Anda di halaman 1dari 52

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

 Nama : Ny. DH
 Umur : 32 tahun
 Alamat : JL. Begok RT.05 RW.03 Semper Timur, Jakarta Utara
 Agama : Islam
 Suku bangsa : Sunda
 Nama suami : Tn. D
 Pekerjaan : Pegawai Swasta
 Tgl MRS : 5 April 2015 pukul 19.00 WIB
 No. RM : 205173

ANAMNESIS

Keluhan Utama:

Pasien G1P0A0 mengatakan keluar air-air sejak pukul 06.00 pagi disertai mules.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien G1P0A0 hamil 37 minggu datang ke UGD dengan keluhan keluar air-air sejak pukul
06.00 pagi disertai mules.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Ibu menyangkal penyakit asma, diabetes mellitus dan hipertensi dalam keluarga.

Riwayat Alergi:

Ibu mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat, makanan dan debu.

Riwayat Pengobatan:

Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

1
Riwayat Psikososial:

Kebiasaan merokok (-), minum alcohol (-)

Riwayat Perkawinan:

Pernikahan pertama, masih menikah, menikah sejak tahun 2013.

Riwayat Haid:

Haid pertama pada usia 12 tahun, haid tidak teratur, nyeri saat haid, lama haid 7 hari, siklus 28-
30 hari, hari pertama haid terakhir 30 Juli 2014, taksiran persalinan 7 Mei 2015.

Riwayat Persalinan:

No. Tempat Penolong Thn Aterm Jenis Penyulit Anak


bersalin persalinan JK BB Ket
1. Hamil ini

Riwayat Operasi:

Belum pernah operasi sebelumnya.

STATUS PASIEN

Status generalis

Keadaan Umum: Baik

Tanda Vital :

 TD : 150/100 mmHg
 Suhu : 36,5 ̊C
 RR : 21 x/menit
 Nadi : 88 x/menit

Antropometri :

 BB : 70 kg
 TB : 146 cm

Kepala : Bentuk normocephal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut

2
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Dada : Pergerakan dinding dada simetris

 Paru-paru : Bunyi vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)


 Jantung : Bunyi jantung I & II regular murni, murmur (-), gallop (-)
 Payudara : Simetris, puting susu menonjol

Abdomen : membesar sesuai kehamilan, TFU 31 cm

Genitalia : Ada pengeluaran pervaginam, darah (-), lendir (+), flour albus (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (+/+), CRT ≤ 2 detik

Inspekulo : Tidak dilakukan

Hasil pemeriksaan USG: Tidak dilakukan

Status Obstetrikus

a. Pemeriksaan luar
Tinggi fundus uteri 31 cm, letak anak memanjang, persentase kepala, His tiap 15 menit,
lamanya 30 detik, kualitas belum adekuat, bunyi jantung janin 148 x/menit, teratur.
 Leopold I : Teraba bagian kepala
 Leopold II : Teraba punggung disebelah kiri
 Leopold III : Teraba bagian bokong
 Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk PAP, divergen

b. Pemeriksaan dalam:
Portio tipis, pembukaan 2 cm, ketuban sudah pecah, penurunan bagian terendah H 1,
blood slym ada.

DIAGNOSA

Ibu : G1P0A0 hamil 39 minggu dengan hipertensi dalam kehamilan

Anak : Tunggal, hidup, intra uteri

3
RENCANA TINDAKAN

- Observasi keadaan umum & tanda-tanda vital


- Observasi his & DJJ
- Melakukan informed consent

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL


PEMBEKUAN
Masa perdarahan 2’00” Menit 1-3
Masa pembekuan 4’00” Menit 2-6

HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,8 g/dl 11,4 - 15,5
Leukosit 12,200 sel/mm3 4,3 - 10,4
Hematokrit 33,1 % 36,0 - 46,0
Trombosit 269,000 ribu/mm3 132 - 440.000

URINALISA
Protein urine Negatif

LAPORAN PARTUS

 Bayi lahir tanggal 5 April 2015, Jam 22.30 WIB, Jenis kelamin laki-laki, Berat 2250
gram, Panjang 46 cm, Nilai apgar 9/10, Lahir hidup.
 Jenis partus spontan, Atas indikasi KPD > 12 jam, Luka jalan lahir (+), Rupture perinei
tingkat II, Jahitan (+).
 Placenta lahir lengkap
 Perdarahan (kala III + IV) 400 cc
 Keadaan ibu postpartum
KU baik, Tekanan darah 120/90 mmHg, Nadi 80 x/menit, Pernapasan 20 x/menit, Suhu
36,7̊C, TFU 2 jari dibawah pusat

FOLLOW UP

TANGGAL CATATAN
6 April 2015 S= Tidak ada keluhan
O= Keadaan umum: tampak sakit sedang

4
Kesadaran: compos mentis
TTV: TD: 140/100 mmHg
N : 78 x/menit
S : 36,5̊C
P : 18 x/menit
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Dada : Pulmo : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronhki (-/-)
Cor : BJ I dan II regular murni, gallop (-), murmur (-)
Mammae : Simetris (+), ASI (+)
Abdomen: BU(+), NTE (-)
Genitalia : Darah (+), lendir (-), flour albus (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-), CRT ≤ 2 detik
Otonom : BAB (-), BAK (+), flatus (+)
A= P1A0 post partus hari 1
P= Nifedipin 5mg 2x1
Diet rendah garam

