2242 6541 1 PB
2242 6541 1 PB
Abstract
Since the New Order regime collapsed in 1998, the face of Indonesian Islam
became increasingly complex. This is because the various manifestations of
Islam in Indonesia, both as a political force as well as social and strength.
The complexity of Islam after the New Order was also more pronounced
because the process of development and change in terms of thought and
forms of movement. In addition, Indonesian Islam witnessed the birth of the
new educated middle class well to intensive contact with the ideas of
modernity. Thanks to the development of Islamic educational institutions,
the Muslims whether they are socio-cultural background and traditional and
modern religious alike have the opportunity to tap into a new pattern of
Indonesian life.
Pendahuluan
Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadikan
sebagai negara muslim terbesar di dunia. Namun, Islam seringkali menjadi
sasaran kecurigaan dari negara. Negara mencurigai Islam dalam manifestasinya
sebagai kekuatan politik. Sementara itu, banyak kalangan di lingkungan gerakan
Islam berpandangan bahwa Islam sebagai kekuatan politik juga berhak untuk
menjalankan peran politik. Namun selama masa pemerintahan Orde Baru, Islam
tidak pernah diizinkan untuk mengekspresikan dirinya sebagai sebuah kekuatan
politik formal. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila masa pemerintahan
Orde Baru ditandai oleh ketegangan antara negara dan Islam.
Tanda-tanda perubahan dalam hubungan antara negara dan Islam mulai
terlihat sejak akhir dekade 1980-an ketika rezim Orde Baru memperluas basis
dukungan di luar militer dan Golkar. Hal ini mulai mengubah pandangan
mengenai peran Islam dalam masyarakat Orde Baru, dan mencoba untuk
mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok gerakan Islam. Perubahan ini
misalnya ditandai oleh terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
1
Dosen P.IPS Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Jl. Gajayana No 50 Malang 65144
(ICMI) pada akhir tahun 1990. Memasuki dasawarsa 1990-an tampak bahwa
negara mulai melakukan pendekatan dan rekonsiliasi dengan Islam.
Terlepas dari proses ketegangan dan rekonsiliasi antara negara dan Islam
selama pemerintahan Orde Baru, suatu hal yang patut menjadi catatan adalah
kemampuan arus besar (mainstream) Islam Indonesia untuk tetap eksis tanpa
harus terlalu tergantung kepada negara. Meskipun negara di bawah kendali Orde
Baru berhasil memangkas peran politik Islam -sebagai kekuatan dalam
masyarakat- Islam terus berkembang sebagai sumber nilai. Organisasi-organisasi
Islam terus memainkan peran signifikan sebagai organisasi kemasyarakatan,
dengan dukungan dan akar yang kuat dalam masyarakat, di berbagai kegiatan
sosial dan pendidikan.
Meskipun punya kesamaan posisi dalam tatanan politik negara, Islam di
Indonesia bukanlah kekuatan yang monolitik. Pluralitas dan keberagaman menjadi
karakteristik utama Islam di Indonesia. Deskripsi umum terhadap Islam di
Indonesia kerap merujuk kepada karakteristik adanya dua aliran besar (school of
thought), yakni Islam Modernis dan Islam Tradisionalis. Namun, sejak
berakhirnya era Orde Baru pada tahun 1998, dan dimulainya era keterbukaan
politik dan demokratisasi, penggambaran Islam di Indonesia dalam simplikasi
modernis-tradisionalis tidak lagi mencerminkan realitas sebenarnya yang semakin
kompleks.
Berakhirnya tekanan dan pembatasan politik oleh negara telah membuka
ruang bagi proses manifestasi berbagai ragam gerakan dan pemikiran dalam
komunitas Islam Indonesia. Hal ini antara lain ditandai oleh kelahiran berbagai
partai politik yang secara formal mengusung ideologi dan cita-cita Islam.
Kelahiran berbagai partai politik berbasiskan Islam, merupakan wujud dari
kembalinya Islam sebagai kekuatan politik, meskipun keberadaan partai-partai
politik Islam ini tetap diwarnai oleh derajat pluralitas dan keberagaman yang
tinggi. Disamping kelahiran kembali Islam politik, kehidupan Islam di Indonesia
juga ditandai oleh dua fenomena tampilnya berbagai gerakan-gerakan sosial dan
kelahiran organisasi-organisasi Islam baru.
Bagaimanakah pendidikan Islam di Indonesia memunculkan lahirnya
gerakan sosial? Siapakah yang menjadi aktor di belakang kelahirannya? Faktor-
Gerakan Sosial
Dari sudut teori gerakan dalam kajian Islam pada garis besarnya gerakan
sosial dapat digolongkan dua pendekatan. Pertama, adalah pengikut “the new
orientalism”, yang melihat munculnya gerakan Islam sebagai wujud dari pengaruh
karena adanya tafsiran baru mengenai ajaran agama. Sehingga suatu gerakan
muncul dianggap bermula dari ide dan gagasan keagamaan, yaitu selalu ada
seorang tokoh yang kharismatik dengan tiba-tiba gagasan ke-Islaman-nya
mempunyai pengaruh besar untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Oleh
karena itu, para pendukung gerakan ini diikat oleh komitmen terhadap paham
tertentu yang menjadi legitimasi dan tujuan, serta merumuskan konsep dan bentuk
gerakan dalam situasi politik dan ekonomi yang mereka hadapi. Kedua, mereka
yang berasal dari kalangan “the new social history”, melihat munculnya kesadaran
kolektif di kalangan Islam lebih bermula dari pertanyaan sosiologis, mengapa
suatu gerakan itu muncul? Meskipun dalam retorika dan idiom-idiom gerakan itu
menggunakan Islam, namun bagi kalangan ini yang penting harus dipahami,
2
Kyai Haji Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama), organisasi muslim tradisional
Indonesia. Ia juga mendapat gelar Rais Akbar. Lahir di Jombang pada 14 Pebruari 1871 dan
mendapat pendidikan Islamnya di Makkah setelah belajar di pesantren-pesantren Jawa Timur dan
Madura. Ia berguru kepada ulama terkemuka al-Haramain pada masanya seperti Sheikh Ahmad
Khatib Minangkabau dan Sheikh Mahfudz al-Tirmizy. Ketika kembali ke Indonesia, ia mendirikan
dan memimpin pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
3
Kyai Ahmad Dahlan merupakan pendiri organisasi Muhammadiyah (1912). Ia lahir pada 1869 di
Yogyakarta dengan nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, Kyai Haji Abubakar bin Kyai
Sulaiman, adalah khatib (penyampai khutbah Jum’at) di Masjid Sultan Yogyakarta sementara
ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu. Setelah belajar agama, terutama nahw (tata
bahasa Arab), fiqh dan tafsir di Yogyakarta, pada 1890 ia berangkat ke Makkah dan belajar di
bawah bimbingan Sheikh Ahmad Khatib Minangkabau. Setelah kembali ke Indonesia, di samping
berdagang –yang merupakan sumber ekonomi- ia menjalin relasi dengan banyak kalangan ulama
pembaharu.
this word” yang diserukan Julien Benda pada 1920-an merupakan simbol bahwa
intelektual juga tidak pernah didorong oleh kepentingan pribadi dalam
melontarkan ”tugas-tugas intelektualnya”. (Julien Benda: 1969). Dengan berbagai
perbedaan, dapat dikatakan bahwa ulama memiliki peranan sejajar dengan
intelektual sekuler.
Namun, pada perkembangannya kemudian, peranan yang dimainkan ulama
tidak selalu mencerminkan suara hati masyarakat. Posisi ulama yang seringkali
muncul dari struktur pemerintahan menyebabkan ulama tidak memiliki
independensi untuk menyampaikan aspirasinya. Kapasitasnya ulama yang hanya
mengandalkan kewibawaan tradisional seringkali tidak mampu menampung
aspirasi masyarakat modern yang semakin kompleks. Pada masa Turki Utsmani
misalnya, ulama telah menjadi bagian dari institusi negara. Muncul kemudian
istilah ulama resmi (ulama-i resmiye) sebagai lawan dari ulama tarekat (ulama-i
tariq) yang bersifat independen. Pembagian seperti itu menyimbolkan bahwa
sebagian ulama telah terkooptasi negara. Secara umum memang dapat dikatakan
bahwa modernisasi yang berlangsung sejak abad ke-19 diberbagai belahan dunia
Islam juga membawa efek kepada semakin merosotnya otoritas ulama.
