Anda di halaman 1dari 12

MASA ORDE BARU ( 1966 – 1998 )

Orde Baru tumbuh dan besar di atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Perekonomian
yang gagal dan ditambah adanya gerakan G 30 S PKI 1965 mematahkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan orde lama. Inflasi yang tinggi dan tidak turunya dana pinjaman luar negeri
membuat perekonomian Indonesia di titik akhir.
Kekacauan politik yang dibuat oleh PKI membuat sebagian rakyat Indonesia menginginkan
adanya perubahan kabinet. Rakyat ingin pemerintahan Indonesia bebas dari Unsur PKI. Tatanan
masyarakat dan pemerintahan menuntut dilaksanakanya Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan Konsekuen. Berikut merupakan dorongan-dorongan untuk munculnya Orde Baru:
1. Desakan mahasiswa angkatan 66 dan lahirnya Tritura
Kondisi perekonomian dan politik Indonesia sangat memprihatinkan. Harga kebutuhan
bahan makan naik dan perseteruan antara PKI dan Angkatan Darat semakin meruncing. Keadaan
tersebut diperparah dengan sakitnya Presiden Soekarno. PKI yang merasa dekat dengan Presiden
mengambil aksi sepihak pada tanggal 30 Sepetember 1965. Tindakan tersebut menuai protes dari
rakyat dan ingin PKI segara dibubarkan. Awalnya Presiden tidak mau menanggapi seruan tersebut.
Sikap Presiden yang tidak mau membubarkan PKI ini, membuat sebagian mahasiswa
geram. Karena hal itu lahirlah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), yang kemudian
diikuti oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia
(KAGI) dan lain sebagainya.
Harga tukar dollar terhadap rupiah yang sebelumnya hanya Rp.5.100,-/dollar berubah
menjadi Rp17.500,-/dollar. Hal ini membuat harga-harga kebutuhan makanan meninggi dan
menghimpit kehidupan masyarakat Indonesia.
Gelombang aksi rakyat tersebut muncul dimana-mana dengan suatu tuntutan yang terkenal
dengan nama ‘Tritura’ (Tiga Tuntutan Nurani Rakyat), sebagai perwujudan dari tuntutan rasa
keadilan dan kebenaran. Berikut isi dari Tritura :
1. Pembubaran PKI dan Ormas-ormasnya
2. Pembersihan Kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI
3. Penurunan Harga
Mahasiswa terus melakukan demonstrasi agar Tritura dapat ditanggapi dan dilaksanakan
oleh pemerintah. Banyak korban dari kalangan mahasiswa jatuh karena peristiwa melawan
pengawal-pengawal pemerintahan.
2. Supersemaar dan Peran Letjen Soeharto
Karena Orde Lama tidak dapat bertahan lagi menguasai pimpinan Negara, maka
Presiden/Panglima tertinggi memberikan kekuasaan penuh kepada Panglima Angkatan Darat
Letnan Jendral Soeharto, yaitu dalam bentuk ‘Surat Perintah 11 Maret 1966’ (Super Semar). Super
semar ini menjadi titik awal lahirnya pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Mayjen
Soeharto. Tugas pemegang Super Semar cukup berat, yaitu untuk memulihkan keamanan dengan
jalan menindak pengacau keamanan yang dilakukan oleh PKI beserta ormas-ormasnya serta
mengamankan 15 Menteri yang memiliki indikasi terlibat G 30 S PKI dan lain-lainya. Akan tetapi
mandat yang berisikan untuk mengendalikan situasi keamanan di Indonesia diselewengkan
menjadi pengalihan kepemimpinan
Awalnya karena ada demostrasi besar-besaran di Istana Merdeka, Presiden Soekarno pergi
ke Istana Bogor. Setiba di Bogor Presiden didatangi 3 jendral yang memberikan map merah yang
berisikan tentang agar Presiden memberikan kekuasaan penuh kepada Letjen Soeharto untuk
mengatasi kondisi Negara yang memburuk. Awalnya Presiden menolak, tapi dengan besar hati
Presiden menandatanganinya asalkan saat kondisi membaik mandate tersebut dikembalikan ke
Presiden Soekarno lagi.
Adapun pokok-pokok isi Super Semar yaitu :
a. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminya keamanan dan kertertiban
serta kestabilan jalanya pemerintahan dan jalanya revolusi, serta menjamin keselamatan
pribadi dan Kewibawaan Pimpinan Presiden.
b. Pengadaan koordinasi pelaksana perintah dengan panglima-panglima angkatan lain dengan
sebaik-baiknya.
c. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkutan dalam tugas dan tanggung jawabnya
seperti yang disebutkan diatas.

Kamis, 23 Februari 1967 pukul 19.30 WIB di Istana Merdeka, Presiden Soekarno dengan
resmi menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966, yakni Soeharto. Sehubungan dengan itu MPRS melakukan siding Istimewa tanggal
7-12 Maret 1967. Hasilnya pada tanggal 12 Maret 1967, Letjen Soeharto secara resmi diangkat menjadi
Presiden Indonesia yang kedua yang dikukuhkan dalam ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Sidang MPRS IV/1966, menerima dan memperkuat Super Semar dengan dituangkan dalam
Tap no. IX/MPRS/1966. Hal ini berarti semenjak itu Super Semar tidak lagi bersumberkan Hukum
Tatanegara Darurat tapi, bersumber pada kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Pemerintah Orde Baru kemudian melaksanakan Pemilu pada tahun 1973 dan terbentuknya
MPR tahun 1973. Adapun misi yang harus diemban berdasarkan Tap. No. X/MPR/1973 meliputi:
1. Melanjutkan pembangunan lima tahun dan menyusun serta melaksanakan Rencan Lima
Tahun II dalam rangka GHBN
2. Membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi Pancasila.
3. Melaksanakan Politik luar negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada kepentingan
nasional.

Kebijakan Politik Masa Orde Baru


1. Kebijakan Politik Dalam Negeri
a. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet ini memiliki lima program kerja :
1. Menciptakan stabilitas politik
2. Menciptakan Stabilitas Ekonomi
3. Menyusun dan melaksanakan pemilihan umum
4. Mengikis habis sisa-sia G 30 S PKI
5. Membersihkan aparatur Negara baik di pusat maupun daerah dari pengaruh PKI
b. Penyederhanaan Partai Politik
Partai politk digabungkan menjadi 3 kekuatan social politik yaitu :
1. Kelompok Demokrasi Pembangunan
2. Kelompok persatuan pembangunan
3. Kelompok organisasi profesi
c. Pelaksanan Pemilu
Dalam rangka melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, pemerintahan orde baru bermaksud
menciptakan suatu demokrasi Pancasila. Upaya itu dilakukan mulai dengan melaksanakan pemilu
secara teratur. Kemudian lembaga-lembaga Negara diatur kembali. Rakyat dapat menggunakan
hak nya untuk memilih calon-calon wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat.
d. Peran ganda (Dwi fungsi) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintahan orde baru memberikan peran ganda
kepada ABRI, yakni peran Hankam dan social. TNI dan Polri mendapat jatah kursi di DPR dan
MPR tanpa harus melalui pemilu
2. Kebijakan Politik Luar Negeri
a. Kembali menjadi anggota PBB
b. Memulihkan Hubungan Baik dengan Malaysia dan Singapura
c. Indonesia sebagai salah satu Pendiri ASEAN
d. Pembekuan Hubungan dengan Tiongkok
e. Beringtegrasinya Timor Timur ke Indonesia
f. Indonesia Mengikuti Kerja Sama Internasional

Kebijakan Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru


1. Kebijakan Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk menjaga stabilitas ekonomi bangsa, pemerintah melakukan cara membendung laju
Inflasi. Pemerintah Indonesia mengawasi dengan ketate laju gerak harga barang khususnya
sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Adapun untuk rehabilitas ekonomi pemerintah Ode Baru
memulihkan kemampuan berproduksi.
2. Kebijakan Penundaan Pembayaran Utang Luar Negri
3. Pembentukan Tim Ekonomi
4. Kebijakan Pembangunan Berkala
a. Trilogi Pembangunan
 Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya principle menuju pada
 Terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
 Pertumbuhan ekonomi principle cukup tinggi.
 Stabilitas Nasional principle sehat dan dinamis.
b. Pelita III dalam pemerintahan Orde baru terdiri atas Delapan Jalur Pemerataan yaitu:
 Pemerataan pemenuhan kebutuhan utama rakyat yakni kebutuhan pangan, sandang dan
kebutuhan tempat tinggal atau perumahan
 Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
 Pemerataan pembagian pendapatan.
 Pemerataan kesempatan kerja.
 Pemerataan kesempatan berusaha.
 Pemerataan kesempatan berpartisipasi dibidang pembangunan terhadap generasi-
generasi bangsa yakni generasi muda dan generasi kaum wanita.
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
 Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
5. Swasembada Pangan
MASA REFORMASI (1998 – SEKARANG)
A. Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Perjalanan panjang sejarah Orde Baru di Indonesia dapat melaksanakan pembangunan
sehingga mendapat kepercayaan dalam dan luar negeri. Awali dasawarsa 60-an rakyat sangat
menderita dan pelan-pelan pembangunan mulai berhasil melalui tahapan dalam pembangunan lima
tahun (Pelita) dan sedikit demi sedikit kemiskinan rakyat dapat dientaskan. Sebagai tanda terima
kasih kepada pemerintah Orde Baru yang berhasil membangun negara, Presiden Soeharto diangkat
menjadi "Bapak Pembangunan ".
Temyata keberhasilan pembangunan tersebut tidak merata, maka kemajuan Indonesia
temyata hanya semu belaka. Ada kesenjangan yang sangat dalam antara yang kaya dan yang
miskin. Rakyat mengetahui bahwa hal ini disebabkan cara-cara mengelola negara yang tidak sehat
ditandai dengan merajalela korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Protes dan kritik masyarakat
seringkali dilontarkan namun pemerintah Orba seolah-olah tidak melihat, dan mendengar jeritan
rakyat.
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, harga-harga mulai
membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah, seakan menjerit lebih-lehih banyak
perusahaan yang terpaksa melakukan "PHK" karyawannya. Diperburuk lagi dengan kurs rupiah
terhadap dolar sangat rendah. Disinilah para mahasiswa, dosen, dan rakyat mulai berani
mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Setiap hari mahasiswa dan rakyat
mengadakan demonstrasi mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998, dengan berani meneriakkan
reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berupaya untuk memperbaiki program
Kabinet Pembangunan VII dengan menggantikan dengan nama Kabinet Reformasi, namun tidak
mendapat tanggapan rakyat. Pada hari berikutnya tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan Pasal
8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden
Prof. DR. B.J. Habibie.
2. Krisis Ekonomi
Diawali krisis moneter yang melanda Asia Tenggara sejak bulan Juli 1997 berimbas pada
Indonesia, bangunan ekonomi Indonesia teryata belum kuat untuk menghadapi krisis global
tersebut. Krisis ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 pada 1 Agustus 1997. Tercatat di
bulan Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai R. 5.000,00 perdolar, bahkan
mencapai angka Rp. 16.000,00 perdolar pada sekitar Maret 1997.
Nilai tukar rupiah semakin melemah,pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 % sebagai
akibat lesunya bisnis di Indonesiaa. Krisis moneter ini akhirya berdampak pada krisis ekonomi
sehingga menghancurkan sistem fundamental perekonomian Indonesia.
a. Utang Negara Republik Indonesia.
Pemerintah juga menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya kepercayaan dunia
intemasional mulai menurun. Bulan Februari 1998 tercatat utang negara mencapai 137,424 miliar
dolar AS.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal
harganya. Mereka tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu
membayar barang dagangannya. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit (L/C)
dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat karena kolusi
dan korupsi.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kurang
memperhatikan dengan seksama kondisi riil masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah,
sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri. Akibatnya yang
terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi
konglomerat. Meskipun gross national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai diatas
US$ 1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat sebenamya, karena
uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat.
Rakyat secara umum masih miskin dan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari sistem perekonomian
Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Yang terjadi adalah
berkembangnya ekonomi kapitalis yang dikuasai para konglomerat.
Masa Orde Baru dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme menyebabkan runtuhnya
perekonomian Indonesia. Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak
tatanan hukum, dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan
menjadi pemicu lahimya reformasi di Indonesia.
c. Politik Sentralisasi
Pemerintahan Orde Baru menjalankan politik sentralistik, yakni bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya peranan pemerintah pusat sangat menentukan, sebaliknya pemerintah daerah
tidak 'punya peran yang signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah
diangkut ke pusat pembagian yang tidak adil inilah menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan
pemerintah daerah. Akibatnya mereka menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di
daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya
(Papua).
3. Krisis Politik
Krisis politik pada akhir orde baru ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam
Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan, Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang
didukung fmansial maupun secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih
suara mayoritas. Disamping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri
Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 Nopember 1971 ikut
menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya. Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik
Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satupun kritik dari
infra struktur politik ini yang berani mencundangi dirinya.
Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu gerakan
reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan rektomya menuntut pergantian
presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut
reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN
dan menuntut pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
4. Krisis Hukum.
Orde Baru banyak terjadi ketidak adilan dibidang hukum, dalam kekuasaan kehakiman
berdasar Pasal 24 UUD 1945 seharusnya memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari
kekuasaan eksekutif, tapi kenyataannya mereka dibawah eksekutif. Dengan demikian pengadilan
sulit terwujud bagi rakyat, sebab hakim harus melayani penguasa. Sehingga sering terjadi rekayasa
dalam proses peradilan.
5. Krisis Kepercayaan
Pemerintahan Orde Baru yang diliputi KKN secara terselubung maupun terang-terangan
pada bidang parlemen, kehakiman, dunia usaha, perbankan, peradilan, pemerintahan sudah
berlangsung lama sehingga disana-sini muncul ketidakadilan, kesenjangan sosial, rusaknya system
politik, hukum, dan ekonomi mengakibatkan timbul ketidak percayaan rakyat terhadap
pemerintahan dan pihak luar negeri terhadap Indonesia
B. Gerakan Reformasi Indonesia
Reformasi menghendaki adanya perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah
yang lebih baik secara konstitusional dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya.
Dengan semangat reformasi, rakyat menghendaki pergantian pemimpin bangsa dan negara sebagai
langkah awal, yang menjadi pemimpin hendaknya berkemampuan, bertanggungjawab, dan peduli
terhadap nasib bangsa dan negara.
Reformasi adalah pembaharuan radikal untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama
(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian reformasi merupakan penggantian susunan
tatanan perikehidupan lama menjadi tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan.
Reformasi yang digalang sejak 1998 merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan
baru.
1. Tujuan Reformasi
Atas kesadaran rakyat yang dipelopori mahasiswa, dan cendikiawan mengadakan suatu
gerakan reformasi dengan tujuan memperbaharui tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa,
bemegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
2. Dasar Filosofi Reformasi
Agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa diantaranya sebagai berikut: (1) Adili
Soeharto dan kroni-kroninya; (2) Amandemen Undang-Undang dasar 1945; (3) Penghapusan
dwifungsi ABRI; (4) Otonomi daerah yang seluas-luasnya; (5) Supermasi hukum; (6)
pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

