
melanjutkan siklus hidupnya, tetapi Plasmodium falciparum yang
telah menjadi resisten terhadap pirimetamin ternyata mampu
membentuk enzim dihidrofolat reduktase yang abnormal dalam
jumlah banyak. Sulfadoksin bekerja sebagai kompetitor inhibisi
PABA dengan menggunakan enzim dihidropteroat sintetase
sehingga pembentukan asam didropteroat terganggu dan asam
folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk. Penyebab resistensi
terhadap sulfadoksin karena parasit mampu menggunakan jalan
pintas sehingga terhindar dari pengaruh sulfadoksin. Klorokuin
bekerja dengan mengikat feriprotoporfin IX yang merupakan suatu
hematin hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Laktan
feriprotoporfirin IX-klorokuin ini mampu melisiskan membran
parasit. Resistensi terhadap klorokuin terjadi karena tempat ikatan
klorokuin dalam eritrosit berkurang sehingga parasit dalam
eritrosit tidak dapat dibunuh. Menurut Cowman pada umumnya
resistensi terjadi oleh mutasi gen karena pemakaian obat secara
terus-menerus dalam waktu lama dan bersifat massal. Mutasi ini
menyebabkan parasit mengambil jalur metabolisme lain sehingga
terhindar dari pengaruh obat. Pada anti folat terjadi mutasi pada
gen tunggal dan pada klorokuin terjadi mutasi yang multigenik
sehingga timbul secara perlahan-lahan (Sungkar dkk, 1992)
*****

21
BAB 4

PERANAN TANAMAN OBAT DI INDONESIA

Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional
yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
secara turun temurun. Keuntungan obat tradisional yang
dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk
memerolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan
sendiri, murah dan dapat diramu sendiri setempat (Depkes, 1983).
Hampir setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan
obat untuk mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada
tubuh selama hidupnya, baik ketika masih bayi, kanak-kanak,
maupun setelah dewasa. Dan diakui serta dirasakan manfaat
tumbuhan obat ini dalam menyembuhkan penyakit yang diderita
atau meredakan kelainan yang timbul pada tubuh.

Pada masa lalu tumbuhan obat ini berperan karena fasilitas


kesehatan tidak terjangkau, terutama di daerah-daerah pedesaan
yang terpencil. Masih banyak anggota masyarakat yang mencari
pertolongan pengobatan kepada tenaga-tenaga penyembuh
tradisonal seperti tabib dan dukun, bahkan sebagian dari mereka
juga mencoba tumbuhan obat untuk menyembuhkan penyakit
hanya berdasarkan informasi dari keluarga atau tetangga saja.
Pada ketika itu, peranan tumbuhan obat sangat terbatas pada
sekelompok penduduk daerah tertentu dan pada keadaan
tertentu, serta dipengaruhi pula oleh kepercayaan tertentu berkat

22
mantera-mantera yang diyakini memunyai kekuatan penyembuh
bila dikerjakan oleh orang-orang tertentu seperti dukun.

Obat Tradisional dan Profesi Dokter

Memang diakui bahwa pandangan profesi dokter terhadap


tumbuhan obat atau obat-obat tradisonal masih negatif, apalagi
mau menggunakannya sebagai obat terhadap pasien di praktek,
baik itu di Puskesmas, rumah sakit, apalagi di tempat praktek
pribadi. Hal ini menurut penulis adalah wajar, karena dari
kurikulum pendidikan dokter sendiri belum ada topik tentang
penggunaan tumbuhan obat ini.

Pengetahuan dan pengalaman dokter Indonesia tentang obat-


obatan umumnya terhadap obat-obat generik maupun obat
paten. Terutama obat-obatan dari luar negeri yang sangat gencar
membungkus strategi bisnis pemasaran obatnya dikalangan
profesi dokter dengan melakukan penelitian-penelitian
multicenter, serta memublikasikannya di Majalah Kedokteran
internasional. Sementara kegiatan penelitian di bidang farmasi
sepertinya tidak begitu gairah untuk bekerja sama dengan profesi
dokter, walaupun mendapat dukungan dari berbagai sponsor. Hal
ini sangat berbeda dengan negara-negara seperti Cina, India,
Thailand dan lainnya.

Di negara Cina misalnya, sudah sejak bertahun-tahun akademi-


akademi medis Cina memelajari suatu seni yang sudah berusia
berabad-abad mengenai pengobatan-pengobatan herbal, dan
mengembangkan seni ini sejalan dengan kaidah-kaidah ilmiah. Hal
ini melibatkan penelitian yang komprehensif atas catatan-catatan
kuno, dan pengujian pengobatan tradisional. Formula tumbuhan

23
yang bersifat rahasia, digambarkan dalam terminologi tradisional,
diterjemahkan ke dalam istilah-istilah modern dan dikirim ke
institut medis untuk dikaji ulang, dengan menggunakan teknik-
teknik pemeriksaan laboratorium modern.

Sebagai hasilnya, majalah medis Cina terus menerus melaporkan


penemuan-penemuan baru dalam seni pengobatan herbal kuno,
dan laporan-laporan ini telah menarik perhatian dunia medis
internasional. Kira-kira separuh dari populasi Cina mengunakan
lebih dari 1.500 herbal yang berbeda, ditambah lebih dari 1.000
pengobatan herbal yang paten, dan banyak dari herbal serta
formula ini di ekspor ke negara-negara lain. Di Jepang, para
konsumen membelanjakan lebih dari 2 milyar US Dollar setahun
untuk obat-obatan herbal Cina yang sudah dipatenkan (Lucas,
1998).

Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak obat jadi berasal dari


obat tradisional. Obat yang berasal dari kulit kayu Chincona
ledgeriana yang dipakai untuk mengobati malaria, kemudian
dimurnikan menjadi obat jadi yaitu kinin atau kina. Demikian pula
Papaverine somniferum. Juga serpentin dan reserpin yang berasal
dari tanaman Rauwolfia serpentina. Belum begitu lama telah
dimurnikan artemisinin dari tanaman Artemisia annua yang telah
lama dipakai sebagai obat tradisional Cina dengan nama Quing
Hao Shu untuk mengobati malaria. Banyak kemungkinan obat
tradisional Indonesia dikemudian hari juga dapat dimurnikan
menjadi obat baru. Namun demikian, penemuan obat baru ini
memerlukan dana, sarana, dan ahli yang memadai dan
memerlukan tenggang waktu lama.

24
Indonesia merupakan mega-senter keragaman hayati dunia, dan
menduduki urutan terkaya kedua di dunia setelah Brazil. Bila biota
laut ikut diperhitungkan, maka Indonesia menduduki urutan
terkaya pertama di dunia. Di bumi kita ini diperkirakan hidup
sekitar 40.000 spesies tumbuhan, dimana 30.000 spesies hidup di
kepulauan Indonesia. Di antara 30.000 spesies tumbuhan yang
hidup di kepulauan Indonesia, diketahui sekurang-kurangnya
9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih
300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh
industri obat tradisional. Indonesia juga merupakan negara
agraris, memunyai banyak area pertanian dan perkebunan yang
luas serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan obat.
Indonesia masih banyak memiliki area terlantar yang belum
dimanfaatkan. Hutan Indonesia yang demikian luas menyimpan
kekayaan yang demikian besar, di antaranya berpeluang sebagai
obat bahan alam. Ekspor obat tradisional dan simplisia Indonesia,
walaupun belum dalam jumlah yang besar, namun menunjukkan
tanda-tanda peningkatan. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Asosiasi Pengusaha Eksportir Tanaman Obat Indonesia (APETOI)
dan Informasi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional
(GP Jamu) serta Koperasi Jamu Indonesia, ekspor tumbuhan obat
terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan dari beberapa
negara cukup besar dan kadang kala untuk beberapa jenis
tanaman Indonesia tidak dapat memenuhinya (Permenkes RI,
2007).

Penelitian mengenai obat tradisional, khususnya yang bahannya


berupa tanaman obat, terus berlangsung bahkan meningkat
jumlahnya akhir-akhir ini. Dari beberapa hasil penelitian obat
tradisional ataupun tanaman obat telah dibuat dan diproduksi
serta digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan. Obat yang

25
digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi
persyaratan aman, bermanfaat dan sudah terstandarisasi. Bukti
persyaratan yang diperlukan harus berdasarkan data yang sahih
(Depkes, 2000).

*****

26
BAB 5

OBAT TRADISONAL ANTIMALARIA

Menurut UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, obat


tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Sediaan obat tradisional yang digunakan masyarakat yang berasal
dari bahan tumbuhan obat saat ini sangat perlu diteliti dan
dikembangkan agar dapat disebut sebagai Herbal Medicine atau
Fitofarmaka yang selanjutnya dapat dipakai di sarana pelayanan
kesehatan dasar dan menambah jenis obat-obatan yang akan
dipilih. Menurut Keputusan Menkes RI No.761 tahun 1992,
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan
galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini
didasarkan atas bahan bakunya relatif mudah diperoleh,
disesuaikan pada pola penyakit di Indonesia dan diperkiraan
bermanfaat terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki
rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan pasien, dan
merupakan salah satu alternatif pengobatan (Depkes RI, 1983).
Potensi yang besar ini, jika tidak dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya tidak akan memberikan arti untuk menunjang kebutuhan
akan obat-obatan yang semakin mendesak, juga untuk
mendapatkan obat pengganti jika resistensi parasit terhadap obat

27
terjadi secara meluas dan tidak tersedia jenis obat baru lainnya.
Penelitian akan tanaman obat ini telah berkembang luas di
beberapa negara, seperti Cina, India, Thailand, Korea, dan Jepang
(Andrographis in Depth Review, 2005)

Penelitian di Surabaya menemukan bahwa ekstrak dari herbal


sambiloto dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium
falciparum secara invitro dan memunyai efektifitas yang sama
dengan klorokuin difosfat (Widyawaruyanti dkk, 2000). Penelitian
di Kuala Lumpur, Malaysia, yang membandingkan efek antimalaria
dari AP dengan dua jenis herbal lainnya, yaitu daun sirih (Piper
sarmentosum) dan brotowali (Tinospora crispa), didapatkan efek
antimalaria dari AP lebih besar secara invivo pada hewan (Nik
Najib et al, 1999).

Pada penelitian yang dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal


membandingkan efek antimalaria klorokuin tunggal dan kombinasi
klorokuin dengan ekstrak sambiloto 250 mg tiga kali sehari selama
lima hari dengan jumlah sampel masing-masing 50 dan 56 pasien,
ditemukan parasite clearence time pada kombinasai ekstak herba
sambiloto dengan klorokuin lebih cepat dibanding dengan
klorokuin tunggal pada penderita malaria falsiparum dewasa
tanpa komplikasi. Efikasi pengobatan antara kedua kelompok
berbeda bermakna. Efikasi pada kelompok kombinasi klorokuin
dan herba sambiloto sebesar 87,5%. Pemantauan parasitemia
dilakukan sampai hari ke 14 pengobatan. Plasmodium falciparum
yang resisten terhadap klorokuin di Kabupaten Madina adalah
48% dan resisten terhadap kombinasi klorokuin dan herba
sambiloto sebesar 12,5% (Umar Zein dkk, 2004). Pada penelitian
ini juga diberikan sambiloto tunggal 250 mg ekstrak tiga kali sehari
selama lima hari terhadap 11 penderita malaria falciparum

28
dewasa tanpa komplikasi, diperoleh hasil tujuh penderita
membaik demamnya dan parasite clearance tercatat pada hari ke
tujuh.

Penelitian lainnya, terhadap penderita malaria falciparum dewasa


tanpa komplikasi dengan parasit malaria yang resisten terhadap
klorokuin, diberikan kombinasi sambiloto dengan sulfadoksin-
pirimetamin dengan jumlah sampel 60 pasien pada masing-
masing kelompok. Didapat hasil efikasi 92,6% (parasitemia
negatip) pada hari ke 7 pada Kelompok sambiloto - sulfadoksin-
pirimetamin, dan 47,3% pada kelompok tunggal sulfadoksin-
pirimetamin, dan pada hari ke 14, didapati 100% efikasi pada
kelompok kombinasi sambiloto+sulfadoksin-pirimetamin, dan
54,5% pada kelompok sulfadoksin-pirimetamin saja (Fauzy M,
2004).

Pada Tahun 2006, dilakukan lagi penelitian secara acak tersamar


ganda efikasi ekstrak sambiloto tunggal 250 mg 3 kali sehari
selama 5 hari dibandingkan dengan ekstrak sambiloto dengan
dosis yang sama dikombinasi dengan klorokuin dengan dosis
standard selama 3 hari terhadap pasien malaria falsifarum dewasa
di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Hasilnya
menunjukkan efikasi dan waktu pembersihan parasit (Parasite
Clearance Time) pada kedua kelompok pengobatan tidak berbeda
bermakna (Lubis, dkk, 2010).

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian sambiloto tunggal


dengan dosis ganda (250 mg dan 500 mg) dan kombinasi dengan
artesunat sebagai derivat dari artemisinin yang telah dianjurkan
oleh WHO sebagai basis terapi kombinasi terhadap malaria
falsiparum. Tujuan pemberian seperti ini adalah untuk

29
mengetahui sejauh mana efikasi antimalaria dari sambiloto
dengan dosis 500 mg terhadap pasien malaria falsiparum dewasa
tanpa komplikasi, dan untuk mengetahui apakah kombinasi
sambiloto dengan obat antimalaria standar memunyai efikasi yang
tidak berbeda dengan kombinasi bersama artesunat, yang pada
masa yang akan datang dapat mengatasi masalah resistensi di
daerah multidrug resistance malaria.

