Anda di halaman 1dari 16

Fakultas Hukum, Faculty of Law

651 Nasional
Seminar Erman I.Hukum
Rahim, Universitas
I.G. Ayu Ketut Rahmi,
Negeri Agus Riwanto
Semarang Law
Volume 4 Nomor 3 Tahun 2018, 651-666

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara


dalam Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota Untuk Mewujudkan Pemilihan
Umum Yang Adil
Erman I. Rahim*
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Indonesia,
Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia

I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto


Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta Indonesia

Proses penyelesaian sengketa pencalonan pemilihan Gubernur, Bupati dan


Walikota adalah merupakan sengketa Tata Usaha Negara. Tujuan
penulisan ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota untuk mewujudkan Pemilihan Umum yang adil. Metode
Pendekatan yang digunakan adalah doktrinal dan konfirmasi empiris
berdasarkan data dan informasi yang terkait dengan penyelenggaraan
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, kemudian dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Hasil penulisan menunjukan bahwa pasangan calon
yang merasa dirugikan dan keberatan atas Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Provinsi ataupun Kabupaten dan Kota tentang penetapan pasangan
calon peserta pemilihan diberikan kesempatan untuk menggugat
keputusan penetapan tersebut. Adanya kewenangan yang berbeda antara
Pengawas pemilihan Provinsi dan Kabupaten/Kota (Bawaslu) dengan
lembaga peradilan Tata Usaha Negara (PTTUN/MA) dalam penyelesaian
sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menimbulkan multi
interpretasi, inkonsistensi dan disharmonisasi sehingga mempengaruhi
terganggunya tahapan pemilihan, bahkan mengakibatkan kerugian bagi
pasangan calon dan Penyelenggara pemilihan. Melalui pendekatan hukum
normatif proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dalam
pemilihan Gubernur, bupati dan walikota maka diperlukan penataan dan
penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara dalam Pencalonan pemilihan Gubernur,
bupati dan walikota.

Kata kunci: Sengketa, Tata Usaha Negara, Pemilihan Gubernur,


Bupati dan Walikota dan Adil

*Surel: erman@ung.ac.id
ISSN (Cetak) 2614-3216 ISSN (Online) 2614-3569
© 2018 Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
http://fh.unnes.ac.id
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 652

Pendahuluan

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa


perubahan besar dan paradigma terhadap sistem ketatanegaraan. Salah satu
perubahan tersebut adalah terkait pengisian jabatan kepala daerah yaitu pada
pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan Provinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.1 Melalui amandemen
tersebut pada dasarnya pemilihan Gubernur, bupati dan walikota atau kepala
daerah secara langsung merupakan kelanjutan dari institutional arrangement
menuju demokrasi, khususnya bagi peningkatan demokrasi di tingkat
daerah. Thimothy D. Sisk mengilustrasikan bahwa pentingnya demokrasi
lokal untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, yaitu2 ;
“…the need for local democracy can be justified on the gounds that
is only local institutions that have the capacity, interest, and detailed
knowledge to oversee service and make decisions in tune with local
conditins. In shorts, local democracy helps deliver effective accountability.”
Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan yang
diperlukan bagi hadirnya pengelolalan kekuasaan yang demokratis salah
satunya adalah dengan melaksanakan Pemilihan umum termasuk di
dalamnya adalah pemilihan umum kepala daerah. Pemilihan umum
merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya. Paham
kedaulatan rakyat menyiratkan, bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu
Negara adalah rakyat dan rakyat pula yang menentukan corak dan cara
pemerintahan diselenggarakan3. Melalui pemilihan pemilihan Gubernur,
bupati dan walikota perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan dan
merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga Negara untuk
menentukan masa depan pemerintahan yang sah.4

1
J. Asshiddqie., Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan keempat, Pusat
Studi Hukum Tata Negara UI,2002, hlm. 22
2
Thimothy D. Sisk, Democracy at the Local Level The International IDEA Handbook
on Participation, Representation, Conflict Managemen, and Governance,
2001.Sweden: Interntional IDEA, hlm.23.
3
Mustofa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, Jogyakata, UII Press, 2010,
hlm.115
4
Lihat pendapat Ramlan Surbakti yang menyatakan: Demokratisasi diberbagai belahan
dunia, yang antara lain ditandai oleh penyelenggaraan pemilihan umum yang diikuti oleh
sejumlah partai politik yang lama (baik menggunakan baju/nama baru maupun
menggunakan nama lama) maupun partai politik yang baru, ternyata tidaklah berjalan
dengan liniear (lurus) karena menghadapi berbagai kendala sesuai dengan sejarah dan

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
653 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

Pelaksanaan pemilihan Gubernur, bupati dan walikota yang bebas,


rahasia, jujur dan adil yang dimulai sejak tahun 2005 dan diberlakukannya
penyelenggaran pemilihan Gubernur, bupati dan walikota secara serentak
tahun 2015 sampai saat ini, pada kenyataannya belum mencerminkan
semangat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut karena masih banyak
pelanggaran dan sengketa yang terjadi dalam pelaksanaannya.
Selama penyelenggaraan pemilihan masalah penting yang sering
muncul dan berpotensi mengganggu tahapan pemilihan bahkan merugikan
pasangan calon peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan adalah
penyelesaian sengketa pencalonan. Pelanggaran-pelanggaran dalam
penyelenggaraan pemilihan selalu memunculkan ketidakpuasan dari
pasangan calon dan tim kampanye peserta pemilihan, yang berwujud
banyaknya sengketa yang diajukan kepada Pengawas Pemilu dan lembaga
Peradilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikannya.
Banyaknya permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung adalah akibat tidak dimengertinya dasar gugatan yang
harus diajukan. Pelanggaran dan sengketa admnistrasi pencalonan yang
semestinya diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilihan atau Panitia
Pengawas Pemilihan justru diajukan ke lembaga yudikatif. Penyelenggara
Pemilihan selama ini tidak mampu menyelesaikan sengketa yang terkait
dengan sengketa administrasi pencalonan.
Dalam praktek penyelenggaraan pemilihan Gubernur, bupati dan
walikota salah satu tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Provinsi
dan Kabupaten/Kota sebagaimana dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) huruf g
dan Pasal 10 ayat (3 ) huruf i Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah menetapkan pasangan
calon yang telah memenuhi persyaratan.5 Namun pada kenyataannya, dalam
beberapa pelaksanaan pemilihan Gubernur, bupati dan walikota, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota justru tidak menetapkan
pasangan calon yang secara normative telah memenuhi persyaratan, ataupun
sebaliknya justru menetapkan pasangan yang belum syarat atau tidak
memenuhi persyaratan.

konteks masyarakat masing-masing. (Prof.Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem


Pemilu untuk Membangun Tata Politik Demokratis, Jakarta:Kemitraan, 2008, hlm130
5
Lihat ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 654

Sengketa Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas


undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang bahwa
masalah-masalah hukum atau pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan
dapat dikelompokkan ke dalam enam kategori, yaitu; 6 Pertama,
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan diselesaikan oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum yaitu pelanggaran terhadap
etika penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji
sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. 7 kedua,
pelanggaran administrasi Pemilihan diteruskan kepada Komisi Pemilihan
Umum yaitu Pelanggaran administrasi Pemilihan meliputi pelanggaran
terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan
Pemilihan dalam setiap tahapan Pemilihan.8 Ketiga, sengketa Pemilihan
terdiri dari sengketa antar peserta Pemilihan dan sengketa antara Peserta
Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota
diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum.9 Keempat, tindak
pidana Pemilihan yang merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap
ketentuan Pemilihan ditindaklanjuti oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia.10 Kelima, Sengketa Tata Usaha Negara yaitu Sengketa tata
usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota dengan Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan
Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan/atau Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota diselesaikan oleh ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dan Mahkamah Agung dilakukan setelah seluruh upaya administratif di

6
Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
7
Ibid., Pasal 136
8
Ibid, Pasal 138
9
Ibid., Pasal 142 dan Pasal 143
10
Ibid., Pasal 145 dan Pasal 146

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
655 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

pengawas pemilihan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota telah dilakukan.11