C. Masa Pemerintahan Presiden Habibie (1998-1999)


Tugas B.J. Habibie adalah mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997, menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa bebas dari praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini dilakukan oleh presiden untuk menjawab tantangan era
reformasi.
1. Dasar Hukum Habibie Menjadi Presiden.
Naiknya Habibie menggantikan Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum, ada
yang mengatakan hal itu konstitusional dan inskonstitusional.
Yang mengatakan konstitusional berpedoman Pasal 8 UUD 1945, "Bila Presiden mangkat,
berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis
waktunya". Adapun yang mengatakan inskonstitusional berlandaskan ketentuan Pasal 9 UUD
1945, "Sebelum Presiden memangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan
janji di depan MPR atau DPR".
Secara hukum materiel Habibie menjadi presiden sah dan konstitusional. Namun secara
hukum formal (hukum acara) hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat
penting yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi
konstitusional.
2. Langkah-langkah Pemerintahan Habibie.
a. Pembentukan Kabinet.
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998 yang meliputi
perwakilan militer (TNI-PoIri), PPP, Golkar, dan PDI.
b. Upaya Perbaikan Ekonomi.
Dengan mewarisi kondisi ekonomi yang parah "Krisis Ekonomi" Presiden B.J. Habibie
berusaha melakukan langkah-langkah perbaikan, antara lain :
a) Merekapitalisasi perbankan.
b) Merekonstruksi perekonomian nasional.
c) Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
d) Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga dibawahRp. 10.000,00
e) Mengimplementasikan refbrmasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
c. Reformasi di Bidang Politik.
Presiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan dan merencakan
pemilu yang luber dan jurdil, sehingga dapat dibentuk lembaga tinggi negara yang betul-betul
representatif. Tindakan nyata dengan membebaskan narapidana politik diantaranya yaitu : (1) DR.
Sri Bintang Pamungkas dosen Universitas Indonesia (UI) dan mantan anggota DPR yang masuk
penjara karena mengkritik Presiden Soeharto. (2) Mochtar Pakpahan pemimpin buruh yang dijatuhi
hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan dalam tahun 1994.
d. Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
Kebebasan ini pada masa sebelumnya dibatasi, sekarang masa Habibie dibuka selebar-
lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam bentuk rapat umum dan unjuk rasa. Dalam batas
tertentu unjuk rasa merupakan manifestasi proses demokratisasi. Maka banyak kalangan
mempertanyakan mengapa para pelaku unjuk rasa ditangkap dan diadili. Untuk menghadapi para
pengunjuk rasa Pemerintah dan DPR berhasil menciptakan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang "
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ".
Diberlakukannya undang-undang tersebut bukan berarti keadaan menjadi tertib seperti
yang diharapkan. Seringkali terjadi pelanggaran oleh pengunjuk rasa maupun aparat keamanan,
akibatnya banyak korban dari pengunjuk rasa dan aparat keamanan.
e. Masalah Dwi Fungsi ABRI
Gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI maka petinggi militer bergegas-gegas melakukan
reorientasi dan reposisi peran sosial politiknya selama ini. Dengan melakukan reformasi diri
melalui rumusan paradigma baru yaitu menarik diri dari berbagai kegiatan politik.
Pada era reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi dari 75 orang
menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri, mulai
tanggal 5 Mei 1999 Kepolisian RI memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara RI. Istilah ABRI
berubah menjadi TNI yaitu angkatan darat, laut, dan udara.
f. Reformasi di Bidang Hukum
Pada masa pemerintahan Orde Baru telah didengungkan pembaharuan bidang hukum namun
dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan karakter elitnya. Misalnya UU
Ketenagakerjaan tetap saja adanya dominasi penguasa.
DPR selama orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya
memihak penguasa bukan memihak kepentingan masyarakat.
Prasyarat untuk melakukan rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik
yang melahirkan keadaan demokratis dan DPR yang representatif mewakili kepentingan
masyarakat. Oleh karena itu pemerintah dan DPR merupakan kunci untuk pembongkaran dan
reformasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu : substansi hukum, aparatur
penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang independen.
g. Sidang Istimewa MPR
Salah satu jalan untuk membuka kesempatan menyampaikan aspirasi rakyat ditengah-
tengah tuntutan reformasi total pemerintah melakasanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10-
13 Nopember 1998, diharapkan benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat dengan perdebatan
yang lebih segar, dan terbuka.
Pada saat sidang berlangsung temyata diluar gedung DPR/MPR Senayan suasana kian
memanas oleh demonstrasi mahasiswa dan massa sehingga anggota MPR yang bersidang
mendapat tekanan untuk bekerja lebih keras, serius, cepat sesuai tuntutan reformasi.
h. Pemilihan Umum 1999
Faktor politik yang penting untuk memulihkan krisis multidimensi di Indonesia yaitu
dilaksanakan suatu pemilihan umum supaya dapat keluar dari krisis diperlukan pemimpin yang
dipercaya rakyat.
Sebagaimana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden B.J. Habibie menetapkan
tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemilihan umum. Maka dicabutlah lima paket
undang-undang tentang politik yaitu UU tentang (1) Pemilu, (2) Susunan, kedudukan, tugas, dan
wewenang DPR/MPR, (3) Parpol dan Golongan Karya, (4) Referendum, (5) Organisasi Masa.
Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru yang diratifikasi
pada tanggal 1 Pebruari 1999 oleh Presiden B.J. Habibie yaitu : (1) UU Partai Politik, (2) UU
Pemilihan Umum, dan (3) UU Susunan serta Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
i. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1999
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Jenderal (Pum) Rudini menetapkan
jumlah anggota MPR berdasarkan hasil pemilu 1999
Dalam pencalonan presiden muncul tiga nama calon yang diajukan oleh fraksi-fraksi di
MPR, yaitu KH Abdurrahman Wahid (PKB), Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P), Prof.DR. Yusril
Ihza Mahendra, SH, MSc (PBB), Namun sebelum pemilihan Yusril mengundurkan diri.
Dalam pemilihan wakil presiden dengan calon Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P) dan
DR. Hamzah Haz (PPP) dimenangkan oleh Megawati Soekamoputri.
Pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden
Megawati Soekamoputri menyusun Kabinet Persatuan Nasional, yang terdiri dari: 3 Menteri
Koordinator (Menko Polkam, Menko Ekuin, dan Menko Kesra), 16 menteri yang memimpin
departemen, 13 Menteri Negara.
Pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahid (1999-2001) ini tidak dapat berlangsung
lama pada akhir Juli 2001 jatuh lewat Sidang Istimewa MPR akibat perseteraunnya dengan DPR
dan kasus Brunaigate serta Buloggate, kemudian melalui Sidang Istimewa MPR yang kemudian
melantik Wakil Presiden Hj.Megawati Sukamoputri menjadi Presiden RI ke-5 (2001 - 2004) dan
DR. H.Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi Wakil Presiden RI ke-9
(2001 - 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Edward, Aspinall. 2000. Titik Tolak Reformasi Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto. Yogyakarta:
LkiS
Kaelan. 2002. Pendidikan Pancasila. UGM. Jakarta:Paradigma

Anda mungkin juga menyukai