Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOSEROLOGI

PEMERIKSAAN WIDAL

DISUSUN OLEH

NAMA : CHINDI OLYVIA MANIHIYA

NPM : 85AK17004

KELAS : A

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA MANDIRI
GORONTALO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan dengan judul pratikum

“Pemeriksaan Widal".

Penyusunan laporan ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas dari

mata kuliah Imunoserologi. Dalam penyusunan laporan ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada pihak yang telah membantu atau membimbing dalam

penyusunan laporan ini.

Penulis mengharapkan semoga laporan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi

kemajuan ilmu pada umumnya dan kemajuan bidang pendidikan pada khususnya.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, dimohonkan kritik dan saran dari pembaca.

Gorontalo, 17 Mei 2019

Penulis

7
BAB I

PENDHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam typoid merupakan penyakit infeksi yang masuk melalui saluran

cerna kemudian menyebar keseluruh tubuh melalui darah. Demam typoid

disebabkan oleh bakteri yang disebut Salmonella serovarian dan parathypi.

Terdapat ratusan jenis bakteri Salmonella, tetapi hanya 4 jenis yang dapat

mengakibatkan penyakit demam typoid yaitu Salmonella serovarian typhii,

parathypi A, parathypi B, parathypi C (Tumbelaka, 2003).

Apabila kuman yang masuk kedalam tubuh sangat banyak dan mampu

menembus dinding usus serta dapat masuk kealiran darah hingga menyebar

keseluruh tubuh. Maka hal ini akan dapat menimbulkan infeksi pada organ

tubuh lain diluar saluran cerna. Pada hari pertama, seringkali kesulitan

membedakan apakah demam yang timbul disebabkan oleh thypus atau

penyebab demam lain seperti demam berdarah umumnya meningkat

mendadak dengan suhu sangat tinggi, dan demam akan tururn secara cepat

dihari ke 5-6. Bila demam sudah berlangsung lebih dari 7 hari, maka sangat

memungkinkan demam tersebut disebabkan oleh typoid bukan karena demam

berdarah. Gejala lain yang sering menyertai adalah gejala pada pencernaan

seperti mual, muntah, sembelit, atau diare. Salah satu pemeriksaan

laboratorium yang sering dilakukan untuk mendiagnosa penyakit typoid

adalah pemeriksaan widal (Tumbelaka, 2003).

8
Untuk mengidentifikasi kejadian penyakit typoid dilakukan dengan

pemeriksaan laboratorium darah. Pemeriksaan laboratorium yang paling

sering digunakan adalah pemeriksaan serologis, diantaranya adalah

pemeriksaan widal. Prinsip pemeriksaannya adalah reaksi aglutinasi antara

antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut agglutinin

(Tumbelaka, 2003).

Berdasarkan penjelasan diatas maka dilakukan pemeriksaan widal untuk

mengidentifikasi adanya infeksi Salmonella typhi dalam tubuh dengan

metode slide, serta kelebihan dan kekurangan dari metode tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana prosedur pemeriksaan widal menggunakan metode slide serta

factor yang mempengaruhi pemeriksaan ?

1.3 Tujuan Praktikum

Mengetahui prosedur pemeriksaan widal menggunakan metode slide serta

factor yang mempengaruhi pemeriksaan.

1.4 Manfaat

Agar mahasiswa terampil dalam melakukan pemeriksaan widal

berdasarkan metode yang digunakan.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Salmonella typhi

Salmonella typhi merupakan salah satu spesies bakteri Salmonella

yang berbentuk basil, gram negatif, fakultatif aerob, bergerak dengan flagel

pertrich, mudah tumbuh pada perbenihan biasa dan tumbuh baik pada

perbenihan yangmengandung empedu yang apabila masuk kedalam tubuh

manusia akan dapat menyebabkan penyakit infeksi Salmonella typhi dan

mengarah kepengembangan tifus atau demam enterik. Salmonella typhi

menyebabkan penyakit demam tifus (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke

dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan

makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual,

muntah dan kematian. Salmonella typhi memiliki keunikan hanya menyerang

manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi Salmonella typhi dapat berakibat

fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia.

Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh mereka yang menurun.

Kontaminasi Salmonella typhi dapat dicegah dengan mencuci tangan dan

menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi (Sudoyo, 2009).

