Anda di halaman 1dari 20

2013, No.

1399 10

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 68 TAHUN 2013
TENTANG
KEWAJIBAN MEMBERIKAN INFORMASI
ADANYA DUGAAN KEKERASAN TERHADAP
ANAK OLEH PEMBERI LAYANAN KESEHATAN

TATA-CARA PEMERIKSAAN, CIRI-CIRI KORBAN KEKERASAN, DAN


INTERPRETASI HASILNYA

A. Tata Cara Pemeriksaan


Sebelum pemeriksaan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan informed consent untuk menjelaskan kepada anak
maupun kepada orangtuanya tentang maksud, tujuan, proses dan
lama pemeriksaan serta mendapatkan persetujuan dari anak yang
diduga sebagai korban maupun orangtua.
2. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus
didampingi oleh petugas kesehatan lainnya. Jika anak yang diduga
sebagai korban berjenis kelamin perempuan, sebaiknya
diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan sebaliknya.
3. Melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dengan ramah
dan sopan.
4. Menjalin hubungan yang akrab dan saling percaya antara petugas
kesehatan dan anak yang diduga sebagai korban KtA.
5. Menyiapkan alat bantu seperti boneka, alat gambar dan mainan
untuk berkomunikasi dan menggali data dari anak.
6. Semua hasil pemeriksaan pada kasus KtA merupakan catatan
penting yang harus disimpan dalam rekam medis dan bersifat
rahasia.
Langkah-langkah pemeriksaan terdiri dari:
a. Melakukan persetujuan/penolakan untuk dilakukan pemeriksaan
medis (informed consent/informed refusal)
b. Anamnesis
Melakukan auto dan atau alloanamnesis. Autoanamnesis dilakukan
setelah terjalin hubungan yang akrab dan saling percaya antara
petugas kesehatan dan anak yang diduga sebagai korban dengan
menggunakan alat bantu seperti: boneka, alat tulis dan buku
gambar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam anamnesis:

www.djpp.kemenkumham.go.id
11 2013, No.1399

1) Apabila memungkinkan, anamnesa terhadap anak yang diduga


sebagai korban dan pengantar dilakukan secara terpisah.
2) Menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul
antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis.
3) Memperhatikan sikap/perilaku anak yang diduga sebagai korban
dan pengantar, apakah korban terlihat takut, cemas, ragu-ragu
dan tidak konsisten dalam memberikan jawaban.
4) Melengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa,
pengantar, tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta
identitas korban, terutama umur dan perkembangan seksnya,
tanggal hari pertama haid terakhir dan apakah sedang haid
saat kejadian.
5) Melakukan konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang menjadi
pemicu, penyiksaan apa yang telah terjadi, oleh siapa, dengan
menggunakan apa, berapa kali, apa dampaknya terhadap anak
yang diduga sebagai korban, waktu dan lokasi kejadian.
6) Menggali informasi tentang:
a) Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami
trauma, seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur, suka
menyendiri, murung, atau agresif.
b) Keadaan kesehatan sebelum trauma.
c) Adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya.
d) Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya.
e) Adakah faktor-faktor sosial budaya ekonomi yang
berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga.
7) Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan
konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi psikiatrik
8) Periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA.
Pada kasus kekerasan seksual, tambahkan pertanyaan tentang
hal-hal sebagai berikut:
a) Waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan
sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang
terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami
kekerasan, ada tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi
dilakukan.
b) Adanya rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya cairan
dari vagina.
c) Adanya rasa nyeri dan gangguan pengendalian buang air
besar dan/atau buang air kecil.
d) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan
seksual tersebut, apakah korban mengganti pakaian, buang
air kecil, membersihkan bagian kelamin dan dubur, mandi

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 12

atau gosok gigi.


e)Khusus untuk kasus kekerasan seksual pada remaja,
tanyakan kemungkinan adanya hubungan seksual dua
minggu sebelumnya.
c. Observasi
Selama melaksanakan anamnesis, lakukan pengamatan tentang:
1) Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat terjadinya
kekerasan dan saat mencari pertolongan medis.
2) Adanya ketidaksesuaian antara tingkat kepedulian orang tua
dengan beratnya trauma yang dialami anak.
3) Adanya interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh
dengan anak, seperti adanya pengharapan yang tidak realistis,
keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah yang
impulsif dan tidak menyadari kebutuhan anak.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Memeriksa keadaan umum korban yang meliputi kesadaran dan
tanda-tanda vital.
2) Memperhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai
dengan urutan peristiwa kekerasan yang dialami.
Suatu kasus patut diduga sebagai KtA bila ditemukan adanya:
a) Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim terkena
kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, bokong dan
genital.
b) Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat
penyembuhan; tanda dengan konfigurasi sesuai jari tangan,
tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan gigi orang
dewasa.
c) Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah
tulang baru dan lama yang ditemukan bersamaan, patah
tulang ganda, patah tulang bentuk spiral pada tulang-
tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada
kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi.
d) Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar pada
tangan, kaki, atau bokong akibat kontak bagian-bagian
tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka yang
khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk
menimbulkan luka tersebut.
e) Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma)
subkutan atau subdural, yang dapat dilihat pada foto
rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut,
baik yang baru atau berulang.
f) Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau
pinggul.

