PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting Merupakan Prediktor Buruknya kualitas sumber daya manusia yang
diterima secara luas yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu
bangsa di masa yang akan datang. Prevalensi stunting sangat tinggi, dan dapat
mempengaruhi satu dari tiga anak balita yang merupakan proporsi yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia
(UNICEF, 2012).
Stunting juga merupakan suatu kondisi dimana kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama
akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi
pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan
penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa.
Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan
kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Kejadian stunting pada balita lebih
sering mengenai balita pada usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan.
Kejadian Stunting dapat meningkatkan beberapa risiko misalnya kesakitan dan
kematian serta terhambatnya kemampuan motorik dan mental (Hapsari 2017).
Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013,
terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase
tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Prevalensi stunting ini
mengalami peningkatan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar
35,6% (UNICEF, 2013).
1
Berdasarkan penelitian Ramli, et al (2015), prevalensi stunting dan severe
stunting lebih tinggi pada anak-anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%
dibandingkan anak-anak usia 0-23 bulan. Temuan tersebut mirip dengan hasil
penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan, dimana anak-anak usia 24-59 bulan
ditemukan berada dalam risiko lebih besar pertumbuhan yang terhambat. Tingginya
prevalensi stunting pada anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak
mungkin reversible. Selain itu, pada usia 3-5 tahun atau yang biasa juga disebut usia
prasekolah kecepatan pertumbuhannya (growth velocity) sudah melambat.
Balita usia 24-59 bulan termasuk dalam golongan masyarakat kelompok rentan
gizi (kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi), sedangkan
pada saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat.
Gangguan pertumbuhan linear atau stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun
pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara kurangnya
asupan energi dan asupan gizi serta infeksi (Ibrahim & Faramita, 2015).
Masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan sehingga
diperlukan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya. Masalah gizi terutama
stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif
yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual,
rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga
menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(UNICEF, 2012).
Salah satu masalah gizi pada balita yang mendapat banyak perhatian yaitu
stunting berdasarkan indeks TB/U. Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek
dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau
tinggi badan yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang
normal dan sehat sesuai usia anak (Ibrahim & Faramita 2014).
Penelitian yang dilakukan Ibrahim & Faramita (2014), dilaporkan bahwa secara
global jumlah anak stunting di bawah usia 5 tahun sebanyak 165 juta anak atau 26%.
Asia merupakan wilayah kedua setelah Afrika yang memiliki prevalensi anak
stunting tertinggi yaitu 26,8% atau 95,8 juta anak. Sedangkan prevalensi anak
stunting untuk wilayah Asia Tenggara adalah 27,8% atau 14,8 juta anak.
Prevalensi Masalah Gizi jika dilihat Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar
(Riskesdas) Kementrian Kesehatan RI Tahun 2018, menunjukan bahwa 30.8% balita
yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase tersebut, 19.3% anak
pendek dan 11.5% sangat pendek (Riskesdas Provinsi Gorontalo Tahun 2018).
Berdasarkan Studi Pendahuluan Gizi dilihat dari Data di Wilayah Kerja
Puskesmas Pinogu, Jumlah Balita Sebanyak 145 Balita dan yang Stunting Sebanyak
60 Balita (Puskesmas Pinogu Tahun 2018).
Dampak yang diakibatkan oleh stunting menurut WHO (2013) terbagi menjadi
dua yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek diantaranya
dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan
berupa penurunan kognitif, motorik, dan bahasa pada balita, dan di bidang ekonomi
berupa peningkatan pengeluaran biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan
dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan pendek, peningkatan
risiko obesitas, penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa
penurunan prestasi dan kapasitas belajar, serta di bidang ekonomi berupa penurunan
kemampuan dan kapasitas kerja.
Kejadian stunting secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi,
seperti tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan ketersediaan pangan.
Ketersediaan pangan merupakan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang cukup baik segi kuantitas dan kualitas dan keamanannya. Kurang
tersedianya pangan dalam suatu keluarga secara terus-menerus akan menyebabkan
terjadinya penyakit akibat kurang gizi pada keluarga. Status ekonomi keluarga
dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain, pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan
orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi keluarga akan mempengaruhi
kemampuan pemenuhan gizi keluarga maupun kemampuan mendapatkan layanan
kesehatan. Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko
mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan
risiko terjadinya malnutrisi (Fikrina, 2017).