2.2 Sifat Bakteri Salmonella typhi

Menurut Herawati dkk, 2013. Sifat dari bakteri diatas adalah sabagai berikut :

2.2.1 Bentuk batang, gram negatif, fakultatif aerob, bergerak dengan flagel

pertrich, mudah tumbuh pada perbenihan biasa dan tumbuh baik pada

perbenihan yang mengandung empedu.

10
2.2.2 Sebagian besar Salmonella typhi bersifat pathogen pada binatang dan

merupakan sumber infeksi pada manusia, binatang-binatang itu antara

lain tikus, unggas, anjing, dan kucing.

2.2.3 Dialam bebas salmonella typhi dapat tahan hidup lama dalam air , tanah

atau pada bahan makanan. di dalam feses diluar tubuh manusia tahan

hidup 1-2 bulan.

2.3 Struktur Antigen

Menurut Herawati dkk, 2013 . Struktur antigen yaitu:

2.3.1 Antigen O

Antigen O merupakan somatic yang terletak dilapisan luar tubuh

kuman. Struktur kimianya terdiridari lipopolisakarida. Antigen ini tahan

terhadap pemenasan 100oC selama 2-5 jam, alcohol dan asam yang

encer.

2.3.2 Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di plagella, pibriae atau

fili Salmonella typhi dan berstruktur kimia protein. Antigen ini tidak

aktif pada pemanasan di atas suhu 60oC, dan pemberian alcohol atau

asam.

2.3.3 Antigen Vi

Antigen Vi terletak dilapisan terluar Salmonella typhi (kapsul) yang

melindungi kuman dari pagositasdengan struktur kimia glikolitid. Akan

rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60oC, dengan pemberian

asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

11
2.3.4 Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP Salmonella Typhi merupakan bagian dinding sel yang

terletak diluar membrane plasma dan lapisan peptidoglikan yang

membatasi sel terhadap ingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2

bagian yaitu protein nonporin.

2.4 Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi bersifat sistemik yang

disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

dikenal dengan Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini masih sering

dijumpai di negara berkembang yang terletak di subtropis dan daerah tropis

seperti Indonesia. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah

kesehatan utama didunia karena terkait dengan penyebarannya melalui

kesehatan lingkungan, sanitasi dan sumber air yang tidak higienis diperparah

dengan meningkatnya permasalahan kepadatan penduduk dan penyebaran

yang begitu mudah melalui urbanisasi. Demam tifoid termasuk penyakit

menular yang tercantum dalam Undang-undang 15 nomor 6 Tahun 1962

tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang

mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat

menimbulkan wabah (Sudoyo, 2009).

2.5 Patogenesis

Perjalanan penyakit S. typhi melalui beberapa proses, diawali dengan

masuknya kuman melalui makanan dan minuman yang tercemar melalui jalur

oral-fekal, yang kemudian tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan

12
melalui beberapa proses respon imun baik lokal maupun sistemik, spesifik

dan non-spesifik serta humoral dan seluler (Tumbelaka, 2003).

S. typhi yang masuk ke saluran cerna tidak selalu akan menyebabkan

infeksi, karena untuk menimbulkan infeksim S. typhi harus dapat mencapai

usus halus. Keasaman lambung (PH ≤ 3,5) menjadi salah satu faktor penting

yang menghalangi S. typhi mencapai usus halus. Namun sebagian besar

kuman S. typhi dapat bertahan karena memiliki gen ATR (acid tolerance

response). Achlorhydria akibat penuaan, gastrektomi, pompa proton inhibitor,

pengobatan histamin antagonis reseptor H2, atau pemberian antacid dapat

menurunkan dosis infektif yang mempermudah kuman untuk lolos menuju

usus halus (Tumbelaka, 2003).

Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, S. typhi akan

menemui dua mekanisme non spesifik yaitu motilitas dan flora normal usus

berupa bakteri-bakteri anaerob. Motilitas usus bersifat fisik berupa kekuatan

peristaltik usus untuk menghanyutkan kuman keluar. Di usus halus kuman

akan menembus mukosa usus diperantarai microbial binding terhadap epitel

menghancurkan 16 Microfold cells (M cells) sehingga sel-sel epitel

mengalami deskuamasi, menembus epitel mukosa usus, masuk dalam lamina

propria, menetap dan berkembang biak. Kuman akan berkembang biak dalam

sel mononuklear sebelum menyebar ke dalam aliran darah (Tumbelaka,

2003).