7 April 2015 S= Nyeri dibagian jahitan, kaki bengkak


O= Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TTV: TD: 130/80 mmHg
N : 60 x/menit
S : 36,5̊C
P : 18 x/menit
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Dada : Pulmo : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronhki (-/-)
Cor : BJ I dan II regular murni, gallop (-), murmur (-)
Mammae : Simetris (+), ASI (+)
Abdomen: BU(+), NTE (-)

5
Genitalia : Darah (+), lendir (-), flour albus (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (+), CRT ≤ 2 detik
Otonom : BAB (-), BAK (+), flatus (+)
A= P1A0 post partus hari 2
P= Terapi dilanjutkan

Pasien pulang tanggal 7 April 2015, pukul 12.00 WIB, diresepkan obat:

 Cefadroxil 2x1
 As.Mefenamat 3x1
 Hemafort 1x1

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

A. Pendahuluan
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu hamil
setelah perdarahan dan infeksi.
Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat memicu atau memperberat hipertensi
merupakan pertanyaan yang masih belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka
kejadian Hipertensi dalam Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.

B. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan


Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi
menjadi 5 tipe, yaitu :
1. Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai
140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak
terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika
preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah telah kembali normal pada 12
minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah
kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak
pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985), 10% eklamsi
berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas
bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang
meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk,
terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko
ibu dan janin.
2. Preeklampsi
preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan,
setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.

7
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)
menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam,
atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara
persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24
jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak
membuktikan adanya proteinuria yang berarti.
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah hipertensi
dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam
pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis
preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti
sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis
hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini
sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan
biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal
tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis
mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis
yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau
hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat. Faktor lain yang
menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem
pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat
dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin
besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi
ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia,
tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi
dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria

8
+3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita
dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan
tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala
berat yang persisten atau gangguan visual.

Tabel 2.1. indikasi beratnya hipertensi dalam kehamilan

3. Eklampsi
Eklampsi adalah kelainan akut pada preeklampsi dalam kehamilan, persalinan,
atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan
kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Serangan konvulsi pada wanita dengan
preeklampsia yang tidak dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi.
Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara,
serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal
bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah,
dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di
luar 48 jam postpartum (Chames dan kawan-kawan, 2002).

9
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklampsi atau eklampsi adalah
preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga
Superimposed Preeclampsia.
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada
sebelum kehamilan 20 minggu.
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronis
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan
sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu dan
menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit
didiagnosis apalagi wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum
kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia
20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum
usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama
kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari
penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah
sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai
konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari.
Hipertensi esensial
Obesitas
Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta

10
Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal akut
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronik

Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel 2.3.
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat
sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria,
maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari
hipertensi kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi

11
murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi sudah
diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi yang
mendasari hipertensi kronis tersebut.

C. Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi dibandingkan
kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit hitam memiliki prevalensi yang
lebih besar terhadap hipertensi kronis. Diantara wanita yang berusia 30-39 tahun,
hipertensi kronis terdapat pada 22,3% wanita kulit hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2%
pada wanita Amerika Meksiko.
Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18 tahun atau > 35
tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada wanita > 35 tahun dapat
menjelaskan mengapa terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.
Selain itu, meskipun merokok selama kehamilan dapat menyebabkan
berbagai hal yang merugikan, ironisnya merokok telah dihubungkan secara
konsisten dengan risiko hipertensi yang menurun selama kehamilan. Placenta
previa juga telah dilaporkan dapat mengurangi risiko gangguan -gangguan
hipertensi pada kehamilan.
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena sebagian
besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang cukup. Misalnya, pada edisi
13 Williams Obstetrics (1976) selama periode 25 tahun sebelumnya luas pengaruh dari
eklamsi di Parkland Hospital adalah 7 dalam 799 kelahiran. Selama periode 4 tahun dari
tahun 1983 sampai 1986, telah menurun menjadi 1 dalam 1150 kelahiran, dan selama
periode 3 tahun yang berakhir pada tahun 1999, luasnya pengaruh eklamsi menurun kira-
kira menjadi 1 dalam 1750 kelahiran (Alexander dan kawan-kawan, 2004). Dalam
National Vital Statistics Report, Ventura dan kawan-kawan (2000) memperkirakan
bahwa terjadinya eklamsi di Amerika Serikat pada tahun 1998 adalah sekitar 1 dalam
3250 kelahiran. Di Inggris pada tahun 1992, Douglas dan Redman (1994) melaporkan
bahwa terjadinya eklamsi adalah 1 dalam 2000 kelahiran.

12
D. Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklampsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.

2. Faktor risiko medikal maternal :


- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti
hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri
renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi
mikrovaskular
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.

13
E. Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi preeklamsi harus
menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan jauh lebih
memungkinkan terjadi pada wanita yang :
1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.
2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.
3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.
4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang selama
kehamilan.
Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat pada tahun 2200
Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999). Dengan demikian tidaklah heran
bahwa sejumlah mekanisme telah dikemukakan untuk menerangkan penyebabnya.
Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab
preeklamsi adalah sebagai berikut :
1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.
2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan
normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik

Invasi Trofoblastik Abnormal


Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas
ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada preeklamsi
terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah decidua,
tetapi bukan pembuluh darah myometrial, menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular.
Meekins dan kawan-kawan (1994) menjelaskan jumlah arteri spiralis dengan trofoblas
endovaskular pada plasenta wanita normal dan wanita dengan preeklamsi. Madazli dan
kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa besarnya defek invasi trofoblastik terhadap
arteri spiralis berhubungan dengan beratnya hipertensi.

14
Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal

Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980)


meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus.
Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan
endotelial, perembesan isi plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan
nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa lipid mengumpul pertama kali pada
sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan membentuk atherosis (Gambar
2.2). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah
plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi
berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom preeklamsi.

Gambar 2.2 Atherosis5

15
Faktor imunologis
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat
spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan
kelainan ini.
Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi
adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam
patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang cenderung
mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih
sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi
karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini
mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini
dapat menyebabkan preeklamsi.
Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta
karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga
memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini
dapat menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu
seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap
stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan
adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid
peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel,
memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin.
Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa
pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan
permeabilitas (edema dan proteinuria).

16
Penyakit Gangguan Trofoblas
vaskuler ibu Plasentasi Berlebihan

Faktor genetik,
Imunologi,
atau, Inflamasi

Penurunan
Perfusi
Uteroplasenta

Zat Vasoaktif : Aktivasi Zat perusak :


Prostaglandin, Endotel Sitokin,
Nitro-oksida, Peroksidase
Endotelin Lemak

Kebocoran Aktivasi
Vasospasme
kapiler koagulasi

Iskemia
Hipertensi oliguria Edema Proteinuria
hepar

Trombositopenia
Kejang Solusio Hemokonsentrasi

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan.


Faktor nutrisi
Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh
sejumlah pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah
membuktikan hubungan antara kekurangan makanan dan insidensi terjadinya preeklamsi.
Hal ini telah didahului oleh studi-studi tentang suplementasi dengan berbagai unsur
seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah preeklamsi. Studi lainnya,
seperti studi oleh John dan kawan-kawan (2002), membuktikan bahwa dalam populasi
umum dengan diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki efek antioxidant berhubungan
dengan tekanan darah yang menurun.
Faktor genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan
dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan. Penelitian
yang dilakukan oleh Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya hubungan antara
antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi proteinuria. Menurut Hoff dan
kawan-kawan, respon imun humoral maternal yang melawan antibodi imunoglobulin
fetal anti HLA-DR dapat menimbulkan hipertensi gestasional.
17
F. Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi
merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus,
mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut,
seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi
abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan
plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan
pusat perkembangan kelainan ini.
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan
konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan
kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan
respon terhadap peptida vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang
mengalami preeklamsi menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal
ini merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi tampak jelas.
Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam kehamilan tergantung pada
interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara
signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena
peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang
bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun,
menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi diakibatkan karena
penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap angiotensin karena
adanya prostaglandin vasodilator.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang
terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap
perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi klinis
berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan
sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang
dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema non
dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta
ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah
utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju

18
jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan
pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit,
sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda
(13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan
intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan
darah.
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan
spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang
paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa
mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi
vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema
serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada
kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.

G. Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan


Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah istirahat ≥ 140/90 mmHg.
Kriteria edema pada preeclampsia sudah tidak digunakan lagi oleh karena selain subjektif
dan juga tidak mempengaruhi “out-come” perinatal.
Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan
 Hipertensi Gestasional
 Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam kehamilan.
 Tidak terdapat Proteinuria
 Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca persalinan.
 Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan.
 Dapat disertai dengan gejala PE Berat : nyeri epgastrium atau trombositopenia.
 PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
 TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
 Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
PRE-EKLAMPSIA BERAT:

19
 TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
 Proteinuria 2.0 g/24 jam ≥ 2+ (dispstick)
 Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah abnormal )
 Trombosit < 100.0000 / mm3
 Microangiopathic hemolysis ( increase LDH )
 Peningkatan ALT atau AST
 Nyeri kepala atau gangguan visual persisten
 Nyeri epigastrium
 Eklampsia
 Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita pre eklampsia.
 Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik )
 Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang
tidak menunjukkan adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu atau
 Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia <
100.000/mm3 pada penderita hipertensi dan proteinuria sebelum kehamilan 20
minggu.
 Hipertensi Kronis
 TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu
dan tidak terkait dengan penyakit trofoblas gestasional
 HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai
> 12 minggu pasca persalinan.

H. Pemeriksaan Prediktif Kejadian Preeklamsi


Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab morbiditas
dan mortalitas pada ibu dan janin. Bila kelainan ini dapat dicegah maka diharapkan dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Pencegahan tidak hanya
memerlukan pengetahuan mengenai patofisiologi tetapi juga cara deteksi dini dan cara
intervensi terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut.
Gejala-gejala preeklampsia baru menjadi nyata pada usia kehamilan yang lanjut,
biasanya pada trimester ketiga, walaupun sebenarnya kelainan sudah terjadi jauh lebih
dini yakni pada usia kehamilan antara 8-18 minggu. Tes yang ideal untuk prediksi harus

20
sederhana, mudah dikerjakan, tidak memakan waktu lama, sensitivitasnya tinggi, non
invasif dan mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi.
 Pemeriksaan Prediktif Preeklamsi yang Telah Ada
Beberapa cara prediksi dapat digolongkan sebagai berikut :
 Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal
 Pemeriksaan sistem vaskular
 Pemeriksaan biokimia
 Pemeriksaan hematologi
 Ultrasonografi.
Pemeriksaan Baku pada Perawatan Antenatal
Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal ada 2 macam, yaitu pemeriksaan
tekanan darah dan kenaikan berat badan. Seringkali gejala pertama yang
mencurigakan adanya hipertensi dalam kehamilan ialah terjadi kenaikan berat badan
yang melonjak tinggi dan dalam waktu singkat. Kenaikan berat badan 0,5 kg setiap
minggu dianggap masih dalam batas wajar, tetapi bila kenaikan berat badan mencapai
1 kg perminggu atau 3 kg perbulan maka harus diwaspadai kemungkinan timbulnya
hipertensi.
Ciri khas kenaikan berat badan penderita hipertensi dalam kehamilan ialah
kenaikan yang berlebihan dalam waktu singkat, bukan kenaikan berat badan yang
merata sepanjang kehamilan, karena berat badan yang berlebihan tersebut merupakan
refleksi dari pada edema.
Pemeriksaan Sistim Vaskular
 Tes Tidur Miring (TTM)
Tes ini dikenal dengar nama Roll-over test pertama kali diperkenalkan
oleh Gant dan dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu. Pasien berbaring
dalam sikap miring ke kiri, kemudian tekanan darah diukur, dicatat dan
diulangi sampai tekanan darah tidak berubah. Kemudian penderita tidur
terlentang, diukur dan dicatat kembali tekanan darahnya. Tes dianggap positif
bila selisih tekanan darah diastolik antara posisi baring ke kiri dan terlentang
menunjukkan 20 mmHg atau lebih. Tes ini mempunyai sensitivitas 88%,
spesifitas 95%, nilai prediksi positif 93% dan nilai prediksi negatif 91%.

21
 Infus Angiotensin II
Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus
Angiotensin. Tes ini dikerjakan pada kehamilan 28-32 minggu, dengan
memberikan Angiotensin II per infus >8 ng/kgbb/menit menghasilkan respons
tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan, sedangkan yang
mendapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan tekanan diastolik 20 mmHg,
90% akan terjadi hipertensi dalam kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit dan
memakan waktu sehingga tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan.
 Tes Latihan Isometrik (Isometric exercise test)
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi. Degani dkk
berpendapat bahwa tekanan darah diastol yang berespons terhadap tes hand
grip ini menggambarkan reaktifitas vaskular pada wanita hamil, jadi dapat
digunakan untuk deteksi hiperaktivitas vaskular dan untuk prediksi
preeklampsia.
Tes dilakukan dengan cara penderita baring kesisi lateral kiri, ukur
tekanan darah, kemudian penderita memijit bola karet tensimeter yang
dipasang pada lengan lain, sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam
waktu 3 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat kenaikan tekanan diastolik
lebih dari 20 mmHg.
Pemeriksaan Biokimia
 Kadar Asam Urat
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi perubahan sistim hemodinamik
seperti penurunan volume darah, peningkatan hematokrit dan viskositas darah.
Akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi perubahan fungsi ginjal,
aliran darah ginjal menurun, kecepatan filtrasi glomerulus menurun yang
mengakibatkan menurunnya klirens asam urat dan akhirnya terjadi peningkatan
kadar asam urat serum. Rata-rata kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu
sebelum preeklampsia menjadi berat.
Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu
preeklampsia berat dan berhubungan dengan angka kematian perinatal yang tinggi
khususnya pada umur kehamilan 28-36 minggu. Pada penderita yang sudah

22
terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum menggambarkan beratnya
proses penyakit.
 Kadar Kalsium
Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan fungsi
ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi beberapa
waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini terlihat dari perubahan hasil
tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan bahwa pada umur kehamilan 24-34
minggu bila didapatkan mikroalbuminuria dan hipokalsiuria ini dideteksi dengan
pemeriksaan tes radioimunologik.
 Kadar  - Human Chorionic Gonadotrophin (-hCG)
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar hCG meningkat pada
penderita preeklampsia. Sorensen dkk melaporkan bahwa wanita hamil trimester
II dengan kadar -hCG > 2 kali nilai rata-rata mempunyai risiko relatif 1,7 kali
lebih besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita yang
mempunyai kadar -hCG < 2 kali nilai rata-rata. Terakhir Miller dkk melaporkan
bahwa peningkatan kadar -hCG pada kehamilan 15-20 minggu memprediksi
timbulnya preeklampsia terutama preeklampsia berat. Namun hingga saat ini
pemeriksaan kadar preeklampsia masih terbatas.

Pemeriksaan Hematologi
1) Volume plasma
Pada keadaan hipertensi dalm kehamilan terjadinya penurunan volume
plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya penurunan volume plasma
sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang
melaporkan terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya
manifestasi klinik hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara : penderita tidur
posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian tambahkan
dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10
menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan
serum. Sampel darah kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang

23
mempunyai ukuran 620 nm, dengan mempergunakan spektofotometer Beckman
Acta C III. Hasil yang didapat dimasukkan ke dalam rumus:
Dye injected (ug)
Volume Plasma ( ml) = --------------------------------
Konsentrasi dye ( ug/ml )

2) Kadar hemoglobin dan hematokrit


Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan
kadar hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita
hamil terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb.
Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya hipertensi dalam
kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila kadar Hb > 14.5% gr%.
Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht dengan indeks
gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada korelasi
antara hematokrit dan progesivitas penyakit.
3) Kadar trombosit dan fibronectin
Redman menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh
menurunnya trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni
merupakan tanda awal hipertensi dalam kehamilan. Dikatakan trombositopenia
bila kadar trombosit < 150.000/mm3. Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan
aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya
deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita
yang meninggal karena eklampsia.
Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita
preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin
III. Pada penderita hipertensi dalam kehamilan didapatkan peningkatan kadar
fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada permukaan sel dengan berat
molekul 450.000, disintesis oleh endotel dan histiosit. Kadar normalnya dalam
darah 250-420 ug/ml, biasanya berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah.
Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh

24
darah merupakan dasar patogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal
preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu.
Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 – 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan
tekanan darah atau proteinuria.
Ultrasonografi
Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat penunjang
diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik Doppler
dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume aliran
darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada
wanita penderita hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang
arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah, hilang atau
terbalik.
Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43%
penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan
mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis pada
mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian ini sekitar
75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia
pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta
letak sentral.
Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time.
Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat
dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang
lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri tersebut sama
besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah
uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia.
Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil
dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat
dilakukan pada kehamilan muda.

25
I. Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan terhadap
terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi terhadap strategi-strategi
ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara klinis.
1) Pencegahan preeklamsi
a) Manipulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah pembatasan
garam. Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam tidaklah penting. Pada
penelitian yang dilakukan Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak
efektif dalam mencegah preeklamsia pada 361 wanita.
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa
suplementasi kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan yang signifikan
dari tekanan darah dan insidensi preeklamsia.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka memperbaiki gangguan
keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi eklamsia tidaklah efektif.
Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan untuk
menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat (Calcium-CLA) dalam
menurunkan insidensi disfungsi endotel vaskular pada wanita hamil berisiko tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA menurunkan
kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi endotel.
b) Aspirin dosis rendah
Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi
preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil dominansi dari
prostasiklin endotel. Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti tidak efektif dalam
mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan Caritis dan
kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan rendah. Hanya ada satu penelitian
yang secara spesifik dilakukan untuk menguji efek aspirin terhadap wanita hamil
dengan hipertensi kronis. Penelitian double blind placebo controlled trial dilakukan
untuk melihat efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita.
Dosis rendah aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu

26
tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan post
partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.
c) Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid yang
berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh Schiff dan kawan-
kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan
preeklamsi. Mereka menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita
dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap stres
oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada penelitian lain yang
menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan aktivasi endotel yang
pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi. Pada penelitian lain, dengan pemberian
vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16
– 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu masih
perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk
penggunaan secara klinis.
d) Suplemen kalsium
Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara asupan
diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan pemberian suplemen
kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah disarankan untuk upaya pencegahan
preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane, diketahui bahwa pemberian suplementasi
kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara. Walaupun demikian, mungkin pemberiannya
bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk kelompok dengan asupan kalsium
yang memang kurang atau pada kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan
riwayat preeklamsi berat.
e) N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal bebas
atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat mencegah terjadinya
peningkatan tekanan darah yang diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Namun pemberian obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli
sudah mencoba menggunakan obat ini.

27
2) Pencegahan eklampsi
Karena patogenesis eklamsi tidak diketahui, strategi pencegahan eklamsi juga
terbatas. Keadaan ini membuat pencegahan eklamsi adalah dengan cara mencegah
terjadinya preeklamsi atau secara sekunder dengan penggunaan pendekatan farmakologis
untuk mencegah konvulsi pada wanita preeklamsi. Pencegahan dapat bersifat tersier
dengan mencegah konvulsi berikutnya pada wanita dengan eklamsi. Sampai sekarang
belum ada terapi pencegahan untuk eklamsi. Selama beberapa dekade belakangan ini,
beberapa penelitian acak telah melaporkan hasil penelitiannya tentang penggunaan
restriksi protein atau garam, magnesium, suplementasi minyak ikan, aspirin dosis rendah,
kalsium, dan vitamin C & E pada wanita dengan variasi faktor risiko untuk menurunkan
angka kejadian atau beratnya preeklamsi. Secara umum, hasil-hasil dari penelitian ini
memiliki keuntungan minimal atau malah tidak ada terhadap penurunan preeklamsi.
Bahkan pada penelitian yang melaporkan penurunan angka kejadian preeklamsi, tidak
memiliki keuntungan dalam outcome perinatal.
Penanganan yang sekarang dilakukan untuk mencegah eklamsi adalah deteksi dini
serta terapi preventif hipertensi gestasional atau preeklamsi. Beberapa rekomendasi terapi
pencegahan meliputi observasi ketat, penggunaan obat anti hipertensi untuk menjaga
tekanan darah maternal melebihi nilai normal, waktu persalinan, dan profilaksis
magnesium sulfat selama persalinan dan segera postpartum pada pasien yang dicurigai
mengalami preeklamsi.
Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani secara aman
dengan rawat jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak direkomendasikan
penggunaan anti hipertensi pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan atau
preeklamsi. Profilaksis magnesium sulfat hanya direkomendasikan pada wanita yang
dirawat dengan diagnosis preeklamsi. Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan
12-24 jam postpartum. Namun tidak ada data yang mendukung pemberian profilaksis
magnesium sulfat pada wanita dengan hipertensi ringan.

J. Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan


1. Panduan Penatalaksanaan
Laporan NHBPEP Working Group, menyediakan 3 panduan penatalaksanaan :

28
a) Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak demikian
untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi berdasarkan apakah
janin dapat hidup tanpa komplikasi neonatal serius baik dalam uterus maupun
dalam perawatan rumah sakit.
b) Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa perfusi yang
buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas perinatal. Kesempatan untuk mengatasi preeklamsi
dengan diuretik atau dengan menurunkan tekanan darah dapat menimbulkan
perubahan patofisiologis.
c) Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik klinis
timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel terhadap
kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum diagnosis klinis. Jika ada pertimbangan
konservatif daripada persalinan, maka ditujukan untuk memperbaiki kondisi ibu
agar janin dapat menjadi matur.
2. Penanganan pra-kehamilan
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi
tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder
yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya.
Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus
menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan
mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir
trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah
yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk
menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan
dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil
dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting
diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman
digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE

29
dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah
kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat,
terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau
munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :
 Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan
secara cepat.
 Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.
 Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
 Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
 Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati,
frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
 Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan
dengan menggunakan ultrasonografi.
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang
berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian
sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup.
Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan.
3. Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan
Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial.
Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer
berhubungan dengan terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta.
Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit
endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang
menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed
adalah umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah >
160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan
penyakit ginjal atau autoimun.

30
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk
funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis
dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein
dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin
memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi
antinuklear, dan katekolamin urine.
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup
karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal.
Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping
itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup,
latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa
aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan
penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang
obese. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang
merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol
dan rokok harus dihentikan.
Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan
kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah
sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya
glukosa atau protein. Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya
penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens
kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi
memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat.
Peningkatan asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi
superimposed.
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis
bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka
menghentikan medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat,
termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini
menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam

31
kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang
penatalaksanaan beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2
selama kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan
tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk
Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat anti
hipertensi, dan lamanya terapi.
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang
lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan
darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan
darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai
150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan
tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada
beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat
tekanan darah mencapai  180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada
hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting, mengingat
kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan telah
banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan
superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis
mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis neonatal jika
proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan
sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti
dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti
hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat
keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan
diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih
menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi
sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus
dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin
terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis
tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang

32
mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya
dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi
kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan.
4. Penatalaksanaan preeklamsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan
persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan
pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya
harus berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan
hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah
hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan
beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama
pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin
hidup yang tidak memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi, yaitu :
 Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan
penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit
kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko
terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini
memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi
tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu
2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada
pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial
tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat badan janin
diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan
dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik.
Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan,
ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin
(pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu
mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan
gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan.

33
Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum
tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor
Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang
tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini
tidak ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti
hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan
terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema,
peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan
outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak
dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi
sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan
karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung
vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada
keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di
rumah menurunkan lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya
progresi penyakit ke arah eklamsi dan persalinan prematur pada pasien yang tirah baring
di rumah. Namun, tidak ada penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan
kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita
dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap lamanya
kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm bervariasi antar
penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan
preeklamsi ringan.
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG
terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih
lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk
mengetahui rasio lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan
awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan
janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan
diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi,
maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya
solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.

34
 Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi,
mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan
terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru
janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum
usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU
yang baik.
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif
sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan
segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera
diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat
janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan
muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat
dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas
neonatal jangka pendek dan jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita
dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada
penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan
melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40
minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia
kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai
harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi
berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada
pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan
dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika
usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi
kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah
mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil

35
harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan
darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru
janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih
tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg ,
sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg.
Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi
tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih
rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat
selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat
diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut
hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek
samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10
mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan
hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi
preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat
lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih
sering didapatkan pada hidralazin.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika
hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen
obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka
pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post
partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali
terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama
persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi
dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga
pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional
karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi
dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang
banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko
terjadinya edema pulmonal atau edema otak.

36
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita
dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang
ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan
janin karena blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi
plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi
epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada
wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi
epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah
tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal,
edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace
dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode anestesi umum
maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada
wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-
hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan
bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama
persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan
terapi terhadap hipertensi.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan ≥ 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.

37
5. Penatalaksanaan eklampsi
Penatalaksanaan pada eklampsi dibagi menjadi :
1. Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)
Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada
semua pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema. Obat yang
digunakan tersebut harus aman bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun
dengan menggunakan magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman.
Obat ini dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara
suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan secara
intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat
baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena
dengan infus kontinu. Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering
untuk terjadinya konvulsi, maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya
diberikan magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam
setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat bukan merupakan agen
untuk mengatasi hipertensi.
Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya
diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan
memastikan bahwa keluaran urine adekuat, reflek patella positif, dan tidak adanya
depresi pernafasan. Konvulsi eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat
dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L
(4.8 – 8.4 mg/dL atau 2.0 – 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena awal sebesar 4-6
gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat pengobatan yang tepat dan
dilanjutkan dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau
infus kontinu 2-3 gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat
mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.
Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium mencapai 10
mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis. Magnesium
bebas atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat menurunkan eksitabilitas
neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena
bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma yang lebih

38
lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma lebih besar dari 10 mEq/L
akan menyebabkan depresi pernafasan, bila kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau
lebih, maka akan menyebabkan paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi
magnesium dapat ditangani dengan pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram
secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri pendek, maka
bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan bantuan ventilasi
mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus
menurun maka akan mengganggu ekskresi magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemeriksaan kadar plasma magnesium secara periodik.
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan
terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13%.
Dengan demikian, magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan
darah arteri rata-rata dan pada saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output
tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan
flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan bahwa efek
antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium melalui saluran glutamat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan
bahwa induksi konvulsi terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah
dengan ambang konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam bentuk epilepsi. Karena
konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam
memblok konvulsi.
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi kontraktibilitas
miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang telah ditentukan, maka tidak ada
bukti penurunan kontraktibilitas miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin. Mekanisme
magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas miometrium tidak jelas benar, tetapi
diasumsikan tergantung dari efek pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi
uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai

39
ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya menginhibisi influk
kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga menyebabkan kadar kalsium intraselular
yang tinggi. Mekanisme penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu
berkisar 8-10 mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan
kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis eklamsi
dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.
Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi
hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan
magnesium juga tidak pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan
Grether menunjukkan bahwa ada kemungkinan efek protektif dari magnesium
terhadap serebral palsi terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat rendah.
Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat lebih superior
dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi eklamsi. Risiko solusio plasenta juga
lebih rendah pada terapi dengan menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian
Belfort dan kawan-kawan, magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan
nimodipine dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Livingstone
dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak tampak menghalangi
progresi preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium
sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu untuk
preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 mL
cairan infus sekitar 15-20 menit.
2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan.
3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga level
plasma 4-7 mEq/L.
4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.5
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular intermiten
untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak
lebih dari 1 gram/menit.

40
2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada
masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3
inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap
terjadi setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang diinjeksikan
pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri. Hal yang harus
diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi pernafasan, output urine dalam 4
jam lalu mencapai 100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama
pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100
mmHg.

2. Penatalaksanaan Pasca salin


Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan. Karena 25%
konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan preeklamsi tetap melanjutkan
magnesium sulfat sampai 24 jam setelah persalinan. Fenobarbital 120 mg/hari kadang-
kadang digunakan pada pasien dengan hipertensi persisten dimana diuresis spontan
postpartum tidak terjadi atau hiperreflek menetap 24 jam pemberian magnesium sulfat.
Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100 mmHg selama 24 jam postpartum,
beberapa obat anti hipertensi harus diberikan seperti diuretik, Ca channel blocker,
ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau beta bloker. Setelah follow-up 1 minggu,
pemberian terapi anti hipertensi dapat dievaluasi kembali.
Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah kerusakan maternal
dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular. Selama atau segera setalah episode
konvulsi akut, terapi suportif harus diberikan untuk mencegah kerusakan serius
maternal dan aspirasi. Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan penyangga lidah yang
dimasukkan diantara gigi dan diberikan oksigenisasi maternal. Untuk
meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus berbaring dengan posisi dekubitus
lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila diperlukan. Selama terjadi konvulsi,

41
hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering terjadi. Walaupun konvulsi pertama hanya
berlangsung selama beberapa menit, penting untuk menjaga oksigenisasi dengan
pemberian oksigen lewat face mask dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10 L/menit.
Setelah konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan oksigenisasi menjadi
masalah lagi. Hipoksemia maternal dan asidosis dapat terjadi pada pasien yang
mengalami konvulsi berulang, pneumonia aspirasi, edema pulmonal, atau kombinasi
faktor-faktor ini. Ada kebijakan untuk menggunakan transcutaneus pulse oxymetri
untuk monitor oksigenasi pada semua pasien eklamsi. Bila hasil pulse oksimetri
abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan analisis gas darah. Hal yang
selanjutnya diperlukan untuk mencegah terjadinya konvulsi berulang adalah
pemberian magnesium sulfat sesuai regimen yang telah tersedia di masing-masing
rumah sakit. Sekitar 10% wanita eklamsi akan mengalami konvulsi ke dua setelah
menerima magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam penanganan eklamsi adalah
menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi pada saat yang sama menghindari
terjadinya hipotensi. Tujuan objektif dalam terapi hipertensi berat adalah menghindari
kehilangan autoregulasi serebral dan untuk mencegah gagal jantung kongestif tanpa
mengganggu perfusi serebral atau membahayakan aliran darah uteroplasenter yang
sudah tereduksi pada wanita dengan eklamsi. Ada kebijakan untuk menjaga tekanan
sistolik sebesar 140-160 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini
dapat dilakukan dengan pemberian hidralazin atau labetalol (20—40m g IV) setiap 15
menit. Bila diperlukan, nifedipin 10-20 mg oral setiap 30 menit sampai dosis
maksimal 50 mg dalam satu jam.
Hipoksemia maternal dan hiperkarbia dapat menyebabkan perubahan denyut
jantung janin dan aktivitas rahim selama dan segara setelah konvulsi. Perubahan
denyut jantung janin meliputi bradikardi, deselerasi lambat transien, penurunan beat-
to-beat variabilitas, dan takikardi kompensasi. Perubahan aktivitas uterus meliputi
peningkatan frekuensi dan tonus. Hal ini biasanya membaik secara spontan dalam 3-10
menit setelah terminasi konvulsi dan koreksi hipoksemia maternal. Bagaimanapun
juga, penting untuk tidak melakukan persalinan pada keadaan ibu yang tidak stabila,
bahkan bila terjadi fetal distres. Setelah konvulsi dapat diatasi, tekanan darah sudah
dikoreksi, dan hipoksia sudah diatasi, persalinan dapat dimulai. Pasien ini tidak perlu

42
buru-buru dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal tidak stabil. Lebih baik
bagi janin untuk bertahan dalam uterus untuk perbaikan hipoksia dan hiperkarbia
akibat konvulsi maternal. Namun, bila bradikardi dan/atau deselerasi lambat berulang
menetap lebih dari 10-15 menit setelah segala usaha resusitasi, diagnosis solusio
plasenta harus ditegakkan. Adanya eklamsi bukan indikasi untuk dilakukan seksio.
Keputusan untuk mengadakan seksio harus berdasarkan usia janin, kondisi janin, dan
skor bishop. Direkomendasikan untuk mengadakan seksio pada wanita yang
mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan 30 minggu yang tidak dalam fase
pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien yang mengalami ruptur membran
atau pembukaan diperbolehkan untuk menjalani persalinan per vaginam bila tidak
terdapat komplikasi obstetrik. Anestesi rasa nyeri maternal selama pembukaan dan
persalinan dapat dilakukan dengan anestesi epidural yang direkomendasikan pada
wanita dengan preeklamsi berat. Untuk persalinan dengan seksio, regional anestesi
seperti epidural, spinal, atau teknik kombinasi dapat dipergunakan. Anestesi regional
dikontraindikasikan bila terdapat koagulopati atau trombositopeni berat (< 50.000
mm3). Pada wanita dengan eklamsi, anestesi umum meningkatkan risiko aspirasi dan
gagal intubasi karena edema jalan nafas dan peningkatan tekanan darah sistemik
(transient reflex hypertension) dan serebral selama intubasi.
Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap tanda vital,
intake-otput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini biasanya menerima cairan IV
yang banyak selama fase pembukaan, persalinan, dan post partum. Sebagai tambahan,
selama post partum terjadi pergeseran cairan ekstraselular sehingga terjadi
peningkatan volume cairan intravaskular. Hasilnya, wanita dengan eklamsi, terutama
dengan gangguan fungsi ginjal, solusio plasenta, hipertensi kronis, memiliki risiko
terjadinya edema pulmonal. Magnesium perenteral harus dilanjutkan selama 24 jam
setelah persalinan dan/atau selama 24 jam setelah konvulsi terakhir. Jika pasien
mengalami oliguria (< 100 mL/4 jam), pemberian infus dan dosis magnesium sulfat
harus dikurangi. Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi oral seperti labetalol
atau nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan sistolik di bawah 155 mmHg
dan tekanan diastolik di bawah 105 mmHg. Rekomendasi labetalol oral adalah 200 mg

43
setiap 8 jam (dosis max 2400 mg/hari) dan rekomendasi dosis nifedipine 10 mg oral
setiap 6 jam (dosis max 120 mg/hari).
Penatalaksanaan cairan dilakukan karena salah satu sebab mortalitas maternal
adalah gangguan kardiorespiratori. Wanita eklamsi, walaupun mungkin hipovolemia,
mengalami overload cairan bila dihitung total cairan dalam tubuhnya. Hal ini terjadi
karena edema yang sering terjadi pada pasien ini. Untuk menghindari komplikasi
iatrogenik pada pasien eklamsi, seperti edema pulmonal, ARDS, dan gagal jantung
kiri, keseimbangan input dan output harus dijaga dengan ketat. Dalam usaha untuk
meningkatkan tekanan osmotik plasma, cairan koloid sering digunakan. Cairan IV
diberikan dengan jumlah 80 ml/jam (1 ml/kgBB/jam) atau output urine jam
sebelumnya ditambah 30 ml. Output urin dimonitor dengan baik bila menggunakan
kateter. Untuk membantu monitor keseimbangan cairan, dapat digunakan Central
Venous Pressure (CVP) kateter, dan dijaga agar tekanan < 5 cmH2O.

6. Pilihan obat anti hipertensi


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah
menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih
memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil
dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak
yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan
insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi
insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan
hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi
identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium,
pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan
preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita
dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan
tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat

44
menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi.
Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat
progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas.
Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan
kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah
memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa
gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan
maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit
yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan
per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress
akibat operasi.
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti
hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika
persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena
keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis
kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian
parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi
persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan
menurunkannya sampai 95-105 mmHg.Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam
penanganan hipertensi dalam kehamilan :
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat
menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon
simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac
output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin
dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110
mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis
hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang
memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak

45
terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral
dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.

2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-
adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif β,
dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa
labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi
hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian
adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80
mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau
tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20
menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa
labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP,
pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini
menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian
memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik
minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama
hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi
penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi.

46
Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut
jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam
dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti
nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat
menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini
dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut
penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena
tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak
kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif
dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi
penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien
karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan
merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam
menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi
umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan
secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini
merupakan anti hipertensi potensi sedang.
4. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi
yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini
menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung
dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi
reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek
neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi
cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya

47
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3
jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan
obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.
5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis
0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4
mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama
kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi
cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis
hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang
belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metildopa.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat
menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa
menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah
penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin
dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal
ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang
menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.
7. Diuretik

48
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan
tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi
sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena
efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut
sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh
karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena
dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping
terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus
khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko
defek janin.
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa
penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis
prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator
poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.
OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi

49
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi

7. Efek Samping Obat


Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada
fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah
dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal
dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan
janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian
kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas
karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan
untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti
hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan
volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin
adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan
digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang
rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu
daripada plasma ibu.

50
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE
inhibitor.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Obstetrician and Gynecologists: Diagnosis dan management of


preeclampsia and eclampsia.Practice bulletin No.33, Januari 2002
2. Audibert F, Benchimol Y, Benattar C et al: Prediction of preeclampsia or intrauterine growth
restrcition by second trimester serum screening and uterine Doppler velocimetry. Fetal Diagn
Ther 20:48,2005
3. Chames MC, Livingstone JC, Ivester TS et al: Late postpartum eclampsia : A preventable
disease? Am J Obstet Gyncol 186:1174,2002
4. Chappell LC, Seed OT,Briley A, et al : A longitudinal study of biochemical variables in
women at risk of preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 187,127,2002
5. Blog dr.Bambang Widjanarko
http://reproduksiumj.blogspot.com/search?q=hipertensi+dalam+kehamilan

52

Anda mungkin juga menyukai