www.djpp.kemenkumham.go.id
13 2013, No.1399

Pada kasus kekerasan seksual, perlu memperhatikan:


(1) adanya tanda-tanda perlawanan atau kekerasan seperti
pakaian yang robek, bercak darah pada pakaian dalam,
gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma dan perhatikan
kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian
kekerasan. Kadang-kadang tanda ini muncul dengan
segera atau setelah beberapa waktu kemudian.
Gunting/kerok kuku korban kanan dan kiri, masukkan
dalam amplop terpisah dan diberi label.
(2) Pemeriksaan ginekologik pada anak perempuan (hanya
dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan untuk
pemeriksaan dalam harus dirujuk) :
(a) Rambut pubis disisir, rambut lepas yang ditemukan
mungkin milik pelaku dimasukan ke dalam amplop.
Rambut pubis korban dicabut/digunting 3-5 helai
masukan ke dalam amplop yang berbeda dan diberi
label.
(b) Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva
dan perineum.
(c) Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka.
Periksa selaput dara; pada selaput dara tentukan ada
atau tidaknya robekan, robekan baru atau lama,
lokasi robekan tersebut dan teliti apakah sampai ke
dasar atau tidak. Dalam hal tidak adanya robekan,
padahal ada informasi terjadinya penetrasi, lakukan
pemeriksaan besarnya lingkaran lubang. Pada balita
diameter hymen (selaput dara) tidak lebih dari 5 mm,
dan dengan bertambahnya usia akan bertambah 1
mm. Bila ditemukan diameter sama atau lebih dari
10 mm, patut dicurigai sudah terjadi penetrasi oleh
benda tumpul misalnya jari. Pada remaja
pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan satu
jari kelingking.
Bila kelingking dapat masuk tanpa hambatan dan
rasa nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan satu jari
telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan dengan jari
telunjuk dan jari tengah (2 jari). Bila dengan 2 jari
tanpa hambatan, dicurigai telah terjadi penetrasi.
Bercak kering dikerok dengan menggunakan skalpel,
bercak basah diambil dengan kapas lidi, dikeringkan
pada suhu kamar dan dimasukkan ke dalam amplop.
Pemeriksaan colok dubur baik pada anak laki-laki
maupun perempuan.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 14

Pada balita pemeriksaan dilakukan dalam posisi


menungging (knee-chest position). Jangan
menggunakan anuskop pada anak di bawah 6 tahun,
agar tidak menambah trauma baru pada anak.
Anuskop hanya digunakan sesuai indikasi (dicurigai
ada keluhan, infeksi, perdarahan dalam).
e. Pemeriksaan status mental
Kekerasan berdampak pada berbagai aspek kehidupan korban yang
membutuhkan daya adaptasi yang luar biasa dan menimbulkan
distres serta gejala-gejala paska trauma.
Anak memiliki ciri temperamen dan perasaan yang unik, sehingga
dapat memberikan reaksi yang berbeda terhadap trauma/tekanan
yang sama. Anak mungkin akan mengekspresikan masalah melalui
kata-kata, keluhan-keluhan fisik atau tingkah laku yang tidak sesuai
dengan tahapan perkembangannya.
Gejala yang muncul antara lain:
1) Ketakutan
a) takut akan reaksi keluarga maupun teman-teman,
b) takut orang lain tidak akan mempercayai keterangannya,
c) takut diperiksa oleh dokter pria,
d) takut melaporkan kejadian yang dialaminya,
e) takut terhadap pelaku.
f) takut ditinggal sendirian
g) reaksi emosional lain, seperti syok, rasa tidak percaya, marah,
malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, histeris yang
menyebabkan sulit tidur (insomnia), hilang nafsu makan,
mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu.
2) Siaga berlebihan (mudah kaget terkejut, curiga)
3) Panik
4) Berduka (perasaan sedih terus menerus)
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi Rontgen dan USG (jika tersedia);
pemeriksaan laboratorium: darah dan urin rutin. Pada kasus
kekerasan seksual ditambah dengan:
1) Lakukan penapisan (screening) penyakit kelamin
2) Test kehamilan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
kehamilan.
3) Pemeriksaan mikroskop adanya sperma dengan menggunakan
NaCl.
4) Apabila diperlukan, lakukan pengambilan darah dan urine
untuk pemeriksaan kandungan NAPZA, usapan rugae untuk
pemeriksaan adanya sperma.

