Anda di halaman 1dari 3

Menurut Aslan Noor, Kasubdit Pemanfaatan Tanah Pemerintah, Ditjen

Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dalam pengadaan


tanah untuk infrastruktur, aspek hukum menjadi faktor kesuksesan yang
signifikan. Berdasarkan pemaparannya dalam workshop hukumonline
bertajuk "Permasalahan dan Solusi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
Infrastruktur", setidaknya ada tiga aspek-aspek hukum yang harus
diperhatikan dalam pengadaan tanah untuk infrastruktur.

1. Prinsip Keseimbangan
Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ditegaskan bahwa tanah wajib
tersedia bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pasal 4 UU No. 2
Tahun 2012 mengatur bahwa pemerintah menjamin tersedianya tanah untuk
kepentingan umum. Tak hanya itu, pendanaannya pun dijamin oleh
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Nyatanya, acapkali proyek pembangunan mangkrak akibat penolakan


masyarakat untuk melepaskan hak atas tanahnya. Ruas tol Kemayoran–
Kampung Melayu, Sunter–Rawa Buaya, Batu Ceper, Pasar Minggu–Casablanca
maupun pembangunan PLTU Batang menjadi contoh nyata pembangunan
infrastruktur yang menghadapi kendala dalam pengadaan lahan.

“UU No. 12 Tahun 2012 menganut prinsip keseimbangan. Penyelenggaraan


pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan
masyarakat. Tetapi mungkin, kurang tersosialisasikan bahwa masyarakat
juga memiliki kewajiban untuk melepaskan haknya,” ujar Aslan di Jakarta,
Rabu (1/6).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2012


mengamanatkan kepada pihak yang memiliki hak atas tanah wajib
melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Hanya saja, ia menjelaskan bahwa pelepasan hak itu
tidak serta merta. Setidaknya harus ada pemberian ganti kerugian atau
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Keterlibatan Masyarakat
Ada empat tahapan yang harus dilalui dalam proses pembebasan lahan untuk
infrastruktur. Pertama, pihak perencana proyek harus secara rinci
memberikan data lokasi yang akan digunakan kepada Pemerintah Provinsi.
Kedua, melakukan konsultasi publik. Ketiga, penetapan lokasi. Keempat,
Kementerian ATR/BPN melakukan pengadaan tanah yang dilakukan dengan
melakukan penilaian, musyawarah hingga pelepasan.

Dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pengadaan tanah


dari tahap perencanaan sampai dengan tahap penyerahan hasil, keterlibatan
masyarakat menjadi unsur yang penting. Dalam tahap persiapan pengadaan
tanah, hasil konsultasi publik menentukan apakah lokasi yang direncanakan
bisa dieksekusi atau instansi harus menentukan lokasi lain.

“Kalau ada keberatan dari konsultasi publik yang dilakukan, harus ada
konsultasi publik ulang. Kalau kemudian ada gugatan, jika dikabulkan
pengadilan maka pengadaan tanah tidak bisa dilakukan di lokasi itu,”
tambahnya.

3. Pemberian Ganti Rugi


Pasal 9 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 menjamin bahwa pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian
yang layak dan adil. Menurut Aslan, ganti kerugian adalah pemberian
konpensasi yang sepadan, bahkan lebih maju agar bekas pemilik bisa
memiliki kehidupan yang lebih baik. Sehingga, menurutnya wajar jika
konpensasi yang diterima oleh bekas pemilik tidak hanya sebatas harga
pasar tanah yang dimilikinya.

“Dibalik kewenangan pemerintah untuk mebebaskan areal bagi pelaksanaan


pembangunan untuk kepentingan umum terkandung kewajiban untuk
membuat kehidupan yang lebih baik bagi bekas pemegang haknya seperti
diatur Pasal 1 angka 1 Pepres No. 36 Tahun 2005 jo. Pasal 1 angka 3 Pepres
No. 65 Tahun 2006,” tandasnya.

Namun, sering kali dalam proses negosiasi antara panitia pengadaan lahan
dengan masyarakat tak tercapai kesepakatan. Ia mengatakan, untuk
mengantisipasi masalah yang bisa menghambat pelaksanaan pembangunan
dapat ditempuh upaya konsinyasi. Konsinyasi atau ganti kerugian dari
pemerintah yang dititipkan ke pengadilan negeri setempat, diatur di dalam
Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012.

“Konsinyasi berlaku bagi warga yang menolak ganti kerugian sesuai hasil
musyawarah. Konsinyasi tidak berarti merampas hak atas tanah. Jadi,
membutuhkan pendekatan lebih lanjut dari panitia agar tidak menjadi
kendala,” ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai