Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan yang berbentuk segitiga yang meluas dari
konjungtiva ke kornea. Menurut Fritz (dalam Erry et al, 2011) mengemukakan bahwa
pterigium lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada di bagian temporal. Pterigium diduga
timbul karena iritasi yang terus menerus dari angin, sinar matahari, dan udara yang panas.
Pada tahap awal pertumbuhan, pasien biasanya merasakan matanya panas, perasaan
mengganjal seperti terdapat benda asing, sering merah dan terjadi keunduran tajam
penglihatan. Bila telah mencapai sentral kornea dapat mengakibatkan gangguan visus.
Menurut Erry et al (2011) mengemukakan bahwa apabila sudah mencapai sentral kornea,
perlu dilakukan eksisi jaringan pterigium dengan dilakukan pembedahan.
Pterigium sering ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis, prevalensinya
semakin tinggi di daerah ekuator, secara geografis ada beberapa daerah di Indonesia yang
berada di daerah ekuator. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erry et al (2011)
mengemukakan bahwa pterigium menjadi masalah bagi masyarakat pedesaan terutama
nelayan dan petani yang sering terpapar oleh sinar matahari. Dan masalah kesehatan ini
semakin meningkat pada masyarakat yang tinggal di daerah ekuoator.
Pterigium merupakan kompetensi 3A dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI). Kompetensi 3A bagi seorang dokter umum adalah memiliki kemampuan untuk
membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan
gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan (SKDI, 2012). Sehingga dengan demikian, perlu adanya pembelajaran
dan penelaahan bagi calon dokter untuk mengetahui dan menguasai kemampuan 3A tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana etiologi dan patofisiologi pterigium ?
2. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan pterigium ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui etiologi dan patofisiologi pterigium
2. Mengetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan pterigium ?
2

1.4 Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai pterigium untuk ilmu kedokteran pada umumnya dan
ilmu penyakit mata pada khususnya.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu penyakit mata.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (Konjungtiva bularis). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra menjadi sambungan mukokutan dan dengan epitel kornea di limbus (Vaughen &
Asbury, 2010).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat ke
tarsus. Konjungtiva melipat ke posterior pada forniks superior dan inferior dan membungkus
episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjugtiva bulbaris melekat ke septum orbitale,
kapsul tenon dan sklera. Pada septum orbitale, Konjuntiva melekat di fornices dan berlipat
berkali-kali. Dengan adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sektertorik. Pada konjungtiva bulbar terdapat plica
semilunaris yang merupakan bagian konjungtiva yang tebal, lunak dan mudah bergerak dan
terletak di kantus internus (Vaughen & Asbury, 2010).
Konjungtiva memiliki 2 sampai 5 lapisan sel epitel. Pada lapisan epitel konjungtiva
bagian superfisial terdapat sel-sel goblet yang mensekresi mukus., yang akan bercampur
dalam lapisan air mata. Pada epitel konjungtiva bagian basal dapat mengandung pigmen
sehingga berwarna lebih gelap dibandingkan dengan epitel bagian superfisial. Pada
konjungtiva terdapat kelenjar krause dan wolfring, kedua kelenjar tersebut merupakan kelejar
lakrimal aksesorius yang berfungsi untuk mengatur skeresi air mata basal (Vaughen &
Asbury, 2010).
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan
bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
4

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva

2.2 Anatomi Kornea


Kornea merupakan jaringan transparan pada mata. Kornea ini disisipkan ke dalam
sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm di pusatnya (terdapat variasi menurut ras);
diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke posterior,
kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda, yakni lapisan epitel, lapisan bowman,
stroma, lapisan descemet, dan lapisan endotel (Vaughen & Asbury, 2010).
Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel. Lapisan Bowman merupakan
lapisan jernih aselular, yang merupakan bagian stroma yang berubah. Stroma kornea
menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Bagian ini tersusun atas jalinein lamella serat-serat
kolagen dengan lebar sekitar 10-250 µm dan tinggi 1-2 µm yang mencakup hampir seluruh
diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea, dan karena ukuran
dan kerapatannya menjadi jernih secara optis. Lamella terletak di dalam suatu zat dasar
proteoglikanterhidrasi bersama keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar. Membran
Descemet, yang merupakan lamina basalis endotel kornea, memiliki tampilan yang homogen
dengan rnikroskop cahaya tetapi tampak berlapis-lapis dengan mikroskop elektron akibat
perbedaan struktur antara bagian pra- dan pascanasalnya. Saat lahir, tebalnya sekitar 3 pm
dan terus menebal selama hidup, mencapai 10- 12 µm. Endotel hanya memiliki satu lapis sel,
tetapi lapisan ini berperan besar dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Endotel
5

kornea cukup rentan terhadap trauma dan kehilangafl sel-selnya seiring dengan penuaan.
Reparasi endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel, dengan
sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan menimbulkan edema kornea
(Vaughen & Asbury, 2010).
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian besar oksigen
dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophthalmicus) nervus
kranialis V (trigeminus). Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas, dan deturgensinya (Vaughen & Asbury, 2010).