*****

30
BAB 6

SAMBILOTO

Sambiloto/sambilata (Andrographis paniculata Nees) adalah satu


dari tanaman obat yang terdapat hampir di seluruh daerah
Indonesia (Kloppenburg, 1988) Andrographis paniculata (AP) yang
juga dikenal sebagai “King of Bitters” adalah sejenis tumbuhan
famili Acanthaceae yang telah digunakan selama beberapa abad di
Asia untuk mengobati beberapa penyakit termasuk malaria
(www.altcancer.com/andcan.htm).

Gambar 2 menunjukkan bentuk tumbuhan sambiloto.

Gambar 2 Tanaman Obat Sambiloto

31
6.1.Uraian Tumbuhan

Andrographidis Herbal terdiri atas bagian tanaman di atas tanah


yang telah dikeringkan dari tanaman Andrographis paniculata
Nees, suku Acanthaceae. Baunya khas dan rasanya sangat pahit.
Batang tidak berambut, tebal 2-6 mm, jelas persegi empat, batang
bagian atas sering kali dengan sudut agak berusuk. Daun bersilang
berhadapan, umumnya terlepas dari batang, bentuk lanset sampai
bentuk lidah tombak, panjang 2-7 cm, lebar 1-3 cm, rapuh, tipis,
tidak berambut, pangkal daun runcing, ujung meruncing, tepi
daun rata. Permukaan atas berwarna hijau tua atau hijau
kecoklatan, permukaan bawah berwarna hijau pucat. Tangkai
daun pendek. Kelopak bunga terdiri dari 5 helai daun kelopak,
panjang 2 cm dan lebar 4 cm. Permukaan luar kulit buah berwarna
hijau tua sampai hijau kecoklatan, permukaan dalam berwarna
putih atau putih kelabu. Biji agak keras, panjang 1,5-3 mm, lebar
lebih kurang 2 mm, permukaan luar berwarna coklat muda
bertonjol-tonjol.

Beberapa nama daerah dari sambiloto yang terdapat di literatur


adalah : Akar cerita, aluit, bidara, bhoonimba, bhuinimo,bhulimb,
bhuninba, charayeta, charayetha, charita, cheranta, cherota,
chiraita,chiretta, chuan-hsin-lien, chua¯n-xý¯n-lián, công công,
faathalaaichon, fathalaai,fathalaichon, fathalaijone, halviva,
hempedu bumi, herba sambiloto, hinbinkohomba, I-
chienhsi,kalafath, kalmegh, kan-jang, kariyat, khee-pang-hee, king
of bitters, Ki Oray, Ki Peurat, Ki Ular, kiriathu, kirta, kiryata,
kiryato, lanhelian, mahatikta, mahatita, naelavemu,
naynahudandi, nelavemu, Pepaitan, quasab-uz-zarirah, rice
bitters, Sadilata, sambilata, sambiloto, senshinren, sinta, Takila,

32
xuyên tâm liên, yaa kannguu yijianxi (Fauziah Mukhlisah, 2002 ;
Andrographis in Depth Review, 2005).

6.2 Klasifikasi herba sambiloto adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Solanales
Suku : Acanthaceae
Marga : Andrographis
Jenis : Andrographis paniculata Nees

6.3 Kandungan Kimia

33
Daun Andrographis paniculata Nees (Sambiloto) mengandung :
saponin, flavonoida, dan tanin. Kandungan kimia daun dan
cabang sambiloto : diterpene lakton yang terdiri dari : deoxy
andrographolide, andrographolide (zat pahit),
neoandrographolide, 14-deoxy-11,12
didehydroandrographolide, dan homoandrographolide.
Flavonoid dari akar mengandung : polymethoxyflavone,
andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin, apigenin-7, 4-
dimethyl ether, alkane, ketone, aldehyde, kalium, kalsium,
natrium, asam kersik, dan damar. Kandungan lain yaitu :
andrographolida < 1 %, kalmegin (zat amorf), dan hablur
kuning (yang memiliki rasa pahit). Disamping itu juga
mengandung turunan flavonoida yaitu andrografidin A, B, C,
D, E dan F, Juga mengandung seskuiterpena lakton yaitu
panikulida A, B, dan C (Tang W, Eisenbrand G, 1992) serta
logam alkali (Dep. Kes. RI, 1989).

Gamba

Andrograpolida Neoandrograpolida
Gambar 3. Rumus Kimia Andrgrapolis dan Neoandrograpolida

Dua flavonoid glycoside yang baru ditemukan, yaitu:


5 - hydroxy - 7,8 - dimethoxy(2R) - flavanone – 5 – O – beta – D -
glucopyranoside dan 5-hydroxy-7,8,2',5'-tetramethoxy-flavone-5-
O-beta-D-glucopyranoside serta dua diterpenoid yang baru, yaitu
andrographic acid dan andrographidine yang diisolasi dari
Andrographis paniculata dan strukturnya ditentukan berdasarkan
analisis fisikokimia dan spektroskopik (Li et al, 2007).
6.4 Penelitian Sambiloto

34
Bila sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat
alternatif yang digunakan secara tradisionil, maka bagian yang
sering digunakan adalah daunnya. Tanaman ini tumbuh tegak
dengan banyak cabang. Tingginya mencapai 50 - 80 cm. Daunnya
terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik
(menghilangkan demam oleh berbagai penyebab). Rumus bangun
kimianya dapat dilihat pada gambar 3.

Tanaman herbal seperti sambiloto sudah banyak diteliti di luar


negeri, walaupun bukan untuk malaria dan uji secara invitro
memunyai efek terhadap plasmodium. Di samping itu, secara
tradisional sambiloto telah digunakan untuk pengobatan malaria.

Pada suatu penelitian invitro dengan menggunakan macrophage


cell line RAW264.7 untuk melihat efek dari neoandrographolida
pada suppressi phorbol-12-myristate-13-acetate (PMA)-stimulated
respiratory bursts dan lipopolisakarida (LPS), serta perangsangan
produksi dari nitric oxide (NO) dan TNF-α. Hasil ini menunjukkan
bahwa salah satu dari A. paniculata memunyai efek anti inflamasi
yang nyata, yang perlu diteliti lebih lanjut (Liu et al, 2007).

Tikus percobaan yang diimunisasi dengan vaksin Salmonella


typhimurium inaktif dengan pemberian ekstrak Andrographis
paniculata atau andrographolide, menghasilkan peningkatan
respon antibodi spesifik terhadap Salmonella dan menginduksi
cell-mediated response terhadap salmonellosis. Lama pemberian
selama 14 dan 28 hari. Pada kultur splenosit, dari tikus yang di
imunisasi dengan vaksin Salmonella yang dimatikan dan diberi
pengobatan dengan AP atau Andrograholid, menunjukkan
peningkatan produksi IFN-gamma yang diikuti dengan stimulasi

35
dari lisat bakteri, dan ini menunjukkan bahwa terdapat induksi
terhadap Salmonella-specific cell-mediated response/immune
response (Xu et al, 2007).

Mengenai dosis dari simplisia sambiloto pada orang dewasa


berkisar 1.000 – 2.000 mg perhari, selama 3 – 5 hari (Thamlikitkul,
1991 ; Depkes, 2000). Dosis dalam bentuk daun kering untuk
pengobatan beberapa jenis infeksi 10 – 15 g perhari (Chinese
Medicinal Herbs). Toksisitas AP diketahui rendah dari penelitian
Lethal Dose (LD50) sebesar 1.800 mg/Kg berat badan pada tikus
(Malhotra et al).

Aktifitas antimalaria dari sambiloto adalah dari ekstrak etanol 50%


yang dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei
secara invitro (100 mg/ml) dan secara invivo setelah pemberian
intra gastrik pada tikus dengan malaria Plasmodium berghei
dengan dosis 1 gr/Kg BB. Pemberian andrographolid 5 mg/KgBB
dan neoandrographolid 2.5 mg/KgBB juga efektif jika diberikan
secara gastric lavage (WHO monographs on selected medicinal
plants). Empat fraksi yang ditemukan terdiri dari AG-1, AG-2 AG-3
dan AG-4 dibuktikan memunyai aktifitas skizontosida secara in
vitro (Gambar 5). Karena AG-3 diharapkan memunyai aktifitas
antimalaria, maka fraksi ini telah dipilih untuk diteliti lebih lanjut.
Dengan kromatografi kolom silika gel, fraksi AG-3 yang dilarutkan
dengan chloroform menghasilkan tiga warna yang berbeda
(Parasite Biology).

36
Gambar 4 Struktur kimia dari beberapa compound yang
diisiolasi dari akar Andrographis paniculata (Parasite Biology).

Gambar 5. Empat fraksi Andrographolide yang memunyai efek


skizontosida (Parasite Biology).

Penelitian di Surabaya menemukan bahwa ekstrak dari herbal


sambiloto dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium
falciparum secara invitro dan memunyai efektifitas yang sama

37
dengan klorokuin difosfat (Widyawaruyanti dkk, 1995). Penelitian
di Kuala Lumpur, membandingkan efek anti malaria dari AP
dengan dua jenis herbal lainnya daun sirih (Piper sarmentosum)
dan brotowali (Tinospora crispa), dan mendapatkan efek anti
malaria dari AP lebih besar secara invivo (Nik Najib et al, 1999).

Caceres et al, 1999, membandingkan ekstrak AP 1200 mg/hari


dengan placebo terhadap pasien Common cold dan mendapatkan
AP memunyai efektifitas yang lebih baik, dan tidak ditemukan
adanya efek samping.

Melchior et al, 2000, melakukan uji klinis fase III terhadap pasien
infeksi saluran nafas tanpa komplikasi dan mendapatkan
perbaikan yang sangat signifikan dari kelompok AP dibanding
dengan placebo dalam menghilangkan gejala dan tanda infeksi
saluran nafas.

6.5 Farmakokinetik Ekstrak Sambiloto

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat efek


farmakokinetik ekstrak sambiloto di berbagai sentra. Setelah
pemberian Andrografolid secara oral, dicapai kadar plasma
tertinggi setelah 1,5 – 2 jam dan bertahan dalam plasma selama
10 jam. Setelah 72 jam, 90% andrgrafolid diekskresikan terutama
melalui urin, meskipun masih ada perdebatan tentang hal ini
(Zhao, 2002).

Dari studi literatur diketahui bahwa, ekstrak etanol herbal


sambiloto terakumulasi dalam jaringan lunak dalam tubuh.
Distribusi ekstrak etanol sambiloto dalam organ tubuh hewan
percobaan yang ditetapkan melalui pemberian andrografolid

38
berlabel secara IV setelah 48 jam, dan didapati kadar obat
diberbagai organ sebagai berikut: otak 20,9%, limfa 14,9%,
jantung11,1%, paru-paru 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati
5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, usus halus 3,2%. Absorpsi dan
ekskresinya cepat, 80% diekskresikan dalam 8 jam melalui ginjal
dan saluran cerna, 90% dikeluarkan dari tubuh dalam waktu 48
jam (Andrographis in Depth Review).

Dari data yang telah dikemukakan perlu diteliti pengaruh ekstrak


herbal sambiloto terhadap penderita malaria falsiparum tanpa
komplikasi dengan dosis 250 mg dan 500 mg dan kombinasi,
karena bahannya banyak terdapat di Indonesia, termasuk di
Sumatera Utara dan sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia
WHO.

*****

39
BAB 7

STANDARISASI SIMPLISIA SAMBILOTO

7.1 Penyediaan simplisia

Simplisia diperoleh dalam bentuk serbuk dari Badan Pusat Riset


Obat dan Makanan Jakarta pada tanggal 4 Maret 2005. Gambar 6
menunjukkan daun sambiloto, gambar 7 serbuk herbal sambiloto
dan gambar 8 mikroskopik serbuk herba sambiloto.

40
Gambar 6 Daun Herbal Sambiloto Gambar 7 Serbuk Herbal Sambiloto

Gambar 8 Mikroskopik Serbuk Herba Sambiloto


Keterangan :
1. Rambut penutup
2. Mulut daun
3. Sistolit

7.2 Standarisasi serbuk simplisia

Standarisasi simplisia dilakukan sesuai dengan Materia Medika


Indonesia dan Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat
Departemen Kesehatan RI tahun 2000.

7.3 Pembuatan Ekstrak Sambiloto

Bahan : Serbuk Herbal Sambiloto


Metode : Ekstraksi secara Perkolasi.

41
Pelarut : Etanol Air 50%
Cara :

Sebanyak 8,4 kg serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana


bertutup dan dibasahi dengan sejumlah cairan penyari etanol
50%, dimaserasi selama tiga jam. Massa dipindahkan sedikit demi
sedikit ke dalam perkolator, kemudian cairan penyari dituangkan
secukupnya sampai di atas simplisia masih terdapat selapis cairan
penyari, perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Cairan
dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml tiap menit, cairan
penyari ditambahkan berulang-ulang sehingga selalu terdapat
selapis cairan penyari di atas simplisia, perkolasi dihentikan
sampai perkolat terakhir yang keluar tidak berasa pahit. Perkolat
diuapkan menggunakan alat penguap vakum putar hingga
diperoleh ekstrak kental.

7.4.Standarisasi Ekstrak Sambiloto (Extractum Andrographidis)

Nama ekstrak : Ekstrak Sambiloto


Tanaman sumber : Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
suku Acanthaceae
Konsistensi : Ekstrak kental
Organoleptis : Tidak berbau, berwarna coklat kehitaman
dengan rasa sangat pahit

42
Gambar 9 Granul kapsul Andrographidis

7.5 Pembuatan Sediaan Kapsul Ekstrak Sambiloto

Setiap kapsul sambiloto mengandung 250 mg ekstrak sambiloto


dicampur dengan bahan pengisi sampai bobot per kapsul 460 mg.
Digunakan cangkang kapsul yang sesuai dengan warna merah
putih.

