DIFTERI
PENDAHULUAN
Difteri berasal dari bahasa yunani yang berarti kulit. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan oleh seorang dokter dari prancis yang bernama Arman Trousseau
(1801-1867) pada tahun 1855. Sebelum era imunisasi, difteri merupakan penyebab
dengan pemberian toksoid difteri, difteri hampir hilang terutama di negara maju.
dengan EPI sejak tahun 1976, dan telah melaksanakan vaksinasi dengan tiga dosis
TUJUAN
DEFINISI
diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik (bahan eksudat dari lesi di
Difteri adalah infeksi bakteri yang dapat dicegah dengan imunisasi. Infeksi
dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan ngorok (stridor) dan
kematian.3
ETIOLOGI
ini adalah kuman batang gram positif, dimana kuman ini tidak membentuk spora,
tahan dalam keadaan beku dan kering dan mati pada pemanasan 60ºC. Akan tetapi
terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempermudah terinfeksi penyakit Difteri,
yaitu :4
Kualitas vaksin yang tidak bagus dan akses pelayanan kesehatan yang
kurang.
Faktor lingkungan tidak sehat seperti sanitasi yang buruk dan rumah yang
EPIDEMIOLOGI
Kasus difteri tidak pernah mereda sejak 2006, Kejadian Luar Biasa (KLB)
terjadi di Tasikmalaya menyerang umur 1-15 tahun dengan Case Fatality Rate
(CFR) 3,91%, di Garut pada anak 2-14 tahun dengan CFR 11,76%. Jumlah kasus
difteri di Indonesia pada tahun 2006, 2008, 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut
adalah 432, 210, 187, 432, dan 650 kasus. Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari
333 kasus difteri yang muncul di Jawa Timur (Jatim) selama tahun 2011. Pada
tahun 2014, kasus difteri telah ditemukan pada dua kecamatan yaitu Koto Tangah
dan Kuranji. Data kasus difteri menunjukkan bahwa 68–74% di antaranya adalah
anak di bawah umur 15 tahun. Sedangkan sisanya adalah dewasa dan lansia.
di Indonesia meningkat dari 72% di tahun 1986 menjadi 85% pada tahun 2013,
namun angka tersebut tidak merata pada beberapa provinsi seperti Kalimantan
Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua, yang hanya mencapai 52,4% – 74%.5
PATOGENESIS
serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula
menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen
akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pada awalnya mudah dilepas.
Semakin banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga
terbentuk eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat
selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan
secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami
kesulitan bernapas. Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan
tenggorokan.7
KLASIFIKASI
berikut:6
a. Difteri hidung.
Pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa
putih pada daerah septum nasi. Absorbsi sangat lambat dan gejala sistemik
b. Difteri faring.
Gejala difteri faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan , dan nyeri
telan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna
putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
c. Difteri laring
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk
trakeobronkial.
Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak
dikulit, tapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung
DIAGNOSIS
membran yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang laba-laba dan
dilakukan secara hati-hati karena dapat mencetuskan obstruksi total saluran napas.
Pada anak dengan difteri faring, terlihat jelas bengkak pada leher (bull neck).
KOMPLIKASI
Miokarditis dan paralisis otot dapat terjadi 2-7 minggu setelah awitan penyakit.
Tanda miokarditis meliputi nadi tidak teratur, lemah dan terdapat gagal
jantung.4
PENATALAKSANAAN
Antitoksin
Antibiotik
Pada pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain dengan dosis 50
Karena terdapat risiko alergi terhadap serum kuda dalam ADS maka perlu
dilakukan tes kulit untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas dan harus tersedia
Oksigen
respiratorik.
Tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah
oksigen. Penggunaan nasal prongs atau kateter hidung atau kateter nasofaring dapat
Trakeostomi/Intubasi
terjadi tanda obstruksi jalan napas disertai gelisah, harus dilakukan trakeostomi
obstruksi.
Perawatan penunjang
parasetamol.
Bujuk anak untuk makan dan minum. Jika sulit menelan, beri makanan
PENCEGAHAN
yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun
DT. Diberikan 0,5 ml secara I.M., imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali
tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang
pertama.8
PROGNOSIS
dengan kolaps sirkulasi terjadi di setidaknya 10% dari pasien difteri saluran
pernapasan. Angka kematian belum membaik dan sekitar 20% di wabah yang
terjadi di negara-negara yang baru merdeka dari Uni Soviet pada awal 1990-an.
penyakitnya cepat dideteksi yaitu pada hari ke-1 dan terapi segera dimulai, tingkat
kematian sekitar 1%. Jika perawatan yang tepat tidak segera dilakukan hingga hari
DAFTAR PUSTAKA
Penyakit. 2012: 5.
109.
Jurnal: 2014.