Tidak heran jika sejak periode tersebut dunia Islam menyaksikan kritisisme
terhadap ulama yang semakin besar. Menariknya, kritik itu tidak datang dari
kelompok lain, tetapi justru datang dari kalangan ulama sendiri, terutama mereka
yang mendukung tajdid (Islamic reform). Pada awal abad ke-19 di Afrika Barat
misalnya, banyak kritik dialamatkan kepada para ulama yang bersikap kompromis
terhadap praktik-praktik keagamaan lokal. Mereka menyebut para ulama tersebut
sebagai kelompok ulama su’ (ulama buruk), sebuah istilah yang datang dari al-
Ghazali untuk menunjuk ulama yang berkolaborasi dengan penguasa. Kritik-kritik
serupa yang terus dialamatkan kepada para ulama, bersamaan dengan semakin
terbukanya kesempatan memperoleh pendidikan secara massif, mendorong
munculnya sebuah kelas baru dalam masyarakat muslim yang kemudian dikenal
dengan intelektual muslim.
Intelektual muslim merupakan partner sekaligus saingan bagi ulama.
Otoritas keagamaan tidak hanya mengalami fragmentasi, yang berarti gagasan-
gagasan yang berkaitan kehidupan keagamaan tidak menjadi monopoli ulama,
Penutup
Muncul dan berkembangnya kelompok –yang secara kolektif- disebut
intelektual muslim di seluruh dunia Islam menandai sebuah babak baru dalam
sejarah Islam. Intelektual muslim merupakan sebuah kelompok baru pemikir
Islam yang berbeda dari ulama dan intelektual sekuler. Berbeda dengan ulama,
kelompok intelektual muslim pada umumnya mendapatkan pendidikan di luar
institusi-institusi pendidikan tradisional. Disamping itu, mereka juga melakukan
reinterpretasi Islam dan menempatkannya dalam konteks modernitas dengan
menggunakan pendekatan kesarjanaan modern. Mereka tidak hanya terlibat dalam
diskusi-diskusi masalah ummat dalam ruang publik, tetapi juga memiliki
komitmen untuk selalu bersikap kritis dan selalu menyelidiki implikasi moral dari
modernitas.
Intelektual muslim, yang secara kolektif mulai menguat pada awal abad ke-
20, menandai awal bangkitnya modernitas di dunia Islam. Pada periode ini, dunia
Islam mengalami pergulatan dengan kolonialisme dan imperialisme yang
menimbulkan berbagai implikasi. Pergulatan fisik melawan kolonialisme
membuka kembali wacana tentang jihad dengan pemaknaan yang semakin
beragam dan kompleks. Sementara itu, interaksi di tingkat budaya menimbulkan
culture exchange yang tidak hanya menjadi latar belakang munculnya kelas
intelektual muslim, tetapi juga memicu semangat dan gairah baru di kalangan
mereka untuk mendialogkan Islam dengan nilai-nilai modernitas.
Dalam konteks Indonesia, dialog antara Islam dengan modernitas mulai
berkembang secara intensif sejalan dengan kebangkitan dunia Islam secara umum.
Muncul dan berkembangnya organisasi-organisasi muslim modernis dengan
berbagai program yang bermuara pada konsep kemajuan Islam, semakin
menempatkan kelompok intelektual muslim dalam arus utama perkembangan
Islam di Indonesia. Hal ini karena melalui organisasi-organisasi muslim modernis
–dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di bawahnya- mereka secara
berkelanjutan bekerja untuk melakukan reformulasi dan reinterpretasi Islam dalam
konteks meminjam istilah Nurcholish Madjid –keindonesiaan dan kemodernan-.
Dalam konteks ini, sebutan bahwa Islam Indonesia memiliki corak yang berbeda
dengan Timur Tengah dalam pengertian lebih damai dan ramah, jelas tidak
Daftar Rujukan
Abdurrahman, Moeslim. 2010. Politik Umat Politik Pemberdayaan. Makalah
disampaikan pada Muhammadiyah Update, PSIF UMM, Malang, 26 Maret.
Anwar, M. Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina.
Basyaib, Hamid. 10 Agustus 2005. Mitos Moderasi Islam Indonesia. Media Indonesia
Benda, Julien. 1969. The Treason of the Intellectuals. New York: Norton.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Eickelman, Dale F. dan John W. Anderson. 1999. Redefining Muslim Publics. Dalam
Dale F. Eickelman and John W. Anderson (eds.). New Media in the Muslim World:
The Emerging Public Sphere. Bloomington: Indiana University.
Esposito, John L. dan John O. Voll. 2001. Makers of Contemporary Islam. Oxford
University Press.
Jabali, Fuad dan Arief Subhan. 2007. Intelektual Muslim dan Lahirnya Rumusan Baru
Islam Indonesia. Dalam Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer.
CSIS. Yogyakarta: Kanisius.
Steenbrink, Karel. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam pada Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES.