BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan yang berbentuk segitiga yang meluas dari
konjungtiva ke kornea. Menurut Fritz (dalam Erry et al, 2011) mengemukakan bahwa
pterigium lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada di bagian temporal. Pterigium diduga
timbul karena iritasi yang terus menerus dari angin, sinar matahari, dan udara yang panas.
Pada tahap awal pertumbuhan, pasien biasanya merasakan matanya panas, perasaan
mengganjal seperti terdapat benda asing, sering merah dan terjadi keunduran tajam
penglihatan. Bila telah mencapai sentral kornea dapat mengakibatkan gangguan visus.
Menurut Erry et al (2011) mengemukakan bahwa apabila sudah mencapai sentral kornea,
perlu dilakukan eksisi jaringan pterigium dengan dilakukan pembedahan.
Pterigium sering ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis, prevalensinya
semakin tinggi di daerah ekuator, secara geografis ada beberapa daerah di Indonesia yang
berada di daerah ekuator. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erry et al (2011)
mengemukakan bahwa pterigium menjadi masalah bagi masyarakat pedesaan terutama
nelayan dan petani yang sering terpapar oleh sinar matahari. Dan masalah kesehatan ini
semakin meningkat pada masyarakat yang tinggal di daerah ekuoator.
Pterigium merupakan kompetensi 3A dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI). Kompetensi 3A bagi seorang dokter umum adalah memiliki kemampuan untuk
membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan
gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan (SKDI, 2012). Sehingga dengan demikian, perlu adanya pembelajaran
dan penelaahan bagi calon dokter untuk mengetahui dan menguasai kemampuan 3A tersebut.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui etiologi dan patofisiologi pterigium
2. Mengetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan pterigium ?
2
1.4 Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai pterigium untuk ilmu kedokteran pada umumnya dan
ilmu penyakit mata pada khususnya.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu penyakit mata.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (Konjungtiva bularis). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra menjadi sambungan mukokutan dan dengan epitel kornea di limbus (Vaughen &
Asbury, 2010).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat ke
tarsus. Konjungtiva melipat ke posterior pada forniks superior dan inferior dan membungkus
episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjugtiva bulbaris melekat ke septum orbitale,
kapsul tenon dan sklera. Pada septum orbitale, Konjuntiva melekat di fornices dan berlipat
berkali-kali. Dengan adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sektertorik. Pada konjungtiva bulbar terdapat plica
semilunaris yang merupakan bagian konjungtiva yang tebal, lunak dan mudah bergerak dan
terletak di kantus internus (Vaughen & Asbury, 2010).
Konjungtiva memiliki 2 sampai 5 lapisan sel epitel. Pada lapisan epitel konjungtiva
bagian superfisial terdapat sel-sel goblet yang mensekresi mukus., yang akan bercampur
dalam lapisan air mata. Pada epitel konjungtiva bagian basal dapat mengandung pigmen
sehingga berwarna lebih gelap dibandingkan dengan epitel bagian superfisial. Pada
konjungtiva terdapat kelenjar krause dan wolfring, kedua kelenjar tersebut merupakan kelejar
lakrimal aksesorius yang berfungsi untuk mengatur skeresi air mata basal (Vaughen &
Asbury, 2010).
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan
bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
4
kornea cukup rentan terhadap trauma dan kehilangafl sel-selnya seiring dengan penuaan.
Reparasi endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel, dengan
sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan menimbulkan edema kornea
(Vaughen & Asbury, 2010).
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian besar oksigen
dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophthalmicus) nervus
kranialis V (trigeminus). Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas, dan deturgensinya (Vaughen & Asbury, 2010).
A B
Tabel 2.1 Prevalensi Penderita Pterigium menurut Jenis Pekerjaan (Erry et al, 2010)
A B C
Gambar 2.6 Tipe pterigium (Gambar A pterigium tipe atrofi (T1), gambar B
pterigium tipe intermediate (T2), gambar C pterigium tipe fleshy (T3) (Tan, 2002).
Gambar 2.7 Bagian Pterigium; A. Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu
pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan
menghancurkan lapisan bowman pada kornea; B. Whitish: Setelah cap, lapisan
vaskuler tipis yang menginvasi kornea; C. Badan: Bagian yang mobile dan lembut,
area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
10
Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh. dan
untuk dapat memvisualisasikan gambaran pterigium perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan slitlamp.
2.10 Diagnosa Banding Pterigium
2.10.1 Pinguekula
Pinguekula merupakan adanya nodul kuning pada kedua sisi kornea di daerah
apertura palpebral Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastik kuning, jarang
bertumbuh besar, tetapi sering meradang (Vaughen & Asbury, 2010).
2.10.2 Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat
ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik
dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada
fissura palpebra seperti halnya pada pterigium (Ilyas, 2009).
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea.
Menurut Fisher (2017) memaparkan bahwa yang paling sering dari komplikasi bedah
pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar
50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari
konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pterigium berasal dari kosakata Yunani, yakni “pteron” yang berarti sayap (wing).
Menurut voghen & Asbury (2010) menuturkan bahwa pterigium merupakan suatu perluasan
pinguecula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan biasanya bilateral. Pinguecula
merupakan adanya nodul kuning pada kedua sisi kornea di daerah apertura palpebral Nodul
terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering
meradang. Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium
Penatalaksanaan pterigium yakni dengan konservatif dan operatif. Pada pterigium
yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi,
pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid. Diperhatikan juga
bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. Pada pterigium derajat 3-4
dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium
maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang
diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Indikasi
pembedahan yakni Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus,
pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil, pterigium yang
sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus, dan
kosmetik, terutama untuk penderita wanita. Terdapat 3 teknik operatif untuk pterigium yakni
teknik bare sclera, teknik autograft konjugtiva, dan cangkok membrane amnion.
3.2 Saran
Sebagai dokter umum apabila menemukan pasien dengan petrygium hendaknya
melakukan tatalaksana konservatif dan apabila pterigium sydah memasuki grade 3-4 dapat
dirujuk ke dokter spesialis mata,
15
DAFTAR PUSTAKA
Aminlari, A., Sing, R., & Liang, D. 2010 MD. Management of Pterygium Avalaible at
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm? (Januarym 9 th
2018)
Caldwell, M., Hirst, L., & Woodward, MA. 2015. Pterygium. EyeWiki American
10th 2018)
Erry, Mulyani, UA., & Susilowati, D. 2010. Dstribusi & Karakteristik Pterigium di
Ilyas S. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Voughan & Asbury. 2009 . Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher
Ophtal : 56 (120).