Pada dinding sel S. typhi terdapat pirogen LPS (endotoksin) dan sedikit

peptidogikan. Endotoksin merupakan pirogen eksogen yang sangat poten

13
untuk merangsang respons imun makrofag dan sel lain untuk menginduksi

sekresi sitokin. Sebagai reseptor, Komponen CD14 akan berikatan dengan

LPS. Ikatan tersebut kemudian berikatan pula dengan kelompok molekul

Toll-like receptors (TLR). Aktivasi yang terjadi akan menstimulasi produksi

sitokin dan aktivasi reseptor sitokin : reseptor sitokin tipe I (untuk IL-2, IL-3,

IL-4, IL-5, IL-7, IL-9, 17 IL-11, IL-12, IL-13, IL-15) ; reseptor sitokin tipe II

(untuk 1FN-α/β, IFN-γ, IL10); reseptor TNF (untuk TNF, CD4OL, Fas);

reseptor superfamili immunoglobulin (IL-1, M-CSF). Laju infeksi demam

tifoid sangat ditentukan oleh aktivitas aktivasi reseptor tersebut. Berbagai

sitokin tersebut mengikuti sirkulasi sistemik, menginduksi produksi

prostaglandin, memengaruhi stabilitas pusat termoregulasi berefek terhadap

pengaturan suhu tubuhdan menyebabkan demam. Sitokin tersebut pula yang

menimbulkan dampak pada pusat nafsu makan menyebabkan nafsu makan

menurun, memengaruhi ambang nyeri, sehingga timbul nyeri pada kepala,

sendi, otot-otot, dan nyeri pada daerah saluran cerna. Sitokin memengaruhi

perubahan pada plaque peyeri, inflamasi pada mukosa saluran cerna,

menyebabkan motilitas saluran cerna terganggu, sehingga muncul keluhan

mual, muntah, diare, nyeri abdomen, perdarahan, perdarahan, perforasi,

sedangkan konstipasi terjadi pada tahap lanjut. Kondisi patologis akibat

infeksi merangsang hiperativitas RES dan menimbulkan pembengkakan hati

dan limpa (Tumbelaka, 2003).

Pentingnya imunitas dalam penegakan diagnosis ditunjukkan dari

kenaikan titer antibodi terhadap antigen S. typhi. Peran imunitas seluler yaitu

14
dalam penyembuhan penyakit. Pada infeksi primer, respon humoral melalui

sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan merangsang

terbentuknya immunoglobulin (Ig). Pada infeksi akut, yang pertama terbentuk

antibodi O (IgM) yang muncul pada hari ke 3-4 demam, kemudian disusul

antibodi pada infeksi kronik yaitu antibodi flagela H (IgG) (Tumbelaka,

2003).

2.6 Mekanisme Bakteri Salmonella typhi Menginfeksi Tubuh

Di dalam sel fagosit mononuklear, kuman masuk menginfeksi

Peyer’spatches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum terminal dan

bermultiplikasi, kemudian kuman menembus kelenjar limfoid intestinal dan

duktus torasikus masuk ke dalam aliran darah sistemik. Setelah 24-72 jam

terjadi bakteriemia primer namun jumlah kuman belum terlalu banyak maka

gejala klinis belum tampak. Bakteriemia primer berakhir setelah kuman

masuk ke dalam organ retikuloendotelial system (RES) di hati limpa, kelenjar

getah bening mesenterium dan kelenjar limfoid intestinal untuk berkembang

biak. Di organ ini kuman menjalani masa inkubasi selama 10-14 hari, dalam

organ RES kuman berkembang pesat dan kembali masuk ke peredaran darah

dan menimbulkan bakteriemia sekunder. Pada saat terjadi bakteriemia

sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid

(Tumbelaka, 2003).

2.7 Faktor Virulensi

Menurut Darmowandoyo, 2003. Faktor virulensi yaitu:

2.7.1 Daya invasi

15
Dalam usus halus, bakteri Salmonella yang berpenetrasi di epitel dan

masuk kedalam jaringan sub-epitel sampai lamina propia. Mekanisme

biokimia yang terjadi saat penetrasi belum diketahui dengan jelas, tetapi

prosesnya menyerupai fagositosis. Setelah penetrasi, bakteri difagosit

oleh makrofag, berkembang biak, dan dibawa oleh makrofag ke bagian

tubuh yang lain.