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang
tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Kejadian stunting balita banyak
dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah. Keluarga dengan
pendapatan yang tinggi akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan
kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik (Ni’mah & Nadhiroh, 2010).
Penelitian di Semarang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan
faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 24-36 bulan.
Berdasarkan Uraian diatas, Peneliti Tertarik Melakukan Penelitian tentang :
“ Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di Desa
Pinogu Induk Tahun 2019 “.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga di Desa Pinogu
Induk?
2. Bagaimana gambaran Tingkat Kejadian Stunting di Desa Pinogu Induk?
3. Apakah ada Hubungan antara Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Kejadian
Stunting di Desa Pinogu Induk?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum yang ingin di capai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di
Desa Pinogu Induk Tahun 2019.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Pendidikan ibu dengan Kejadian
stunting di desa pinogu induk!
b. Untuk mengetahui Hubungan tingkat Pendidikan ayah dengan kejadian
stunting di desa pinogu induk!
c. Untuk mengetahui Hubungan pendapatan kepala keluarga dengan kejadian
stunting di desa pinogu induk!
d. Untuk mengetahui Hubungan jumlah anggota keluarga dengan kejadian
stunting di desa pinogu induk !
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat bagi wilayah kerja puskesmas pinogu
Sebagai bahan masukan kepada pihak manajemen puskesmas untuk mengatasi
masalah Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak
Balita di Desa Pinogu Induk Tahun 2019.
2. Manfaat bagi institusi Stikes Bakti Nusantara Gorontalo
Sebagai tambahan referensi untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan bagi
mahasiswa gizi dan memperkaya teori-teori khususnya Hubungan Sosial
Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di Desa Pinogu Induk
Tahun 2019.
3. Manfaat bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam hal mengatasi
Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di
Desa Pinogu Induk Tahun 2019.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Stunting
Stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, yang
memiliki status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur balita jika
dibandingkan dengan standar baku, memiliki nilai z-score kurang dari -2 SD dan
apabila nilai z-scorenya kurang dari -3 SD dikategorikan sebagai balita sangat
pendek. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat
anak berusia dua tahun. Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang berdampak
buruk terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena mempengaruhi fisik dan
fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan
kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan WHO untuk segera dituntaskan
(Mugianti, Mulyadi, Anam, & Najah, 2018).
Stunting merupakan suatu kondisi dimana kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi pada usia dini
meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah
sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif
para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka
panjang bagi Indonesia. Kejadian stunting pada balita lebih sering mengenai balita
pada usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan. Kejadian Stunting dapat
meningkatkan beberapa risiko misalnya kesakitan dan kematian serta terhambatnya
kemampuan motorik dan mental (Hapsari 2017).
Proses pertumbuhan yang dialami oleh balita merupakan hasil kumulatif sejak
balita tersebut dilahirkan. Keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa balita (umur
bawah lima tahun) merupakan fondasi penting bagi kesehatannya di masa depan.
Kondisi yang berpotensi mengganggu pemenuhan zat gizi terutama energi dan
protein pada anak akan menyebabkan masalah gangguan pertumbuhan (Mugianti et
al., 2018).
Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita
kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa
remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat,
termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk
terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan
lebih banyak terjadi (Dalimunthe, 2015). Gangguan pertumbuhan linier, atau
stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan
cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta
infeksi.
Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga
memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi
kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih
rendah, berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta
cenderung untuk berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Dalimunthe, 2015).
Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk menilai
kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal
kehidupan, yang terkait dengan proses stunting, menyebabkan kerusakan permanen.
Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat
diukur dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-
anak kurang dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan
anak dalam dua tahun pertama kehidupan akan mengakibatkan stunting dalam dua
tahun, yang akhirnya tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi
kognitif dan perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan
pengurangan dalam stunting. Efek negatif berat badan lahir rendah pada
pengembangan intelektual ditekankan pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan
dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan (Dalimunthe, 2015).
B. Dampak Stunting
Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan kerusakan permanen.
Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan berbagai zat gizi yang penting untuk
tumbuh kembangnya, kekebalan tubuh, dan perkembangan otak yang optimum. Anak
yang mengalami gizi kurang akan menjadi kurang berprestasi di sekolah dan kurang
produktif pada saat dewasa (Kahfi, 2015).
Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia kedepan
akibat stunting merupakan hal yang tidak bisa diremehkan. Namun yang
disayangkan, masyarakat belum menyadari masalah ini karena anak yang pendek atau
stunting terlihat sebagai anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti anak yang
kekurangan gizi (Kahfi, 2015).
C. Penyebab Stunting
Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah stunting.
secara populasi stunting berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk dan
peningkatan risiko seringnya anak terkena penyakit serta praktik pemberian makan
yang kurang baik. anak yang mengalami stunting lebih banyak disebabkan karena
rendahnya asupan gizi dan penyakit yang berulang akibat lingkungan yang tidak
sehat. Masalah gizi kronis pada balita dapat disebabkan karena asupan gizi yang
kurang dalam jangka waktu yang lama karena orang tua atau keluarga tidak tahu atau
belum memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak (Kahfi, 2015).
Masalah gizi disebakan banyak faktor yang saling terkait. Penyebab yang sering
terjadi karena kurangnya makanan, distribusi pangan yang kurang baik, rendahnya
praktik menyusui dan penyapihan, praktik pengasuhan yang kurang, sanitasi, dan
penyakit. Secara garis besar masalah gizi disebabkan karena kurangnya asupan
makanan dan penyakit infeksi. Asupan makan yang kurang dapat disebabkan karena
tidak tersedianya makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan bergizi seimbang
dan pola asuh yang salah (Kahfi, 2015).
1. Tidak tersedianya makanan
2. Keadaan sosial ekonomi berkaitan langsung dengan masalah ini. Data di
Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang timbal balik antara kurang
gizi dan kemiskinan
3. Anak yang tidak mendapat gizi seimbang
ASI adalah makanan yang terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan. Setelah itu anak
perlu diberikan makanan pendamping agar kebutuhan gizinya terpenuhi
4. Pola asuh makan yang salah
Pola pengasuhan berpengaruh terhadap keadaan gizi balita. Anak yang diasuh
oleh ibunya sendiri yang paham akan pola asuh yang baik maka gizi anak pun
akan ikut menjadi baik.
Keadaan sakit atau penyakit infeksi pada balita menjadi penyebab lain masalah
gizi, keduanya saling terkait dan ada hubungan timbal balik. Penyakit infeksi akan
menyebabkan masalah gizi dan masalah gizi akan memberikan pengaruh kepada
sistem ketahanan tubuh dan akhirnya memudahkan terjadinya infeksi (Kahfi, 2015).
Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga fungsi,
yaitu member energi (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur). Sebagai
sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang
diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam
jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari-hari.
Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru,
memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangun tersebut adalah
protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air
juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur
keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga
daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh
(Dalimunthe, 2015).
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,
sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.
Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,
aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan
(AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan
AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun
batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian
Kesehatan, 2010).
2. Asupan Protein
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial
lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal. Sebagai sumber energi, protein
menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein
terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-
beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi
sebagai zat pengatur. Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak
dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (luar
tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang dapat di produksi
sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam amino non-esensial
bergantung pada ketersediaan asam amino esensial dalam tubuh (Dalimunthe,
2015).
Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira seperlima
komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, seperlima di
tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain
dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim,
hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein
juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk
antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh,
misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak
dapat digantikan oleh zat lain (Dalimunthe, 2015).
Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur. Angka
kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita usia 48-59 bulan adalah 39
gram/hari. Adapun batasan minimal asupan protei perhari adalah 80% dari AKG.
Jika asupan protein tidak mencukupi, maka pertumbuhan linear balita akan
terhambat meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Dalimunthe, 2015).
3. Jenis Kelamin
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan
perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak
perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan anak
laki-laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan
perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan
terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus,
mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan
(Dalimunthe, 2015).
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua yaitu rendah dan normal. Disebut
dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram. Dampak
BBLR akan berlangsung antar generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR
kelak juga akan mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri yang
kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya
bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan
bayi yang BBLR seperti dirinya pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan
kembali menjadi perempuan dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya
(Dalimunthe, 2015).
Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir.
Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih
pendek. Besarnya perbedaan ini adalah sama pada Negara maju dan berkembang,
dengan mereka yang lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih
pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17 hingga 19 tahun (Dalimunthe, 2015).
6. Penyakit Infeksi
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan penyakit.
Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang
diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini
terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau
mengalami infeksi, yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi,
mengurangi nafsu makan, atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus.
Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat
menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi,
yang daya tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi
semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit
dan sebagainya. Ini disebut juga infectionmalnutrition (Anisa, 2012).
Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) pada balita. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang
meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lunak dan cair yang berlangsung
dalam kurun waktu minimal 2 hari dan frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri
penyebab utama diare pada bayi dan anak-anak adalah Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC). Bakteri EPEC juga diyakini menjadi penyebab kematian
ratusan ribu anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga
diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita
diare terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sanitasi di daerah kumuh biasanya kurang baik dan keadaan tersebut dapat
menyebabkan meningkatnya penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang
penyakit infeksi pada anak merupakan masalah yang kesehatan yang penting dan
diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan anak (Anisa, 2012a),
7. Status Imunisasi
8. Pendidikan Formal
a. Pendidikan ibu
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi
pertumbuhan anak balita. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi
pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki
pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang
lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang
tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Dalimunthe, 2015).
Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang
lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka
yang tdak bependidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin
mudah seseorang dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan dan
teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
keluarganya (Dalimunthe, 2015).
b. Pendidikan Ayah
9. Pekerjaan
a. Pekerjaan Ibu
b. Pekerjaan ayah
Menurut (Ibrahim & Faramita, 2015), stunting tidak hanya disebabkan oleh
satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor
tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya, seperti ekonomi, sosial-
budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sosial ekonomi keluarga merupakan salah
satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga
sehingga turut menentukkan status gizi keluarga tersebut, termasuk ikut
mempengaruhi pertumbuhan anak.
Studi mengenai status gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang
kurang mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah
dibandingkan anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan
bahwa perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi
juga menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami
kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada
mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Dalimunthe,
2015).
Karakteristik Keluarga :
Pendidikan, Pendapatan dan Pekerjaan orang
tua, Jumlah anggota keluarga dan Sosial
ekonomi keluarga
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
H. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah penelitian maka peneliti merumuskan hipotesis
bahwa “Terdapat Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting
Anak Balita 12-59 Bulan di Desa Pinogu Induk Tahun 2019”.
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
Tabel 2.1 : Defenisi Operasional dan kriteria objektif
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara ukur Hasil ukur Skala Ukur
1 Stunting Tinggi balita menurut Microtoise Tinggi badan 1 = stunting gabungan antara Ordinal
umur (TB/U) kurang dari balita di ukur data stunting dan severe
-2 SD sehngga lebih dengan posisi stunting (<-2 SD HAZ)
pendek daripada tinggi berdiri 2 = Normal (≥ -2 SD HAZ)
yang seharusnya. (WHO, 2005)
Stunting dan severe
stunting digabung dalam
kategori stunting.
2 Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner Wawancara 1 = Rendah Ordinal
Formal formal terakhir yang (tidak sekolah, SD, SMP)
dicapai oleh ayah dan ibu 2 = Tinggi
(SMA, tamat SMA, PT)
3 Pendapatan Pendapatan keluarga Kuisioner Wawancara 1. Cukup = pendapatan ≥ Rp Nominal
Kepala perbulan 1.000.000
Keluarga 2. Kurang = pendapatan < Rp
1.000.000
4. Jumlah Keseluruhan anggota Kuesioner Wawancara 1 = kecil ( jika jumlah anggota Ordinal
Anggota keluarga dan menetap keluarga ≤ 4 orang)
Keluarga di rumah tersebut yang 2 = sedang (jika jumlah anggota
berada dibawah keluarga 5-7 orang
pimpinan satu orang
kepala keluarga
J. Penelitian Relevan
Tabel 2.2 Penelitian Relevan
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak Balita di Pinogu yang berjumlah 33
Adapun sampel dalam penelitian ini adalah balita yang berada di desa pinogu yang
berjumlah 33 orang. Teknik Pengambilan sampel dengan tehnik Total sampling
dimana seluruh populasi dijadikan sebagai sampel yang diteliti yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Balita berusia 12 – 59 bulan yang bertempat tinggal di wilayah penelitian.
2. Ibu balita bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Sedangkan, kriteria eksklusi dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:
1. balita yang tidak tinggal menetap di wilayah penelitian, misalnya balita
tersebut secara rutin datang ke rumah neneknya hanya pada siang hari, namun
pada malam hari pulang ke rumahnya yang berada di wilayah lain.
D. Sumber data
1. Data primer
Data primer adalah data yang diambil dengan wawancara observasi langsung
dari responden melalui kuisioner.data ini berupa status sosial ekonomi.
2. Data sekunder
Merupakan data yang didapat dari pihak kedua yaitu dari Puskesmas Pinogu
Kabupaten Bone Bolango.
E. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner Riskesdas yang
sudah baku, timbangan dan microtoise. Dalam penelitian ini variabel independen
meliputi variabel data pendidikan formal ibu, pendidikan formal ayah, pendapatan
keluarga, pekerjaan orang tua dan jumlah keluarga.
F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi tiap
variable yang diteliti, baik variable independen (sosial ekonomi) maupun variable
dependen (kejadian Stunting). Data yang dihasilkan dapat berupa kategorik sesuai
dengan hasil ukur.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variable dependen. Selain itu juga akan dilakukan uji statistik
menggunakan uji Chi-square untuk mengetahui kemaknaan hubungan antara
variable independen dengan variabel dependen secara statistik. Uji Chi-square
dipilih sesuai dengan salah satu kegunaannya, yaitu untuk menguji independensi
antara dua variable yang sangat berkaitan antara tingkat social ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting Anak Balita di Desa Pinogu Induk Tahun 2019 (Anisa
2012).
Rumus Chi Square :
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi
Puskesmas Pinogu merupakan salah satu dari 20 Puskesmas di Kabupaten
Bone Bolango, terletak di Kecamatan Pinogu kurang lebih 50 km dari pusat
Kabupaten Bone Bolango. Puskesmas Pinogu Induk terdiri dari 5 desa dengan
15 dusun, dengan kriteria semua desa tergolong sangat sulit.
Kecamatan Pinogu yang memiliki luas wilayah lebih besar dari Kota
terdiri dari 5 Desa yaitu Desa Dataran Hijau ,Pinogu Induk, Tilonggibila,
Permai, dan Bangiyo serta memiliki 15 dusun. Ibu Kota Kecamatan terletak di
Desa Pinogu Induk.
Pada Puskesmas Pinogu terdapat 5 unit poskesdes sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan dasar .Jumlah tenaga kesehatan yang berada di
Puskesmas Pinogu yaitu sebagai berikut : Dokter Umum 1, Dokter Gigi 1, D
III Kebidanan Berjumlah 5, D III Keperawatan Berjumlah 8, S1 Farmasi
Berjumlah 3, D III Gizi Berjumlah2, D III Kesehatan Lingkungan Berjumlah
1, D III Analis kesehatan Berjumlah 1, S1 Kesehatan Masyarakat Berjumlah
2, D1 Administrasi 1, clining servis 1, S1 Epidemiologi 1.
2. Gambaran Umum Responden
Penelitian ini dilakukan pada anak Balita di Desa Pinogu Induk
Kecamatan Pinogu. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni Tahun 2019,
Dimana Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh
Anak Balita Berumur 12 – 59 Bulan yang terdaftar di Puskesmas Pinogu. Saat
pemgambilan Data diambil yaitu berjumlah 33. Pengambilan data dilakukan
di setiap Rumah Warga dengan Melakukan wawancara observasi langsung
dari Responden melalui kuisioner sebagai data Primer. Sementara data
sekunder diperoleh dari Puskesmas Pinogu.
3. Analisis Univariat
Dibawah ini dapat dilihat distribusi berdasarkan sosial ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting di desa pinogu induk tahun 2019 sebanyak 33 Balita
12-59 Bulan.
a. Umur Ibu
Dibawah ini dapat di Lihat tabel distribusi Responden ibu menurut
umur di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 1
Distribusi Responden Ibu Menurut Umur
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Umur Jumlah Persen
20 s/d 35 Tahun 27 81,8
> 35 Tahun 6 18,2
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
b. Pekerjaan Ayah
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden Ayah menurut
Pekerjaan di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 4
Distribusi Responden Ayah Menurut Pekerjaan
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pekerjaan Ayah Jumlah Persen
Jasa ojek 7 21.2
Petani 25 75.8
Wirausaha 1 3.0
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
e. Kejadian Stunting
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Kejadian Stanting pada
Balita di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 8
Distribusi Kejadian Stunting pada Balita
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Status Stunting Jumlah Persen
Normal 13 39.4
Stunting 20 60.6
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
f. Pendidikan Ayah
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden pendidikan ayah
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 9
Distribusi Responden pendidikan ayah
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendidikan Ayah Jumlah Persen
Rendah 30 90.9
Tinggi 3 9.1
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
g. Pendidikan Ibu
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden pendidikan Ibu di
Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 10
Distribusi Responden Pendidikan Ibu
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendidikan Ibu Jumlah Persen
Rendah 21 63.6
Tinggi 12 36.4
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
Tabel 10
Distribusi Responden Pendapatan Kepala Keluarga
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendapatan Jumlah Persen
Cukup 3 9.1
Kurang 30 90.9
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
Tabel 9 Menunjukkan bahwa Distribusi Responden Pendapatan
kepala keluarga pada Persentasi tertinggi berada pada Pendapatan Kurang
sebanyak 30 orang (90.9%). Sementara persentasi terendah berada pada
Pendapatan Cukup sebanyak 3 orang (9.1%).
4. Analisis Bivariat
Dibawah ini dapat dilihat hasil analisis bivariat antara variable Independen
(Pendapatan, Pendidikan Formal, Jumlah anggota Keluarga) dengan variable
Dependen (Stunting).
Status pendidikan ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga.
Jika ibu berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah dapat
memberikan adil terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang berpendidikan
tinggi dapat memberikan masukan kepada istri mereka mengenai bahan
makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan keluarga mereka.
Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah berpendidikan rendah lebih
banyak dari pada jumlah ayah balita yang berpendidikan tinggi. Jumlah balita
stunting pun lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki ayah dengan
status pendidikan rendah, yaitu sebanyak 66.7%.
A. Kesimpulan
Berdasarkan Penjelasan tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan pada bab
Sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa : Hasil Penelitian ini menunjukkan
Prevalensi Kejadian Stunting pada Balita 12-59 Bulan di Desa Pinogu Induk yang
mengalami Stunting sebesar 60.6%, dan dari 4 variabel yang diteliti terdapat 3
variabel yang secara statistik ada hubungan dengan kejadian stunting yaitu :
1. Ibu berpendidikan rendah memiliki resiko terjadinya kejadian stunting pada
balita dibandingkan ibu berpendidikan tinggi.
2. Ayah berpendidikan Rendah dan resiko mengalami Stunting pada balita
dibandingkan ayah berpendidikan tinggi.
3. Pendapatan kepala keluarga yang dikatakan Kurang dan mengalami stunting
pada balita dibandingkan pendapatan yang dikatakan cukup.
B. Saran
Berdasarkan hasil Penelitian Hubungan sosial ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting pada anak balita di desa pinogu induk tahun 2019, saran dari
penulis antara lain :
1. Adanya Program Perencanan Penanggulangan stunting pada keluarga yang
memiliki balita yang berstatus pendidikan rendah di Desa Pinogu Induk.
2. Salah satu intervensi yang bisa dilakukan kesehatan masyarakat adalah
dengan memberikan promosi kesehatan berupa penyuluhan untuk menambah
pengetahuan ibu tentang imunisasi, jarak kelahiran, pola asuh dan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan melibatkan kader dan tokoh masyarakat dan
menggunakan media audio visual.
3. Petugas kesehatan untuk melakukan promosi kesehatan kepada Ibu-Ibu yang
memiliki balita dan melakukan pemantauan penilaian status gizi terhadap
tinggi atau panjang badan balita.
4. Perlu dilakukan studi lanjutan mengenai hubungan sosial ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting dengan variabel yang belum tercakup didalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA