Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting Merupakan Prediktor Buruknya kualitas sumber daya manusia yang
diterima secara luas yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu
bangsa di masa yang akan datang. Prevalensi stunting sangat tinggi, dan dapat
mempengaruhi satu dari tiga anak balita yang merupakan proporsi yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia
(UNICEF, 2012).
Stunting juga merupakan suatu kondisi dimana kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama
akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi
pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan
penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa.
Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan
kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Kejadian stunting pada balita lebih
sering mengenai balita pada usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan.
Kejadian Stunting dapat meningkatkan beberapa risiko misalnya kesakitan dan
kematian serta terhambatnya kemampuan motorik dan mental (Hapsari 2017).
Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013,
terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase
tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Prevalensi stunting ini
mengalami peningkatan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar
35,6% (UNICEF, 2013).

1
Berdasarkan penelitian Ramli, et al (2015), prevalensi stunting dan severe
stunting lebih tinggi pada anak-anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%
dibandingkan anak-anak usia 0-23 bulan. Temuan tersebut mirip dengan hasil
penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan, dimana anak-anak usia 24-59 bulan
ditemukan berada dalam risiko lebih besar pertumbuhan yang terhambat. Tingginya
prevalensi stunting pada anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak
mungkin reversible. Selain itu, pada usia 3-5 tahun atau yang biasa juga disebut usia
prasekolah kecepatan pertumbuhannya (growth velocity) sudah melambat.
Balita usia 24-59 bulan termasuk dalam golongan masyarakat kelompok rentan
gizi (kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi), sedangkan
pada saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat.
Gangguan pertumbuhan linear atau stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun
pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara kurangnya
asupan energi dan asupan gizi serta infeksi (Ibrahim & Faramita, 2015).
Masa balita merupakan periode yang sangat peka terhadap lingkungan sehingga
diperlukan perhatian lebih terutama kecukupan gizinya. Masalah gizi terutama
stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif
yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual,
rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga
menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(UNICEF, 2012).
Salah satu masalah gizi pada balita yang mendapat banyak perhatian yaitu
stunting berdasarkan indeks TB/U. Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek
dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau
tinggi badan yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang
normal dan sehat sesuai usia anak (Ibrahim & Faramita 2014).
Penelitian yang dilakukan Ibrahim & Faramita (2014), dilaporkan bahwa secara
global jumlah anak stunting di bawah usia 5 tahun sebanyak 165 juta anak atau 26%.
Asia merupakan wilayah kedua setelah Afrika yang memiliki prevalensi anak
stunting tertinggi yaitu 26,8% atau 95,8 juta anak. Sedangkan prevalensi anak
stunting untuk wilayah Asia Tenggara adalah 27,8% atau 14,8 juta anak.
Prevalensi Masalah Gizi jika dilihat Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar
(Riskesdas) Kementrian Kesehatan RI Tahun 2018, menunjukan bahwa 30.8% balita
yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase tersebut, 19.3% anak
pendek dan 11.5% sangat pendek (Riskesdas Provinsi Gorontalo Tahun 2018).
Berdasarkan Studi Pendahuluan Gizi dilihat dari Data di Wilayah Kerja
Puskesmas Pinogu, Jumlah Balita Sebanyak 145 Balita dan yang Stunting Sebanyak
60 Balita (Puskesmas Pinogu Tahun 2018).
Dampak yang diakibatkan oleh stunting menurut WHO (2013) terbagi menjadi
dua yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek diantaranya
dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan
berupa penurunan kognitif, motorik, dan bahasa pada balita, dan di bidang ekonomi
berupa peningkatan pengeluaran biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan
dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan pendek, peningkatan
risiko obesitas, penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa
penurunan prestasi dan kapasitas belajar, serta di bidang ekonomi berupa penurunan
kemampuan dan kapasitas kerja.
Kejadian stunting secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi,
seperti tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan ketersediaan pangan.
Ketersediaan pangan merupakan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan yang cukup baik segi kuantitas dan kualitas dan keamanannya. Kurang
tersedianya pangan dalam suatu keluarga secara terus-menerus akan menyebabkan
terjadinya penyakit akibat kurang gizi pada keluarga. Status ekonomi keluarga
dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain, pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan
orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi keluarga akan mempengaruhi
kemampuan pemenuhan gizi keluarga maupun kemampuan mendapatkan layanan
kesehatan. Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko
mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan
risiko terjadinya malnutrisi (Fikrina, 2017).
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang
tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Kejadian stunting balita banyak
dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah. Keluarga dengan
pendapatan yang tinggi akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan
kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik (Ni’mah & Nadhiroh, 2010).
Penelitian di Semarang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan
faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 24-36 bulan.
Berdasarkan Uraian diatas, Peneliti Tertarik Melakukan Penelitian tentang :
“ Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di Desa
Pinogu Induk Tahun 2019 “.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga di Desa Pinogu
Induk?
2. Bagaimana gambaran Tingkat Kejadian Stunting di Desa Pinogu Induk?
3. Apakah ada Hubungan antara Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Kejadian
Stunting di Desa Pinogu Induk?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum yang ingin di capai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di
Desa Pinogu Induk Tahun 2019.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Pendidikan ibu dengan Kejadian
stunting di desa pinogu induk!
b. Untuk mengetahui Hubungan tingkat Pendidikan ayah dengan kejadian
stunting di desa pinogu induk!
c. Untuk mengetahui Hubungan pendapatan kepala keluarga dengan kejadian
stunting di desa pinogu induk!
d. Untuk mengetahui Hubungan jumlah anggota keluarga dengan kejadian
stunting di desa pinogu induk !
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat bagi wilayah kerja puskesmas pinogu
Sebagai bahan masukan kepada pihak manajemen puskesmas untuk mengatasi
masalah Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak
Balita di Desa Pinogu Induk Tahun 2019.
2. Manfaat bagi institusi Stikes Bakti Nusantara Gorontalo
Sebagai tambahan referensi untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan bagi
mahasiswa gizi dan memperkaya teori-teori khususnya Hubungan Sosial
Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di Desa Pinogu Induk
Tahun 2019.
3. Manfaat bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam hal mengatasi
Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting Anak Balita di
Desa Pinogu Induk Tahun 2019.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Stunting

Stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, yang
memiliki status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur balita jika
dibandingkan dengan standar baku, memiliki nilai z-score kurang dari -2 SD dan
apabila nilai z-scorenya kurang dari -3 SD dikategorikan sebagai balita sangat
pendek. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat
anak berusia dua tahun. Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang berdampak
buruk terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena mempengaruhi fisik dan
fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan
kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan WHO untuk segera dituntaskan
(Mugianti, Mulyadi, Anam, & Najah, 2018).

Stunting merupakan suatu kondisi dimana kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama akibat pemberian
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi pada usia dini
meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah
sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif
para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka
panjang bagi Indonesia. Kejadian stunting pada balita lebih sering mengenai balita
pada usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan. Kejadian Stunting dapat
meningkatkan beberapa risiko misalnya kesakitan dan kematian serta terhambatnya
kemampuan motorik dan mental (Hapsari 2017).

Proses pertumbuhan yang dialami oleh balita merupakan hasil kumulatif sejak
balita tersebut dilahirkan. Keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa balita (umur
bawah lima tahun) merupakan fondasi penting bagi kesehatannya di masa depan.
Kondisi yang berpotensi mengganggu pemenuhan zat gizi terutama energi dan
protein pada anak akan menyebabkan masalah gangguan pertumbuhan (Mugianti et
al., 2018).

Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara


jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi
biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan
kesehatan (Dalimunthe, 2015).