2.7.2 Endotoksin

Kemampuan Salmonella yang hidup intra seluler diduga karena

memiliki antigen permukaan (antigen Vi). Sampel sel Salmonella

mengandung kompleks lipopolisakarida (LPS) yang berfungsi sebagai

endotoksin dan merupakan factor virulensi. Endotoksin dapat

merangsang pelepasan zat pirogen dari sel-sel makrofagdan sel-sel

polimorfonunuklear (PMN) sehingga mengakibatkan demam. Selain

itu, endotoksin dapat merangsang aktifasi sistem komplemen, pelepasan

kinin, dan mempengaruhi limfosit. Sirkulasi endotoksin dalam

peredaran darah dapat menyebabkan kejang akibat infeksi.

2.7.3 Enterotoksin dan sitotoksin

Toksin lain yang dihasilkan oleh Salmonella adalah enterotoksin dan

sitotoksin. Kedua toksin ini diduga juga dapat meningkatkan daya

invasi dan merupakan faktor virulensi Salmonella.

2.8 Gejala Klinis


Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis

yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

16
kematian. Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari.

Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan

tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat (Herawati

dkk, 2013).

Menutur Herawati dkk, 2013. Macam-macam gejala klinis yang biasa

ditemukan, yaitu :

2.8.1 Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat

febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,

suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun

pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam

minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam

minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali

pada akhir minggu ketiga.

2.8.2 Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan

pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated

tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai 7 tremor. Pada

abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).

Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya

didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat

terjadi diare.

17
2.8.3 Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa

dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau

gelisah. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan

keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya

yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat

demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari

hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih

jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput (kotor

ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) hepatomegali,

spenomegali, meteorismus dan gangguan mental.

2.9 Sumber Penularan

Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia

melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari

penderita tifoid (Gandasubrata, R. 2004).

Menuurut Gandasubrata, R. 2004. Ada dua sumber penularan Salmonella

typhi, yaitu :

2.9.1 Penderita Demam Tifoid

Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu

mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia

sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada

18
masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit

penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.

2.9.2 Karier Demam Tifoid

Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau

urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam

tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang

telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman

Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca

penyembuhan.

Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung

empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh

karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal,

harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki

kelainan anatominya.

2.10 Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi

antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi, berdasarkan reaksi aglutinasi

antara antigen bakteri dengan antibodi yang disebut agglutinin (Nurkati,

dkk. 2013).

Antigen widal menggunakan suspensi bakteri Salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan pemeriksaan Widal adalah

untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka

demam tifoid, yaitu aglutinin O (tubuh bakteri), aglutinin H (flagela

19
bakteri), dan aglutinin Vi (simpai bakteri). Deteksi aglutinin baik O dan atau

H digunakan sebagai penunjang diagnosis demam tifoid, di mana semakin

tinggi titer aglutinin O dan atau H, maka kemungkinan infeksi bakteri

Salmonella makin tinggi. Pembentukan aglutinin dimulai pada minggu

pertama demam, biasanya setelah hari ke-4 yang akan terus meningkat

secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, akan tetap tinggi

selama beberapa minggu. Aglutinin O adalah aglutinin yang mula-mula

timbul pada fase akut demam tifoid, kemudian disusul dengan peningkatan

aglutinin H. Aglutinin O masih terdeteksi dalam darah penderita demam

tifoid yang telah sembuh hingga 4-6 bulan pasca demam tifoid, sedangkan

aglutinin H akan lebih lama menetap dalam darah yaitu sekitar 9-12 bulan

(Nurkati, dkk. 2013).

Reaksi widal adalah suatu reaksi serum untuk mengetahui ada tidaknya

antibodi terhadap Salmonella typhi, dengan jalan mereaksikan serum

seseorang dengan antigen O, H dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi

aglutinasi, dikatakan reaksi widal positif yang berarti serum orang tersebut

mempunyai antibodi terhadap Salmonella typhi, baik setelah vaksinasi,

setelah sembuh dari penyakit typhus ataupun sedang menderita typhus.

Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella

typhi (Nurkati, dkk. 2013).

Volume Serum Ekuivalen Pengenceran

0,08 ml 1 : 20

0,04 ml 1 : 40

20
0,02 ml 1 : 80

0,01 ml 1 : 160

0,005 ml 1 : 320

Tabel 2.10 Titer pengenceran antibody (Nurkati, dkk. 2013).

2.11 Macam-macam Pemeriksaan Widal

Menurut Sudoyo, 2009. Ada beberapa pemeriksaan widal untuk

penegakkan diagnose penyakit tifoid yaitu:

2.11.1 Test typhoid dipstick metode carik celup

Terbentuknya ikatan antibody IgM dengan antigen spesifik tifoid.