Formula untuk 1000 kapsul


R/ Ekstrak sambiloto 250 g
Amylum manihot 18%
Mg stearat 1%
Amilum maydis 5%
Sakarum laktis 45%

Sebanyak 250 gram ekstrak kental sambiloto ditimbang lalu


digerus sedikit demi sedikit dengan sejumlah bahan pengisi dan

43
bahan pengering/pengembang (amilum manihot dan sakarum
laktis) sehingga diperoleh massa yang kompak, kemudian dibuat
granul dengan mengayak massa tersebut. Dikeringkan di lemari
pengering selama 2-3 jam sehingga diperoleh granul kering
(Gambar 9). Diayak kembali dan dicampur dengan amilum maydis
dan Mg-stearat sehingga mencapai bobot yang sesuai.
Dimasukkan ke dalam kapsul dengan alat pengisi kapsul.

Dilakukan uji pre-formulasi terhadap granul yang kering meliputi


uji waktu alir dan penetapan sudut diam. Waktu alir tidak lebih
dari 10 detik. Sudut diam granul 300 – 400.

7.6. Evaluasi Sediaan Kapsul Sambiloto

Dilakukan evaluasi sediaan kapsul sambiloto sesuai dengan cara


yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi III meliputi
penyimpangan bobot dan waktu hancur.

7.6.1 Penyimpangan bobot

Diambil sebanyak 20 kapsul secara acak, buka cangkang kapsul


dan keluarkan isi kapsul. Ditimbang berat dan dihitung deviasi
dari masing-masing isi kapsul terhadap bobot rata-rata. Syarat:
Tidak lebih dari satu kapsul memunyai deviasi diatas 7,5%, dan
tidak lebih dari dua kapsul yang memunyai deviasi diatas 15% (FI
edisi III).

7.6.2 Waktu hancur

Dimasukkan lima kapsul ke dalam alat desintegrator, hidupkan alat


dan catat waktu yang diperlukan sehingga kapsul hancur sampai

44
tidak tersisa. Syarat : Waktu hancur tidak boleh lebih dari 15
menit.(FI edisi III). Kapsul sambiloto terlihat pada gambar 10

Gambar 10. Kapsul sambiloto

*****

45
BAB 8

UJI INVITRO

Uji invitro efikasi ekstrak herbal sambiloto terhadap Plasmodium


falciparum dilakukan di Laboratorium Sentral Biomedik Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Obat uji yang
digunakan: ekstrak herbal sambiloto, klorokuin, artemisinin,
kombinasi klorokuin dengan artemisinin, dan kombinasi ekstrak
herbal sambiloto dengan artemisinin. Digunakan kultur parasit
malaria dengan menggunakan Plasmodium falciparum galur
Papua (2300) dari Namru-2 Jakarta. Uji invitro ini dimulai pada
tanggal 23 januari 2006 sampai 25 Februari 2006.

8.1.Persiapan obat :

Artemisinin, Klorokuin, Sambiloto

Timbang 5 mg

Dilusi dalam 5 ml 70% Etanol


(Klorokuin dilusi dengan distilled water dulu, kemudian etanol)

Stock solution 5 mg/ml

Dilusi (working solution), 0,5–1–5–10–50–100- 200 ug/ml

Gambar 11 Skema Pembuatan Larutan Obat Uji in-vitro

46
Gambar 11 menunjukkan persiapan obat uji invitro artemisin,
klorokuin dan sambiloto dan persiapan working solution.

8.2. Kultur malaria

Kultur malaria (Media Malang) dipindahkan ke tabung 15 ml,


sentrifuge 5000 rpm selama lima menit, dibuang supernatan,
disisakan kira-kira 2 cc, di pipet 1 cc, ke tabung kultur malaria,
tambahkan 8 cc CM 10% + 1 cc 50% sdm.

8.3. Uji invitro

100 l obat (masing-masing dosis working solution) dimasukkan


dalam sumur yang berisi 100l CM seperi digambarkan pada tabel
8 berikut:

47
Tabel 1 Kultur Malaria

Dosis Obat Uji (ug/ml) No Kelompok

200 100 50 10 5 1 0,5 C 1 A


200 100 50 10 5 1 0,5 C 2 K
200 100 50 10 5 1 0,5 C 3 S
200 100 50 10 5 1 0,5 C 4 A+K
200 100 50 10 5 1 0,5 C 5 A+S
200 100 50 10 5 1 0,5 C 6 A
200 100 50 10 5 1 0,5 C 7 K
200 100 50 10 5 1 0,5 C 8 S
200 100 50 10 5 1 0,5 C 9 A+K
200 100 50 10 5 1 0,5 C 10 A+S
200 100 50 10 5 1 0,5 C 11 A
200 100 50 10 5 1 0,5 C 12 K
200 100 50 10 5 1 0,5 C 13 S
200 100 50 10 5 1 0,5 C 14 A+K
200 100 50 10 5 1 0,5 C 15 A+S

Keterangan : C = Control
A = Obat uji artemisinin
K = Obat uji klorokuin
S = Obat uji ekstrak sambiloto
A+K = Obat uji kombinasi atemisinin dengan klorokuin
A+S = Obat uji kombinasi artemisinin dengan ekstrak
sambiloto

48
8.4.Hasil

Dari lima kelompok uji obat secara in-vitro, diperoleh hasil


penurunan kepadatan parasit Plasmodium falciparum dengan
peningkatan dosis obat uji seperti yang tercantum pada tabel 10.
Kepadatan parasit dihitung dalam jumlah Plasmodium
falciparum/200 eritrosit dalam 5.000 eritrosit kultur yang dihitung
masing-masing tiga kali dan diambil rata-ratanya.

Gambar 12 menunjukkan prosedur uji invitro dengan berbagai


dosis obat uji, dan hasil uji dari masing-masing dosis obat uji
ditampilkan dalam tabel 2.

49
Gambar 12 Prosedur Uji invitro Dengan Berbagai Dosis Obat Uji

50
Tabel 2. Penurunan Kepadatan Parasit Plasmodium falciparum
dengan Peningkatan Dosis Obat Uji

Dosis Obat Uji/ml dan Kepadatan parasit


KELOMPOK Kontrrol 0.5 ug 1 ug 5 ug 10 ug 50 ug 100 ug 200 ug
UJI
Klorokuin 41 17.93 15.43 11.17 8.83 6.6 5.47 5.27
Sambiloto 38.17 47.33 41.33 31.33 27.53 21.5 13.33 10
Artemisin 38.08 18 13.23 10.27 8.67 7.58 5.93 4.13
Arte+Samb 44.73 29.47 22.67 19 17.67 17.67 12.33 10
Kloro+Samb 30.2 21.27 17.53 13.3 10.27 6.8 5.73 2.3

Pada kelompok uji obat tunggal klorokuin dan artemisin, efek


membunuh parasit telah terlihat pada dosis 0,5 ug, ditandai
dengan terlihatnya bentuk „“crisis form“ pada eritrosit yang
terinfeksi dan dengan peningkatan dosis, efek ini makin meningkat
dengan semakin menurunnya kepadatan parasit, sampai dosis
optimal 200 ug. Pada kelompok sambiloto tunggal, kepadatan
parasit pada dosis awal 0,5 ug malah meningkat, dan pada
peningkatan dosis berikutnya 1 ug baru terlihat efek membunuh
parasit, dan efek ini semakin meningkat dengan menurunnya
jumlah parasit dengan peningkatan dosis. Pada kelompok obat uji
sambiloto dengan artemisin, penurunan kepadatan parasit juga
terlihat dengan peningkatan dosis obat uji (Tabel 2), dan dengan
uji statistik, efikasi dari lima kelompok obat uji ini tidak berbeda
bermakna. Penambahan obat uji artemisinin terhadap sambiloto,
terlihat meningkatkan efikasi antimalarianya, tetapi penambahan
sambiloto ini terhadap artemisin tunggal, kelihatannya tidak
meningkatkan efek antimalaria dibandingkan dengan artemisinin
tunggal.

51
Secara grafik, penurunan tingkat kepadatan Plasmodium
falciparum dengan peningkatan dosis obat uji dapat dilihat pada
gambar 13.

Gambar 13 Grafik Penurunan Kepadatan Parasit P.falciparum


dengan Peningkatan Dosis Obat Uji

Pada kelompok obat uji klorokuin, artemisinin, dan kombinasi


sambiloto dengan klorokuin maupun dengan artemisinin, efek
membunuh parasit (parasite crisis) sudah terlihat pada dosis 0,5
ug/ml dan efek ini makin meningkat dengan peningkatan dosis.
Sedangkan pada kelompok uji sambiloto, pada dosis 0,5 ug/ml,
belum ada efek menghambat, bahkan terlihat jumlah parasit
semakin meningkat. Pada dosis 1 ug/ml, baru terlihat efek
membunuh parasit, dan efek ini semakin kuat dengan peningkatan
dosis dan efek maksimal didapati pada dosis 200 ug/ml.

52
Pada uji statistik dengan tes Kolmogorov-Smirnov, diketahui
bahwa sebaran data jumlah parasit pada uji invitro ini tidak
normal. Uji statistik dilanjutkan dengan tes Kruskal-Wallis , dan
ternyata penurunan jumlah parasit pada peningkatan dosis obat
uji pada semua kelompok berbeda sangat bermakana (p < 0,001).
Sedangkan perbedaan efek obat terhadap penurunan jumlah
Plasmodium falciparum pada uji invitro ini tidak berbeda
bermakna antara kelima kelompok obat uji (p = 1).

*****

BAB 9

PENELITIAN SAMBILOTO TERHADAP PASIEN MALARIA


FALSIPARUM

53
9.1.Desain penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode uji klinik acak terkontrol yang


tersamar ganda (Randomized Double-Blind Control Trial) dengan
empat kelompok perlakuan pengobatan pasien malaria falsiparum
dewasa tanpa komplikasi. Obat uji kapsul sambiloto dengan kapsul
plasebonya dibuat dengan bentuk, besar, warna, dan bau yang
sama, demikian juga dengan tablet klorokuin 250 mg dan
artesunat 50 mg sebagai obat pembanding dimasukkan kedalam
kapsul sebanyak dua tablet 250 mg klorokuin dalam satu kapsul
dan dua tablet 50 mg artesunat dalam satu kapsul serta dibuat
kapsul plasebonya dengan bentuk, besar, warna dan bau yang
sama. Selanjutnya setiap pasien yang memenuhi kriteria
penelitian akan mendapat pengobatan dengan jenis dan jumlah
obat yang sama, dan setiap obat yang diuji atau plasebonya
diberikan sesuai nomor urut berdasarkan tabel acak. Dokter
peneliti dan pasien tidak mengetahui jenis kelompok obat mana
yang diberikan. Uji klinik dilaksanakan sesuai GCP (Grand Clinical
Practice) yang berlaku.

9.2.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus s/d Oktober 2005 di


Rumah Sakit Umum Penyabungan, Klinik Malaria Panyabungan
Kecamatan Panyabungan dan beberapa desa di wilayah kerja
Puskesmas se Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Sumatra
Utara.

9.3. Populasi terjangkau

54
Pasien dengan gejala klinis malaria falsiparum tanpa komplikasi
yang datang ke RSU Penyabungan, Klinik Malaria Kecamatan
Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal, dan yang ditemukan di
lapangan sewaktu kunjungan pasien, akan diminta kesediaannya
untuk dapat diikutsertakan dalam penelitian.

9.4. Kriteria inklusi

Usia  18 tahun, laki-laki dan perempuan, didiagnosis sebagai


pasien malaria falciparum dengan kepadatan parasit  200/ml,
tidak mengonsumsi obat-obat yang bersifat antimalaria dalam 2
minggu terakhir, yang diketahui dari anamnese, dan bersedia ikut
dalam penelitian dan mengikuti prosedur yang ditetapkan
(informed consent).

9.5. Kriteria eksklusi

Bila dalam darah ditemukan jenis plasmodium yang lain disamping


falciparum (mixed infection), adanya efek samping terhadap obat
yang diberikan pada masing-masing kelompok perlakuan
yang tidak dapat ditolerir, sehingga pengobatan harus dihentikan
sebelum waktunya, adanya gangguan fungsi hati (SGOT dan/atau
SGPT meningkat lebih dari 3 x nilai normal tertinggi), fungsi ginjal
(kreatinin > 2 mg%), atau gangguan jantung yang berat (NYHA
kelas III dan IV), tidak terpantau secara teratur sesuai jadwal
penelitian, walau sudah diingatkan pada alamat kediamannya,
perempuan dalam masa subur diperlukan pemeriksaan planotes
untuk menghindari keadaan hamil, selama penelitian dijumpai
gejala dan tanda malaria berat. Pada pemeriksaan parasit
ditemukan tanda-tanda kegagalan penurunan densitas,

55
mengundurkan diri dari penelitian atas permintaan sendiri, dan
tidak bersedia untuk turut dalam penelitian.

Dari perhitungan dengan rumus, didapatkan besarnya sample


pada masing – masing kelompok = 40 orang. Dan ditetapkan untuk
masing-masing kelompok jumlah yang diperlakukan untuk
penelitian adalah 45 pasien.

9.6. Kelompok Perlakuan

Penelitian terdiri dari empat kelompok perlakuan sebagai berikut :

1. Kelompok ES 250, diberikan satu kapsul ekstrak sambiloto 250


mg + satu kapsul plasebo sambiloto tiga kali sehari selama lima
hari + empat kapsul klorokuin plasebo setiap hari selama tiga
hari.
2. Kelompok ES 500, diberikan dua kapsul ekstrak herba
sambiloto 250 mg tiga kali sehari selama lima hari + empat
kapsul klorokuin plasebo setiap hari selama tiga hari.
3. Kelompok K + ES, diberikan dua kapsul klorokuin 250 mg pada
hari I dan II, (dua) kapsul klorokuin + dua kapsul klorokuin
plasebo pada hari III + satu kapsul dan ES 250 mg dan satu
kapsul sambiloto plasebo tiga kali sehari selama lima hari.
4. Kelompok ES + A, diberikan satu kapsul ES 250 mg dan satu
kaspul sambiloto plasebo tiga kali sehari selama lima hari +
dua kapsul artesunate setiap hari selama tiga hari.