Kekurangan gizi terutama pada balita dapat menyebabkan meningkatnya risiko


kematian, terganggunya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta
kecerdasan. Dampak kekurangan gizi bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki
walaupun pada usia berikutnya kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi kesehatan dan
status gizi pada saat lahir dan balita sangat menentukan kondisi kesehatan pada masa
usia sekolah dan remaja (Dalimunthe, 2015).

Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan


perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita
membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses
pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling
sering menderita akibat kekurangan gizi .Masa balita dinyatakan sebagai masa kritis
dalam rangka mendapatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, terlebih pada
periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan
perkembangan otak yang optimal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian yang
serius (Dalimunthe, 2015).

Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita
kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa
remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat,
termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk
terjadi pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan
lebih banyak terjadi (Dalimunthe, 2015). Gangguan pertumbuhan linier, atau
stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan
cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta
infeksi.

Stunting pada anak-anak dikaitkan dengan kemiskinan yang pada akhirnya


terjadi tinggi dan berat badan yang kurang pada saat dewasa, mengurangi kebugaran
otot dan kemungkinan juga pada saat kehamilan yang meningkatkan kejadian berat
lahir rendah. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak stunting juga lebih cenderung
memiliki pendidikan rendah, tetapi tidak jelas apakah ini langsung karena faktor gizi
atau pengaruh lingkungan. Stunting pada masa kecil mungkin memiliki dampak besar
pada produktivitas saat dewasa, meskipun ini adalah statistik yang sulit ditentukan
(Dalimunthe, 2015).

Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga
memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi
kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih
rendah, berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta
cenderung untuk berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Dalimunthe, 2015).

Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk menilai
kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal
kehidupan, yang terkait dengan proses stunting, menyebabkan kerusakan permanen.
Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat
diukur dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-
anak kurang dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan
anak dalam dua tahun pertama kehidupan akan mengakibatkan stunting dalam dua
tahun, yang akhirnya tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi
kognitif dan perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan
pengurangan dalam stunting. Efek negatif berat badan lahir rendah pada
pengembangan intelektual ditekankan pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan
dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan (Dalimunthe, 2015).
B. Dampak Stunting
Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan kerusakan permanen.
Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan berbagai zat gizi yang penting untuk
tumbuh kembangnya, kekebalan tubuh, dan perkembangan otak yang optimum. Anak
yang mengalami gizi kurang akan menjadi kurang berprestasi di sekolah dan kurang
produktif pada saat dewasa (Kahfi, 2015).
Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia kedepan
akibat stunting merupakan hal yang tidak bisa diremehkan. Namun yang
disayangkan, masyarakat belum menyadari masalah ini karena anak yang pendek atau
stunting terlihat sebagai anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti anak yang
kekurangan gizi (Kahfi, 2015).
C. Penyebab Stunting
Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah stunting.
secara populasi stunting berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk dan
peningkatan risiko seringnya anak terkena penyakit serta praktik pemberian makan
yang kurang baik. anak yang mengalami stunting lebih banyak disebabkan karena
rendahnya asupan gizi dan penyakit yang berulang akibat lingkungan yang tidak
sehat. Masalah gizi kronis pada balita dapat disebabkan karena asupan gizi yang
kurang dalam jangka waktu yang lama karena orang tua atau keluarga tidak tahu atau
belum memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak (Kahfi, 2015).
Masalah gizi disebakan banyak faktor yang saling terkait. Penyebab yang sering
terjadi karena kurangnya makanan, distribusi pangan yang kurang baik, rendahnya
praktik menyusui dan penyapihan, praktik pengasuhan yang kurang, sanitasi, dan
penyakit. Secara garis besar masalah gizi disebabkan karena kurangnya asupan
makanan dan penyakit infeksi. Asupan makan yang kurang dapat disebabkan karena
tidak tersedianya makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan bergizi seimbang
dan pola asuh yang salah (Kahfi, 2015).
1. Tidak tersedianya makanan
2. Keadaan sosial ekonomi berkaitan langsung dengan masalah ini. Data di
Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang timbal balik antara kurang
gizi dan kemiskinan
3. Anak yang tidak mendapat gizi seimbang
ASI adalah makanan yang terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan. Setelah itu anak
perlu diberikan makanan pendamping agar kebutuhan gizinya terpenuhi
4. Pola asuh makan yang salah
Pola pengasuhan berpengaruh terhadap keadaan gizi balita. Anak yang diasuh
oleh ibunya sendiri yang paham akan pola asuh yang baik maka gizi anak pun
akan ikut menjadi baik.

Keadaan sakit atau penyakit infeksi pada balita menjadi penyebab lain masalah
gizi, keduanya saling terkait dan ada hubungan timbal balik. Penyakit infeksi akan
menyebabkan masalah gizi dan masalah gizi akan memberikan pengaruh kepada
sistem ketahanan tubuh dan akhirnya memudahkan terjadinya infeksi (Kahfi, 2015).

D. Penilaian Status Gizi


1. Pengukuran Antropometri
Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos memiliki arti
tubuh, sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum antropometri adalah
ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam pengertian adalah suatu sistem
pengukuran ukuran dan susunan tubuh dan bagian khusus tubuh (Kahfi, 2015).
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhub ungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan
jumlah air dalam tubuh.
2. Pengukuran Antropometri Pada Balita
Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama untuk menilai
kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan balita.
3. Parameter Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi
antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Di Indonesia ukuran
baku dalam negeri belum ada, maka untuk ukuran berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB) digunakan baku HARVARD yang disesuaikan untuk Indonesia (100%
baku Indonesia = 50 persentil baku Harvard) dan untuk lingkar lengan atas
(LILA) digunakan baku WOLANSKI.
4. Indeks Antropometri
Indeks Antropometri untuk Balita (anak usia 2-10 tahun):
a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa
tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi
dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2
kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau
lebih lambat dari keadaan normal (Kahfi, 2015).

Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator


ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis
ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi
badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena
anaknya pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut)
(Kahfi, 2015).
b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat
badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu
pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak
dalam waktu yang relatif lama (Kahfi, 2015).

Indikator gizi pada tinggi badan menurut umur (TB/U) memberikan


indikasi masalah gizi yang bersifat kronis sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena kemiskinan, perilaku hidup tidak
sehat dan pola asuh atau pemberian makanan yang kurang baik dari sejak
dilahirkan. Menurut data, terdapat sekitar 195 juta anak yang hidup di negara
miskin dan berkembang mengalami stunting. Prevalensi stunting di dunia
sebesar 26,9% dan di kawasan Asia yaitu sekitar 36%, dengan prevalensi
tertinggi berada di Asia Selatan. Setengah dari jumlah balita di Asia Selatan
mengalami stunting dan sekitar 61 juta balita stunting berada di India (Fikrina,
2017).

c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)


Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator
yang baik untuk menilai status gizi saat ini (Kahfi, 2015). Dari berbagai jenis
indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang batas,
penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi. Ambang batas
dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen terhadap median, persentil, dan
standar deviasi unit.
Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang
sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang
tidak lama (singkat), misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan
(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk
identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga
memberikan indikasi kegemukan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada
usia dini dapat berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit
degeneratif pada usia dewasa (Kahfi, 2015).

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting pada Balita


1. Asupan Energi

Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan berpengaruh pada


terpenuhinya kebutuhan gizi sehari-hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi
normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak sesuai
(baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan kekurangan zat-zat gizi
esensial tertentu (Dalimunthe, 2015).

Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga fungsi,
yaitu member energi (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur). Sebagai
sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang
diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam
jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari-hari.
Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru,
memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangun tersebut adalah
protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air
juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur
keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga
daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh
(Dalimunthe, 2015).

Langkah awal dalam mengevaluasi kegagalan pertumbuhan yang terjadi pada


anak adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada pada
makanan yang dikonsumsi. Asupan makanan akan berpengaruh terhadap status
gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang
diperlukan, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta
perkembangan psikomotorik secara optimal (Dalimunthe, 2015).

Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,
sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.
Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,
aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan
(AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan
AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun
batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian
Kesehatan, 2010).

2. Asupan Protein

Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial
lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal. Sebagai sumber energi, protein
menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat. Protein
terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-
beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi
sebagai zat pengatur. Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak
dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (luar
tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang dapat di produksi
sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam amino non-esensial
bergantung pada ketersediaan asam amino esensial dalam tubuh (Dalimunthe,
2015).
Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira seperlima
komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, seperlima di
tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain
dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim,
hormone, asam nukleat dan molekul- molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein
juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk
antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh,
misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak
dapat digantikan oleh zat lain (Dalimunthe, 2015).

Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur. Angka
kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita usia 48-59 bulan adalah 39
gram/hari. Adapun batasan minimal asupan protei perhari adalah 80% dari AKG.
Jika asupan protein tidak mencukupi, maka pertumbuhan linear balita akan
terhambat meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Dalimunthe, 2015).

3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga


terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin. Perbedaan besarnya
kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh
antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak
dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki-laki. Secara metabolic, otot lebih
aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan
memerlukan energi lebih tinggi dari pada lemak. Dengan demikian, laki- laki dan
perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama memiliki
komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan
berbeda (Dalimunthe, 2015).

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan
perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak
perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan anak
laki-laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan
perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan
terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus,
mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan
(Dalimunthe, 2015).

4. Berat Badan Lahir Rendah

Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua yaitu rendah dan normal. Disebut
dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram. Dampak
BBLR akan berlangsung antar generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR
kelak juga akan mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri yang
kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya
bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan
bayi yang BBLR seperti dirinya pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan
kembali menjadi perempuan dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya
(Dalimunthe, 2015).

Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir.
Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih
pendek. Besarnya perbedaan ini adalah sama pada Negara maju dan berkembang,
dengan mereka yang lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih
pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17 hingga 19 tahun (Dalimunthe, 2015).

5. Jumlah Anggota Rumah Tangga

Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di


suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara
tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota
keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan
meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang
yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di
suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut,
dianggap sebagai anggota keluarga (Dalimunthe, 2015).

Berdasarkan kategori (Dalimunthe, 2015), keluarga dengan anggota kurang


dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang kemudian dikenal sebagai
Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Keluarga dengan anggota
lebih dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejahteraan anak yang
tinggal pada keluarga kecil relatif akan lebih terjamin dibandingkan keluarga
besar, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga pemenuhan
kebutuhan keluarga cenderung lebih sulit, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi keluarga.

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.


(Dalimunthe, 2015) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar
keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga
yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan
menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.
Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian
tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.

6. Penyakit Infeksi

Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan penyakit.
Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang
diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini
terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau
mengalami infeksi, yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi,
mengurangi nafsu makan, atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus.
Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat
menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi,
yang daya tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi
semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit
dan sebagainya. Ini disebut juga infectionmalnutrition (Anisa, 2012).

Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) pada balita. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang
meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lunak dan cair yang berlangsung
dalam kurun waktu minimal 2 hari dan frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri
penyebab utama diare pada bayi dan anak-anak adalah Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC). Bakteri EPEC juga diyakini menjadi penyebab kematian
ratusan ribu anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga
diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita
diare terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu
masalah kesehatan utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sanitasi di daerah kumuh biasanya kurang baik dan keadaan tersebut dapat
menyebabkan meningkatnya penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang
penyakit infeksi pada anak merupakan masalah yang kesehatan yang penting dan
diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan anak (Anisa, 2012a),

7. Status Imunisasi

Imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan


vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif).
Dalam hal ini, imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk
antibodi dan respon imun seluler yang dapat melawan agen infeksi. Lain halnya
dengan imunisasi pasif, imunisasi ini menyediakan proteksi sementara melalui
pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi
transplasenta dari ibu ke janin (Anisa, 2012a).

Pemberian imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk


mengurangi risiko mordibitas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) anak akibat
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit-penyakit
tersebut antara lain: TBC, difteri, tetanus, pertusis, polio, campak, hepatitis B, dan
sebagainya. Status imunisasi pada anak adalah salah satu indikator kontak dengan
pelayanan kesehatan. Karena diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan
kesehatan akan membantu memperbaiki masalah gizi baru jadi, status imunisasi
juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang
(Anisa, 2012).

Penelitian yang dilakukan Neldawati (2006), menunjukkan bahwa status


imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U
mengemukakan bahwa status imunisasi menjadi underlying factor dalam kejadian
stunting pada anak < 5 tahun. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa status
imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian
stunting pada anak usia < 5 tahun (Anisa, 2012).

8. Pendidikan Formal
a. Pendidikan ibu

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi
pertumbuhan anak balita. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi
pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki
pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang
lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang
tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Dalimunthe, 2015).
Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang
lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka
yang tdak bependidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin
mudah seseorang dalam menerima serta mengembangkan pengetahuan dan
teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
keluarganya (Dalimunthe, 2015).

Wanita atau ibu dengan pendidikan rendah atau tidak berpendidikan


biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan
tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya sulit untuk
memahami dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Dalimunthe, 2015).

Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orangtua khususnya ibu


merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena adanya
kaitan antara peran ibu dalam mengurus rumah tangga khususnya anak-
anaknya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi
tingkat kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya keluarga, untuk
mendapatkan kecukupan bahan makanan yang dibutuhkan serta sejauh mana
sarana pelayanan kesehatan gigi dan sanitasi lingkungan yang tersedia,
dimanfatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesehatan keluarga (Dalimunthe,
2015). Selain itu rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya
pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi perkembangan optimal
anak.

Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik


mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga
sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut
menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu
pengetahuan semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah
menerima informasi-informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut
diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat
mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan
pola makan lainnya (Dalimunthe, 2015).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat


terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh. Pada anak
yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan
0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan
tingkat pendidikan rendah. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat
pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar
memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Dalimunthe, 2015).

b. Pendidikan Ayah

Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi


rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi anggota
keluarganya (Dalimunthe, 2015).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat


terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh. Pada anak
yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan
0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan
tingkat pendidikan rendah. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat
pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar
memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Dalimunthe, 2015).

9. Pekerjaan
a. Pekerjaan Ibu

Menurut (Dalimunthe, 2015), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang


dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan
nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa
16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat,
istirahat, tidur, dan lain-lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat
bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam
seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14
Tahun 1986.

Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum


wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak
positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif
terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Pengaruh ibu yang bekerja
terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian besar sangat bergantung
pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari
pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan
keluarga (Dalimunthe, 2015).

b. Pekerjaan ayah

Menurut (Dalimunthe, 2015), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang


dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan
nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa
16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat,
istirahat, tidur, dan lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat
bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam
seminggu, sesuai dengan pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14
Tahun 1986.

Penelitian (Dalimunthe, 2015) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah


yang bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan
keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai
buruh. Hasil uji statistiknya pun menunjukkan hubungan yang bermakna
antara keduanya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin (2002)
menemukan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status
gizi balita. dikatakan banwa ayah yang ekerja sebagai buruh memiliki risiko
lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan baliya yang
ayahnya bekerja wiraswasta.

10. Pendapatan kepala keluarga

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat


menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun demikian, data
pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui
pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan menurut
pengeluaran makanan dan bukan makanan, dimana menggambarkan bagaimana
penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran untuk
konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat pendapatan
masyarakat. Di Negara yang sedang berkembang, pemenuhan kebutuhan
makanan masih menjadi prioritas utama, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan
gizi.