www.djpp.kemenkumham.go.id
15 2013, No.1399

g. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan pada anak
adalah sebagai berikut:
1) Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa
2) Tangani luka sesuai dengan prosedur
3) Bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen dan
penanganan yang sesuai
4) Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau
rujuk
5) Dengarkan dan beri dukungan pada anak, sesuai panduan
konseling
6) Pastikan keamanan anak
7) Periksa dengan teliti, lakukan rekam medis, dan berikan
surat- surat yang diperlukan.
8) Buatkan VeR bila ada permintaan resmi dari polisi (surat resmi
permintaan VeR harus diantar polisi).
9) Informasikan dengan hati-hati hasil temuan pemeriksaan dan
kemungkinan dampak yang terjadi, kepada anak dan
keluarga serta rencana tindak lanjutnya.
10) Pada anak yang mempunyai status gizi buruk atau kurang
diberikan makanan tambahan dan konseling gizi kepada orang
tua/keluarga.
Penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan seksual pada anak
sama seperti pada kasus kekerasan fisik, dengan beberapa
tambahan:
a) Mencegah kehamilan (bila perlu)
b) Berikan Kontrasepsi Darurat (Kondar) apabila kejadian
perkosaan belum melebihi 72 jam.
c) Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk
ke Rumah Sakit.
d) Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8
minggu atau rujuk bila perlu.
h. Rujukan
Rujukan berupa:
1) Rujukan medis: dilakukan dari puskesmas ke Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) atau Rumah Sakit Bhayangkara
2) Rujukan non medis: dilakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke
P2TP2A, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA),
rumah aman/shelter atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA) atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
Penanganan rujukan non medis di rumah sakit: dilakukan melalui

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 16

pelayanan terpadu atau one stop service atau Pusat Pelayanan


Terpadu (PPT) atau Pusat Krisis Terpadu.
Alur tata laksana rujukan

Algoritme Pelayanan Kasus KtP/A di Puskesmas

Korban kekerasan terhadap anak dan


perempuan

Dikirim dari Rumah


Aman/Dokter praktik/P2TP2A Datang sendiri/ Diantar orang
tua/keluarga/Pamong/Guru, dll

PUSKESMAS

Registrasi

Tindakan kegawat daruratan

TATA LAKSANA:
Anamnesis
Informed Consent
Pemeriksaan fisik dan status mental
Pemeriksaan penunjang
Diagnosa
Tindakan Medis
Konseling
Pembuatan VeR

Rujukan Pulang

Medis Non medis Pencatatan dan pelaporan

Kunjungan rumah

Rumah Sakit Jejaring,

PPT/PKT

*): Jika jejaring kecamatan belum terbentuk, Puskesmas cukup melaporkan kasus yang memerlukan penanganan
psikososial ke Dinas Kesehatan untuk ditangani melalui jejaring yang ada di tingkat Kabupaten/Kota.

www.djpp.kemenkumham.go.id
17 2013, No.1399

i. Pencatatan dan pelaporan


Semua kasus ditangani di puskesmas dan rumah sakit dicatat pada
rekam medis.
Hasil pelaksanaan kegiatan pelayanan KtA baik di puskesmas
maupun rumah sakit dicatat pada format register dan dilaporkan
secara berjenjang sesuai format yang tersedia pada buku Pedoman
Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana KtP/A.
j. Pembuatan Visum et Repertum (VeR)
Visum et Repertum (VeR) dibuat atas permintaan dari penyidik Polri
melalui surat resmi yang ditandatangani minimal oleh Kepala
Kepolisian Sektor. Surat permintaan VeR tersebut harus diantar
oleh petugas kepolisian dan hasilnya diserahkan langsung kepada
penyidik. Salinan VeR tidak boleh diserahkan kepada siapapun.
Selain penyidik POLRI, Instansi lain yang berwenang meminta VeR
adalah Polisi Militer, hakim, jaksa penyidik dan jaksa penuntut
umum.
Sebelum tindakan pemeriksaan untuk pembuatan VeR, perlu
dibuatkan informed consent. Apabila korban menolak untuk
diperiksa maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis
secara singkat penolakan tersebut dari korban disertai alasannya
atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya
didalam rekam medis.
k. Kewajiban memberikan informasi
Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana yang melanggar
hak asasi manusia yang apabila dibiarkan akan memberikan
dampak negatif bagi kesehatan dan tumbuh kembang anak serta
mengancam kualitas hidup dan masa depannya.
Tenaga kesehatan sebagai salah satu unsur pemerintah ikut
bertanggungjawab terhadap upaya penyelenggaraan perlindungan
anak. Selain itu tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
seringkali menjadi tangan pertama yang menerima korban
kekerasan terhadap anak dan memiliki potensi untuk mencegah
atau memperkecil dampak negatif terhadap kesehatan anak, baik
fisik maupun mental, serta aspek hukum dan sosial, sehingga
pelayanan yang dilakukan melalui pendekatan multidisiplin. Agar
anak korban KtA memperoleh pelayanan secara komprehensif, maka
tenaga kesehatan dibawah tanggungjawab pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban melapor Dugaan kasus
Kekerasan Terhadap Anak sebagaimana di atur dalam Peraturan
Menteri ini.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 18

B. Ciri-Ciri Korban Kekerasan


1. Anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual dan penelantaran;
2. Anak korban dugaan kekerasan fisik memiliki ciri-ciri yaitu luka atau
cedera pada tubuh anak yang bukan akibat suatu kecelakaan;
3. Anak korban kekerasan psikis dapat diketahui melalui
autoanamnesis atau aloanamnesis tentang adanya riwayat kekerasan
psikis, adanya perubahan ekspresi wajah, sikap dan perilaku anak
sebelum kejadian seperti anak takut berpisah dari orang tua,
menyendiri, tidak mau bergaul, mengompol, mimpi buruk dan lain-
lain.
4. Anak korban dugaan kekerasan seksual dapat diketahui melalui
identifikasi kasus anak yang datang dengan keluhan nyeri atau
pendarahan pada saat buang air kecil atau buang air besar; riwayat
penyakit infeksi menular seksual atau adanya infeksi berulang
(rekuren) pada kemaluan; adanya tanda-tanda kehamilan pada
remaja, ditemukan cairan mani pada semen disekitar mulut, genitali,
anus atau pakaian; gangguan pengendalian buang air besar dan
buang air kecil; adanya robekan atau bercak darah pada pakaian
dalam anak, adanya cedera atau perlukaan pada buah dada, bokong,
perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur; adanya
tanda-tanda penetrasi dan atau persetubuhan, atau bentuk
kekerasan seksual lainnya;
5. Anak korban penelantaran dapat diketahui melalui adanya kegagalan
tumbuh fisik maupun mental; malnutrisi tanpa dasar penyakit
organik yang sesuai; luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati;
tidak memperoleh imunisasi dasar; ditemukannya anak dengan
tanda-tanda kulit kotor, rambut kotor, gimbal, tidak terawat dan
berkutu; gigi tidak bersih, bau; keadaan umum lemah, letargik, dan
lelah berkepanjangan.

C. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal


Hasil pemeriksaan medikolegal terhadap korban adalah dokumentasi
seluruh hasil temuan pemeriksaan medis pada korban yang kemudian
dituangkan di dalam sebuah keterangan yang di Indonesia disebut
sebagai Visum et Repertum (VeR).
Keterangan tersebut memberikan bukti bahwa benar telah terjadi
kekerasan dan seberapa parah akibat kekerasan tersebut, atau pada
kasus kekerasan seksual dapat pula menjelaskan apakah telah terjadi
persetubuhan ataukah penetrasi.

www.djpp.kemenkumham.go.id
19 2013, No.1399

Bahkan dengan menggunakan teknik mutakhir (pemeriksaan DNA),


pemeriksaan medikolegal secara praktis dapat menunjuk siapa pelaku
kekerasan seksual tersebut.
Seberapa jauh Visum et Repertum (VeR) membantu proses peradilan
sangat bergantung kepada seberapa lengkap dan spesifiknya temuan
medikolegalnya sehingga dapat diinterpretasikan sebagai bukti yang
determinatif.
Bukti medis bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian
adanya KtA dalam perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian
Perkara (TKP), kesaksian, dan pemeriksaan barang bukti lain memiliki
nilai yang sama sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, wawancara
forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan,
pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung
pembuktian.