9.7. Analisis Data

56
Untuk membandingkan efek antimalaria pada masing-masing
kelompok pengobatan dilakukan uji X2 (chi square)
membandingkan efikasi. Dengan nilai signifikan apabila p < 0,05.
Untuk membandingkan tingkat penurunan parasitemia (parasite
clearance) pada masing-masing kelompok pengobatan dilakukan
uji statistik Kruskal-Wallis. Digunakan perangkat computer dengan
software SPSS 12.

9.8.Cara Kerja

Pada setiap pasien dewasa yang datang atau ditemukan dengan


gejala klinis malaria, pertama sekali dilakukan skrining dengan
pemeriksaan rapid test malaria Pf (Acon Laboratories Inc.San
Diego, CA 9221, USA). Dan dilanjutkan dengan pemeriksaan darah
tepi malaria sediaan tebal dan tipis, dengan menghitung
kepadatan parasitnya. Dilakukan dengan mengambil darah dari jari
tangan penderita, kemudian letakkan pada objek gelas dan
biarkan kering selama 10-15 menit, kemudian diwarnai dengan
pewarnaan Giemsa 10% dalam lauratan buffer pH 7,1. Setelah
selesai diwarnai maka sediaan darah dicuci dengan hati-hati
selama 1-2 menit lalu dibiarkan kering dan siap untuk diperiksa di
bawah mikroskop. Sediaan darah tipis berguna untuk
mengidentifikasi jenis parasit malaria. Cara pengecatan sama
dengan pemeriksaan darah tebal namun sebelum dicat sediaan
darah difiksasi dulu dengan metanol murni.
Pada semua penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dilakukan pemeriksaan klinis lengkap yang meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin dan kimia
darah di Laboratorium Rumah Sakit Umum Panyabungan.

57
Dari tiap kelompok perlakuan, diambil 10 sampel secara acak dan
diperiksa TNF-α dan IFN- sebelum diberikan pengobatan, dan
pada hari ke tujuh setelah pengobatan. Pemeriksaan TNF-α dan
IFN- dengan metode ELISA dilakukan di Laboratorium Prodia
Jakarta melalui Laboratorium Padang Sidempuan Tapanuli Selatan.

Penderita dijadikan empat kelompok yang selanjutnya secara


konsekutif sesuai urut acak diberikan terapi dengan salah satu
obat dari masing-masing kelompok.

Kepadatan parasit diperiksa pada hari 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,


kemudian pada hari ke 14, 21, dan 28 setelah pemberian
pengobatan. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium RSU
Panyabungan Kabupaten Madina. Semua slide darah tepi pasien
yang diteliti, dikonfirmasi di Bagian Parasitologi FK USU terhadap
diagnosis spesies plasmodium dan hitung kepadatan parasitnya.
Semua pasien di rawat inap di RSU Panyabungan selama tiga hari,
dan selanjutnya pasien ditindaklanjuti pemeriksaan darah tepi
setiap hari sampai hari ke tujuh, dan seterusnya, hari ke 14, 21,
dan 28, pasien diminta datang ke Rumah Sakit untuk diperiksa
darah tepi, atau pasien dikunjungi ke kediamannya.

Selama pengobatan, penderita ditindaklanjuti terhadap kepatuhan


minum obat, efek samping, komplikasi malaria dan keadaan klinis
lain. Apabila dalam tindaklanjut penderita terjadi komplikasi
malaria atau menunjukkan keadaan malaria berat atau kepadatan
parasit pada hari ke-3 tidak menurun atau justeru meningkat,
maka kepada penderita ini segera diberikan pengobatan malaria
yang lebih intensif dengan kinin dihidroklorida drip atau artemeter
injeksi, dirawat di Puskesmas atau rumah sakit dan dihentikan
kelanjutan penelitian.

58
Bila ditemukan kasus yang resisten terhadap pengobatan, maka
diberi pengobatan lanjutan dengan kombinasi kina dan doksisiklin
selama tujuh hari atau obat kombinasi malaria lain yang tersedia
pada peneliti, dan pasien tetap ditindaklanjuti sampai
pemeriksaan darah tepi malaria negatip.

Kapsul ekstrak sambiloto 250 mg dan plasebonya dibuat di


Jurusan Farmasi MIPA USU (sekarang Fakultas Farmasi USU)
dengan bahan ekstrak dari Badan POM Indonesia.

9.9. Dasar Perhitungan Dosis Kapsul Ekstrak Sambiloto

Penggunaan secara tradisional herbal sambiloto kering (simplisia)


sebanyak 2000 mg yang direbus dengan air dipakai untuk satu hari
(Chinese Medicinal Herbs, 1984). Bila dibuat ekstrak menghasilkan
35% ekstrak maka dari 2000 mg didapat 700 mg untuk satu hari
pemakaian. Dengan dosis sehari tiga kali, maka dosis sekali pakai
700 mg dibagi tiga kali pemberian adalah 233,3 mg, dibulatkan
menjadi 250 mg satu kali pemberian. Perhitungan lain, dari
analogi dosis Andrographolida pada mencit yaitu sebesar 12
mg/Kg BB perkali. Dosis pada mencit dikatakan 50 kali lebih tinggi
dibandingkan dosis pada manusia. Jadi pada manusia untuk dosis
perkali adalah 12 mg : 50 = 0,24 mg/Kg BB. Untuk berat badan 70
kg, maka dosisnya adalah 70 x 0,24 mg = 16,8 mg. Dengan kadar
andrographolid 7% dalam ekstrak ,maka dosis ekstrak = 100/7 x
16,8 mg = 240 mg perkali pemberian, dan dibulatkan menjadi 250
mg/kali.

9.10. Pembuatan Kapsul Klorokuin, Artesunat, dan Plasebo

59
Kapsul klorokuin

Bahan : Tablet klorokuin PT Kimia Farma


Komposisi : Setiap tablet mengandung 250 mg klorokuin
fosfat
No. Batch : B 50344B
Expired date : 08/09
Cara : Digerus 200 tablet di dalam lumpang, serbuk yang diperoleh
dimasukkan ke dalam 100 kapsul berwarna biru dengan alat
pengisi kapsul. Didapati kapsul dengan kandungan 500 mg
klorokuin fosfat. Dibuat sebanyak 250 kapsul klorokuin.

Kapsul artesunat

Bahan: tablet arsucam, setiap strip berisi empat tablet artesunat


50 mg dan empat tablet amodiakuin 200 mg. buatan Sanofi-
syntelabo Prancis.No.Batch : 936.
Expired date : 04/06.
Cara: 200 tablet artesunate digerus di dalam lumpang, serbuk
yang diperoleh dimasukkan ke dalam 100 kapsul berwarna biru
dengan alat pengisi kapsul. Didapatkan kapsul dengan kandungan
100 mg artesunat. Dibuat sebanyak 300 kapsul artesunat.

Kapsul plasebo

Dibuat dengan mengisi 250 mg sakarum laktis ke dalam kapsul


berwarna biru dengan alat pengisi kapsul. Dibuat 1000 kapsul
placebo. Kapsul plasebo untuk klorokuin dan artesunat adalah
sama. Semua kapsul klorokuin, artesunat, dan placebo memunyai
besar, bentuk dan warna yang sama, yaitu biru muda.

60
9.11. Daerah Penelitian

Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Propinsi Sumatera Utara,


ibu kotanya Panyabungan, dengan luas daerah: 662.070 ha
terletak antara 100-500Lintang Utara dan 500-1000 Bujur Timur, dan
terdiri atas 17 kecamatan dengan 322 desa dan 7 kelurahan.
Wilayahnya merupakan daerah perbukitan bagian dari
pegungungan Bukit Barisan dan terletak pada pesisir pantai barat
Sumatera. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli
Selatan disebelah utara, Propinsi Sumatera Barat di Sebelah
Selatan dan Timur, dan dengan Samudera Hindia di sebelah Barat.
Jumlah penduduk berdasarkan sensus tahun 2002 adalah 374.513
jiwa atau sekitar 3,13% dari seluruh penduduk Sumatera Utara.
Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,022% dan kepadatan
penduduk sebesar 55 jiwa/km2.

Pelaksanaan uji klinik dilakukan di Rumah Sakit Umum


Penyabungan dan desa-desa di wilayah kerja Puskesmas se
Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Sumatera Utara yang
diketahui sebagai daerah endemik malaria, yaitu: Panyabungan,
Panyabungan Julu, Mampang Jae, Adianjior, Lumban Dolok,
Panyabungan 2, Sabah Jambu, Huta Siantar, Aek Galoga, Tangga
Bosi dan Longat.
9.12. Rekruitmen Pasien

Rekruitmen pasien dilakukan di beberapa desa di Kabupaten


Madina yang telah disebutkan di atas dan pasien yang berkunjung
ke Rumah Sakit Umum Panyabungan.

61
Dilakukan kunjungan lapangan ke desa-desa yang diketahui
sebagai kantong-kantong malaria, dan kepada setiap penduduk
yang memunyai keluhan demam atau ada riwayat demam atau
keluhan lain yang tidak khas, seperti sakit kepala, nyeri otot, mual
atau diare, ditempat dilakukan pemeriksaan fisik dan diambil
darah tepi untuk pemeriksaan malaria. Hasil sementara kemudian
dikonfirmasi lagi di laboratorium Rumah Sakit Umum
Panyabungan dan di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran
USU Medan. Pemeriksaan tes cepat dengan Acon yang dilakukan
pada awal penelitian tidak satupun menunjukkan hasil positip,
sementara pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan parasit
Plasmodium falciparum. Oleh karena itu, pemeriksaan tes cepat
tidak dilanjutkan pada penelitian ini.

Untuk pasien yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan


tentang penelitian yang akan dilakukan dan diminta kesedian
untuk menanda tangani lembar informed consent. Selanjutnya,
darah pasien sebanyak 10 cc diambil untuk pemeriksaan darah
hematologi rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar gula darah, dan
untuk masing-masing 10 sampel dari tiap kelompok uji yang telah
diberi tanda pada kemasan obat uji, diperiksa kadar TNF-α dan
INF-γ. Kepada pasien tersebut kemudian diberikan obat uji yang
sebelumnya telah diurut berdasarkan tabel acak dan pembantu
peneliti di lapangan maupun pasien tidak mengetahui kelompok
obat uji mana yang diberikan/diterima. Kepada pasien diberikan
penjelasan cara minum obat sebagai berikut: obat uji diminum
bersama air putih yang sudah dimasak, obat uji dengan dosis tiga
kali sehari (kapsul sambiloto dan plasebonya) diberikan setiap 8
jam, obat uji dengan dosis sekali sehari (kapsul klorokuin atau
kapsul artesunat atau plasebonya), diberikan minimal satu jam
setelah obat uji lainnya.

62
Pada hari ke tujuh (H7), diulang pengambilan darah pasien untuk
pemeriksaan darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar gula
darah, dan pada pasien yang telah ditandai untuk diperiksa
kembali kadar TNF-α dan INF-γ.

Dari empat kelompok uji klinik yaitu kelompok ES 250 (ekstrak


sambiloto 250 mg), ES 500 (ekstrak sambiloto 2 x 250 mg), ES 250
+ K (kombinasi ekstrak sambiloto 250 mg dan klorokuin), dan ES
250 + A (kombinasi ES 250 mg dan artesunat 200 mg) sampai akhir
periode penelitian hasil rekruitmen pasien sebagai berikut:

1. Kelompok ES 250: dari 45 pasien, satu orang dikeluarkan dari


penelitian oleh karena satu orang tidak kontrol sesuai jadwal,
empat orang tergolong resisten, sehingga jumlah pasien yang
mengikuti protokol penelitian sampai akhir periode penelitian
sebanyak 40 orang.
2. Kelompok ES 500: dari 45 pasien, tiga orang dikeluarkan dari
penelitian karena tidak kontrol sesuai jadwal, empat orang
tergolong resisten, sehingga jumlah pasien yang mengikuti
protokol penelitian sampai akhir periode penelitian sebanyak 38
orang.
3. Kelompok ES 250 + K: dari 45 pasien, empat pasien
dikeluarkan dari penelitian karena tidak kontrol sesuai jadwal,
empat orang tergolong resisten, sehingga jumlah pasien yang
mengikuti protokol penelitian sampai akhir periode penelitian
sebanyak 37 orang.
4. Kelompok ES 250 + A: dari 45 pasien, tiga pasien dikeluarkan
dari penelitian karena tiga orang tidak kontrol sesuai jadwal, dua
orang tergolong resisten, sehingga jumlah pasien yang mengikuti

63
protokol penelitian sampai akhir periode penelitian sebanyak 40
orang.

Pasien yang mengalami resisten Plasmodium falciparum terhadap


obat uji, diberikan obat pengganti arsucam atau kina dengan
doksisiklin, dan dipantau malaria darah tepi setiap hari sampai
hasil negatip, dan dinyatakan sembuh, kemudian dikeluarkan dari
penelitian. Obat lain yang diberikan sebagai terapi simtomatik
berupa parasetamol dan antiemetik seperti metoklropramid atau
oksadentron yang diberikan pada kasus tertentu.

Data jenis kelamin dan umur pada masing-masing kelompok obat


uji, dapat dilihat pada tabel 3. Rentang umur pasien yang ikut
dalam penelitian ini adalah 18 – 64 tahun, dengan umur rata-rata
36,90 tahun dengan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.

Dari keseluruhan pasien yang ikut serta dalam penelitian ini,


hanya 12,2% yang mengalami demam pada saat pemeriksaan
dengan suhu tubuh lebih dari 380C. Kebanyakan pasien dengan
keluhan nyeri otot, terutama otot punggung dan pinggang, tetapi
ada riwayat demam sebelumnya (Tabel 4)

Tabel 3 Jenis Kelamin dan Umur pada Kelompok Penelitian

Mean Umur P
Kelompok Jumlah Laki-laki Perempuan (th)
ES250 45 19 26 35,56 NS
ES500 45 19 26 36,72

64
ES+K 45 15 30 38,43
ES+A 45 18 27 37,49
Total 180 71 109 36,90

ES: Ekstrak Sambiloto ; K: Klorokuin ; A: Artesunat ; NS: Non


signifikan

Tabel 4 Keluhan Utama Pasien

Keluhan Jumlah Persen

Mialgia 117 65
Sakit Kepala 82 45.6
Mual 44 24.4
Menggigil 32 17.8
Demam 22 12.2
Diare 13 7.2

Berat badan rata-rata pada masing-masing kelompok uji


pengobatan dapat dilihat pada tabel 5. Tidak ada perbedaan
bermakna antara masing-masing kelompok.

Tabel 5 Berat Badan rata-rata pada masing-masing Kelompok Uji

Kelompok Mean BB (Kg) SD P

65
ES 250 57.8095 11.91478 NS
ES 500 54.3158 12.75431
ES + K 57.0000 13.68057
ES + A 56.4333 12.65898
Keterangan:
ES: Ekstrak Sambiloto ; K: Klorokuin ; A: Artesunat ; BB: Berat
Badan ; SD: Standard Deviasi ; NS: Non Signifikan

9.13. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan klinis lengkap dan laboratorium hematologi rutin,


enzim hati, fungsi ginjal dan kadar gula darah diperiksa pada H0
dan H7. Seluruh parameter laboratorium pada H0 dan H7 pada
semua kelompok uji pengobatan secara statistik tidak berbeda
bermakna sebelum pengobatan dan pada hari ketujuh
pengobatan (Tabel 6).

Tabel 6 Parameter Laboratorium Hari ke 0 dan ke 7 Pengobatan

Hasil leukosit Hb SGOT SGPT KGD Ureum Cr

Delta Mean -243.333 -.0167 1.4483 1.34167 -14.717 1.712 .0300

66
SD 1818.769 .2279 1.9358 1.57041 115.976 2.485 .0646
SE Mean 234.802 .0294 .2499 .20274 14.972 .321 .0083

Lower -713.171 -.0755 .9483 .93599 -44.676 1.070 .0133


95% CI
Upper 226.505 .0422 1.9484 1.74735 15.243 2.354 .0467

T -1.036 -.567 -.795 -.618 -.983 -.336 -.599

Df 59 59 59 59 59 59 59

Sig. (2-tailed) .304 .573 .453 .471 .330 .405 .421

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak


sambiloto cukup aman dimana pengaruh pemberian ekstrak
sambiloto selama lima hari pengobatan terhadap perubahan
fungsi hati dan ginjal serta komponen hematologi masih dalam
batas normal. Darah diperiksa pada hari pertama sebelum
pemberian pengobatan (H0) dan pada hari ketujuh sejak dimulai
pengobatan (H7). Untuk nilai-nilai Hb, leukosit, SGOT, SGPT,
ureum, kreatinin, dan kadar gula darah sewaktu pada H0 dan H7
dengan uji statistik student t test, tidak ditemukan perbedaan yang
bermakna (p > 0,3).

9.14. Hasil Pemeriksaan TNF-α dan IFN-γ

Prosedur Pemeriksaan

Pemeriksaan kadar TNF-α dilakukan dengan metode ELISA


menggunakan alat Anogen Catalogue number: EL 10019 buatan
Canada dan untuk IFN-γ dilakukan dengan metode ELISA

67
menggunakan alat Anogen Catalogue Number: EL10024.
(www.anogen.ca). Pada masing-masing kelompok uji pengobatan,
diambil 10 sampel serum secara simple random untuk diperiksa
kadar TNF-α dan IFN-γ sebelum pengobatan (H0) dan setelah hari
ke tujuh pengobatan (H7). Serum disimpan di dalam freezer
dengan suhu -200C di Laboratorium Rumah Sakit Umum
Panyabungan, dan selanjutnya secara kolektif di kirim ke
Laboratorium Prodia Jakarta, melalui Laboratorium Prodia Padang
Sidempuan. Gambar 14 menunjukkan alur pemeriksaan TNF-α
dan IFN-γ pada pasien.

68
Gambar 14 Alur Pemeriksaan TNF-α dan IFN-γ
Hasil pemeriksaan IFN-γ, dari 40 sampel serum, hanya satu sample
yang memunyai kadar IFN-γ sebesar 27 pg/ml pada H0 dan < 15,6
pg/ml pada H7, yaitu dari kelompok uji ekstrak herba sambiloto +
klorokuin. Sisanya, semua menunjukkan kadar < 15,6 pg/ml, yang
tergolong dalam katagori undetectable. Selanjutnya, dilakukan
perhitungan ekstrapolasi. Tabel 7 menunjukkan hasil pemeriksaan
kadar TNF-α pada masing- masing kelompok uji sebelum dan
setelah hari ke 7 pengobatan.

69
Tabel 7 Kadar TNF-α pada masing-masing kelompok Uji Sebelum
pengobatan dan pada Hari ke 7 pengobatan

Kel.Pengobatan Kadar TNF-α (pg/ml)


ES 250 n=8 H0 H7
1 32,00 19,25
2 3,55 1,77
3 2,79 6,17
4 3,12 3,70
5 4,08 3,64
6 2,83 3,03

70
7 2,76 3,55
8 3,01 2,54
ES 500 n=9 1 4,19 4,55
2 2,26 4,02
3 2,20 6,11
4 3,33 5,14
5 5,63 8,61
6 2,97 8,75
7 2,87 3,60
8 3,02 3,25
9 8,25 8,69
ES 250 + K 1 2,39 2,55
n=9 2 3,15 2,65
3 2,06 2,50
4 4,13 2,18
5 3,42 4,29
6 5,37 7,04
7 3,07 3,89
8 1,73 1,83
9 2,74 3,24
ES 250 + A 1 18,35 15,98
n = 10 2 4,64 4,51
3 3,76 3,43
4 5,69 5,88
5 2,97 8,58
6 3,12 6,93
7 7,23 2,55
8 2,99 3,21
9 2,58 2,29
10 2,36 2,75
Keterangan: ES 250 = ekstrak sambiloto 250 mg, ES 500 = ekstrak sambiloto
500 mg, ES 250 +K = ekstrak sambiloto 250 mg + Klorokuin, ES 250 + A =
ekstrak sambiloto 250 mg + Artesunate.
Untuk melihat perbedaan mean dari kadar TNF-α dari masing-
masing kelompok uji pengobatan, maka sebelumnya dilakukan uji
sebaran data secara statistik. Berdasarkan uji Kolmogorov-
Smirnov, didapati nilai p < 0,0001, berarti sebaran data tidak
normal. Selanjutnya dilakukan uji statistik dengan Wilcoxon signed
ranks test, dan didapat hasil uji sebelum pengobatan dan setelah
hari ke tujuh pengobatan dari masing-masing kelompok uji
pengobatan sebagai berikut (Tabel 8).

71
Tabel 8 Perbandingan mean kadar TNF-α sebelum pengobatan
dan pada hari ke 7 pengobatan pada masing-masing kelompok uji
Pengobatan

Kelompok Uji N Nilai p


TNFH7 – TNFH0 ES 250 8 0,889
ES 500 9 0,008
ES 250+K 9 0,208
ES 250+A 10 0,878

Analisis statisitik dengan Wilcoxon Signed Rank Test perubahan


kadar TNF-α pada ke empat kelompok uji pengobatan, maka yang
ada perbedaan bermakna peningkatan kadar TNF-α pada hari ke
tujuh pengobatan hanya pada kelompok Eksrak sambiloto dosis
500 mg (p = 0,008).

Hasil pemeriksaan kadar IFN-γ setelah perhitungan ekstrapolasi


dapat dilihat pada Tabel 9. Dari perhitungan statistik,
tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna dari nilai
mean kadar IFN-γ pada H0 dan H7 pada semua kelompok
uji pengobatan.

Tabel 9 Kadar IFN-γ pada Kelompok Uji Pengobatan

72
Kelompok IFN-(pg/ml) IFN-γ(pg/ml)
Obat Uji Mean H0 Mean H7
Sambiloto 250
n=8
9,586±1,213 9,483±0,481
Sambiloto 500
n=9
8,354±3,018 9,175±0,989
ES 250+
Klorokuin
n=9 8,683±1,029 8,231±0,752
ES 250+
Artesunat
n = 10 9,196±1,389 8,806±0,883

*****

BAB 10

HASIL PENELITIAN UJI KLINIS

10.1. Efektivitas Antimalaria

73
Tabel 10 menunjukkan penurunan rata-rata jumlah parasit
Plasmodium falciparum sampai hari ke 28 pada masing-masing
kelompok uji pengobatan. Pada hari ke tujuh pengobatan, pada
semua kelompok uji tidak ditemukan lagi Plasmodium falciparum
dalam darah tepi, dan tetap tidak ditemukan sampai hari ke 28
tindak lanjut pengobatan. Dari analisis statistik dengan pengujian
normalitas data (Uji Kolmogorov-Smirnov, p < 0,05), menunjukkan
penyebaran data tidak normal. Maka analisis statistik dilanjutkan
dengan melakukan uji Kruskal-Wallis (Dahlan, 2004). Dengan Uji
Kruskal Wallis, terhadap tingkat penurunan parasitemia pada ke
empat kelompok uji pengobatan dari hari pertama sampai hari ke
enam, tidak ada perbedaan bermakna penurunan tingkat
parasitemia.

Penurunan jumlah parasit dalam darah tepi pada masing-masing


kelompok uji pengobatan, terlihat pada gambar 15.

Tabel 10 Rata-rata Penurunan Kepadatan Parasit dari H0 – H28


pada Masing-masing Kelompok Uji Pengobatan

74
Kel.Terapi ES 250 ES 500 ES + K ES + A
Mean (n =40) (n = 38) (n = 37) (n =
Parasitemia/ml 40)

H0 190,13 164,85 149,55 173,69


H1 139,75 131,52 113,18 140,12
H2 86,63 86,56 83,03 98,69
H3 53,38 59,27 49,24 74,29
H4 26,50 17,88 18,48 39,14
H5 16,00 6,06 8,79 20,24
H6 4,00 1,52 3,64 9,05
H7 0,00 0,00 0,00 0,00
H 14 0,00 0,00 0,00 0,00
H 21 0,00 0,00 0,00 0,00
H 28 0,00 0,00 0,00 0,00

75
Gambar 15 Penurunan Jumlah Parasite P.falciparum pada 4
kelompok Uji Pengobatan

Efikasi masing-masing kelompok obat uji dapat dilihat pada tabel


11. Dan perbandingan efikasi antara kelompok sambiloto 250 mg
dengan 500 mg dan perbandingan efikasi kelompok sambiloto
250 mg dan klorokuin dengan sambiloto 250 mg dan artesunat
dapat dilihat pada tabel 12 dan 13.

Tabel 11 Efikasi masing-masing Kelompok Uji Pengobatan

Kelompok Uji N DO Sensitif Resisten Efikasi (%)


ES 250 45 1 40 4 90,9
ES 500 45 3 38 4 90,5
ES 250 + K 45 4 37 4 90,2
ES 250 + A 45 3 40 2 95,2
Keterangan :
DO: Drop Out ; ES: Ekstrak Sambiloto ; K: Klorokuin ; A: Artesunat

Tabel 12 Perbandingan Efikasi antara Kelompok ES 250 dengan ES


500

Kelompok Uji Hasil Pengobatan


Sensitif Resisten Total
ES 250 40 4 44
ES 500 38 4 42

76
Total 78 8 86
ES : Ekstrak Sambiloto ; p = 0,617 (Fisher’s Exact Test)

Hasil statistik dengan Fisher’s Exact Test menunjukkan nilai p =


0,617, berarti tidak ada beda efikasi antara kedua kelompok uji
pengobatn ES 250 mg dengan 500 mg (Tabel 12).

Tabel 13 Perbandingan Efikasi antara Kelompok ES + K dengan ES+ A

Kelompok Uji Hasil Pengobatan


Sensitif Resisten Total
ES + K 37 4 41
ES + A 40 1 41
Total 77 5 82
ES: Ekstrak Sambiloto ; K: Klorokuin ; A: Artesunat
p = 0,359 (Fisher’s Exact Test)

Bila dibandingkan efikasi antara kelompok ES+K dengan ES+A


secara statistik dengan Fisher’s Exact Test didapati nilai p = 0,359,
berarti tidak ada perbedaan bermakna efikasi antara kedua
kelompok uji pengobatan. (Tabel 13).

77
*****

BAB 11

PEMBAHASAN

11.1. Keamanan Sambiloto

Sumber daya alam bahan obat dan obat tradisional merupakan


aset nasional yang perlu terus digali, diteliti, dikembangkan dan
dioptimalkan pemanfaatannya. Sebagai suatu negara yang
memunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, potensi
sumber daya tumbuhan yang ada merupakan suatu aset dengan
nilai keunggulan komparatif dan sebagai suatu modal dasar utama
dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya untuk menjadi
komoditi yang kompetitif (Permenkes RI, 2007)

78
Sambiloto dikenal sebagai salah satu tanaman obat tradisional
sejak abad ke 18. Tanaman berdaun kecil dengan tinggi 40-100 cm
ini memunyai daftar panjang dalam menanggulangi berbagai
penyakit. Dalam sebuah majalah kedokeran (medical journal),
tamanan ini dilaporkan mampu mengatasi berbagai jenis penyakit
infeksi, termasuk malaria. Sambiloto dilaporkan pula memunyai
khasiat sebagai anti bakteri, anti radang, penghambat reaksi
imunitas, penghilang nyeri dan pereda demam.

Tanaman obat tradisional sambiloto yang merupakan tanaman asli


Indonesia , terdapat di berbagai wilayah Indonesia dan sejak
zaman dahulu secara turun temurun telah digunakan untuk
berbagai penyakit oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini diambil
herbalnya oleh petani tanaman obat, diperdagangkan dan
akhirnya oleh masyarakat luas di Indonesia digunakan sebagai
obat tradisional. Dalam suatu penelitian etnomedis, dilaporkan
bahwa sambiloto sangat luas pemakaiannya sebagai tumbuhan
obat. Terdapat banyak penelitian fitokimia dan bioaktivitas
preklinik, tetapi belum ada penelitian klinik yang sebenarnya.

Herbal sambiloto memunyai kandungan utama yaitu


andrografolida yang berbentuk padat (kristal). Komponen ini
mudah terisolasi dalam jumlah besar sampai 2% dan mudah
diisolasi dengan tahapan ekstraksi, fraksinasi dan kristalisasi
sebagai kristal murni. Zat kimia ini selanjutnya masuk dalam alur
tunggal calon obat. Penelitian dan pengembangan herbal
sambiloto dapat mengarah pada strategi yang lain yaitu
pemanfaatan sebagai sumber bahan baku untuk pengembangan
sediaan jadi yang mengandung ekstrak total herbal sambiloto
terstandar sebagai konsep terapi obat multi komponen. Ekstrak
total berarti mengandung semua zat kandungan yang terdapat

79
dalam bahan. Setiawan bersama rekannya dari Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 2003 telah melakukan penelitian
untuk membuat ekstrak kering sambiloto ini. Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa teknologi "spray drying" dapat
menghasilkan ekstrak kering herbal sambiloto yang memunyai
spesifikasi (konsistensi dan aliran ) baik serta menunjukkan lebih
banyak bahan yang terlarut dari pada ekstrak yang dikeringkan
secara konvensional. Hal ini dapat ditunjukkan dengan alat spektra
ultraviolet maupun rekaman kromatogram (Setiawan dkk, 2003).

Dalam sejarah pengobatan dengan obat tradisonal di Indonesia


maupun negara lain seperti Thailand dan India, AP telah
digunakan secara luas di masyarakat sejak lama dan diketahui
aman dari berbagai efek samping.

Ekstrak sambiloto tergolong bahan yang memunyai toksisitas


sangat rendah (LD50 > 15 g/Kg BB. Kelompok mencit yang diberi
ekstrak sambiloto 10 g/Kg BB secara oral sekali sehari selama
tujuh hari, tidak ada yang mati. Dosis yang sangat tinggi ini tidak
menyebabkan penurunan aktifitas atau letargi. Pada pemeriksaan
hati, jantung, ginjal, dan limpa pada semua hewan coba ini adalah
normal. Ekstrak sambiloto yang diberikan selama 10 hari kepada
mencit dengan dosis 500 mg/Kg BB tidak tampak pengaruhnya
terhadap pertumbuhan, nafsu makan dan kelancaran buang air
besar. Hewan-hewan ini tampak energik dan komposisi serta faal
darahnya normal (Andrographis in Depth Review).

Kelinci yang diberi Andrographis paniculata 10 mg/Kg BB (setara


dengan 200 mg/Kg BB ekstrak sambiloto terstandarisasi secara
intravena, tidak menunjukkan respon abnormal pada sistim
kardiovaskular.

80
Dalam uji toksisitas terhadap tikus dan kelinci yang diberi ekstrak
sambiloto 1 gr/Kg BB selama tujuh hari tidak memengaruhi bobot
badan, faal darah, fungsi hati atau ginjal dan organ penting
lainnya. Ekstrak sambiloto tidak menimbulkan toksisitas
reproduksi pada tikus jantan yang diberi dosis sebesar 10 – 1000
mg/Kg BB secara intra gastrik setiap hari selama 60 hari. Secara
keseluruhan, bukti-bukti yang telah ada sampai saat ini
menunjukkan bahwa andrografolida yang terdapat dalam ekstrak
sambiloto memunyai toksisitas rendah bila digunakan dengan
tepat (Andrographis in Depth Review).

Beberapa efek samping yang ditemukan pada penggunaan AP


antara lain rasa pusing, palpitasi, dan reaksi alergi. Pada
penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan infertilitas.
Di Indonesia, tanaman obat ini telah digunakan secara luas oleh
masyarakat untuk berbagai penyakit atau keadaan, baik
penggunaan secara tradisional dengan bahan daun yang direbus,
maupun dalam bentuk simplisia. Salah satu penyakit infeksi
menular yang dapat diobati dengan tanaman ini adalah malaria.

Dengan mengkemas tanaman ini dalam bentuk kapsul ataupun


tablet, tentunya akan lebih mudah penggunaannya dan dapat
dikembangkan sebagai fitofarmaka yang dapat menunjang
program penanggulangan malaria di Indonesia. Dengan teknologi,
tanaman sambiloto ini dapat dibuat sedemikian rupa, sehingga
dapat dikemas dan diedarkan dalam bentuk dan sediaan yang
lebih menarik, seperti bentuk kapsul, tablet dan kalau
memungkinkan dalam bentuk sirup.

11.2. Efek Antimalaria

81
Ekstrak herba sambiloto telah diketahui memunyai empat
komponen aktif yang bersifat antimalaria, dan telah dibuktikan
terhadap Plasmodium berghei secara invivo pada binatang
percobaan dan terhadap Plasmodium falciparum secara invitro.
Inilah yang menjadi dasar, bahwa ekstak ini memunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan parasit dan
sebagai alasan untuk melakukan uji klinik terhadap pasien malaria
falsiparum tanpa komplikasi. Dua dari komponen Andrographis
paniculata, yaitu neoandrografolida dan deoxyandrografolida
disebut yang paling efektif dari keempat komponen.

Pada penelitian ini, uji invitro dari ekstrak herba sambiloto tunggal
dibandingkan dengan antimalaria lain, yaitu klorokuin dan
artemisinin (sebagai obat uji invitro yang tersedia di
Laboratorium), juga dengan kombinasi masing-masing dengan
sambiloto. Meskipun pada dosis 0,5 ug dan 1 ug dari sambiloto
tunggal belum menunjukkan efek menghambat pertumbuhan
Plasmodium falciparum, tapi pada peningkatan dosis berikutnya, 5
ug dan seterusnya terlihat efek membunuh terhadap Plasmodium
falciparum dengan terjadinya ”crisis form” dari parasit tersebut.
Dosis setinggi 200 ug efek maksimalnya untuk membunuh parasit
ini pada sel kultur selama 48 jam terlihat sama dengan klorokuin
dan artemisinin maupun kombinasi dengan keduanya. Penurunan
jumlah parasit pada sel kultur dengan peningkatan dosis obat uji,
terlihat lebih cepat pada kombinasi sambiloto dengan klorokuin
dan dengan artemisinin dibandingkan dengan sambiloto tunggal,
tapi analisis statistik menunjukkan tingkat penurunan secara
keseluruhan jika dibandingkan pada semua kelompok uji obat
tidak berbeda bermakna. Sedangkan peningkatan dosis obat uji,
jelas akan meningkatkan penurunan jumlah parasit Plasmodium

82
falciparum pada media kultur, yang secara statistik bermakna (p <
0,001), baik pada sambiloto tunggal maupun kombinasi.
Sayangnya, pada uji in-vitro ini, Plasmodium falciparum yang
digunakan untuk kultur bukan berasal dari pasien malaria dari
Madina, tetapi berasal dari cell line Plasmodium falciparum
Papua. Hal ini disebabkan karena tidak dapat dilakukan
pengambilan sampel darah pasien malaria falsiparum untuk
dibawa ke laboratorium Sentral Biomedik di Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang sebab transport media spesimen
untuk jarak tempuh yang jauh tidak tersedia.

Meskipun secara klinis malaria falsiparum terbukti menunjukkan


tingkat resistensi yang semakin tinggi terhadap obat klorokuin,
tapi pada penelitian ini secara invitro dapat dilihat bahwa efikasi
klorokuin masih cukup baik dan efek membunuh parasitnya sudah
terlihat pada sel kultur dengan terlihatnya ”crisis form”, yaitu
pecahnya sitoplasma Plasmdium falciparum pada sel kultur
setelah 48 jam pada dosis 0,5 ug/ml, sementara pada kelompok
sambiloto, efek membunuhnya baru terlihat pada dosis yang lebih
besar (5 ug/ml). Tetapi dengan kombinasi sambiloto dengan
klorokuin maupun artemisinin, maka efek membunuhnya tetap
terlihat pada dosis 0,5 ug/ml.

Sensitifitas Plasmodium.falciparum dari cell line yang masih cukup


baik pada uji in-vitro ini dimungkinkan oleh terjadinya perubahan-
perubahan tingkat molekuler pada parasit yang dibiakkan di
laboratorium. Juga respon hospes terhadap klorokuin, serta
pengaruh absorpsi, efek farmakokinetik dan farmakodinamik obat
dalam tubuh pasien malaria falsiparum menyebabkan perbedaan
respon klinis dengan respon laboratorium.

83
Penelitian sebelumnya membandingkan efikasi kombinasi
sambiloto 250 mg + klorokuin dengan klorokuin tunggal
di Madina, terhadap pasien malaria falsiparum dewasa
tanpa komplikasi, menunjukkan efikasi 87,5% (Umar
Zein, dkk 2004). Pada penelitian ini terlihat efikasi ekstrak
herba sambiloto menunjukkan peningkatan mencapai
angka diatas 90%. Peningkatan efikasi ini berkaitan
dengan kualitas bahan sambiloto serta pengolahannya.
Pada penelitian ini bahan ekstrak yang diambil berasal
dari satu daerah pembenihan dan proses tanam dan
panen juga sudah terstandarisasi, yaitu dari budidaya
tanaman sambiloto PT Kimia Farma Tbk di Kebun
Pertanian Banjaran Bogor.

Dengan hasil efikasi sambiloto tunggal > 90% pada penggunaan


terhadap pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi dan
hasil pembersihan parasit dari dalam darah rata-rata pada hari ke
tujuh pengobatan, maka jelas Indonesia sebenarnya memunyai
aset tanaman obat yang tidak kalah efisien dengan negara-negara
Cina, India dan lainnya yang telah lebih dulu memroduksi tanaman
obat tradisionilnya untuk menjadi komoditi ekspor yang dapat
diandalkan. Apalagi persoalan penanggulangan penyakit malaria
di Indonesia sampai saat ini masih menemukan banyak kendala
untuk mengendalikannya, dan masih menjadi salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang penting. Bila tanaman herbal
sambiloto ini dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka, maka
sambiloto menjadi salah satu alternatif pengobatan malaria yang
berasal dari tanaman Indonesia sendiri.

11.3. Respons Imun terhadap Malaria

84
Infeksi Plasmodium falciparum pada manusia akan melibatkan
respon imun humoral dan seluler, dengan tujuan untuk
mengeliminasi parasit dari dalam tubuh manusia. Respon imun
humoral akan menghasilkan beberapa jenis antibodi, seperti
antibodi terhadap sporozoit yang akan menghambat invasi
sporosit ke hepar, antibodi terhadap merozoit yang menghambat
invasi merozoit ke eritrosit, antibodi terhadap antigen malaria
dalam eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum yang
dapat menghambat proses sitoadheren pada endotel pembuluh
darah, dan akan terbentuk pula antibodi yang menetralisir toksin
yang dihasilkan oleh Plasmodium falciparum. Sedangkan respon
imun seluler dapat mengaktivasi sel limfosit T-helper (CD4) untuk
menghasilkan berbagai macam limfokin, mengaktivasi limfosit T-
sitotoksik (CD8) guna melisis parasit intrahepatik (hepatosit yang
terinfeksi parasit), dan terhadap parasit di dalam eritrosit, memicu
terjadinya ADCC (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity).
Jadi sebetulnya respon imun tubuh cukup efektif guna mengatasi
infeksi plasmodium, tapi pada kenyataannya, orang banyak juga
terserang penyakit malaria ini. Hal ini disebabkan karena
plasmodium mampu menghindar dari respon imun tubuh melalui
kemampuannya membentuk variasi antigenik, seperti kemampuan
Plasmodium.falciparum mengsekresikan pfEMP1 (Plasmodium
falciparum erythrocyte membrane protein-1) dengan berbagai
variasi antigeniknya sehingga dapat menghindar dari blokade
antibodi terhadap perlekatan pada endotel vaskuler, dan
menghindar dari lisis oleh mekanisme ADCC (Daniel-Ribeiro,
2000).

Selama pertumbuhan dan perkembangan plasmodium di dalam


sel-sel eritrosit dan disaat ruptur eritrosit yang terinfeksi, akan

85
terjadi pelepasan toksin dan selanjutnya terjadi produksi dari
sitokin untuk secara sistematik menimbulkan respon imun dari
host. Plasmodium tumbuh di dalam sel-sel eritrosit dengan
mencernakan hemoglobin di dalam sitoplasma dan selanjutnya
merubah heme menjadi toxic pigment. Di saat beberapa eritrosit
yang terinfeksi plasmodium ruptur bersamaan, maka akan terjadi
pelepasan toksin yang masif yang akan menyebabkan over
produksi sitokin, seperti TNF-α, IFN-γ, dan IL-1. Pada saat
meningkatnya kadar TNF-α sebagai respon terhadap rupturnya
eritrosit, maka akan terjadi respon demam yang berkaitan dengan
infeksi malaria (Malaria, Available from : www.bio/
davidson.edu/..).