Menurut (Ibrahim & Faramita, 2015), stunting tidak hanya disebabkan oleh
satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor
tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya, seperti ekonomi, sosial-
budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sosial ekonomi keluarga merupakan salah
satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga
sehingga turut menentukkan status gizi keluarga tersebut, termasuk ikut
mempengaruhi pertumbuhan anak.

(Dalimunthe, 2015), mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan


pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki
akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti
posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Oleh karena itu, mereka
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk memiliki anak yang kurang gizi. Akan
tetapi, pada keluarga dengan ekonomi lebih tinggi, tingginya pendapatan tidak
menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi keluarga lebih baik dan beragam.
Jumlah pengeluaran yang lebih banyak untuk makanan tidak menjamin bahwa
kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik dan lebih beragam. Terkadang
perbedaannya terletak pada harga makanan yang lebih mahal.

Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah


mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari
keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit.

Studi mengenai status gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang
kurang mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah
dibandingkan anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan
bahwa perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi
juga menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami
kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada
mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Dalimunthe,
2015).

11. Status Ekonomi Keluarga

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat


menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun demikian, data
pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui
pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan menurut
pengeluaran makanan dan bukan makanan, dimana menggambarkan bagaimana
penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran untuk
konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat pendapatan
masyarakat. Di Negara yang sedang berkembang, pemenuhan kebutuhan
makanan masih menjadi prioritas utama, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan
gizi.

Kejadian stunting secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor sosial


ekonomi, seperti tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan ketersediaan
pangan. Ketersediaan pangan merupakan kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang cukup baik segi kuantitas dan kualitas dan keamanannya.
Kurang tersedianya pangan dalam suatu keluarga secara terus-menerus akan
menyebabkan terjadinya penyakit akibat kurang gizi pada keluarga. Status
ekonomi keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pekerjaan orang
tua, tingkat pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi
keluarga akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan gizi keluarga maupun
kemampuan mendapatkan layanan kesehatan. Anak pada keluarga dengan tingkat
ekonomi rendah lebih berisiko mengalami stunting karena kemampuan
pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Fikrina,
2017).

Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah


mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit dari pada anak-anak
dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi
mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang
mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan
anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan
tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan
bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai
makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal
di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Dalimunthe, 2015).
F. Kerangka Teori
Stunting (Malnutrisi
Kronik)

Karakteristik Anak : Penyakit infeksi :


Konsumsi Makanan :
Usia, Jenis kelamin dan Diare
Asupan Energi
Berat Badan Lahir Ispa
Asupan Protein

Ketersediaan dan Pola Pelayanan kesehatan


Pola asuh
Konsumsi RT dan status imunisasi
Pemberian ASI / MP-ASI

Karakteristik Keluarga :
Pendidikan, Pendapatan dan Pekerjaan orang
tua, Jumlah anggota keluarga dan Sosial
ekonomi keluarga

Gambar 2.1 kerangka Teori (Modifikasi teori Dalimunthe, kahfi 2015)


G. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen

Sosial Ekonomi Keluarga STUNTING

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

H. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah penelitian maka peneliti merumuskan hipotesis
bahwa “Terdapat Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting
Anak Balita 12-59 Bulan di Desa Pinogu Induk Tahun 2019”.
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
Tabel 2.1 : Defenisi Operasional dan kriteria objektif
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara ukur Hasil ukur Skala Ukur

1 Stunting Tinggi balita menurut Microtoise Tinggi badan 1 = stunting gabungan antara Ordinal
umur (TB/U) kurang dari balita di ukur data stunting dan severe
-2 SD sehngga lebih dengan posisi stunting (<-2 SD HAZ)
pendek daripada tinggi berdiri 2 = Normal (≥ -2 SD HAZ)
yang seharusnya. (WHO, 2005)
Stunting dan severe
stunting digabung dalam
kategori stunting.
2 Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner Wawancara 1 = Rendah Ordinal
Formal formal terakhir yang (tidak sekolah, SD, SMP)
dicapai oleh ayah dan ibu 2 = Tinggi
(SMA, tamat SMA, PT)
3 Pendapatan Pendapatan keluarga Kuisioner Wawancara 1. Cukup = pendapatan ≥ Rp Nominal
Kepala perbulan 1.000.000
Keluarga 2. Kurang = pendapatan < Rp
1.000.000
4. Jumlah Keseluruhan anggota Kuesioner Wawancara 1 = kecil ( jika jumlah anggota Ordinal
Anggota keluarga dan menetap keluarga ≤ 4 orang)
Keluarga di rumah tersebut yang 2 = sedang (jika jumlah anggota
berada dibawah keluarga 5-7 orang
pimpinan satu orang
kepala keluarga
J. Penelitian Relevan
Tabel 2.2 Penelitian Relevan

No Judul Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan


1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Terdapat hubungan antara Variabel penelitian yaitu Sampel penelitian usia 24 –
Keluarga dengan Kejadian Stunting factor sosial ekonomi dengan Hubungan Faktor Sosial 59 bulan
Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah kejadian stunting Ekonomi dengan Kejadian
Kerja Puskesmas Barombong Kota Stunting
Makassar Tahun 2014.
2 Gambaran faktor-faktor kejadian Jumlah balita berusia 24-59 Variabel penelitian faktor – Sampel penelitian Usia 24 –
stunting Pada balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB yang faktor kejadian stunting 59
bulan mengalami stunting lebih
Di provinsi nusa tenggara barat banyak dari pada balita
tahun 2015 normal, Asupan protein
cukup jumlahnya lebih
banyak dibandingkan balit
dengan konsumsi protein
kurang.
3 Gambaran Pola Asuh pada Baduta Sebagian besar ibu tidak Variabel penelitian stunting Variabel gambaran pola asuh
Stunting Usia 13-24 Bulan di memberikan ASI eksklusif pada baduta dan sampel
Wilayah Kerja Puskesmas penelitian usia 13 – 24 bulan.
Neglasari Kota Tangerang Tahun
2015
4 Hubungan tingkat sosial ekonomi Tidak ada hubungan antara Variabel penelitian hubungan Sampel penelitian usia 24 –
dengan kejadian stunting pada pekerjaan ibu dengan tingkat sosial ekonomi 59 bulan
balita usia 24-59 bulan di desa kejadian stunting pada balita dengan kejadian stunting
karangrejek wonosari gunung kidul di Desa Karangrejek
Lutfia 2017 Wonosari.
5 Faktor Yang Berhubungan Dengan menunjukkan bahwa kejadi- Variabel penelitian kejadian Sampel penelitian usia 24 –
Kejadian Stunting Pada Balita Usia an stunting secara langsung stunting 59 bulan
24-59 Bulan dipengaruhi oleh variabel
asupan gizi, riwayat penyakit
infeksi, pengetahuan gizi ibu
dan kadarzi, sedangkan
PHBS mempengaruhi secara
tidak langsung melalui
riwayat penyakit infeksi.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain observasional
Analitik dan menggunakan pendekatan cross-sectional study dimana data Variabel
Independen dan Variabel Dependen dikumpulkan secara Simultan (secara
bersamaan).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu dan di
Laksanakan di Bulan Juni-Juli Tahun 2019.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah selurh balita umur 12 – 59 bulan di desa
pinogu kecamatan pinogu tahun 2019, yaitu sebanyak 33 0rang.

2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak Balita di Pinogu yang berjumlah 33
Adapun sampel dalam penelitian ini adalah balita yang berada di desa pinogu yang
berjumlah 33 orang. Teknik Pengambilan sampel dengan tehnik Total sampling
dimana seluruh populasi dijadikan sebagai sampel yang diteliti yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Balita berusia 12 – 59 bulan yang bertempat tinggal di wilayah penelitian.
2. Ibu balita bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Sedangkan, kriteria eksklusi dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:
1. balita yang tidak tinggal menetap di wilayah penelitian, misalnya balita
tersebut secara rutin datang ke rumah neneknya hanya pada siang hari, namun
pada malam hari pulang ke rumahnya yang berada di wilayah lain.
D. Sumber data
1. Data primer
Data primer adalah data yang diambil dengan wawancara observasi langsung
dari responden melalui kuisioner.data ini berupa status sosial ekonomi.

2. Data sekunder
Merupakan data yang didapat dari pihak kedua yaitu dari Puskesmas Pinogu
Kabupaten Bone Bolango.

E. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner Riskesdas yang
sudah baku, timbangan dan microtoise. Dalam penelitian ini variabel independen
meliputi variabel data pendidikan formal ibu, pendidikan formal ayah, pendapatan
keluarga, pekerjaan orang tua dan jumlah keluarga.

F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi tiap
variable yang diteliti, baik variable independen (sosial ekonomi) maupun variable
dependen (kejadian Stunting). Data yang dihasilkan dapat berupa kategorik sesuai
dengan hasil ukur.

2. Analisis bivariat
Analisis bivariat ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variable dependen. Selain itu juga akan dilakukan uji statistik
menggunakan uji Chi-square untuk mengetahui kemaknaan hubungan antara
variable independen dengan variabel dependen secara statistik. Uji Chi-square
dipilih sesuai dengan salah satu kegunaannya, yaitu untuk menguji independensi
antara dua variable yang sangat berkaitan antara tingkat social ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting Anak Balita di Desa Pinogu Induk Tahun 2019 (Anisa
2012).
Rumus Chi Square :
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi
Puskesmas Pinogu merupakan salah satu dari 20 Puskesmas di Kabupaten
Bone Bolango, terletak di Kecamatan Pinogu kurang lebih 50 km dari pusat
Kabupaten Bone Bolango. Puskesmas Pinogu Induk terdiri dari 5 desa dengan
15 dusun, dengan kriteria semua desa tergolong sangat sulit.
Kecamatan Pinogu yang memiliki luas wilayah lebih besar dari Kota
terdiri dari 5 Desa yaitu Desa Dataran Hijau ,Pinogu Induk, Tilonggibila,
Permai, dan Bangiyo serta memiliki 15 dusun. Ibu Kota Kecamatan terletak di
Desa Pinogu Induk.
Pada Puskesmas Pinogu terdapat 5 unit poskesdes sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan dasar .Jumlah tenaga kesehatan yang berada di
Puskesmas Pinogu yaitu sebagai berikut : Dokter Umum 1, Dokter Gigi 1, D
III Kebidanan Berjumlah 5, D III Keperawatan Berjumlah 8, S1 Farmasi
Berjumlah 3, D III Gizi Berjumlah2, D III Kesehatan Lingkungan Berjumlah
1, D III Analis kesehatan Berjumlah 1, S1 Kesehatan Masyarakat Berjumlah
2, D1 Administrasi 1, clining servis 1, S1 Epidemiologi 1.
2. Gambaran Umum Responden
Penelitian ini dilakukan pada anak Balita di Desa Pinogu Induk
Kecamatan Pinogu. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni Tahun 2019,
Dimana Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh
Anak Balita Berumur 12 – 59 Bulan yang terdaftar di Puskesmas Pinogu. Saat
pemgambilan Data diambil yaitu berjumlah 33. Pengambilan data dilakukan
di setiap Rumah Warga dengan Melakukan wawancara observasi langsung
dari Responden melalui kuisioner sebagai data Primer. Sementara data
sekunder diperoleh dari Puskesmas Pinogu.
3. Analisis Univariat
Dibawah ini dapat dilihat distribusi berdasarkan sosial ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting di desa pinogu induk tahun 2019 sebanyak 33 Balita
12-59 Bulan.

a. Umur Ibu
Dibawah ini dapat di Lihat tabel distribusi Responden ibu menurut
umur di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 1
Distribusi Responden Ibu Menurut Umur
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Umur Jumlah Persen
20 s/d 35 Tahun 27 81,8
> 35 Tahun 6 18,2
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 1 Menunjukkan bahwa distribusi Responden Ibu yang tersebar


pada golongan umur 20 s/d 35 Tahun merupakan persentasi tertingggi yaitu
sebanyak 81,8%. Sementara persentasi terendah tersebar pada golongan
>35 Tahun yaitu sebanyak 18,2%.

b. Pekerjaan Ayah
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden Ayah menurut
Pekerjaan di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 4
Distribusi Responden Ayah Menurut Pekerjaan
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pekerjaan Ayah Jumlah Persen
Jasa ojek 7 21.2
Petani 25 75.8
Wirausaha 1 3.0
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4 menunjukkan bahwa distribusi Responden Ayah dengan


Pekerjaan Ayah Petani merupakan presentasi tertinggi sebanyak 25 orang
(75.8%). Sementara persentasi terendah terdapat pada ayah dengan
pekerjaan sebagai wirausaha sebanyak 1 orang (3.0%).
c. Pekerjaan Ibu
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden Ibu menurut
Pekerjaan di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 5
Distribusi Responden Ibu Menurut Pekerjaan
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendidikan Ibu Jumlah Persen
Honorer 2 6.1
IRT 31 93.9
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 5 menunjukkan bahwa distribusi Responden Ibu dengan


Pekerjaan IRT merupakan presentasi tertinggi sebanyak 31 orang (93.9%).
Sementara persentasi terendah terdapat pada Ibu dengan pekerjaan sebagai
Honorer sebanyak 2 orang (6.1%).
d. Jumlah Anggota Keluarga
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden Jumlah anggota
keluarga di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 7
Distribusi Responden jumlah anggota keluarga
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Persen
Kecil 27 81.8
Sedang 6 18.2
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 7 Menunjukkan bahwa Distribusi Responden Jumlah


Anggota Keluarga yang Kecil persentasi tertinggi sebanyak 27 orang
(81.8%). Sementara persentasi terendah itu pada jumlah angota keluarga
yang sedang sebanyak 6 orang (18.2%).

e. Kejadian Stunting
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Kejadian Stanting pada
Balita di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 8
Distribusi Kejadian Stunting pada Balita
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Status Stunting Jumlah Persen
Normal 13 39.4
Stunting 20 60.6
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 8 Menunjukkan bahwa Distribusi Status Stunting balita yang


dikatakan Stunting terdapat persentasi tertinggi sebanyak 20 orang
(60.6%). Sementara persentasi terendah itu pada status gizi Normal
sebanyak 13 orang (39.4%).

f. Pendidikan Ayah
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden pendidikan ayah
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.

Tabel 9
Distribusi Responden pendidikan ayah
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendidikan Ayah Jumlah Persen
Rendah 30 90.9
Tinggi 3 9.1
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 9 Menunjukkan bahwa Distribusi Responden Pendidikan


Ayah pada Persentasi tertinggi berada pada Pendidikan Rendah sebanyak
30 orang (90.9%). Sementara persentasi terendah berada pada Pendidikan
tinggi sebanyak 3 orang (9.1%).

g. Pendidikan Ibu
Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden pendidikan Ibu di
Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
Tabel 10
Distribusi Responden Pendidikan Ibu
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendidikan Ibu Jumlah Persen
Rendah 21 63.6
Tinggi 12 36.4
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 9 Menunjukkan bahwa Distribusi Responden Pendidikan Ibu


pada Persentasi tertinggi berada pada Pendidikan Rendah sebanyak 21
orang (63.6%). Sementara persentasi terendah berada pada Pendidikan
Tinggi sebanyak 12 orang (36.4%).

h. Pendapatan Kepala keluarga


Dibawah ini dapat dilihat tabel distribusi Responden pendapatan
kepala keluarga di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.

Tabel 10
Distribusi Responden Pendapatan Kepala Keluarga
di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Pendapatan Jumlah Persen
Cukup 3 9.1
Kurang 30 90.9
Jumlah 33 100
Sumber : Data Primer, 2019
Tabel 9 Menunjukkan bahwa Distribusi Responden Pendapatan
kepala keluarga pada Persentasi tertinggi berada pada Pendapatan Kurang
sebanyak 30 orang (90.9%). Sementara persentasi terendah berada pada
Pendapatan Cukup sebanyak 3 orang (9.1%).

4. Analisis Bivariat
Dibawah ini dapat dilihat hasil analisis bivariat antara variable Independen
(Pendapatan, Pendidikan Formal, Jumlah anggota Keluarga) dengan variable
Dependen (Stunting).

a. Hubungan Pendapatan Kepala Keluarga Dengan Kejadian Stunting di Desa


Pinogu Induk Kecamatan Pinogu Tahun 2019.
Tabel
Hubungan Pendapatan Kepala Keluarga Dengan Kejadian Stunting di Desa Pinogu
Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Status Stunting
Jumlah X2 Hitung, P
Pendapatan Normal Stunting
Value dan OR
n % n % n %
Cukup 3 100 0 0 3 100 X2 =5,077
Kurang 10 33.3 20 66,7 30 100 p =0,024
Total 13 39.4 20 60.6 33 100 OR= 6,061
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 9 menunjukkan bahwa pendapatan kepala keluarga yang di katakan


Kurang dengan Status Gizi yang Normal (-2SD) merupakan persentasi
tertinggi yaitu sebanyak 33.3%, Jika dibandingkan dengan pendapatan kepala
keluarga yang dikatakan Kurang tetapi mengalami Stunting sebanyak 66.7%.
Sementara pendapatan kepala keluarga yang di katakan cukup dan memiliki
status gizi Normal yaitu sebanyak 100.0%, Jika dibandingkan dengan
pendapatan kepala keluarga yang dikatakan cukup dan mengalami stunting itu
tidak ada . Hasil analisis uji statistik menunjukkan nilai p = 0,024 <0,05 dan
nilai X2 hitung adalah 5,077 > X2 Tabel 3,841, hal ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status
gizi balita di desa Pinogu induk Kecamatan Pinogu.

b. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga Dengan Kejadian Stunting di Desa


Pinogu Induk Kecamatan Pinogu Tahun 2019.
Tabel
Hubungan Jumlah Anggota Keluarga Dengan Kejadian Stunting di Desa
Pinogu Induk Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Status Stunting
Jumlah Anggota Jumlah X2 Hitung, P
Normal Stunting
Keluarga Value dan OR
n % n % n %
Kecil 9 33,3 18 66,7 27 100 X2 =2.285
Sedang 4 66,7 2 33,3 6 100 p =0.131
Total 13 39.4 20 60.6 33 100 OR= 2.242
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 9 menunjukkan bahwa Jumlah Anggota Keluarga yang di katakan


Sedang dengan Status Gizi yang Normal (-2SD) merupakan persentasi
tertinggi yaitu sebanyak 66.7%, Jika dibandingkan dengan Jumlah Anggota
keluarga yang dikatakan Sedang tetapi mengalami Stunting sebanyak 33.3%.
Sementara Jumlah Anggota Keluarga yang di katakan Kecil dan memiliki
status gizi Normal yaitu sebanyak 33.3%, Jika dibandingkan dengan Jumlah
Anggota keluarga yang dikatakan Kecil dan mengalami Stunting yaitu
sebanyak 66.7% . Hasil analisis uji statistik menunjukkan nilai p =0,131
<0,05 dan nilai X2 hitung adalah 2.282 > X2 Tabel 3,841, hal ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang bermakna antara Jumlah
Anggota Keluarga dengan Kejadian Stunting balita di desa pinogu induk
kecamatan pinogu.

c. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Kejadian Stunting di Desa Pinogu


Induk Kecamatan Pinogu Tahun 2019
Tabel 9
Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Kejadian Stunting di Desa Pinogu Induk
Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Status Stunting
Jumlah X2 Hitung, P
Pendidikan Ibu Normal Stunting
Value dan OR
n % n % n %
Rendah 2 10.0 18 90.0 20 100 X2 =18.373
Tinggi 11 84,6 2 15.4 13 100 p =0,000
Total 13 39.4 20 60.6 33 100 OR= 20.086
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 9 menunjukkan bahwa Pendidikan Ibu yang di katakan Tinggi


dengan status gizi yang Normal (≥-2SD) merupakan persentasi tertinggi yaitu
sebanyak 84.6% , Jika dibandingkan dengan Pendidikan Ibu yang dikatakan
Tinggi tetapi mengalami Stunting sebanyak 15.4%. Sementara Pendidikan Ibu
yang di katakan Rendah dan memiliki status gizi Normal yaitu sebanyak
10.0%, Jika dibandingkan dengan Pendidikan Ibu yang dikatakan Rendah dan
mengalami Stunting sebanyak 90.0% . Hasil analisis uji statistik menunjukkan
nilai p = 0,000 <0,05 dan nilai X2 hitung adalah 18.373 > X2 Tabel 3,841, hal
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Pendidikan
Ibu dengan kejadian Stunting di Desa Pinogu Induk Kecamatan Pinogu.
d. Hubungan Pendidikan Ayah Dengan Kejadian Stunting di Desa Pinogu
Induk Kecamatan Pinogu Tahun 2019
Tabel 9
Hubungan Pendidikan Ayah Dengan Kejadian Stunting di Desa Pinogu Induk
Kecamatan Pinogu
Tahun 2019
Status Stunting
Jumlah X2 Hitung, P
Pendidikan Ayah Normal Stunting
Value dan OR
n % n % n %
Rendah 10 33.3 20 66.7 30 100 X2 =5,077
Tinggi 3 100 0 0 3 100 p =0,024
Total 13 39.4 20 60.6 33 100 OR= 6,061
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 9 Menunjukkan bahwa Pendidikan Ayah yang di katakan Tinggi


dengan Status Gizi yang Normal (≥-2SD) merupakan persentasi tertinggi yaitu
sebanyak 100.0%. Jika dibandingkan dengan Pendidikan Ayah yang dikatakan
Tinggi tetapi tidak mengalami Stunting. Sementara Pendidikan Ayah yang di
katakan Rendah dan memiliki Status Gizi Normal yaitu sebanyak 33.3%, Jika
dibandingkan dengan Pendidikan Ayah yang dikatakan Rendah dan
mengalami Stunting sebanyak 66.7% . Hasil Analisis Uji Statistik
menunjukkan nilai p = 0,024 <0,05 dan nilai X2 hitung adalah 5.077 > X2
Tabel 3,841, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara Pendidikan Ayah dengan kejadian Stunting di Desa Pinogu Induk
Kecamatan Pinogu.
E. Pembahasan
1. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga Dengan Kejadian Stunting
pada Balita
Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting lebih
banyak ditemukan pada balita dengan jumlah anggota keluarga Kecil (≤ 4
orang). Sebanyak 81,8% balita usia 12-59 bulan di Desa Pinogu Induk berasal
dari keluarga dengan jumlah anggota keluraga kurang dari 4 orang. Namun
demikian, hanya 66.7% balita dengan jumlah anggota keluarga kecil yang
mengalami stunting. Sedangkan sebanyak 33.3% balita yang berasal dari
keluarga yang jumlah anggota keluarganya sedang mengalami stunting. Dapat
dikatakan bahwa jumlah balita yang memiliki jumlah saudara ≥ 4 justru
mengalami stunting lebih rendah. Hasil Uji Analisis menunjukkan bahwa
tidak terdapat adanya hubungan yang bermakna antara Jumlah Anggota
Keluarga dengan Kejadian Stunting pada balita di desa pinogu induk
kecamatan pinogu.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jumlah anggota
rumah tangga dengan kejadian stunting (Yulestari, 2013).
Penelitian (Nauw, Punuh, & Malonda, 2016) juga mengatakan bahwa
hasil analisis diperoleh hasil bahwa jumlah anggota keluarga bukan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak
balita.
Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
pada pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Jumlah anggota
keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya
pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan
semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar,
mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga
tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya
gangguan gizi pada keluarga besar (Dalimunthe, 2015)
Balita yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit belum
tentu terbebas dari stunting. Karena bisa jadi faktor pembagian makanan yang
kurang adil dapat juga mengakibatkan balita tersebut mendapatkan jumlah
makanan yang kurang, sehingga asupan gizinya pun kurang. Selain itu, pola
asuh yang salah seperti membiasakan anak yang lebih tua mendapatkan
jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak di bandingkan dengan
anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita yang justru
berasal dari keluarga kecil (Hapsar, 2018).
2. Hubungan Pendidikan Ayah Dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari analisis yang dilakukan, sebanyak 90.9% ayah yang pendidikannya
rendah. Sedangkan 9.1% sisanya memiliki ayah berpendidikan tinggi. Jumlah
balita dengan ayah berpendidikan rendah dan mengalami stunting pun tinggi,
yaitu sebanyak 66.7%. Hasil Uji Statistik menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara Pendidikan Ayah dengan kejadian Stunting
di Desa Pinogu Induk.
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil yang sama
dengan penelitian ini dalam hal adanya hubungan antara pendidikan ayah
dengan kejadian stunting pada balita. Salah satunya adalah penelitian di Libya
yang menunjukkan bahwa pendidikan ayah merupakan faktor signifikan
terkait dengan stunting pada anak usia dibawah 5 tahun, Penelitian lain yang
senada juga dikemukakan oleh (Anisa, 2012), bahwa pendidikan ayah
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak di Bangladesh. Hal ini
dikarenakan, wanita memiliki status sosial yang rendah di Bangladesh dan
memiliki pengaruh yang terbatas dalam membuat keputusan dalam rumah
tangga.
Pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan, materi pendidikan
kepada sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan
orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan, maka
makin banyak pengalaman atau informasi yang diperoleh (Dalimunthe, 2015)

Status pendidikan ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga.
Jika ibu berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah dapat
memberikan adil terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang berpendidikan
tinggi dapat memberikan masukan kepada istri mereka mengenai bahan
makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan keluarga mereka.
Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah berpendidikan rendah lebih
banyak dari pada jumlah ayah balita yang berpendidikan tinggi. Jumlah balita
stunting pun lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki ayah dengan
status pendidikan rendah, yaitu sebanyak 66.7%.

(Mugianti et al., 2018) menyatakan tingkat pendidikan ayah pada


kelmpok anak stunting relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
anak normal. Suami yang lebih terdidik akan cenderung memiliki istri yang
juga berpendidikan. Hasil penelitian ini pendidikan yang tinggi dapat
mencerminkan pendapatan lebih tinggi dan ayah akan lebih memperha- tikan
gizi anak. Keluarga dengan ayah yang berpen- didikan rendah dengan
pendapatan yang rendah biasanya memiliki rumah yang tidak layak, kurang
dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan dan keber- sihan lingkungan kurang
terjaga, selain itu konsumsi makanan tidak seimbang, keadaan ini yang dapat
menghambat pertumbuhan anak.

3. Hubungan Pendidikan Ibu dengan kejadian stunting pada balita


Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 63.6% ibu
berpendidikan rendah. Hanya sebanyak 36.4% ibu yang berpendidikan tinggi.
Dan ibu yang berpendidikan rendah tersebut 90.0% diantaranya meimiliki
balita Stunting. Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara Pendidikan Ibu dengan kejadian Stunting di Desa
Pinogu Induk.

Penelitian oleh (Fikrina, 2017) juga mendukung hasil penelitian yang


menyatakan adanya hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan
kejadian stunting pada balita. Ibu yang berpendidikan lebih cenderung untuk
membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan anak -
anaknya. selain itu, ibu yang berpendidikan cenderung menyekolahkan semua
anaknya sehingga memutus rantai kebodohan, serta akan lebih baik dalam
menggunakan strategi demi kelangsungan hidup anaknya, seperti ASI yang
memadahi, imunisasi, terapi rehidrasi oral, dan keluarga berencana. Maka dari
itu, mendidik wanita akan menjadi langkah yang berguna dalam pengurangan
prevalensi malnutrisi, terutama stunting.

Pendidikan merupakan salah satu akar masalah yang mempengaruhi


status gizi anak serta berhubungan dengan akses informasi dan pola asuh yang
menjadi penyebab tidak langsung masalah status gizi pada anak (Yulestari,
2013) Adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting
mungkin dikarenakan ibu berpendidikan tinggi cendrung lebih mudah
menerima informasi tentang kesehatan balita dan pola asuh yang baik.

Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak


sebagai faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal
usia anak-anak terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang
sama cenderung menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap perkembangan
anak jika ibunya buta huruf atau mempunyai pendidikan yang rendah
(Dalimunthe, 2015)
Kategori pendidikan berdasarkan wajib belajar adalah rendah jika tingkat
pendidikan SMP kebawah dan tinggi jika SMA ke atas. Sebagian besar
informan utama mempunyai pendidikan yang rendah (SD dan SMP). Tingkat
pendidikan, terlebih pendidikan ibu dapat berpengaruh terhadap derajat
kesehatan (Kahfi, 2015).

4. Hubungan Pendapatan Kepala Kepala Keluarga dengan kejadian


stunting pada balita
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 90.9% balita
berasal dari keluarga dengan pendapatan kurang. Hanya sebesar 9.1% balita
yang berasal dari keluarga dengan pendapatan cukup. Sebanyak 20 dari 33
balita (66.7%) dengan Pendapatan Kurang mengalami Stunting. Hasil Uji
Statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pendapatan keluarga dengan Kejadian stunting pada balita di desa Pinogu
induk.
Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan adanya hubungan bermakna
antara status ekonomi keluarga dengan kejadia stunting pada balita di desa
Pinogu Induk (p value < 0,05). Hal yang sama juga diungkapkan dalam
penelitian (Anisa, 2012) Secara statistik, pendapatan keluarga yang dihitung
menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita per bulan, pada kelompok
anak normal lebih tinggi secara nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan
pendapatan keluarga pada kelompok anak stunting.
Penelitian (Nauw et al., 2016) bahwa terdapat hubungan antara status
ekonomi atau pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada anak balita
dan penelitian di Tanjung Tiram Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu
Bara , hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara status ekonomi dengan stunting pada balita.
Pendapatan keluarga berkaitan dengan kemuampuan rumah tangga
tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup baik primer, sekunder, maupun
tersier. Pendapatan keluarga yang tinggi memudahkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup, sebaliknya pendapatan keluarga yang rendah lebih
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan yang
rendah akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang
dikonsumsi oleh keluarga. Makanan yang di dapat biasanya akan kurang
bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi
untuk pertumbuhan anak sumber protein, vitamin, dan mineral, sehingga
meningkatkan risiko kurang gizi. Keterbatasan tersebut akan meningkatkan
risiko seorang balita mengalami stunting. Rendahnya tingkat pendapatan dan
lemahnya daya beli memunngkinkan unntuk mengatasi kebiasaan makan
dengan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif
tertutama untuk anak-anak mereka (Hapsar, 2018).
Penelitian lain mengungkapkan, bahwa pendapatan merupakan faktor
determinan terhadap satus gizi anak melalui karekteristik ibu, pola asuh
kesehatan, dan status kesehatan. Asumsi yang dikemukakan adalah, semakin
tinggi pendapatan maka akan meningkatkan pola asuh kesehatan dan status
gizi masyarakat. Pendapatan memiliki peran utama ketika variabel lain seperti
karekteristik ibu, pola asuh kesehatan dan status kesehatan kondisinya sudah
lebih baik (Kahfi, 2015).
Status ekonomi secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi
anak. Sebagai contoh, keluarga dengan status ekonomi baik bisa mendapatkan
pelayanan umum yang lebih baik juga, yaitu pendidikan, pelayanan kesehatan,
aksesibilitas jalan, dan sebagainya. Melalui fasilitas-fasilitas tersebut keluarga
dengan status ekonomi baik akan berdampak positif terhadap status gizi anak
(Anisa, 2012). Hal ini menunjukkan perbaikan kecil dalam status sosial
ekonomi memiliki dampak penting pada kesehatan anak.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan Penjelasan tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan pada bab
Sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa : Hasil Penelitian ini menunjukkan
Prevalensi Kejadian Stunting pada Balita 12-59 Bulan di Desa Pinogu Induk yang
mengalami Stunting sebesar 60.6%, dan dari 4 variabel yang diteliti terdapat 3
variabel yang secara statistik ada hubungan dengan kejadian stunting yaitu :
1. Ibu berpendidikan rendah memiliki resiko terjadinya kejadian stunting pada
balita dibandingkan ibu berpendidikan tinggi.
2. Ayah berpendidikan Rendah dan resiko mengalami Stunting pada balita
dibandingkan ayah berpendidikan tinggi.
3. Pendapatan kepala keluarga yang dikatakan Kurang dan mengalami stunting
pada balita dibandingkan pendapatan yang dikatakan cukup.
B. Saran
Berdasarkan hasil Penelitian Hubungan sosial ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting pada anak balita di desa pinogu induk tahun 2019, saran dari
penulis antara lain :
1. Adanya Program Perencanan Penanggulangan stunting pada keluarga yang
memiliki balita yang berstatus pendidikan rendah di Desa Pinogu Induk.
2. Salah satu intervensi yang bisa dilakukan kesehatan masyarakat adalah
dengan memberikan promosi kesehatan berupa penyuluhan untuk menambah
pengetahuan ibu tentang imunisasi, jarak kelahiran, pola asuh dan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan melibatkan kader dan tokoh masyarakat dan
menggunakan media audio visual.
3. Petugas kesehatan untuk melakukan promosi kesehatan kepada Ibu-Ibu yang
memiliki balita dan melakukan pemantauan penilaian status gizi terhadap
tinggi atau panjang badan balita.
4. Perlu dilakukan studi lanjutan mengenai hubungan sosial ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting dengan variabel yang belum tercakup didalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-fakror yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting


pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012.
(Skripsi). Depok: FKM-UI.
Anugraheni HS, Kartasurya MI. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada balita (] 2-36
bu/an) di Kecamatan Patt Kabupaten Pati. Jurnal Of Nutritional Collage.
[internet]. 2012. [cited 2013 Mei 15]:01(1)37-30. Available from: http://
download.portalgaruda.org/ article.php?article=74361&val=4711
Anugraheni, H. S. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada anak usia 12-36 bulan
di kecamatan Pati (skripsi). Kabupaten Pati : Universitas Diponegoro,
Semarang. (Diakses dari http://www.ejournal-s1.undip.ac.id Bishwakarma).
Al-Mahdy, RR Washilatur Rahmah Oktavina. 2013. Hubungan Antara Karakteristik
Sosial Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Anak Balita Umur
25-59 Bulan. (Skripsi). Jember: Universitas Jember.
Candra, Aryu et al. 2011. Risk Factors of Stunting among Old Children in Semarang
City. Semarang: Media Medika Indonesiana.
Damayanti RA, Muniroh L, Farapti. Perbedaan tingkat kecukupan zat gizi dan
riwayat pemberian ASI eksklusif pada balita stunting dan non stunting. Media
Gizi Indonesia. 2016;11(1):61-9.
Efendhi A. Hubungan kejadian stunting dengan frekuensi penyakit ISPA dan diare
pada balita usia 12-48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta
(skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2015.
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita
(12- 59 Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2012). (TESIS). Depok:
FKM-UI.
Hidayah, Nor Rofika. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2010 (analisis Riskesdas 2010). (skripsi). Depok: FKM-UI.
Hindrawati N, Rusdiarti. Gambaran riwayat pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di Desa Arjasa Kecamatan Arjasa
Kabupaten Jember. JKAKJ. 2018;2(1):1-7
Meilyasari, F. & Isnawati, M. 2014. Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia
12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. (Journal
of Nutrition College). Diakses dari http://www,ejournal- s1.undip.ac.id.
Mbuya, Mduduzi N.N, et al. 2010. Biological, Social, and Environmental
Determinants of Low Birth Weight and Stunting among Infants and Young
Children in Zimbabwe. Zimbabwe: Zimbabwe Working Papers.
Nasikhah, R dan Margawati, A. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada balita
usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. (Journal of Nutrition
College). Diakses dari http:// www.ejournal-s1.undip.ac.id.
Nasikhah, Roudhotun dan Ani Margawati. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting
Pada Balita Usia 24-36 Bulan di Kecamatan Semarang Timur. (Journal Of
Nutrition College).
Vaozia S, Nuryanto. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 1-3 tahun (studi di
Desa Menduran Kecamatan Brati Kabupaten Grobogan). Journal of Nutrition
College. 2016;5(4):314-20
Paudel, R., Pradhan, B., Wagle, R. R., Pahari, D.P., & Onta S. R. (2012). Risk factors
for stunting among children. A community based case control study in Nepal:
Kathmandu University Medical Journal.
Rahayu A, Khairiyati L. Risiko pendidikan ibu terhadap kejadian stunting pada anak
6-23 bulan. Panel Gizi Makan; 2014;37(2):129-36.
Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO, Rahman F. Riwayat berat badan lahir dengan
kejadian stunting pada anak usia bawah dua tahun. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 2015;10(2):67-73.
Rahmad AHAL, Miko A. Kajian stunting pada anak balita berdasarkan pola asuh dan
pendapatan keluarga di Kota Banda Aceh. Banda Aceh. Jurnal Kesmas
Indonesia. 2016;8(2):63-79.
Ramli, et al. 2015. Prevalence and risk factors for stunting and severe stunting
among under five in north Maluku Province of Indonesia. BMC Pediatrics.
(akses di www.biomedcentral.com).
RISKESDAS. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2011 dan 2014.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Roosalina, M, Wahongan dan Franly Onibala. 2013. Hubungan Sosial Ekonomi
Keluarga dengan Status Gizi pada Anak Usia Pra Sekolah 3-5 Tahun di Taman
Kanak-Kanak GMIM Baithani Koha. (Ejournal Keperawatan).
Rosmalina Y, Luciasari E, Aditianti, Ernawati F. Upaya pencegahan dan
penanggulangan batita stunting: systematic review. Jurnal Gizi Indonesia.
2018;41(1):1-14.
Setiawan Eko (eds.). 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Kecamatan Padang Timur Kota Padang
Sulastri D. Faktor determinan kejadian stunting pada anak usia sekolah di Kecamatan
Lubuk Kilangan Kota Padang. Padang: Majalah Kedokteran Andalas.
2012;1(36):39-50.
Trihono, Atmarita, Tjandrarini DH, Irawati A, Utami NH, Tejayanti T, et al. Pendek
(stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya. Jakarta: Lembaga Penerbit
Balitbangkes; 2015.
UNICEF. (2012). Ringkasan kajian gizi Oktober 2012. Jakarta: UNICEF Indonesia.
WHO.
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita
(12-59 Bulan) di Sumatra Utara (Analisa Data Rikesdas 2010).
Welasasih BD, Wirjatmadi RB. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi
balita stunting. Surabaya: The Indonesian Journal of Public Health.
2012;8(3):99-104.

Anda mungkin juga menyukai