Ikatan antibody IgM spesifik pada reaksi non enzimatik dengan

Antibodi IgM manusia yang berisfat stabil.

2.11.2 Test ELISA metode double sandwich

a. Prinsip

Terjadinya reaksi antara antigen dan antibody yang telah

dilabel dengan enzim sehingga terbentuk antigen–antigen

kompleks. Dengan penambahan substrak, maka akan memberikan

intensitas warna yang sesuai dengan konsentrasi antigen atau

antibody yang dites dan dapat dibaca melaui reader machine

ELISA.

b. Kelebihan

Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik

pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki

sensitivitas yang cukup tinggi.

21
c. Kekurangan

Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya

adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive

karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan

antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji

ini dilakukan pada window period, yaitu waktu pembentukan

antibodi terhadap suatu virus baru dimulai sehingga jumlah

antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat

terdeteksi.

2.11.3 Tes widal metode slide dan tabung

a. Prinsip

Reaksi antara antigen dan antibodi yang ditandai dengan

adanya aglutinasi (gumpalan).

b. Kelebihan

Tes aglutinasi tabung memiliki akurasi yang lebih akurat

daripada tes aglutinasi slide karena titernya dapat sampai 1:1280,

sedangkan tes aglutinasi slide hanya mencapai titer 1:320. Dalam

masalah efisiensi waktu tes aglutinasi slide lebih cepat

dibandingkan tes aglutinasi tabung, dimana tes aglutinasi slide

membutuhkan waktu 5 menit untuk mendapatkan hasilnya

sedangkan tes aglutinasi tabung membutuhkan waktu sekitar 18

jam.

22
c. Kekurangan

Kelemahan uji widal yaitu antigen strain S.typhi yang di pakai

amat berpengaruh pada uji widal, dan kadar aglutinasi dalam

serum yang amat tinggi dapat menimbulkan fenomena prozone

sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam pembacaan uji

widal, cara pembacaan uji widal di lakukan dengan mata

telanjang sehingga dapat memberikan ketidak sesuaian hasil

pembacaan yang cukup besar dan warna aglutinan pada umumnya

tidak berwana sehingga dapat menyukarkan pembacaan uji widal.

2.12 Faktor yang Mempengaruhi Pemeriksaan

Menurut Darmowandoyo, 2003. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan

yaitu :

2.12.1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita

a. Keadaan umum gizi penderita, gizi buruk dapat menghambat

pembentukan antibodi.

b. Waktu pemeriksaan, aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah

penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai

puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.

c. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian antibiotik dengan

obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.

d. Penyakit-penyakit tertentu, Pada beberapa penyakit yang

menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,

misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.

23
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat

menghambat pembentukan antibodi.

f. Vaksinasi, pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer

aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang

setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H

menurun perlahanlahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu

titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang

mempunyai nilai diagnostik.

g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya,

keadaan ini dapat menyebabkan pemeriksaan Widal positif,

walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam

tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.

2.12.2 Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silang, karena beberapa spesies Salmonella dapat

mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi

pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada

spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi

tidak dapat ditentukan dengan pemeriksaan widal.

b. Konsentrasi suspensi antigen, konsentrasi suspensi antigen yang

digunakan pada pemeriksaan widal akan mempengaruhi hasilnya.

c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen, daya

aglutinasi suspensi antigen dari strain Salmonella setempat lebih

baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

24
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum yang berjudul “Pemeriksaan Widal” dilaksanakan pada tanggal

15 April 2019 di Laboratorium Farmakologi Stikes Bina Mandiri Gorontalo.

3.2 Metode

Metode yang digunakan yaitu metode aglutinasi.

3.3 Prinsip

Prinsip reaksi aglutinasi : Reaksi antara antigen dan antibodi yang ditandai

dengan adanya aglutinasi (gumpalan).

3.4 Pra Analitik

1. Konfirmasi jenis pemeriksaan.

a. Nama pasien lengkap.

b. Jenis kelamin, Usia.

c. Alamat, No telp, No Hp.

d. Tanggal / Jam pengambilan.

e. Jenis tes.

f. Nama pengambil bahan.

g. No MR.

h. Ruang.