Gambar 2.2 Lapisan Kornea

2.3 Definisi Pterigium


Pterigium berasal dari kosakata Yunani, yakni “pteron” yang berarti sayap (wing).
Menurut voghen & Asbury (2010) menuturkan bahwa pterigium merupakan suatu perluasan
pinguecula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan biasanya bilateral. Pinguecula
merupakan adanya nodul kuning pada kedua sisi kornea di daerah apertura palpebral Nodul
terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering
meradang (Vaughen & Asbury, 2010).
6

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah (Ilyas, 2009).

A B

Gambar 2.4 Gambar A : Gambaran Pterigium yang berbentuk seperti sayap;


Gambar B : Gambaran Pinguecula dengan nodul berwarna kuning

2.4 Epidemiologi Pterigium


Pterigium sering terjadi di daerah subtropics dan tropis, dan semakin banyak terjadi
pada daerah ekuator. Indonesia termasuk daerah tropis dan terdapat beberapa daerah di
Indonesia merupakan daerah ekuator. Sehingga masyarakat Indonesia memiliki faktor resiko
untuk terkena pterigium. Menurut penelitian Erry et al (2010) menyebutkan bahwa terdapat
26989 penderita yang terkena di kedua mata dan 16045 penderita yang terkena di salah satu
mata, data merupakan data dari data Riskesdas (2007).
Pada peneltitian tersebut menuturkan bahwa jumlah penderita pada orang dewasa
lebih banyak dibandinkan dengan anak-anak. Apabila menurut jenis kelamin tidak ada
perbandingan yang tidak terlalu mencolok antara laki-laki dan prempuan. Apabila melihat
dari jenis pekerjaan, prevalensi yang paling tinggi terdapat pada jenis pekerjaan yang sering
terpapar oleh sinar matahari, yakni petani dan nelayan (Erry et al,2010).
7

Tabel 2.1 Prevalensi Penderita Pterigium menurut Jenis Pekerjaan (Erry et al, 2010)

2.5 Klasifikasi Pterigium


Youngson, (1972) mengklasifikasikan pterigium primer menjadi 4 derajat
berdasarkan perluasannya ke kornea. Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium hanya terbatas
pada limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati limbus kornea tapi
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, derajat 3 bila pertumbuhan pterigium sudah melebihi
derajat dua tetapi tidak melebihi tepi pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm) dan derajat 4 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati tepi pupil.

Gambar 2.5 Derajat pterigium (Gambar A pterigium derajat 1, gambar B pterigium


derajat 2, gambar C pterigium derajat 3, gambar D pterigium derajat 4)
(Youngson,1972).

Sedangakan menurut Tan (2002) membagi pterigium menjadi 3 tipe berdasarkan


terlihat atau tidaknya pembuluh darah episklera, T1 (tipe atrofi) bila pembuluh darah
episklera terlihat jelas, T2 (tipe intermediate) bila pembuluh darah episklera terlihat sebagian,
dan T3 (tipe fleshy) bila pembuluh darah episklera tidak terlihat seluruhnya. Pembagian tipe
menurut Tan ini digunakan untuk menilai derajat keparahan pterigium.
8

A B C
Gambar 2.6 Tipe pterigium (Gambar A pterigium tipe atrofi (T1), gambar B
pterigium tipe intermediate (T2), gambar C pterigium tipe fleshy (T3) (Tan, 2002).

2.6 Etiologi & Patofisiologi Pterigium


Etiologi pterigium belum dapat ditentukan, namun sebagian besar penelitian
memaparkan bahwa terdapat variasi geografis kejadian, dengan prevalenis tertinggi pada
Negara dekat dengan garis ekuoator. Teori yang paling terkemuka bahwa peningkatan
prevalensi pterygium di antara orang-orang di daerah khatulistiwa adalah karena efek
ultraviolet yang merusak radiasi, khususnya UV-B radiasi dan kekeringan air mata. Hipotesis
kerja adalah bahwa radiasi ini menyebabkan mutasi pada gen supresor tumor p53, demikian
memfasilitasi proliferasi abnormal epitel limbal. Gen supresor tumor p53 merupakan
kelompok gen yang baru ditemukan setelah onkogen, dikenal sebagai antionkogen, karena
berfungsi melakukan kontrol negatif terhadap proliferasi sel (Aminlari et al, 2010; Caldwell
et al, 2015).
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan
tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan
oleh elastase. Pada gambaran histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan
degenerasi subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E .
Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari
jaringan yang degenerasi. Pterigium merusak lapisan bowman dengan pembentukan jaringan
fibrovaskular (Fisher, 2017).

2.7 Manifestasi Klinis Pterigium


Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
9

 Mata sering berair dan tampak merah


 Merasa seperti ada benda asing
 Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut
 Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.

2.8 Anamnesis Pterigium


Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada
selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya
menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi
benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita
juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
2.9 Pemeriksaan Fisik Pterigium
Pada inspeksi ditemukan adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan
luar mata (sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan konjungtiva dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan. Berbentuk
segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan (Aminlari,
2010).

Gambar 2.7 Bagian Pterigium; A. Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu
pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan
menghancurkan lapisan bowman pada kornea; B. Whitish: Setelah cap, lapisan
vaskuler tipis yang menginvasi kornea; C. Badan: Bagian yang mobile dan lembut,
area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
10

Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh. dan
untuk dapat memvisualisasikan gambaran pterigium perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan slitlamp.
2.10 Diagnosa Banding Pterigium
2.10.1 Pinguekula
Pinguekula merupakan adanya nodul kuning pada kedua sisi kornea di daerah
apertura palpebral Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastik kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang (Vaughen & Asbury, 2010).

Gambar 2.8 Gambaran Pinguecula dengan nodul berwarna kuning

2.10.2 Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat
ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik
dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada
fissura palpebra seperti halnya pada pterigium (Ilyas, 2009).

Gambar 2.9 Gambaran Pseudopterigium


11

2.11 Penatalaksanaan Pterigium


2.11.1 Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan
tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2.11.2 Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah. Indikasi pembedahan yakni Pterigium yang menjalar ke kornea
sampai lebih 3 mm dari limbus, pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus
dan tepi pupil, pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus, dan kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Aminlari et al, 2010)
a. Teknik Pembedahan (Aminlari et al, 2010)
 Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
 Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft
tersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan
sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat
rendah dengan teknik ini.
12

 Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini
belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.
Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

2.11.3 Terapi Tambahan


MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal
yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan
MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas (Aminlari et al, 2010).
2.12 Preventif Pterigium
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
2.13 Komplikasi Pterigium
a. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut :
 Gangguan penglihatan-Mata kemerahan
 Iritasi
 Gangguan pergerakan bola mata.
 Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
b. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
 Infeksi
13

 Ulkus kornea
 Graft konjungtiva yang terbuka
 Diplopia
 Adanya jaringan parut di kornea.
Menurut Fisher (2017) memaparkan bahwa yang paling sering dari komplikasi bedah
pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar
50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari
konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi.
14

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pterigium berasal dari kosakata Yunani, yakni “pteron” yang berarti sayap (wing).
Menurut voghen & Asbury (2010) menuturkan bahwa pterigium merupakan suatu perluasan
pinguecula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan biasanya bilateral. Pinguecula
merupakan adanya nodul kuning pada kedua sisi kornea di daerah apertura palpebral Nodul
terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering
meradang. Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium
Penatalaksanaan pterigium yakni dengan konservatif dan operatif. Pada pterigium
yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi,
pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid. Diperhatikan juga
bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. Pada pterigium derajat 3-4
dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium
maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang
diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Indikasi
pembedahan yakni Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus,
pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil, pterigium yang
sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus, dan
kosmetik, terutama untuk penderita wanita. Terdapat 3 teknik operatif untuk pterigium yakni
teknik bare sclera, teknik autograft konjugtiva, dan cangkok membrane amnion.

3.2 Saran
Sebagai dokter umum apabila menemukan pasien dengan petrygium hendaknya
melakukan tatalaksana konservatif dan apabila pterigium sydah memasuki grade 3-4 dapat
dirujuk ke dokter spesialis mata,
15

DAFTAR PUSTAKA

Aminlari, A., Sing, R., & Liang, D. 2010 MD. Management of Pterygium Avalaible at

http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm? (Januarym 9 th

2018)

Caldwell, M., Hirst, L., & Woodward, MA. 2015. Pterygium. EyeWiki American

Academy of Ophtalomogy. Avalaible at http://eyewiki.aao.org/Pterygium (January,

10th 2018)

Erry, Mulyani, UA., & Susilowati, D. 2010. Dstribusi & Karakteristik Pterigium di

Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Volume 14 no.1 (84-9) .

Fisher, JP. 2017. PTERYGIUM. Available at http://emedicine.medscape.com/article/

1192527-overview (January, 9th 2018)

Ilyas S. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Snell, RS. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC

Standar Kompetensi Dokter Indonesia.2012. Konsil Kedokteran Indonesia

Voughan & Asbury. 2009 . Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher

edisi 17Jakarta : EGC.

Youngson, RM. 1972. Recurrence of Pterygium after Excision. Brytannia Journal

Ophtal : 56 (120).

Anda mungkin juga menyukai