1. Pemeriksaan Fisik
Perlukaan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi,
mulai dari memar, lecet, luka bakar, dan luka terbuka, hingga ke
cedera yang lebih dalam letaknya seperti patah tulang ataupun
cedera alat-alat dalam tubuh.
Memar umumnya diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang
memiliki permukaan yang relatif rata atau lunak, seperti tangan
kosong atau tendangan. Memar seringkali dapat menunjukkan
bentuk atau pola permukaan kontak benda penyebabnya.
a. Memar yang berbentuk garis sejajar (tramline atau railway
haematome) menunjukkan cedera yang diakibatkan oleh
pukulan tongkat atau benda sejenis.
b. Bila bentuknya dua garis sejajar melengkung mungkin
disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti
kabel.
c. Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya
apabila terjadi di daerah dahi yang memarnya dapat terlihat di
kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah tulang
kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki.
Perkiraan kapan terjadinya memar kadang membantu menegakkan
kesimpulan ada atau tidaknya kekerasan berulang. Luka-luka
terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama usianya, misalnya
terdapat memar yang merah ungu dan memar lainnya berwarna
hijau kekuningan. Keadaan ini menunjukkan adanya kekerasan
yang berulang yang sangat mungkin bukan akibat kecelakaan
Dengan berjalannya waktu, memar akan berubah warna dari merah

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 20

ungu menjadi kehijauan, coklat kekuningan dan akhirnya hilang.


Satuan waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing perubahan
warna tersebut sangat bergantung kepada intensitas memar itu
sendiri. Pada umumnya apabila memar telah dikelilingi warna
kuning menunjukkan bahwa memar telah berumur setidaknya 18
jam.
Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan yang
bukan akibat kecelakaan. Luka-luka seperti tramline hematome,
luka dengan bentuk dan pola tertentu yang khas, luka bakar akibat
sundutan rokok, dan memar berbentuk telapak tangan, adalah
sebagian contohnya.. Hal sama juga bisa ditemukan dalam bentuk
luka lecet, luka terbuka dan bahkan patah tulang, yang terlihat
dari perbedaan masa penyembuhannya
Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik pada korban yang telah
meninggal oleh karena terjadi pengeringan epidermis, sedangkan
pada korban hidup tidak terlihat dengan jelas oleh karena
pengeringan dicegah dengan adanya perfusi jaringan.
Luka lecet tekan biasanya diakibatkan oleh benda tumpul yang
permukaannya relatif rata dan relatif lunak dengan gaya yang
relatif ringan.
Bentuk luka lecet tekan juga dapat memperlihatkan bentuk
permukaan kontak benda penyebabnya.
Luka lecet geser diakibatkan oleh geseran benda tumpul dengan
permukaan yang relatif tidak rata.
Luka terbuka (vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara:
a. Luka terbuka akibat kekerasan tajam (vulnus scissum) dengan
memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti garis lurus
atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang rata, dan pada
sekitar lukanya tidak ditemukan lecet atau memar. Apabila
terjadi di daerah berambut maka besar kemungkinan terlihat
adanya folikel rambut yang terpotong rata.
b. Luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus laceratum)
menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih
terlihat adanya jembatan jaringan (ikat) yang menghubungkan
kedua tepi/dinding luka.
Hal penting lainnya adalah bahwa bukti adanya kekerasan tersebut
harus relevan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban.
Suatu luka memar atau lecet kecil di daerah pipi, leher,
pergelangan tangan atau paha mungkin tidak khas dan tidak
bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum
apabila relevan dengan riwayat terjadinya peristiwa, seperti

www.djpp.kemenkumham.go.id
21 2013, No.1399

ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau dipaksa


diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual). Adanya
sindroma mental tertentu dapat mendukung relevansi temuan
bukti fisik tersebut dari sisi psikologis.
Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak sangat
relevan dalam upaya menegakkan ada atau tidaknya penelantaran.
Beberapa pengukuran dan parameter dapat digunakan sebagai alat
ukurnya.

2. Pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual


Dalam hal kekerasan seksual yang diduga terjadi, maka
pemeriksaan anogenital yang teliti dan pemeriksaan laboratorik
harus dilakukan sesuai dengan prosedur baku pemeriksaan.
Ditemukannya memar, lecet dan atau laserasi di sekitar kemaluan,
seperti di daerah vulva, vagina dan selaput dara, dapat membawa
kita kepada kesimpulan bahwa cedera tersebut adalah sebagai
tanda kekerasan.
Perlu diingat bahwa daerah yang paling sering mengalami cedera
adalah daerah posterior fourchette, selaput dara, fosa naviculare dan
labium minus. Cedera yang sering terlihat adalah memar, lecet,
laserasi dangkal, dan robekan selaput dara.
Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah yang lebih
“dalam” seperti di selaput dara atau vagina, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kemungkinan besar atau hampir pasti telah
terjadi penetrasi (dengan pengertian bahwa penetrasi tersebut tidak
harus berupa penetrasi lengkap, dan tidak harus oleh penis).
Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari
kesimpulan ini, yaitu kita tidak dapat memastikan kapan terjadinya
kekerasan tersebut – apalagi bila cedera tersebut adalah cedera
“lama”. Robekan selaput dara yang telah berusia lebih dari lima
hari umumnya memiliki ciri yang sama dengan robekan lama
lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas tidak
dapat langsung diartikan bahwa tidak pernah ada kekerasan. Hal
ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan tersebut, jarak waktu
antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan, dan tindakan
terapi yang pernah diberikan.
Demikian pula tidak ditemukannya tanda penetrasi tidak berarti
bahwa tidak pernah terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini
sebagai akibat dari penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi oleh

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 22

benda yang ukurannya “terlalu” kecil, atau selaput dara elastis


sehingga tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi.
Ditemukannya sel sperma di dalam sediaan yang diambil dari
vagina membawa kita kepada kesimpulan pasti bahwa korban telah
bersetubuh atau disetubuhi.
Demikian pula bila ditemukan hasil positif pada uji fosfatase asam
(berubah warna dalam waktu kurang dari 30 detik), uji kristal
(Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar Zn), menunjukkan
adanya cairan mani.
Namun demikian identitas si pelaku belum dapat ditentukan
sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel sperma dan
pemeriksaan DNA dari si tersangka pelaku, serta pembandingan
keduanya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan mani tidak
berarti bahwa tidak pernah terjadi persetubuhan. Hal ini sebagai
akibat dari jarak waktu antara saat persetubuhan dengan saat
pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi, persetubuhan
dengan kondom, dan pencucian pasca persetubuhan.
Bahkan literatur mengatakan bahwa sel sperma hanya ditemukan
pada 50% dari seluruh pemeriksaan medis yang dilakukan segera
setelah terjadi perkosaan.
Penelitian awal menunjukkan bahwa pemeriksaan adanya DNA
laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif dan lebih akurat
dalam memastikan adanya persetubuhan.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap sediaan apus dari vagina
ditujukan untuk menemukan ada atau tidaknya salah satu
penyakit akibat hubungan seksual, yaitu misalnya Gonorrhoe.
Penyakit GO ini adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari
suatu hubungan seksual (1:30).
Apabila ditemukan adanya penyakit ini maka dokter dapat
menyimpulkan bahwa kemungkinan besar memang telah terjadi
persetubuhan, dan dokter akan memberikan pengobatan.
Adanya kuman GO ekstrasel saja menunjukkan bahwa pasien
relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO intrasel
menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama. Sebaiknya diagnostik
GO ditegakkan melalui pemeriksaan kultur.
Penyakit akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin diperiksa
oleh karena frekuensi terjadinya di dalam masyarakat yang sangat
rendah, sehingga hanya akan dilakukan apabila terdapat indikasi
ke arah hal tersebut.

www.djpp.kemenkumham.go.id
23 2013, No.1399

3. Visum et Repertum (VeR)


Atas permintaan resmi dari penyidik, dokter dapat membuat visum
et Repertum berdasarkan hasil pemeriksaan medis tersebut di atas.
Permintaan penyidik tersebut dapat diajukan sebelum
dilakukannya pemeriksaan maupun sesudahnya, asalkan tidak
terlalu lama jarak waktunya.
Visum et Repertum (VeR) harus dibuat dalam bentuk surat resmi,
menggunakan kertas berkepala surat, bernomor dan bertanggal,
diakhiri dengan tandatangan, nama jelas dan NIP/NRP
pembuatnya, serta stempel dinas. Visum et Repertum harus
diserahkan hanya kepada institusi penyidik pemintanya. Visum et
Repertum ditulis dengan format yang baku sebagaimana pada
lampiran.
Visum et Repertum (VeR) harus dibuat oleh dokter. Undang-undang
tidak menunjuk kepada dokter dengan spesialisasi tertentu yang
harus membuat Visum et Repertum (VeR) tertentu.
Setiap dokter berwenang membuat Visum et Repertum (VeR) dengan
memperhatikan ketentuan bahwa dokter yang akan membuat
Visum et Repertum (VeR) harus memahami prosedur medikolegal
dan terlatih secara teknis melakukan pemeriksaan yang diperlukan
serta mampu menginterpretasikannya dengan tepat.
Atas permintaan tertulis dari pasien dan/atau keluarganya dokter
dapat menerbitkan Surat Keterangan Medis yang menerangkan
tentang ringkasan keadaan pasien saat itu, yang dapat bermanfaat
untuk kepentingan perujukan ke dokter lain atau ke seseorang ahli
non medis yang diperlukan.

SISTEM KLASIFIKASI ADAMS


Untuk menilai informasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratoris pada Dugaan KtA
(Joyce Adams (2001): Evolution of a classification scale: Medical
Evaluation of Suspected Child Abuse)

Bagian I: Temuan pada pemeriksaan Anogenital

Normal Temuan yang terlihat pada neonatus

Garis (bands) peri-uretral atau vestibuler

Tonjolan (ridges atau columns) longitudinal


intravagina

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 24

Jumbai (tags) pada selaput dara

Penebalan (bump atau mound) pada selaput


dara

Linea vestibularis

Belahan (cleft atau notch) di anterior setengah


dari lebar selaput dara, pada atau lebih atas
dari garis jam 3 – 9, diamati pada pasien
telentang

Tonjolan (ridges) pada bagian luar selaput


dara

Varian Normal Selaput dara berseptum

Kegagalan fusi di garis tengah

Lekuk (groove) di fossa pada pubertal

Diastasis ani

Jumbai kulit (skin tag) perianal

Peningkatan pigmentasi kulit perianal

Kondisi lain Hemangioma labia, selaput dara atau daerah


sekitarnya (dapat memberikan gambaran
seperti hematom atau perdarahan
submukosa)

Lichen sclerosus et atrophicus (dapat mudah


ruptur dan perdarahan)

Bechet’s disease (mengakibatkan ulkus oral


dan genital, dapat disalahartikan sebagai lesi
Herpes Simpleks)

Cellulitis streptokokus pada jaringan perianal


(terlihat kemerahan, jaringan yang meradang)

Molluscum contagiosum (lesi kutil)

www.djpp.kemenkumham.go.id
25 2013, No.1399

Verruca vulgaris (kutil biasa)

Vaginitis akibat streptokokus atau organisme


usus

Prolaps urethral (mengakibatkan perdarahan,


tampak seperti akibat trauma)

Benda asing di vagina (dapat akibatkan


perdarahan atau duh/discharge)

Temuan tidak Temuan yang mungkin sebagai akibat dari


spesifik kekerasan seksual, tergantung kepada jarak
saat pemeriksaan dan saat terjadi kekerasan,
tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau
merupakan varian yang normal

Eritema (kemerahan) vestibulum atau


jaringan sekitar anus (dapat akibat zat iritan,
infeksi atau trauma)

Pelebaran pembuluh darah vestibulum (akibat


iritans)

Adesi labia (mungkin akibat iritasi atau


rabaan)

Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette


(akibat iritasi, infeksi, atau karena traksi labia
mayor pada pemeriksaan)

Penebalan selaput dara (mungkin akibat


estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak
karena infeksi atau trauma)

Kutil genital semu (mungkin jumbai kulit,


atau kutil bukan genital, mungkin condyloma
acuminata yang didapat bukan dari seksual)

Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau


iritasi perianal)

Pendataran lipatan anus (akibat relaksasi


sphincter eksternal)

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 26

Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks


normal)

Kongesti vena atau pooling vena (biasanya


akibat posisi anak, juga ditemukan pada
konstipasi)

Perdarahan per-vaginam (mungkin berasal


dari sumber lain, seperti uretra, atau
mungkin akibat infeksi vagina, benda asing
atau trauma yang aksidental)

Bagian II: Penilaian keseluruhan kemungkinan ada tidaknya


kekerasan

Tak ada Hasil pemeriksaan normal, tidak ada riwayat,


indikasi tidak ada perubahan perilaku, tidak ada saksi
kekerasan
Temuan tidak spesifik dengan penjelasan yang
cukup, tanpa ada riwayat kekerasan atau
perubahan perilaku

Anak dipertimbangkan memiliki risiko


kekerasan seksual, tetapi tak ada riwayat dan
hanya ditemukan perubahan perilaku yang
tidak spesifik

Temuan cedera fisik yang sesuai dengan


riwayat trauma aksidental yang jelas dan
dapat dipercaya

Kemungkinan Temuan normal, varian normal atau tidak


terjadinya spesifik, dikombinasi dengan perubahan
kekerasan perilaku yang bermakna, terutama perilaku
yang terseksualisasi, tetapi si anak tak bisa
memberi informasi riwayat terjadinya
kekerasan

www.djpp.kemenkumham.go.id
27 2013, No.1399

Lesi anogenital Herpes tipe I, tanpa adanya


riwayat kekerasan dan temuan pemeriksaan
lainnya normal

Condyloma accuminata, dengan temuan


lainnya normal, tak ada penyakit hubungan
seksual lain, tak ada riwayat kekerasan dari
anak, (bila ditemukan pada anak berusia 3
tahun atau lebih, cenderung akibat aktivitas
seksual, sehingga perlu penelitian lebih lanjut)

Anak memberi informasi, tetapi tidak cukup


detil bila dibandingkan dengan usia
perkembangan anak, atau tidak konsisten,
atau yang diperoleh dengan menggunakan
pertanyaan yang mengarah pada temuan fisik
tanpa penjelasan adanya kekerasan

Sangat Anak memberikan uraian yang detil, spontan,


mungkin jelas dan konsisten tentang kekerasan
terjadi (penganiayaan), dengan atau tanpa temuan
kekerasan abnormal atau positif

Kultur Chlamydia (bukan rapid antigen test)


dari daerah genital pada anak prepuber, atau
dari servix anak perempuan remaja dengan
mengasumsikan bahwa transmisi perinatal
telah disingkirkan

Kultur Herpes Simpleks tipe II dari lesi genital


atau anal positif

Infeksi Trichomonas, didiagnosis dengan


sediaan basah atau kultur dari swab vagina,
apabila transmisi perinatal telah dapat
disingkirkan

Pelebaran anus yang nyata (marked,


immediate), tanpa terlihat/teraba adanya tinja
di daerah rektum bagian bawah, pada
pemeriksaan dengan posisi knee-chest, tanpa
riwayat adanya encopresis, konstipasi kronik,
gangguan nerologis, atau sedasi)

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.1399 28

Belahan (notch atau cleft) selaput dara di


daerah posterior, mencapai dekat dasar
(sering merupakan artefak pada posisi
pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten
pada beberapa posisi, maka mungkin akibat
kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya)

Lecet akut, laserasi atau memar labia,


jaringan sekitar selaput dara, atau perineum
(mungkin akibat trauma aksidental, keadaan
dermatologis seperti lichen sclerosus atau
hemangioma)

Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau


paha bagian dalam

Jaringan parut atau laserasi baru daerah


posterior fourchette tanpa mengenai selaput
dara (dapat akibat trauma aksidental)

Jaringan parut perianal (jarang, mungkin


akibat keadaan medis lain seperti Crohn’s
disease, atau akibat tindakan medis
sebelumnya)

Dugaan Temuan pada anak yang telah memiliki


Kekerasan riwayat kekerasan, dan mungkin ada
kekerasan, tetapi tidak cukup data yang
menunjukkan bahwa kekerasan adalah satu-
satunya penyebab. Riwayat sangat krusial
dalam menentukan makna keseluruhannya

Bukti nyata Temuan yang tidak dapat dijelaskan bukan


kekerasan karena trauma yang mengenai selaput dara
tumpul atau atau daerah perianal
trauma
penetrasi

Bukti definitif Robekan baru selaput dara

www.djpp.kemenkumham.go.id
29 2013, No.1399

adanya Ekimosis (hematom) pada selaput dara


kekerasan /
kontak Laserasi perianal yang dalam meliputi juga
seksual sphincter ani eksternal

Robekan lama selaput dara hingga ke dasar


(transeksi), sehingga tidak ada lagi jaringan
selaput dara antara dinding vagina dengan
fossa atau dinding vestibulum

Hilangnya jaringan selaput dara yang luas di


daerah posterior, hingga ke dasar, yang
dikonfirmasi pada posisi knee-chest

Bukti fisik yang jelas adanya kekerasan


tumpul atau trauma penetrasi, tanpa adanya
riwayat kecelakaan

Ditemukannya sperma atau semen dalam


vagina atau pada tubuh anak

Kehamilan

Positif adanya bakteri N. Gonorrhea,


dikonfirmasi dengan kultur, dari sediaan
vagina, uretra, anal atau faring

Bukti adanya penyakit sifilis yang didapat


pasca kelahiran (bukan perinatal)

Kasus dengan bukti fotografi atau video


sedang dianiaya

Infeksi HIV, dengan tidak adanya


kemungkinan akibat transmisi perinatal atau
transmisi melalui produk darah atau jarum
yang terkontaminasi

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

NAFSIAH MBOI

www.djpp.kemenkumham.go.id

Anda mungkin juga menyukai