2. Persiapan pasien.

Pasien dalam keadaan tenang, rilek dan kooperatif dan motivasi : sakit

sedikit, proses cepat dan diberi penjelasan perlu atau tidak untuk puasa.

25
3. Strategi Komunikasi

a. Mengucapkan salam.

b. Melakukan pendekatan secara professional

c. Melakukan wawancara utk konfirmasi data pasien secara singkat dan

lengkap.

d. Memberi penjelasan tentang tujuan dan proses pengambilan bahan

pemeriksaan.

e. Memberi penyuluhan kesehatan.

f. Mengucapkan terimakasih.

g. Persiapan alat dan bahan yang digunakan pada praktikum yaitu tabung

tutup merah, centrifuge, disposible, tourniquet, mikropipet, kapas

alkohol dan kering, serum, reagen S.typhi O dan H, S.paratyphi AH,

BH.

3.5 Analitik

1. Meyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Mengambil darah vena menggunakan disposable kemudian dimasukkan

darahnya pada tabung tutup merah.

3. Masukkan kedalam centrifuge dan diputar selama 15 menit.

4. Keluarkan dari dalam centrifuge.

5. Letakkan serum pasien menggunakan 4 lingkaran slide dengan volume

80µl menggunakan mikropipetdengan asumsi titer 1/20.

6. Tambahkan masing-masing slide dengan 1 tetes antigen KIT.

26
7. Campur serum dan reagen menggunakan aplikator pada masing-masing

slide dan goyangkan selama 1-3 menit.

8. Amati adanya aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang memberikan

aglutinasi adalah titer antibody.

3.6 Pasca Analitik

Dinyatakan menderita demam tifoid jika reaksi aglutinasi pada

pengenceran : Untuk anti-O : 1/60 dan lebih tinggi lagi untuk anti-H

(seusaikan dengan interpretasi KIT dan cut-off). Jika gejala klinik khas maka

anti-O cukup 1/320. Baik anti-O maupun anti-H akan mengikat sesudah

vaksinasi tetapi aglutinin akan turun lebih dahulu dan umunya negative

setelah beberapa bulan, sedangkan agglutinin H biasanya bertahan setelah

beberapa tahun. Pemberian antibiotic dan kostkosteroid dini dapat dicegah

kenaikan titer. untuk member tes widal yang baik, tes widal diulang

sedikitnya dua kali dengan jangka waktu 5-7 hari.

27
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Adapun hasil yang didapatkan pada praktikum kali ini yaitu :

Sampel Perlakuan Hasil Keterangan

Serum Metode Negatif : (-) Volume Ekuivalen

darah slide Volume serum : Serum Pengenceran

80µl.
0,08 ml 1 : 20
Titer : 1/20.

Reagen : 1 tetes 0,04 ml 1 : 40

Aglutinasi : Reagen
0,02 ml 1 : 80
AH.

0,01 ml 1 : 160

0,005 ml
1 : 320

Tabe 4.1 Hasil pemeriksaan widal


4.2 Pembahasan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi bersifat sistemik yang

disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

dikenal dengan Salmonella typhi (S. typhi).

Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan widal dilakukan

pemeriksaan widal untuk mengidentifikasi adanya infeksi Salmonella typhi

dalam tubuh menggunakan metode slide, prinsip pemeriksaannya yaitu reaksi

28
aglutinasi : Reaksi antara antigen dan antibodi yang ditandai dengan adanya

aglutinasi (gumpalan). Dan didapatkan hasil pemeriksaan yaitu negative

dengan titer 1/20 dengan serum 80µl dan terjadi aglutinasi pada reaksi Ab-Ag

AH, uji widal dianggap positive bila titer antibodi 1/80, baik aglutinin O

maupun H dengan kriteria diagnositik tunggal atau gabungan. Bila dipakai

kriteria tunggal maka agglutinin O lebih bernilai diagnostic dari pada

aglutinin H, karena aglutinin O mendeteksi tubuh bakteri, aglutinin H

mendeteksi flagela bakteri. Semakin tinggi titer yang digunakan menandakan

semakin tinggi adanya infeksi yang terjadi. Semua reagen (Suspensi antigen

S. typhi O, Suspensi antigen S. typhi H, Suspensi antigen S. paratyphi AH,

dan Suspensi antigen S. paratyphi BH) yang siap digunakan disimpan di

lemari Es dengan temperatur 20C-40C sampai jika akan digunakan. Lemari

pendingin (refrigerator). Fungsinya adalah untuk menyimpan reagen dan

sampel, volume sesuai kebutuhan reagen dan sampel disimpan dalam lemari

pendingin yang terpisah. Semua reagen yang akan digunakan terlebih dahulu

di stabil pada suhu ruagan yaitu 220C – 260C untuk mencegah penggumpalan

reagen sehingga reagen tidak homogeny yang dapat mengakibatkan terjadi

kesalahan dalam pemeriksaan widal. Namun Suhu ruangan tidak boleh panas,

dengan sirkulasi udara yang baik maka disarankan suhu dipertahankan antara

220C -260C. Antigen widal menggunakan suspensi bakteri Salmonella yang

sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan pemeriksaan Widal

adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka

demam tifoid, yaitu aglutinin O (tubuh bakteri), aglutinin H (flagela bakteri),

29
dan aglutinin Vi (simpai bakteri). Deteksi aglutinin baik O dan atau H

digunakan sebagai penunjang diagnosis demam tifoid, di mana semakin

tinggi titer aglutinin O dan atau H, maka kemungkinan infeksi bakteri

Salmonella makin tinggi. Pembentukan aglutinin dimulai pada minggu

pertama demam, biasanya setelah hari ke-4 yang akan terus meningkat secara

cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, akan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Aglutinin O adalah aglutinin yang mula-mula timbul pada

fase akut demam tifoid, kemudian disusul dengan peningkatan aglutinin H.

Aglutinin O masih terdeteksi dalam darah penderita demam tifoid yang telah

sembuh hingga 4-6 bulan pasca demam tifoid, sedangkan aglutinin H akan

lebih lama menetap dalam darah yaitu sekitar 9-12 bulan

Tes Widal umumnya menunjukan hasil positif pada hari ke 5 atau lebih

setelah terjadinya infeksi bakteri Salmonella enterica serotype typhi. Oleh

karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari sering kali hasil tes

Widal menunjukan hasil negatif dan menjadi positif bilamana pemeriksaan

diulang beberapa hari kedepan. Dengan demikian hasil tes Widal negatif

terutama pada beberapa hari pertama demam belum dapat menyingkirkan

kemungkinan terjadinya demam typhoid. Tes Widal memiliki sensitifitas dan

spesifisitas yang rendah. Selain itu tes Widal dapat menyebabkan hasil

positif-palsu dalam mendiagnosis demam typhoid karena Salmonella enterica

serotype typhi sama-sama memiliki antigen O dan antigen H dengan

Salmonella serotype lainnya dan memiliki reaksi silang epitope dengan

Enterobacteriaciae.

30
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pemeriksaan widal dilakukan mengidentifikasi adanya infeksi Salmonella

typhi dalam tubuh menggunakan metode slide, prinsip pemeriksaannya yaitu

reaksi aglutinasi, didapatkan hasil pemeriksaan yaitu negative dengan titer

1/20 dengan serum 80µl dan terjadi aglutinasi pada reaksi Ab-Ag AH, uji

widal dianggap positive bila titer antibodi 1/80 agglutinin O lebih bernilai

diagnostic dari pada aglutinin H, karena aglutinin O mendeteksi tubuh

bakteri, aglutinin H mendeteksi flagela bakteri. Faktor yang mempengaruhi

pemeriksaan yaitu vaksinasi, pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer

aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6

bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahanlahan

selama 1 atau 2 tahun, serta terjadi aglutinasi silang, karena beberapa spesies

Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi

aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada

spesies lain.

5.2 Saran

Untuk praktikum selanjutnya sebaiknya reagen yang digunakan agar lebih

dilengkapi untuk menyempurnakan pembacaan pada saat menginterpretasikan

hasil.

31
DAFTAR PUSTAKA

Darmowandoyo, 2003. Mikrobiologi Dasar. Papas S inar Sinanti : Jakarta

Gandasubrata, R. 2004. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.

Herawati. Iis. 2013. Modul penuntun prkatikum mikrobiologi II (edisi kedua).


Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi.

Nurkati. Mia. Mimi Halimah. 2013. Pengantar Mikrobiologi. Bandung: Pelangi


Press

Sudoyo, 2009. Manual for the identfication of Medical Fungi. Cambridge


University Press : London

Tumbelaka, 2003. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek: Teknik dan Prosedur


dasar Laboratorium. PT Gramedia: Jakarta.

32
LAMPIRAN

Gambar 1. Hasil pemeriksaan Widal

33

Anda mungkin juga menyukai