Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN ILMU ORTHOPEDI REFERAT

DAN TRAUMATOLOGI JANUARI 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

PELVIC FRACTURES IN POLYTRAUMA PATIENT

OLEH:

Andi Yaumil Chaeriyah C11113548

Primitha Yulianti C014172107

Muhammad Shulfie Asadul C014172130

Qanitah Bt Marzuki C014172224

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Vicky William
dr. Harry Supratama A

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Micheal John, M.Kes, Sp.OT

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama/NIM : A. Yaumil Chaeriyah C 111 13 548

Nama/NIM : Primitha Yulianti C 014172107

Nama/NIM : Muhammad Shulfie Asadul C 014172130

Nama/NIM : Qanitah Bt. Marzuki C 014172224

Telah menyelesaikan referat dengan judul Pelvic Fractures in Polytrauma Patient dalam

rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Orthopedi dan

Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2019

Residen Pembimbing 1 Residen Pembimbing 2

dr. Vicky WIlliam dr. Harry Supratama A

Supervisor Pembimbing

dr. Michael John, M.Kes, Sp.OT

DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................................i

Lembar Pengesahan...................................................................................................ii

Daftar Isi.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2

2.1 Definisi...............................................................................................................6

2.2 Primary Survey...................................................................................................6

2.3 Secondary Survey...............................................................................................7

2.4 Prognosis............................................................................................................9

Daftar Pustaka...............................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
Politrauma adalah kumpulan gejala dari beberapa cedera pada tubuh dengan reaksi

sistemik sehingga dapat menyebabkan disfungsi atau kegagalan organ dan tanda-tanda vital.

Cedera ortopedi merupakan salah satu cedera yang dapat terjadi pada pasien politrauma, yang

pada umumnya tidak membahayakan jiwa jika cedera tersebut tidak menyebabkan instabilitas

hemodinamik. Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan

jiwa, kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi mengalami

instabilitas hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya

darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien

dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis

berkekuatan-tinggi. 1

Berdasarkan WHO 2010, trauma adalah suatu penyakit yang dapat dicegah, dapat

diprediksi dan dapat diobati. Kematian akibat trauma mencapai 5,8 juta jiwa setiap tahunnya

di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama kematian pada usia muda (5-44 tahun).

Sedangkan 16% dari disabilitas disebabkan oleh trauma.2

Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan intervensi

yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis membutuhkan sebuah

pendekatan multidisiplin. Penilaian dini oleh ahli bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur

pelvis memudahkan tim pengobatan untuk membangun igament dan prioritas pengobatan,

dan mempercepat pembentukan igament penyelamatan-hidup. Suatu pemahaman seksama

terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting

bagi semua dokter yang terlibat.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Politrauma adalah cedera pada minimal 2 bagian tubuh dengan AIS≥ 3 dan berkaitan

dengan salah satu atau lebih parameter fisiologik yaitu hipotensi (TDS ≤ 90mmHg), tingkat

kesadaran (GCS ≤ 8), asidosis (BE≤ - 6), koagulopati (INR ≥ 1.4 or aPTT≥ 40s), dan umur

(≥ 70 tahun). 3,4

Politrauma harus dibedakan dengan fraktur multipel. Fraktur multipel adalah masalah

ortopedi yang murni karena tidak melibatkan sistem skeletal. Sedangkan pada politrauma,

ada keterlibatan lebih dari satu sistem seperti terkait dengan cedera kepala, cedera thorax,

cedera tulang belakang, cedera abdomen ataupun cedera pelvis.

2.2 Primary Survey 3

A. Mempertahankan jalan nafas dengan melindungi vertebra cervical

 GCS ≤ 8 mengindikasikan penanganan jalan nafas definitif

 Perlindungan terhadap vertebra dan medulla spinalis adalah prinsip

penanganan yang utama.

 Pemeriksaan neurologis saja tidak dapat menyingkirkan kemungkinan trauma

vertebra servikal

 Selalu berasumsi kemungkinan trauma vertebra servikal pada pasien trauma

multi sistem terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran atau trauma

tumpul di atas clavicula

 Options:
 Membuka jalan nafas: Chin lift atau Jaw thrust
 Deliver O2
 Bag Valve mask
 Guedel / Nasopharyngeal
 Laryngeal mask
 Endo/Naso Tracheal tube
 Surgical Airway

B. Pernafasan dan ventilasi


 Airway patency does not assure adequate ventilation.

 Bag/Valve mask or rebreather

 High flow O2

 Penanganan:

 Perlu jalan nafas yang adekuat


 Menyediakan high flow O2
 Dekompresi tension pneumothorax
 Thoracostomy
 Chest Drain
 Flail Chest

C. Sirkulasi dengan kontrol perdarahan

 Kesadaran

 Warna kulit

 Nadi

 Perdarahan eksternal diidentifikasi dan ditangani saat primary survey

 Penanganan:

 Adequate airway
 Adequate Ventilation
 2 large bore venflons (Poiseuille Law)
 2 litres crystalloid
 Control bleeding points
 Resuscitative laparotomy
 Resuscitative thoracotomy

D. Disabilitas: status neurologis

 A : Alert

 V : Responds to Vocal stimuli

 P : Responds to Painful stimuli

 U : Unresponsive to all stimuli


E. Exposure/Environmental control: membuka keseluruhan pakaian pasien tetapi

mencegah terjadinya hipotermia

 Suhu tubuh pasien menjadi hal yang paling penting

 Cairan intravena harus dihangatkan

 Lingkungan yang hangat (suhu ruangan) harus dipertahankan

 Kontrol yang cepat terhadap perdarahan

2.3 Secondary Survey

Secondary survey tidak dapat dimulai hingga primary survey (ABCDE)

selesai, upaya resusitasi sedang berlangsung, dan telah terjadi peningkatan fungsi vital

pasien. Ketika personel medis tambahan tersedia, bagian dari secondary survey dapat

dilakukan sementara personel lain tetap menjalankan primary survey. Metode ini tidak

boleh mengganggu kinerja primary survey, yang merupakan prioritas tertinggi.4

Secondary survey meliputi evaluasi head-to-toe pasien trauma, yaitu history

(riwayat lengkap) dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang semua tanda-tanda

vital. Setiap igame tubuh diperiksa sepenuhnya. Potensi untuk lalai dalam

menemukan suatu cedera atau gagal mengidentifikasi tanda-tanda khusus dari suatu

cedera tergolong besar, terutama pada pasien yang tidak stabil.4

 History (Riwayat Lengkap)

Setiap penilaian medis yang lengkap, selalu melibatkan riwayat mechanism of

injury. Namun, riwayat tersebut sering tidak dapat diperoleh langsung dari pasien

yang mengalami trauma yang berkelanjutan; Oleh karena itu, petugas pre-hospital dan

keluarga harus memberikan informasi tersebut secara lengkap. Riwayat AMPLE

adalah igament yang tepat untuk tujuan ini: Allergies, Medications currently used,

Past illnesses, Last meal, dan Events/Environment related to the injury.4


Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mechanism of injury. Pengetahuan

mengenai mechanism of injury dapat meningkatkan pemahaman tentang keadaan

fisiologis pasien dan memberikan petunjuk untuk cedera yang diantisipasi. Beberapa

cedera dapat diprediksi berdasarkan arah dan jumlah igame yang terkait dengan

mechanism of injury. Pola cedera juga dipengaruhi oleh kelompok umur dan aktivitas.

Cedera dibagi menjadi dua kategori besar: trauma tumpul dan trauma penetrasi. Jenis

cedera lain yang penting informasi historisnya termasuk cedera termal dan yang

disebabkan oleh lingkungan berbahaya.4

Tabel 1.
Mechanism of injury and suspected injury patterns 4

 Pemeriksaan Fisis

Selama secondary survey, pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan kepala,

struktur maksilofasial, cervical spine dan leher, thorax, abdomen, pelvis, perineum,

igame dan vagina. Secondary survey dimulai dengan mengevaluasi kepala untuk
mengidentifikasi semua cedera neurologis terkait. Seluruh scalp dan kepala harus

diperiksa apakah ada laserasi, kontusio, dan fraktur. Karena edema di sekitar mata

nantinya dapat menghalangi pemeriksaan, maka mata harus dievaluasi terlebih

dahulu, yaitu berupa pemeriksaan visual acuity, ukuran pupil, perdarahan konjungtiva

dan/atau fundi, cedera penetrasi, lensa kontak (lepaskan sebelum edema terjadi),

dislokasi lensa, ocular entrapment. Pemeriksaan wajah harus meliputi palpasi semua

struktur tulang, penilaian oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian jaringan lunak.4

Pasien dengan trauma maksilofasial atau kepala harus dianggap memiliki

cervical spine injury (mis. Fraktur dan/atau cedera igament), dan gerakan cervical

spine harus dibatasi. Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi.

Nyeri cervical spine, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan fraktur laring dapat

ditemukan pada pemeriksaan terperinci. Evaluasi dapat mencakup radiografi dan/atau

CT. Pada igame thorax, pemeriksaan fisik melalui evaluasi visual dada, baik anterior

dan posterior, dapat mengidentifikasi kondisi seperti pneumotoraks terbuka dan

segmen flail yang besar. Evaluasi meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi dan

chest xray. Evaluasi lengkap thorax membutuhkan palpasi seluruh dinding thorax,

termasuk klavikula, kosta, dan sternum. Cedera pada thorax iga bermanifestasi

dengan nyeri, igamen, dan hipoksia.4

Pada cedera abdomen, observasi dan evaluasi berulang penting untuk

menangani trauma tumpul abdomen, karena seiring waktu, temuan pada abdomen

pasien dapat berubah. Keterlibatan awal seorang ahli bedah sangat penting. Fraktur

pelvis dapat dicurigai dengan identifikasi ekimosis pada iliac wing, pubis, labia, atau

skrotum. Nyeri pada palpasi pelvic ring merupakan temuan penting pada pasien sadar.

Selain itu, penilaian pulsasi perifer dapat mengidentifikasi adanya cedera pembuluh

darah. Perineum harus diperiksa untuk mengetahui adanya kontusio, hematoma,


laserasi, dan perdarahan uretra. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan untuk menilai

keberadaan darah dalam lumen usus, integritas dinding igame, dan kualitas tonus

sfingter. Pemeriksaan vagina harus dilakukan pada pasien yang berisiko cedera

vagina. Klinisi harus menilai adanya darah dalam vagina dan laserasi vagina.4

Fraktur Pelvis

Pasien dengan hipotensi dan fraktur pelvis memiliki angka kematian yang

tinggi. Pengambilan keputusan yang baik sangat penting untuk outcome yang optimal.

Fraktur pelvis yang berhubungan dengan perdarahan biasanya melibatkan gangguan

pada kompleks ligamentum osseous posterior (mis. Sacroiliac, sacrospinous,

sacrosuberous, dan fibromuscular pelvic floor), dibuktikan dengan fraktur igame,

fraktur sacroiliac, dan/atau dislokasi sendi sacroiliac.5

Temuan pemeriksaan fisik sugestif fraktur pelvis termasuk bukti rupture

urethra (hematoma skrotum atau darah di meatus uretra), leg length discrepancy, dan

deformitas rotasi tungkai tanpa fraktur yang jelas. Pada pasien-pasien ini, hindari

memanipulasi pelvis secara manual, karena dapat mengeluarkan bekuan darah yang

ada dan menyebabkan perdarahan lebih lanjut. Palpasi dari tulang pelvis untuk dapat

memberikan informasi yang berguna tentang adanya fraktur pelvis.5

Pelvic ring injury dapat terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor, tabrakan

pejalan kaki-kendaraan, cedera tumbukan langsung, atau jatuh. Fraktur pelvis

diklasifikasikan menjadi tiga jenis, berdasarkan injury force pattern: Anterior-

Posterior compression (AP compression), lateral compression, dan vertical shear.5

AP compression sering dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas. Mekanisme ini

menghasilkan rotasi eksternal hemipelvis dengan pemisahan simfisis pubis dan

rupturnya kompleks igament posterior. Pelvic ring melebar, merobek pleksus vena
posterior dan cabang-cabang igame arteri iliaca interna. Pendarahan yang terjadi

dapat mengancam jiwa.5

Lateral compression injury melibatkan gaya yang diarahkan lateral ke

panggul, dan merupakan mekanisme fraktur panggul yang paling umum dalam

kecelakaan lalu lintas. Berbeda dengan AP compression, hemipelvis berputar secara

internal selama kompresi lateral, mengurangi volume pelvis dan mengurangi tension

pada struktur igament panggul. Rotasi internal ini dapat mendorong pubis ke lower

genitourinary system, yang berpotensi menyebabkan cedera pada kandung kemih

dan/atau uretra.5

Vertical displacement dari sendi sacroiliac juga dapat mengganggu

vaskularisasi iliac dan menyebabkan perdarahan hebat. Dalam mekanisme ini, gaya

geser berenergi tinggi terjadi di sepanjang bidang igament melintasi aspek anterior

dan posterior pelvic ring. Geser igament ini mengganggu igament sacrospinous dan

sacrotuberous dan menyebabkan major pelvic instability. Jatuh dari ketinggian lebih

dari 12 kaki biasanya menghasilkan vertical shear injury.5


The algorithm describes the key steps to the management guideline
Canberra Hospital and Health Services Clinical Procedure 6

2.4 Prognosis

Death in Polytrauma7
• Immediate trauma death/First peak of death
 Severe head injury
 Brain stem injury
 High cord injury
 Heart and major vessel injury
 Massive blood loss
• Early trauma death/Second peak of death
 Intracranial bleed
 Chest injury
 Abdominal bleeding
 Pelvic bleeding
 Multiple limb injury

• Late death/Third peak of death

 Sepsis
 Organ Failure

DAFTAR PUSTAKA

1. Hak D, Smith WR, Suzuki T. Management of Hemorrhage in Life-threatening

Pelvic Fracture. The Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons 2009

Aug;17(7):447-57.

2. LaGrone L et al. Uptake of the World Health Organization’s trauma care guidelines: a

systematic review. WHO 2010.


3. American College of Surgeons. 2012. Advanced Trauma Life Support Ninth Edition.

Chicago: Library of Congress Control

4. American College of Surgeons. 2018. Advanced Trauma Life Support Tenth Edition.

Chicago: Library of Congress Control

5. Richard McCormack et al. 2010. Diagnosis and Management of Pelvic Fractures.

New York: NYU Hospital for Joint Diseases

Anda mungkin juga menyukai