Keenam, Perselisihan Hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota dan peserta
Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.12
Ketentuan pasal 7 Undang-Undang nomor 8 tahun 2015, bahwa
proses pencalonan pemilihan Gubernur, bupati dan walikota yang harus
dipenuhi oleh peserta pemilihan yaitu ; Pertama, syarat calon yang harus
dipenuhi oleh individu yang akan menjadi calon kepala daerah. Kedua,
syarat pencalonan yang harus dipenuhi oleh pihak partai politik yang akan
mengusung atau mengajukan individu bakal calon kepala daerah. Kedua
syarat tersebut bersifat kumulatif atau tidak boleh satu syarat pun tidak
terpenuhi. Jika tidak terpenuhi, konsekuensinya adalah bakal calon peserta
pemilihan akan dinyatakan tidak memenuhi syarat.13
Sedangkan objek penting yang perlu diperhatikan dari sengketa
antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan pada tahapan
pencalonan adalah penetapan pasangan calon Peserta pemilihan. Bakal
calon yang keberatan diberikan kesempatan untuk menggugat keputusan
Komisi Pemilihan Umum Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam hal
penetapan calon peserta pemilihan hasil verifikasi dokumen persyaratan
pencalonan.
Dalam sejarah penyelenggaraan tahapan pemilihan Gubernur, bupati
dan walikota sejak tahun 2005 terdapat sejumlah daerah yang mengalami
persoalan dan peristiwa sengketa pencalonan yang digugat di Peradilan
Tata usaha Negara yang terjadi antara lain:14
1) Dualisme dukungan pasangan calon oleh partai Politik atau gabungan
partai politik. Persoalan inilah yang menjadi paling dominan ketika
bersengketa antara Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan
Kabupaten/kota dan pihak penggugat. Peristiwa ini terjadi di daerah
sinjai, Toraja utara, Sorong, jaya wijaya dan lain-lain. Motif dualisme

11
Pasal 153 ayat (1) , Pasal 154 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang
12
Ibid., Pasal 156 ayat (1) dan Pasal 157 ayat (3)
13
Fadli Ramadhanil, Evaluasi Pilkada Serentak 2015, yayasan Perluden, Jakarta, 2015,
hlm. 67-68
14
Ivan Mawardi, Dinamika Sengketa “Hukum Administrasi di Pemilukada, Rangkang
Education, Yogyakarta, 2014, hlm. 113-121

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 656

dukungan antara lain terjadi dualisme kepengurusan ditingkat daerah


atau di tingkat pusat.
2) Pasangan calon yang didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum
Provinsi dan Kabupaten/kota karena telah menjabat lebih dari dua
periode masa jabatan. Peristiwa ini terjadi dalam sengketa Pemilihan
Gubernur Papua pada tahu 2012. Tafsir terhadap menduduki jabatan
kepala daerah dua periode menjadi gugatan di Peradilan Tata Usaha
Negara.
3) Perbedaan rekomendasi antara pengurus pusat partai politik dengan
pilihan dukungan oleh pengurus partai politik di daerah. Kasus ini
pernah terjadi dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur tahun
2013. Yang menarik dalam perkara ini adalah yang melakukan gugatan
ke Peradilan Tata Usaha Negara bukan pasangan calon, namun adalah
pengurus pusat partai Politik.
4) Pemenuhan persyaratan dalam hal kesehatan, para penggugat
mendalilkan kepentingannya merasa dirugikan karena Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/kota mendiskualifikasi
pasangan calon. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2010 dalam pemilihan
di kabupaten Mojokerto sedangkan di Lombok tengah diajukan ke
Peradilan Tata Usaha Negara setelah pelaksanaan Pemilihan.
5) Kasus yang pernah terjadi pada pemilihan di Kota Tebing Tinggi tahun
2010 dimana pasangan calon terpilih sejak awal pencalonannya dinilai
tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan terkait status terpidana.
Sedangkan dalam penyelenggaraan Pemilihan yang dilaksanakan
tahun 2015 secara serentak terdapat sejumlah sengketa pencalonan yang
terjadi dibeberapa daerah di Indonesia.
Tabel.1
Sengketa Pencalonan Pemilukada Tahun 2015
Daerah yang
Jumlah Daerah Daerah yang Tidak Ada
Pilkada Ada
Pemilihan Sengketa
Sengketa
Provinsi 9 6 3
Kota 33 12 22
Kabupaten 227 66 161
Jumlah 269 84 285
15
Sumber : Rambe Kamarul Zaman
15
Rambe Kamarul Zaman, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak,Jakarta, PT Mizan
Publika ,2016, hlm.249

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
657 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

Dari tabel diatas menunjukan bahwa dalam pemilihan Gubernur,


Bupati dan Walikota yang diselengarakan secara serentak diseluruh wilayah
Indonesia, terdapat sejumlah daerah mengalami sengketa pencalonan yaitu;
dari 9 Provinsi yang menyelenggarakan Pemilihan terdapat 6 daerah
menngalami sengketa pencalonan. Kemudian dari 33 daerah kota yang
menyelenggarakan pemilihan secara serentak terdapat 12 kota yang
mengalami sengketa pencalonan. Sedangkan ditingkat Kabupaten yang
menyelenggarakan pemilihan secara serentak dari 227 daerah terdapat 66
daerah yang mengalami sengketa pencalonan.
Penyelenggaraan pemilihan Gubernur, bupati dan walikota serentak
tahun 2015, terdapat lima daerah yang harus ditunda pelaksanaanya atau
pelaksanaanya tidak secara serentak bersama daerah lainya. Lima daerah
tersebut yaitu Provinsi Kalimatan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kota
Manado, Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Lima daerah
yang mengalami tertunda pelaksanaan pemilihan tersebut disebabkan oleh
persoalan hukum sengketa dalam proses pencalonan.16
Pengajuan Permohonan sengketa pada masa sebelum tahapan
penetapan pasangan calon adalah sebanyak 19 permohonan, terdapat 15
permohonan yang dikabulkan, 3 permohonan yang ditolak dan 1
permohonan yang gugur karena Pemohon mencabut permohonannya yakni
di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Dari 19 permohonan
penyelesaian sengketa tersebut, mencakup 7 Provinsi yaitu Provinsi Aceh,
Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi
Sumatera Utara, Provinsi Maluku, dan Provinsi Sulawesi Tengah. Seluruh
permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan pada tahap sebelum
penetapan pasangan calon ini telah diselesaikan oleh pengawas Pemilu
dengan rincian hasil penyelesaian sengketa sebagai berikut:

16
Ibid, hlm. 261

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 658

Tabel 2
Permohonan Penyelesaian Sengketa Sebelum Penentapan Pasangan Calon
pada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tahun 2017

KABUPATEN/
NO PROV PUTUSAN PANWAS
KOTA
Mengabulkan Permohonan Pemohon
Kab. Simeulue
untuk sebagian
Kab. Aceh Utara Menolak Permohonan Pemohon
Kota Banda
Menolak Permohonan Pemohon
Aceh
1 Provinsi Aceh Mengabulkan permohonan untuk
Kab. Bireun
sebagian
Mengabulkan permohonan untuk
Kab. Aceh Utara
sebagian
Kab. Aceh Mengabulkan Permohonan pemohon
Tamiang seluruhnya
Provinsi
Kab. Buton Menolak Permohonan Pemohon
2 Sulawesi
Tengah Untuk Seluruhnya;
Tenggara
Kabupaten
Kepulauan Mengabulkan permohonan pemohon
Yapen
Kabupaten
Kepulauan Permohonan dinyatakan gugur
Yapen
Kabupaten
3 Provinsi Kepulauan Mengabulkan permohonan pemohon
Papua Yapen
Kabupaten Mengabulkan permohonan pemohon
Sarmi untuk sebagian
Kota Jayapura Menolak Permohonan Pemohon
Kota Jayapura Menolak Permohonan Pemohon
Kabupaten Mengabulkan Permohonan Pemohon
Dogiyai untuk sebagian
Provinsi
4 Kota Sorong Menolak Permohonan Pemohon
Papua Barat
Provinsi
Kab. Tapanuli Mengabulkan Permohonan Pemohon
5 Sumatera
Tengah untuk sebagian
Utara
Provinsi Kab. Maluku
6 Menolak Permohonan Pemohon
Maluku Tengah
Provinsi Mengabulkan Permohonan Untuk
Kabupaten Buol
7 Sulawesi Seluruhnya
Tengah Kabupaten Buol Menolak Permohonan Pemohon
Sumber: Bawaslu, 2017

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
659 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

Sengketa Tata Usaha Negara pemilihan gubernur, bupati dan


walikota akan menguji kredibilitas dan profesionalisme KPU
provinsi/Kabupaten/kota dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai
penyelenggara pemilihan apakah sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dan dipertanggungjawabkan kepada publik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 142 Undang-Undang nomor 8 tahun
2015 sengketa pencalonan merupakan salah satu sengketa pemilihan, yaitu
sengketa antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum provinsi dan
kabupaten/Kota17. Sedangkan dalam ketentuan pasal 143 Undang-Undang
nomor 1 tahun 2015 Badan pengawas pemilihan Provinsi dan Panitia
pengawas pemilihan Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa
pemilihan melalui tahapan:18
a. Menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan
b. Mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan
melalui musyawarah dan mufakat.
Jika dalam proses penyelesaian sengketa di Badan pengawas
pemilihan Provinsi dan Panitia pengawas pemilihan Kabupaten/Kota tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak tidak merasa puas atas
keputusan Badan pengawas pemilihan Provinsi dan Panitia pengawas
pemilihan, maka berdasarkan ketentuan pasal 154 Undang-Undang nomor 1
tahun 2015 para pihak dapat melakukan gugatan kepada Peradilan Tata
Usaha Negara dan terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut
dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.19

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan


Gubernur, Bupati dan Walikota Untuk Mewujudkan
Keadilan Pemilu

Proses penyelesaian sengketa pencalonan pemilihan Gubernur,


Bupati dan Walikota adalah salah syarat untuk mewujudkan pemilihan
umum yang adil. Dalam suatu pemilihan umum harus disediakan
mekanisme bagi setiap warga Negara untuk memperjuangkan hak
konstitusinya untuk

17
Pasal 142 Undang-Undang nomor 8 tahun 2015
18
Fadli Ramadhanil, op.cit hlm.88
19
Pasal 154 Undang-Undang nomor 1 tahun 2015

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 660

dipilih melalui proses yang free and fair. Sedangkan bagi Komisi
Pemilihan Umum proses sengketa pencalonan menjadi penting karena akan
menguji kewibawaan dan integritas sebagai penyelenggara Pemilu. Komisi
Pemilihan Umum harus mempertanggungjawabkan segala tindakan dan
keputusan yang merupakan produk hukum sebagai bagian yang tidak bisa
terpisahkan dari tindakan hukum atas nama Negara.20 Sedangkan bagi
Badan pengawas pemilihan dan Panitia pengawas pemilihan sebagai bagian
dari penyelenggara memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa
pemilihan melalui proses dengan mempertemukan para pihak, agar
diperoleh kesepakan melalui musyawarah.21
Terdapat tiga jenis penanganan dan mekanisme penyelesaian
sengketa pemilihan yaitu;22 Pertama, mekanisme formal atau korektif
seperti mengajukan dan memproses gugatan pemilu. Mekanisme ini
menghasilkan keputusan untuk membatalkan, mengubah, atau mengakui
adanya penyimpangan dalam proses pemilu. Kedua, mekanisme punitive,
seperti kasus pelanggaran pidana. Mekanisme ini menghasilkan sanksi
badan maupun individu yang bertanggung jawab atas penyimpangan
tersebut, termasuk tanggung jawab pidana atau administrasi pemilihan.
Ketiga, mekanisme informal atau alternative, yaitu mekanisme yang dapat
dipilih pihak-pihak yang bersengketa.
Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
tahun 2016 menyatakan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan
merupakan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati
dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.23
Kemudian pada 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016
menyatakan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, dan memutus sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan
menggunakan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Oleh karena itu sengketa
pencalonan dikategorikan sebagai sengketa tata usaha Negara, karena

20
Fadli Ramadhanil, op.cit hlm.85
21
Op.cit Pasal 143 Undang-Undang nomor 1 tahun 2015
22
Debora Blandira Sinambela, dkk Catatan Proses Pencalonan Pilkada 2015 yang
Berlarut-Larut, Jurnal Pemilu & Demokrasi, Evaluasi Pilkada Serentak 2015#8 April
2016, Yayasan Perluden, Jakarta. hlm.100-101
23
Op.cit Pasal 153 Undang-Undang nomor 1 tahun 2015

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
661 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

sengketa pencalonan akan diselesaikan lewat Peradilan Tata Usaha Negara


setelah melewati proses penyelesaian oleh pengawas pemilihan.24
Meskipun keputusan pengawas pemilihan mengenai penyelesaian
sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat
berdasarkan ketentuan pasal 144 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun
2015, tetapi dengan adanya fatwa Mahkamah Agung nomor
115/Tuaka.TUN/V/2015, yang menyatakan bahwa keputusan pengawas
pemilihan bersifat terakhir dan mengikat, hanya berlaku jika yang
dimenangkan dalam sengketa pemilihan itu adalah pasangan calon sebagai
peserta pemilihan. Sebaliknya jika yang dimenangkan adalah penyelenggara
pemilihan maka keputusan pengawas pemilu tersebut tidak bersifat terakhir
dan mengikat. Konsekuensinya Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan
Kabupaten/Kota tidak dapat menempuh upaya hukum banding atas
keputusan yang dikeluarkan pengawas pemilihan.25 Sementara jika putusan
pengawas pemilu merugikan pasangan calon peserta pemilihan, maka
pasangan calon dapat melakukan upaya hukum atas putusan pengawas
pemilihan kepada Peradilan Tata Usaha Negara.26
Jika dicermati ketentuan-ketentuan yang terkandung didalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan walikota dengan sistem Peradilan Administrasi tersebut, terdapat
ketidakharmonisan bahkan tidak saling menunjang dalam sebuah sistem
hukum Nasional. Padahal secara teoritik setiap penyusunan kebijakan
pengaturan sistem hukum haruslah harmonis, sinkron, konsisten dan
koheren antara peraturan yang satu dengan peraturan perundang-undangan
yang lain, baik dari tingkat vertikal yakni UUD 1945 dengan Undang-
Undang, ataupun secara horizontal antara Undang-Undang yang satu dengan
Undang-Undang lainnya yang sederajat mengatur isu hukum yang sama.
Hal Inilah yang disebut dengan teguh pada tataran urutan peraturan
perundang-undangan, sebagaimana pendapat Hans Kalsen tentang
“Stufenbau des Rechts” atau “The Hirarchy of Law” yang menekankan
bahwa kaidah hukum merupakan susunan berjenjang dan setiap kaidah yang
lebih rendah bersumber dari kaidah hukum yang lebih tinggi.27
Hal ini juga dapat diperkuat pendapat yang dikemukakan oleh
Gustav Radbruch bahwa untuk menerapkan hukum secara tepat untuk

24
Op.cit Debora Blandira Sinambela, dkk,
25
Fadli Ramadhanil, op.cit hlm.90-91
26
Fadli Ramadhanil, Ibid
27
Hans Kelsen, General Theory of Law and State,New York, Russel, 1973, hlm.123

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 662

memenuhi tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan


kepastian hukum.28 Gustav Radbruch menguraikan bahwa hukum adalah
pengemban keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri memiliki sifat yang
normative sekaligus konstitutif bagi hukum. Memiliki sifat konstitutif
karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum, tanpa keadilan
sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.29
Mencermati persoalan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
ketidakharmonisan atau inkonsistensi antara sistem Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota dengan sistem Peradilan administrasi dalam
penyelesaian sengketa pemilihan. Secara filosofis mencerminkan bahwa
kedua sistem ini tidak mampu memenuhi asas Principle of Legality,
sebagaimana yang dinayatakan oleh Lon L. Fuller,30 yaitu; Pertama, Suatu
peraturan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama
lain. Kedua, harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Oleh karena itu sumber problematika terhadap kekisruhan sistem
penyelesaian sengketa pencalonan atau sengekta Tata usaha Negara
sesungguhnya terletak pada pengaturan penyelesaian sengketa dalam
peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota yang tidak jelas dan tidak tegas, serta penegakkan hukumnya
masih lemah. Sehingga pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh
peserta pemilihan dalam hal ini bakal pasangan calon atau partai politik dan
penyelenggara pemilihan serta proses penyelesaian sengketa yang tidak
dapat dikelola secara elegan tetapi justru memicu konflik berkepanjangan.
Sehingga untuk mewujudkan keadilan pemilu akan sulit dicapai.
Keadilan dalam Pemilihan umum merupakan sarana dan mekanisme
untuk Pertama, menjamin agar setiap tindakan, prosedur dan keputusan
yang menyangkut proses atau tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum
sesuai dengan peraturan Perundang-undangan dan kedua untuk melindungi
atau memulihkan penggunaan hak politik dalam pemilihan umum, dan
memberikan kemampuan kepada rakyat untuk menyampaikan pengaduan,
kesempatan untuk didengar, dan kesempatan mendapatkan keadilan

28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006, hlm.20
29
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta, Genta Publising, 2013, hlm.117
30
Lon L. Fuller, The Morality of Law,New Haven, Yale University, 1971, hlm. 39-91.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
663 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

(adjudication) apabila dia merasa haknya dilanggar.31 Untuk mewujudkan


keadilan dalam pemiluhan umum sangat ditentukan oleh tiga sumber utama;
yaitu mekanisme pencegahan pemilu (mekanisme pencegahan pelanggaran,
penyimpangan, dan iregularitas); mekanisme penyelesaian sengketa
pemilihan umum baik dalam bentuk korektif melalui gugatan pemilu
maupun dalam pengakkan ketentuan baik yang menyangkut ketentuan
administrative maupun pidana pemilu; serta mekanisme penyelesaian
sengketa pemilu alternatif.32

Kesimpulan
Sejak diselanggarakannya pemilihan kepala Daerah atau pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota, yang dimulai sejak tahun 2005 dengan
menggunakan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan sampai saat ini telah menerapkan Undang-Undang nomor 10
tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
menjadi Undang-Undang, secara subtansi belum mengatur secara
komprehensif dan rinci terkait dengan pengertian sengketa adminsitrasi dan
pelanggaran administrasi, obyek dan subyek yang dapat dikategorikan
sebagai sengketa administrasi serta mekanisme dan waktu penyelesaiannya.
Sehingga menyebabkan penyeselesaian sengketa administrasi pancalonan
yang dikategorikan sebagai sengketa Tata Usaha Negara belum tersistem
dengan jelas dan tegas dalam sebuah penegakkan hukum Pemilu yang
integratif.

Saran
Upaya untuk memeperoleh penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mewujudkan
keadilan dalam pemilihan umum yaitu; adanya penyelesaian yang cepat,
akuntabilitas dan memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan yang mengatur mekanisme, prosedur
dan waktu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara pemilihan atau

31
Lihat Ivan Mawardi, 2014, Dinamika Sengketa “Hukum Administrasi di Pemilukada,
Rangkang Education, Yogyakarta hlm.xiv
32
Ibid

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 664

sengketa pencalonan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secra jelas


dan ketat agar tidak mengganggu tahapan Pemilihan yang telah ditentukan
serta tidak merugikan penyelenggara Pemilihan dan pasangan calon lainnya.
Diperlukan juga desain kerangka hukum lebih sepesifik yang menyediakan
pemisahan kewenangan antar lembaga sehingga tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dalam
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Daftar Pustaka
Bernard L. Tanya dkk. (2013). Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.
Debora Blandira Sinambela, dkk. (2016). Catatan Proses Pencalonan
Pilkada 2015 yang Berlarut-Larut, Jurnal Pemilu & Demokrasi,
Evaluasi Pilkada Serentak 2015#8 April, Jakarta: Yayasan Perludem.
Fadli Ramadhanil. (2016). Evaluasi Pilkada Serentak 2015, Jakarta:
Yayasan Perludem.
Hans Kelsen. (1973). General Theory of Law and State. New York: Russel.
Ivan Mawardi. (2014). Dinamika Sengketa “Hukum Administrasi di
Pemilukada. Yogyakarta: Rangkang Education.
Jimly Asshiddqie. (2002). Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI.
Lon L. Fuller. (1971). The Morality of Law. New Haven: Yale University.
Mustofa Lutfi. (2010). Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press.
Rambe Kamarul Zaman. (2016). Perjalanan Panjang Pilkada Serentak.
Jakarta: PT Mizan Publika.
Ramlan Surbakti. (2008). Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Membangun
Tata Politik Demokratis. Jakarta: Kemitraan.
Satjipto Rahardjo. (2006). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suharizal. (2012). PEMILUKADA, Regulasi, Dinamika dan Konsep Yang
akan Datang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Thimothy D. Sisk. (2001). Democracy at the Local Level The International
IDEA Handbook on Participation, Representation, Conflict
Managemen, and Governance. Sweden: Interntional IDEA.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
665 Erman I. Rahim, I.G. Ayu Ketut Rahmi, Agus Riwanto

Kemitraan Partnership. (2011). Seri Demokrasi Elektoral Buku 16,


Penanganan Sengketa Pemilu, Cet. Pertama. Jakarta: Kemitaraan
Partnership.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagaimana telah dilakukan perubahan kedua dengan Undang-
undang No. 9 Tahun 2004 serta sebagaimana telah diubah terkahir
dengan Undang-undang No. 51 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016
Mahkamah Agung nomor 115/Tuaka.TUN/V/2015

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 666

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang

Anda mungkin juga menyukai