Anda di halaman 1dari 11

1

DIFTERI

PENDAHULUAN

Difteri berasal dari bahasa yunani yang berarti kulit. Penyakit ini pertama

kali dilaporkan oleh seorang dokter dari prancis yang bernama Arman Trousseau

(1801-1867) pada tahun 1855. Sebelum era imunisasi, difteri merupakan penyebab

kematian tinggi di antara anak-anak di dunia. Setelah program pengembangan

imunisasi yang menyeluruh / Expanded Program Immunization(EPI) dilaksanakan

dengan pemberian toksoid difteri, difteri hampir hilang terutama di negara maju.

Indonesia telah melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) sesuai

dengan EPI sejak tahun 1976, dan telah melaksanakan vaksinasi dengan tiga dosis

DPT pada bayi dengan cakupan yang tinggi.1

TUJUAN

Tujuan penulisan refarat ini untuk menjelaskan defenisi, etiologi,

epidemiologi, patogenesis, klasifikasi, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan,

pencegahan dan prognosis dari difteri.

DEFINISI

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium

diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik (bahan eksudat dari lesi di

kulit) dan pernafasan. Daya penularan penyakit ini sangat tinggi.2


2

Difteri adalah infeksi bakteri yang dapat dicegah dengan imunisasi. Infeksi

saluran respiratorik atas atau nasofaring menyebabkan selaput berwarna keabuan

dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan ngorok (stridor) dan

penyumbatan. Sekret hidung berwarna kemerahan. Toksin difteri menyebabkan

paralisis otot dan miokarditis, yang berhubungan dengan tingginya angka

kematian.3

ETIOLOGI

Penyebab penyakit difteri adalah bakteri Corynebacterium diphteriae. Bakteri

ini adalah kuman batang gram positif, dimana kuman ini tidak membentuk spora,

tahan dalam keadaan beku dan kering dan mati pada pemanasan 60ºC. Akan tetapi

terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempermudah terinfeksi penyakit Difteri,

yaitu :4

 Cakupan imunisasi kurang atau tidak mendapat imunisasi secara lengkap.

 Kualitas vaksin yang tidak bagus dan akses pelayanan kesehatan yang

kurang.

 Faktor lingkungan tidak sehat seperti sanitasi yang buruk dan rumah yang

berdekatan yang mempermudah penyebaran difteri.

 Tingkat pengetahuan ibu rendah tentang imunisasi dan gejala difteri.


3

Gambar 1: bakteri Corynebacterium diphteriae


4

EPIDEMIOLOGI

Kasus difteri tidak pernah mereda sejak 2006, Kejadian Luar Biasa (KLB)

terjadi di Tasikmalaya menyerang umur 1-15 tahun dengan Case Fatality Rate

(CFR) 3,91%, di Garut pada anak 2-14 tahun dengan CFR 11,76%. Jumlah kasus

difteri di Indonesia pada tahun 2006, 2008, 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut

adalah 432, 210, 187, 432, dan 650 kasus. Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari

333 kasus difteri yang muncul di Jawa Timur (Jatim) selama tahun 2011. Pada

tahun 2014, kasus difteri telah ditemukan pada dua kecamatan yaitu Koto Tangah

dan Kuranji. Data kasus difteri menunjukkan bahwa 68–74% di antaranya adalah

anak di bawah umur 15 tahun. Sedangkan sisanya adalah dewasa dan lansia.

Keadaan ini menggambarkan tidak tercapai serta tidak meratanya cakupan

imunisasi di Indonesia. Data WHO menunjukkan naiknya cakupan Imunisasi DPT3

di Indonesia meningkat dari 72% di tahun 1986 menjadi 85% pada tahun 2013,

namun angka tersebut tidak merata pada beberapa provinsi seperti Kalimantan

Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua, yang hanya mencapai 52,4% – 74%.5

PATOGENESIS

Kuman Corinebacterium Diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat

serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan

mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke

seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh

manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula

menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen

A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga proses translokasi tersebut

tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,


5

akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan

jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pada awalnya mudah dilepas.

Semakin banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga

terbentuk eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat

berwarna kelabu kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung.6

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan

selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat

amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan

berwarna abu-abu. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau

secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami

kesulitan bernapas. Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan

tenggorokan.7

KLASIFIKASI

Secara klinis difteri diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi sebagai

berikut:6

a. Difteri hidung.

Pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa

atau disertai gejala sistemik ringan. Pada pemeriksaan tampak membran

putih pada daerah septum nasi. Absorbsi sangat lambat dan gejala sistemik

yang timbul tidak nyata sehingga lama untuk terdiagnosis.


6

b. Difteri faring.

Gejala difteri faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan , dan nyeri

telan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna

putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan

palatum molle atau ke bawah laring trakea.

c. Difteri laring

Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang

lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk

kering. Pada kasus yang berat, membran dapat meluas kepercabangan

trakeobronkial.

d. Difteri Kulit, Vulvovagina, Konjungtiva dan Telinga.

Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak

dikulit, tapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung

menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa

kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga

berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

DIAGNOSIS

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan

laboratorium. Secara klinik diagnosa dapat ditegakkan dengan melihat adanya

membran yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang laba-laba dan

mudah berdarah bila diangkat.8


7

Gambar 2: Membran melebar melewati tonsil.

Secara hati-hati periksa hidung dan tenggorokan anak, terlihat warna

keabuan pada selaputnya, yang sulit dilepaskan. Pemeriksaan tenggorokan perlu

dilakukan secara hati-hati karena dapat mencetuskan obstruksi total saluran napas.

Pada anak dengan difteri faring, terlihat jelas bengkak pada leher (bull neck).

KOMPLIKASI

Miokarditis dan paralisis otot dapat terjadi 2-7 minggu setelah awitan penyakit.

 Tanda miokarditis meliputi nadi tidak teratur, lemah dan terdapat gagal

jantung.4

PENATALAKSANAAN

Antitoksin

 Berikan 40 000 unit ADS IM atau IV sesegera mungkin, karena jika

terlambat akan meningkatkan mortalitas.

Antibiotik

 Pada pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain dengan dosis 50

000 unit/kgBB secara IM setiap hari selama 7 hari.


8

Karena terdapat risiko alergi terhadap serum kuda dalam ADS maka perlu

dilakukan tes kulit untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas dan harus tersedia

pengobatan terhadap reaksi anafilaksis.

Oksigen

 Hindari memberikan oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran

respiratorik.

Tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah

merupakan indikasi dilakukan trakeostomi (atau intubasi) daripada pemberian

oksigen. Penggunaan nasal prongs atau kateter hidung atau kateter nasofaring dapat

membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi saluran respiratorik.

 Walaupun demikian, oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi obstruksi

saluran respiratorik dan perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi.

Trakeostomi/Intubasi

Gambar 3: Bull Neck

Trakeostomi hanya boleh dilakukan oleh ahli yang berpengalaman, jika

terjadi tanda obstruksi jalan napas disertai gelisah, harus dilakukan trakeostomi

sesegera mungkin. Orotrakeal intubasi oratrakeal merupakan alternatif lain, tetapi


9

bisa menyebabkan terlepasnya membran, sehingga akan gagal untuk mengurangi

obstruksi.

Perawatan penunjang

 Jika anak demam (≥ 39º C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri

parasetamol.

 Bujuk anak untuk makan dan minum. Jika sulit menelan, beri makanan

melalui pipa nasogastrik.4

PENCEGAHAN

Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi,

yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun

DT. Diberikan 0,5 ml secara I.M., imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali

pemberian dengan interval waktu pemberian 6 - 8 minggu. Ulangan dilakukan satu

tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang

pertama.8

Tabel 1: Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 tahun.


1
0

PROGNOSIS

Kematian karena obstruksi jalan napas mekanik atau keterlibatan jantung

dengan kolaps sirkulasi terjadi di setidaknya 10% dari pasien difteri saluran

pernapasan. Angka kematian belum membaik dan sekitar 20% di wabah yang

terjadi di negara-negara yang baru merdeka dari Uni Soviet pada awal 1990-an.

Prognosis tergantung pada virulensi organisme, usia dan status imunisasi

pasien, keterlibatan, dan kecepatan antitoksin diberikan. Untuk pasien yang

penyakitnya cepat dideteksi yaitu pada hari ke-1 dan terapi segera dimulai, tingkat

kematian sekitar 1%. Jika perawatan yang tepat tidak segera dilakukan hingga hari

ke-4, angka kematian naik menjadi 20%.9


1
1

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmil Kusnandi. Chairulfatah Alex.dkk. Wabah Difteri di Kecamatan

Cikalong Watan, Kabupaten Cianjur. Jawa Barat. Indonesia.Sari Pediatri,

Vol.12. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. FK UNPAD; 2011: 397-398.

2. Wismarini Made Desak. Muhadir Andi. Dkk. Difteri. Krida Pengendalian

Penyakit. 2012: 5.

3. World Health Organization. Difteri. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di

Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: 2008: 106-

109.

4. Sefty Nurul. Penyakit Difteri, Gejala, Penyebab dan Cara Mengobati.

Jurnal: 2014.

5. Hendarto Aryono. Munasir Zakiudin. Dkk. Difteri . Current Evidences in

Pediatric Emergencies Management. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2014: 1-14.

6. Hegar Badriul. Handryastuti Setyo. Dkk. Kejadian Luar Biasa Difteri.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015.

7. Menkes R.I., 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.Jakarta;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: 18-24.

8. Lubis P Chairuddin. Diphtheria. Fakultas Kedokteran USU. Medan : 2012.

9. Demirci S Cem. Pediatric Diphtheria. Jurnal. Medscape: 2016.

Anda mungkin juga menyukai