Imunitas terhadap infeksi malaria melibatkan respons imun seluler


dan humoral. Respons imun seluler yang diperantarai oleh limfosit
T khususnya sel T sitotoksik memegang peranan penting terhadap
infeksi sporozoit intra seluler (skizogoni ekstra-eritrositik). Efek
pertahanan dari sel T sitotoksik ini diperantarai dengan cara lisis
langsung dengan sekresi INF-γ dan aktifasi makrofag agar
menghasilkan NO atau senyawa lain untuk membunuh parasit.
Peningkatan aktifitas dari sel T sitotoksik diharapkan akan
meningkatkan reaksi pertahanan tubuh terhadap malaria
terutama terhadap sporozoit pada fase skizogoni ekstra-eritrositik
(Abbas, 2000).

Untuk mengatasi infeksi oleh Plasmodium falciparum, tubuh


memberikan respon imun yang kompleks dan beberapa
diantaranya berhasil mengeliminasi parasit, walaupun berapa
yang lain kurang berhasil karena parasit dapat menghindar dari
respon imun tubuh.

86
Dalam beberapa literatur sudah banyak dibuktikan bahwa
tanaman obat sambiloto juga bersifat atau berkhasiat sebagai
imunomodulator (atau tepatnya sebagai imunostimulator).
Sebagai imunomodulator, AP dapat menstimulasi produksi
antibodi spesifik terhadap antigen sel darah merah domba,
meningkatkan reaksi alergi tipe lambat (Delayed Type
Hypersensitivity). Terhadap makrofag, meningkatkan indeks
migrasi (macrophage imgration index = MMI) dan meningkatkan
fagositosis terhadap sel target Escherichia coli yang dilabel 14C-
leucine. Terhadap limfosit yang diisolasi dari limpa, meningkatkan
aktifitas proliferasinya, sehingga AP disebut sebagai
Imunostimulator (Puri et al, 1993).

Dari penelitian ini telah dibuktikan bahwa ekstrak herba sambiloto


tunggal 250 mg tiga kali sehari selama lima hari memunyai efikasi
sebagai antimalaria falsiparum tanpa komplikasi pada pasien
dewasa, dan tidak berbeda bermakna dengan yang lebih tinggi
sebesar 500 mg. Tetapi dengan penggandaan dosis menjadi 500
mg, ternyata keamanannya dilihat sama sehingga efek samping
yang timbul tidak menunjukkan perbedaan dengan dosis 250 mg.
Hanya dari peningkatan dosis ini terlihat adanya kenaikan kadar
TNF-α yang bermakna pada hari ke tujuh pengobatan
dibandingkan dengan hari sebelum mendapat pengobatan (H0).
Asumsi peneliti sebelumnya, dengan peningkatan kadar TNF-α ini
merupakan suatu efek imunomodulator. Imunomodulator tidak
menyebabkan terjadinya respons imun humoral maupun seluler
dan bukan merupakan suatu antigen, melainkan menyebabkan
modulasi dari respons imun berupa stimulasi maupun supresi.
Imunomodulator memunyai efek positip atau negatip terhadap
sistim imun, sehingga dapat memunyai aspek terapi khusus yang

87
berkaitan dengan mekanisme sistim imun, seperti infeksi,
termasuk malaria (Zhang et al, 1995).

Bahan kimia yang bersifat sebagai imunomodulator dapat berasal


dari bahan sintetik maupun bahan alam (hewan, mikroorganisme
atau tanaman). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
banyak tanaman obat yang memunyai aktifitas stimulasi
nonspesifik terhadap sistim imun. Tanaman obat tersebut
dikatakan bersifat sebagai imunomodulator.

Pada fase eritrositik malaria falsiparum, merozoit berkembang


menjadi bentuk cincin, tropozoit dan skizon yang masing-masing
memberikan sifat antigen yang khas. Pada stadium eritrositik
parasit memperbanyak diri dan dengan cepat melepaskan antigen
yang berlimpah yang menyebabkan induksi pada respons hospes
spesifik dan non spesifik, proliferasi dan hiperaktifasi sistim
retikulo endotelial yang nyata, serta perubahan pada berbagai
macam organ limfoid (Abbas et al, 2000).

Perbedaan dosis 250 mg dengan 500 mg dari ekstrak herba


sambiloto pada pasien malaria falsiparum pada penelitian ini tidak
menunjukkan peningkatan efikasi antimalarianya maupun
peningkatan pada efek samping yang ditimbulkan. Tapi, terlihat
perbedaan yang bermakna dalam kadar TNF-α yang diperiksa
pada hari ke tujuh pengobatan. Peningkatan kadar TNF-α ini
secara statistik bermakna, dan tidak terlihat pada kelompok uji
pengobatan yang lain.

Pengaruh terhadap kadar IFN-γ yang dievaluasi dengan kit


pemeriksaannya didapatkan hanya 1 kasus yang terdeteksi dengan
kadar > 15,6 pg/ml. Oleh karena itu, dilakukan perhitungan

88
dengan ekstrapolasi. Dan dari perhitungan statistik, tidak terdapat
perbedaan yang bermakna pada semua kelompok uji kadar IFN-γ
pada saat sebelum pengobatan (H0) dan pada hari ke 7
pengobatan. Kondisi ini masih memerlukan evaluasi ulang dengan
pemeriksaan kadar IFN-γ dengan kit yang lebih sensitif. Level IFN-γ
tidak berbeda bermakna pada semua kelompok uji dibandingkan
dengan kontrol, berarti pemberian ekstrak sambiloto tidak
meningkatkan sekresi IFN-γ, atau dengan kata lain tidak
memengaruhi sekresi sitokin oleh subset Th1 (T-helper-1), padahal
dalam eliminasi parasit, peran sitokin Th-1 sangat penting. Dengan
demikian, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah
sampel yang lebih besar, terutama terhadap malaria tanpa
komplikasi dan dengan komplikasi. Dan diperlukan pengamatan
level sitokin yang disekresikan oleh Th-1 (IL-12, TNF- α, dan IFN-γ)
serta sekresi sitokin olehTh-2 (IL-4, IL-5, dan IL-10).

Peningkatan dosis sambiloto 500 mg secara tunggal dan kombinasi


dengan antimalaria lain masih merupakan wacana penelitian yang
dapat dikembangkan lagi guna mendapatkan efek terapi yang
lebih optimal terhadap malaria falsiparum.

11.4. Pengamatan Efek Samping

Ekstrak herba sambiloto sebagai tanaman obat tradisional yang


telah digunakan secara turun temurun oleh rakyat Indonesia di
berbagai daerah untuk berbagai kegunaan dalam penyembuhan,
telah membuktikan secara faktual tentang keamanannya dari segi
efek samping yang ditimbulkannya. Penelitian pada hewan coba
yang telah dilakukan diberbagai sentra juga membuktikan bahwa
ekstrak herba sambiloto ini sebagai zat herba alami yang tingkat
toksisitasnya sangat rendah, dan keamanan penggunaannya

89
terhadap fungsi organ vital tubuh hewan coba juga telah
dibuktikan.

Pada pengamatan yang dilakukan terhadap pasien pada penelitian


ini, tidak ditemukan efek samping yang berarti pada semua pasien
yang mendapatkan kapsul ekstrak sambiloto selama lima hari, dan
juga tidak ditemukan efek yang berarti selama pemantauan
pengobatan sampai hari ke 28. Selama periode penelitian tidak
ada pasien yang harus menghentikan pengobatan karena alasan
efek samping yang tidak dapat ditolerir. Pada beberapa pasien
dengan keluhan pusing dan mual, umumnya lebih disebabkan oleh
penyakit malarianya. Dengan meneruskan pengobatan, keluhan-
keluhan tersebut berangsur-angsur hilang dan pasien mengalami
perbaikan terhadap penyakit malarianya secara klinis, maupun
secara parasitologis.

11.5. Pengamatan Laboratorium

Disamping pengamatan efek samping obat uji secara klinis melalui


anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilakukan juga pengamatan
nilai-nilai laboratorium yang meliputi darah rutin, pemeriksaan
enzim dan fungsi hati dengan mengukur kadar SGOT dan SGPT
serta bilirubin, fungsi ginjal dengan mengukur kadar ureum dan
kreatinin, dan kadar gula darah. Untuk pemeriksaan awal diambil
sampel darah pasien pada hari pertama pengobatan (H0),
kemudian pemeriksaan diulang pada hari ke tujuh pengobatan
(H7). Semua pasien pada semua kelompok pada awal penelitian
menunjukkan nilai-nilai laboratorium dalam batas normal, dan
pada hari ke tujuh pengobatan juga menunjukkan nilai-nilai
laboratorium dalam batas normal. Uji statisitik menunjukkan tidak
ada perbedaan yang bermakna dari nilai-nilai laboratorium

90
sebelum dan setelah hari ke tujuh pengobatan. Hal ini
membuktikan bahwa ekstrak herba sambiloto dalam pengobatan
malaria falciparum tidak mempengaruhi fungsi hematologik, hati,
ginjal, dan kadar gula darah.

*****

91
BAB 12

KESIMPULAN

Ekstrak herbal sambiloto pada penelitian invitro dan uji klinis


terbukti secara signifikan memunyai efek antimalaria
falsiparum. Uji invitro yang dilakukan menambah bukti
efek anti malaria sambiloto terhadap plasmodium yang
telah banyak diteliti di laboratorium maupun dengan
hewan coba terhadap plasmodium spesies tertentu.

Dosis ekstrak sambiloto 250 mg tiga kali sehari selama 5 hari


menunjukkan efikasi dengan kesembuhan secara klinis
dan mikroskopis pada pasien malaria falsiparum dewasa
tanpa komplikasi dengan tanpa efek samping klinis dan
laboratorium.

Dengan menggandakan dosis sambiloto menjadi 500 mg, juga


tidak menunjukkan efek samping klinis dan laboratorium
pada pasien malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi,
tapi menunjukkan efek tambahan berupa efek
imunomodulasi yang secara klinis meningkatkan proses
penyembuhan pasien malaria falsiparum. Efek
imunomodulasi ini terlihat dari peningkatan kadar TNF-α
pasien yang meningkat secara signifikan pada hari ke 7
pengobatan.

Kombinasi sambiloto dengan klorokuin maupun artesunate


menunjukkan efikasi antimalaria yang sama dengan
sambiloto tunggal.

92
BAB 13

SARAN

Hasil penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan


produksi ekstrak herabl sambiloto sebagai fitofarmaka
yang dapat digunakan dalam program penanggulangan
penyakit infeksi menular malaria yang masih menjadi
problema kesehatan masyarakat di Indonesia.

Perlu dilakukan uji klinis lanjutan secara multi senter


menggunakan kombinasi kapsul ekstrak sambiloto dengan obat
antimalaria lainnya agar dicapai Parasite Clearance Time yang
lebih cepat.

Perlu dilakukan uji klinis lanjutan terhadap pasien malaria lainnya


seperti malaria vivax atau kasus infeksi gabungan (mixed
infection), serta pada pasien malaria falsiparum dengan
komplikasi.

Perlu dilakukan penelitian efek sambiloto terhadap gametosit


untuk mengetahui apakah sambiloto dapat digunakan juga
sebagai obat profilaksis malaria.

Perlu dilakukan penelitian zat aktif dari sambiloto (Andrographis


paniculata) yang memunyai efek antimalaria, serta untuk dapat
mengungkapkan mekanisme kerjanya.

93
*****

Daftar Kepustakaan

Abbas AK, Litchman HJ, Pober S: Cellular and Molecular


Immunology . W.B. Saunders Co., Philadelphia, 2000, 240 – 7

Acang N: Kasus Malaria Resisten Klorokuin di Bagian Penyakit


Dalam Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang. Majalah Kedokteran
Indonesia 2002 ; (11): 383-9,

Ananta Toer, P: Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Lentera Dipantara,


Jakarta, 30

Andrographis in Depth Review, available from :


http://www.altcancer.com/andcan.htm, 12 March 2005

Bambang Madyono, Moeslichan, S, Sastro Asmoro, S, Budiman, I,


Harry Purwanto, S : Perkiraan Besar Sampel, Dalam : Sastro
Asmoro, S, Sofyan Ismael (Penyunting) : Dasar-dasar Metodologi
Penelitian Klinis, Edisi ke 2 2002.Sagung Seto, Jakarta: 259 – 86.

Barcus MJ, Laihad F, Sururi M, Sismadi P, Marwoto H, Bangs MJ,


Baird JK. Epidemic malaria in the Menoreh Hills of Central Java.
Am J Trop Med Hyg.2002, 66 (3): 287-92

Bloland PB, Ettling M, Meek S. Combination therapy for malaria in


Africa: hype or hope?. Bulletin WHO 2000;78 (12) : 1378-85.

94
Bloland PB . Beyond chloroquine: implications of drug resistance
for evaluating malaria therapy, efficacy and treatment policy in
Africa 1993, Journal of Infectious Diseases ; 167(4):932–937.

Bloland PB, Ettling M. Making malaria treatment policy in the face


of drug resistance. Annals of Tropical Medicine and Parasitology
1999 ; 93(1):5–23.

Bloland PB. The Use of Antimalarial Drugs, Report of an Informal


Consultation World Health Organization.2000 Geneva, WHO

Bloland PB. Drug resistance in malaria. Malaria Epidemiology


Branch Centers for Disease Control and Prevention. Chamblee GA.
United States of America. WHO 2001; 9 -10

Bunnag D, Karbwang J, Na Bangchang K, Thanabul A, Chittamas S,


Harinasuta T. Quinine-Tetracycline for multidrug resistant
falciparum malaria. South East Asian. J Trop Med Public Health
1996; 27:15-8.

Caceres DD, Hancke JL, Burgos RA Sanberg F, Wikman GK :Use of


Visual Analogue scale (VAS) to Asses the Effectiveness of
Standardized Andrographis paniculata Extract SHA-10 in Reducing
The Symptoms of Common Cold. A Randomized Double Blind-
Placebo Study (Abstract), Phytomedicine 1999; 6(4):217-23.

CDC : Human Host and Malaria, National Center for Infectious


Diseases, Division of Parasitic Diseases. available from
http://www.cdc.gov/malaria/biology/humanhost/ April 23, 2004

95
Traditional Chinese Medicine. available from URL
http://chinesemedicineherbs.net/ May 20, 2006

Consensus of Malaria Management 2003 (Part One). The


Indonesia society of Internal Medicine, Acta Med.Indones.-
Indones.J of Internal.Med. 2004. 36 : 2. 121 - 6

Dahlan MS: Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Uji


Hipotesis dengan Menggunakan SPSS Program 12 Jam 2004, PT
Arkans Jakarta, 102 - 11

Daniel-Ribeiro CT : Is there a Role for Autoimmunity in Immune


Protection against Malaria?, Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de
Janeiro 2000, 95(2): 199-207

Departemen Kesehatan RI. Pemanfaatan Tanaman Obat.


Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1983,
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. Materia Medika Indonesia. 1989

Departemen Kesehatan RI. Malaria. Tes resistensi untuk


Plasmodium falsiparum.Jakarta. 1995. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyaki Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 3-29.

Departeman Kesehatan RI : Acuan Sediaan Herbal. Direktorat


Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan 2000, 42-3.

96
Departemen Kesehatan RI : Penggunaan Artemisinin Untuk Atasi
Malaria Di Daerah Yang Resisten Klorokuin.; Available from URL
http://www.depkes.go.id/. 27 April 2004

Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal, 2003 : Profil


Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal 2003.

Enger, H. Malaria medical research Laboratory of Malaria and


Immunology, 2001 Melbourne, Australia, Available from
http://www.malaria.org/whatismalaria.html, June 4, 2001

Farmedia CD-ROM : Malaria Update, From Basic Science to Clinical


Practice

Fauzy M :Terapi kombinasi Pirimetamin-Sulfadoksin dengan


Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees)
terhadap penderita Malaria Falciparum tanpa komplikasi yang
resisten terhadap Klorokuin. Tesis Program Pendidikan Spesialis
Penyakit Dalam di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran USU Medan, Tahun 2004

Fauziah Mukhlisah. Tanaman Obat Keluarga. 2002, PT. Penebar


Swadana, Depok, 68 – 71

Fried M, Muga RO, Misore AO. and Patrick E Duffy: Malaria Elicits
Type 1 Cytokines in the Human Placenta : IFN- and TNF-
Associated with Pregnancy Outcomes. J Immunol 1998 ; 160 :
2523-30

GintingY, Tarigan MB, Zein U, Pandjaitan B. The Comparison of


Resistance of Chloroquine and Pyrimethamine-Sulfadoxin in

97
Uncomplicated Malaria Falciparum in Siabu District, Mandailing
Natal Regency Sumatera Utara Province, Kongres Bersama PETRI,
Yogyakarta. 2001.(Abstract)

Grau GE, Taylor TE, Molyneux ME et al : Tumor necrosis factor and


disease severity in children with falciparum malaria. N Engl J
Med.1989 ; 320 : 1586 – 91.

Greenwood B, Mutabingwa T. Malaria in 2002. Nature 415 (6872):


670-2, 2002

Human TNF- α ELISA Kit For the quantitative determination of


human tumour necrosis factor alpha (TNF-α) concentrations in
serum, plasma, cell culture supernatant, and other biological
fluids. Available from http://www.anogen.ca. June 2005

Human IFN-γ ELISA Kit For the quantitative determination of


human interferon-γ (IFN-γ) concentrations in serum, plasma, cell
culture supernatant, and other biological fluids. Available from
http://www.anogen.ca. October 2005

Imwong A, Tanomsing N, Pukrittayakamee A, Day NPJ, White NJ,


Snounou G. Spurious Amplification of a Plasmodium vivax Small-
Subunit RNA Gene by Use of Primers Currently To Detect
P.knowlesi. Journal o Clinical Microbiology, 2009, 47 : 12 ; 4173 –
75.

Kasper L.H and D. Buzoni-Gatel. Ups and down of mucosal cellular


immunity against protozoans parasites. Infect Immun 2001; 69 : 1-
8.

98
Kloppenburg J. Petunjuk lengkap mengenai tanam - tanaman di
Indonesia dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisional
(terjemahan), CDRS Bethesda dan Andi Offset,
Yogyakarta.1988;149.

Konsensus Penanganan Malaria. PAPDI, 2003; 2-23

Laihad FJ, Gunawan S. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto PN


(editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, &
Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; 17-25.

Li W, Xu X, Zhang H, Ma C, Fong H, van Breemen R, Fitzloff J.


Secondary metabolites from Andrographis paniculata. Chem
Pharm Bull (Tokyo). 2007;55(3) : 455 – 8

Liu J, Wang ZT, Ji LL : In Vivo and In Vitro Anti-inflammatory


Activities of Neoandrographolide , Am J Chin Med.
2007;35(2):317-28.

Lucas R : Rahasia Herbalis Cina, Ramuan Tanaman Obat Cina,


Pustaka Delapratasa, Jakarta, 1998.

Malaria, Availble from : http://www.infeksi.com 19 March 2005

Malaria, Available from


http://www.bio/davidson.edu/Course/Immunology/Students/Spri
ng 2003/Lafontaine/malaria, July 25, 2006

Malhotra S, Sigh AP : Recent Advance in Pharmacology of


Andrographis paniculata. Available From URL :

99
http://www.ayurvedanc.com/research/Andrographis.htm, April 8,
2005

Mandell GL, Bennett JE, Dolin RM. Douglas and Bennet's Principles
and Practices of Infectious Diseases, 6th ed. 2000, Philadelphia,
Elsevier Churchill Livingstone, 3304–3307

Marsh K. Malaria disaster in Africa. Lancet 1998; 352:924.

Melchior J, Spasov AA, Ostrovskij OV, Bulanov AE, Wikman G :


Double-blind, Placebo-controlled Pilot and Phase III Study of
Activity of Standardized Andrographis paniculata Herba Nees
Extract Fixed Combination (Kang jang) in The Treatment of
Uncomplicated Upper Respiratory Tract Infection (Abstract),
Phytomedicine 2000;7(5):341-50.

Misra P , Pal NL , Guru PY , Katiyar JC , Srivastava V , Tandon JS.


Antimalarial Activity of Andrographis paniculata (Kalmegh) against
Plasmodium berghei NK 65 Mastomys natalensis, Int J Pharmacog
1992 ; 30 (4) : 263 – 274

Nelwan RHH: Trend Penyakit infeksi di Masa Depan, Dalam:


Kolopaking MS, Kemala Sari N, Harimurti K, Laksmi PW (Editor):
Current Diagnostic and Treatment in Internal Medicine 2005,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 86 - 90

Nik Najib NAR, Furuta T, Kojima S, Takane K, Mustafa AM.


Antimalarial activity of extracts of Malaysian medicinal
plants.Journal of Ethnopharmocology 1999; 64 (3) : 249- 54.

100
Nugroho A, Wagey MT. Siklus hidup Plasmodium Malaria.
Dalam :Harijanto PN (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis,
Manifestasi Klinis, & Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta 2000 ; 38-53.

Nyangoto EO : Cell-mediated Effector Molecules and Complicated


Malaria, International Archieves of Allergy and Immunology 2005;
137 : 326 – 42.

Parasite Biology : 7Screening of Natural/Synthetic Compounds for


Antimalarial Activity. 25 years of Malaria Research Centre,
Available From URL :
http://www.cdc.gov/malaria/biology/parasite
biology/life_cycle.htm, April 8, 2005

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 381/MENKES/SK/III/2007,


Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional

Prakash D, Fesel C, Jain R, Cazenave PA, Mishra GC, Pied S :


Clusters of Cytokines Determine Malaria Severity in Plasmodium
falciparum-Infected Patients from Endemic Areas of Central India,
The Journal of Infectious Diseases 2006 ; 194 : 198 – 207.

Radlofi PD, Philips J, Nkeyi M, Hutchinson D, Kremsher PG.


Atavaquone and proguanil for Plasmodium falciparum malaria,
Lancet 1990; 347 :1695-1701.

Rosenthal PJ, Antimalarial drug discovery: old and new


approaches. The Journal of Experimental Biology 2003 ; 206 :
3735-44

101
Sachs J, Malaney P. The economic and social burden of malaria.
Nature 2002, 415 (6872): 680-5, 2002.

Schem of the Life Cycle of Malaria. Available from URL. :


http://www.cdc.gov/malaria/biology/life_cycle.htm, April 10,
2005

Schineder EL, Carlson HK, Chang HH. Heme detoxification in


P.falciparum, The Malaria lab.University of California, Berkeley,
Available from

http://www.cchem.berkeley.edu/mmargrp/research/malaria/hrp.
html. April 12, 2003

Setyawan D, Widjaja B, Radjaram A, Rijal MAS, Hafidz AF :


Penerapan Teknologi Proses "SPRAY DRYING" Dalam Pembuatan
Ekstrak Kering Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata)
Terstandar, Research Report dari JIPTUNAIR , 2003

Singh B , Kim Sung L , Matusop A et al. A large focus of naturally


acquired Plasmodium knowlesi infections in human beings, The
Lancet, 2004, 363 : March 27 ; 1017 – 24.

Sungkar S, Pribadi W. Resistensi Plasmodium falciparum terhadap


obat-obat antimalaria. Majalah Kedokteran Indonesia 1992; 84:
177-80.

Sutisna P. Malaria secara ringkas, dari pengetahuan dasar sampai


terapan. EGC Jakarta, 2004, 69-81.

102
Tang W, Eisenbrand G. Chinese Drugs of Plant Origin: Chemistry,
Pharmacology, and Use in Traditional and Modern Medicine.
Springer-Verlag. Berlin. 1992; 97
.
Taylor TE, Strickland GT. Malaria. In : Strickland GT (Ed). Hunter’s
Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th ed. W.B.
Saunders Company, Philadelphia, 2000, 614- 43.
Thamlikitkul V, DechatiwongseT, Theerapong S, et al : Efficacy of
Andrographis paniculata, Nees for Pharyngotonsilitis in Adults
(Abstract), J Med Assoc Thai, 1991 ; 74 : 437 – 42.

Tjitra E. Pengobatan Malaria. Majalah Kedokteran Indonesia 1996;


46(1): 24-31

Tjitra E . Obat anti-malaria, Dalam : Harijanto PN (editor) Malaria,


Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000; 194-223.

Torre D, Speranza F, Giola M, Matteelli A, Tambini R, Biondi G :


Role of Th1 and Th2 Cytokine in immune Response to
Uncomplicated Plasmodium falciparum Malaria. Clinical and
Diagnostic Laboratory Immunology 2002 ; 9 (2) : 348 -51

WHO Expert Committee on Malaria. Twentieth report. Drug


resistance of malaria parasites. WHO, Geneva 2000; 27-34.

WHO : Guidelines for The Treatment of Malaria, Geneva, 2006

WHO 2001. Report Meeting on Anti Malaria Drug Development,


Regional Office for The Western Pacific, Shanghai, China,; 1-5

103
WHO 2004 : WHO monographs on selected medicinal plants -
Volume 2 : Herba Andrographidis, 11 - 21

WHO 2001 : Antimalarial Drug Combination Therapy, Report of a


Technical Consultation, World Health Organization, Geneva,
available form: http://www.rbm.who.int/, April 5 2001, 7 - 14

Widyawaruyanti A. Uji anti malaria herba sambilata terhadap


Plasmadium falciparum secara in vitro (Abstrak), Dalam :
Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di
Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Farmasi, Jakarta. 2000; 94.

Widyawaruyanti A, Santa IG, Agil M, dkk : Uji Aktivitas Antimalaria


dari Senyawa Diterpena Lakton Hasil Isolasi Andrographis
paniculata Nees. Penelitian Project Grant Laboratorium Botani
Farmasi–Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga,
2001

Winstanley P. Modern chemotherapeutic options for malaria. The


Lancet Infectious Diseases 2001 ; 1 (4): 242-50

Wiser, MF. Biochemistry of Plasmodium 2002, Tulane University,


Available from
http://www.tulane.edu/~wiser/malaria/fv.html August 5, 2002

Xu Y, Chen A, Fry S, Barrow RA, Marshall RL, Mukkur TK :


Modulation of immune response in mice immunised with an
inactivated Salmonella vaccine and gavaged with Andrographis

104
paniculata extract or andrographolide. 2007, Int.
Immunopharmacol 2007 ; 7(4) : 515-23

Zhangnm LH, Huang Y, Wong LW, Xiao PG , , Several Compounds


From Traditional and Herbal Medicine as Immunomodulators,
Phytoteraphy Research 1995; 95: 315 - 22

Zein U, Izwar, Yosia Ginting, dkk : Antimalarial Effect of


Chloroquine–Sambiloto Andrographis Panniculata Nees)
Combination Compared with Chloroquine Alone in Adult Patients
of Uncomplicated Malaria Falciparum (Absract), Konas PETRI X,
Palembang. 5 – 8 Agustus 2004.

105

Anda mungkin juga menyukai