Anda di halaman 1dari 6

C.

HAKIKAT ETIKA

Etika berasal dari kata Yunani ethos (bentuk tunggal) yang berarti: tempat tinggal,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, cara perpikir. Bentuk
jamaknya adalah ta etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama
pengertiannya dengan moral. Moral berasal dari kata Latin: mos (bentuk tunggal), atau
mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat,
akhlak, cara hidup (Kanter, 2001).

Berikut ini kutipan beberapa pengertian etika.

1. Ada dua pengertian etika; sebagai praksis dan sebagai fefleksi.


a. Sebagai praksis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral baik yang
dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan.
b. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas, yaitu apa
yang harus dilakukan tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan
sebagainya. Etika sebaga refleksi adalah pemikiran moral (Bertens, 2001).
2. Etika secara etimologis, dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang bisa dilakukan,
atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan hidup yang baik dan yang
buruk (Kanter, 2001).
3. Itilah lain dari etika adalah susila. Su artinya baik, dan sila artinya kebiasaan atau
tingkah laku. Jadi, susila berarti kebiasaan atau tingkahnlaku perbiatan manusia yang
baik. Etika sebagai ilmu disebut tata susila, yang mempelajari tata nilai, tentang baik
dan buruknya suatu perbuatan, apa yang harus dikerjakan atau dihindari sehingga
tercipta hubungan yang baik di antara sesama manusia (Suhardana, 2006).
4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam pengertian sebagai berikut:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
5. Menurut Webster's Collegiate Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Duska dan Duska
(2003), ada empat arti ethic sebagai berikut:
a. The discipline dealing with whatis good and bad and with moral duty and
obligation;
b. A set of moral principles or values;
c. A theory or system of moral values;
d. The principle of conduct governing an individual or grup.
6. Menurut Lawrence, Weber, dan Post (2005), etika adalah suatu konsepsi tentang
perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan kepada kita apakah perilaku kita
bermoral atau tidak dan berkaitan dengan hubungan kemanusiaan yang fundamental,
bagaimana kita berpikir dan bertindak terhadap orang lain dan bagaimana kita
inginkan mereka berpikir dan bertindak terhadap kita.
7. Menurut David P. Baron (2005), etika adalah suatu pendakatan sistematis atas
penilaian moral yang didasarkan atas penalaran, analisi, sintesis, dan reflektif.

Dari uraian di atas, dapat diketaui bahwa ternyata etika mempunyai banyak arti.
Namun demikian, setidaknya arti etika dapat dilihat dari dua hal berikut:

a. Etika sebagai praksis; sama dengan moral atau moralitas yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok atau
masyarakat.
b. Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran/penilaian moral. Etika sebagai
pemikiran moral bisa saja mencapai taraf ilmiah bila proses penalaran terhadap
moralitas tersebut besifat kritis, metodis, dab sistematis. Dalam taraf ini ilmu etika
dapat saja mencoba merumuskan suatu teori, konsep, asas, atau prinsip-prinsip
tentang perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik, mengapa perilaku
tersebut dianggap baik atau tidak baik, mengapa menjadi baik itu sangat bermanfaat,
dan sebagainya.
D. HAKIKAT NILAI

Beberapa definisi tentang nilai.

1. Doni Koesoema A. (2007) mendefinisikan nilai sebagai kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dan dihargai sehingga dapat
menjadi semacam objek bagi kepentingan tertentu. Nilai juga merupakan sesuatu
yang memberi makna dalam hidup, yang memberikan titik tolak, isi, dan tujuan dalam
hidup.
2. Fuad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli (2003) merumuskan nilai sebagai
standar atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada bermacam-macam hukum nilai sesuai dengan
jenis-jenis niali tersebut, juga sesuai dengan beragamnya perhatian kita mengenai
segala sesuatu. Ada nilai materialis yang berkaitan dengan ukuran harta pada diri
kita, ada nilai kesehatan, yang mengungkapkan tentang signifikan kesehatan dalam
pandangan kit, ada nilai ideal yang mengungkapkan tentang kedudukan keadilan dan
kesetiaan dalam hati kita, serta nilai-nilai sosiologis yang menunjukkan signifikan
kesuksesan dalam kehidupan praktis, dan nilai-nilai yang lain.
3. Sorokin dan Capra (2002) mengungkapkan tiga sistem nilai dasar yang melandasi
semua manifestasi suatu kebudayaan, yaitu:
a. Nilai indriawi
Sistem nilai indriawi menekankan bahwa nilai-nilai indriawi (materi)
merupakan realitas akhir (ultima), dan bahwa fenomena spiritual hanyalah
suatu manifestasi dari materi. Sistem ini berpandangan bahwa semua nilai
etika bersifat relatif dan bahwa persepsi indriawi merupakan satu-satunya
sumber pengetahuan dan kebenaran.
b. Ideasional
Sistem nilai ideasional berada pada ekstrem lain di mana realitas sejati
berada di luar dunia materi (berada dalam alam spiritual), dan bahwa
pengetahuan sejati dapat diperoleh melalui pengalam batin. Sistem nilai
ideasional percaya pada nilai-nilai etika absolud dan standar keadilan,
kebenaran, serta keindahan yang supramanusiawi. Gambaran tentang dunia
ideasional yang meyakini realitas sejati dalam alam spriritual, yang di Barat
meliputi pemikiran Plato dan Yahudi-Kristen (roh dan crita Tuhan). Di Timur,
misalnya kitab Mahabarata (Hindu) dan Budha (di India), Tao di Cina, dan
Islam di negara-negara Arab.
c. Idealitas
Perpaduan harmonis dan seimbang antara nilai ekstrem indriawi dan
ideasional.
Dengan mempelajari sejarah peradaban umat manusia, Sorokin
menyimpulkan bahwa proses peradaban selalu mengikuti siklus perputaran
dari tiga sistem nilai itu. Saat ini, dengan dipelopori budaya Barat, telah terjadi
proses penurunan dan kehancuran tahapan ideasional dan idealistis menuju
kenaikan dan didominasi tahapan indrawi.
4. Persoalan tatanan nilai secara lebih konseptual diungkapkan oleh Max Scheller dalam
bukunya yang berjudul Der Formalisme in the der Ethik un the die Materiale Wertethik
(dalam Suseno, 2006). Berikut pendapat Max Scheller tentang persoalan nilai:
a. Ia membantah anggapan Immanuel Kant bahwa hakikat moralitas terdiri atas
kehendak untuk memenuhi kewajiabn. Kewajiban bukanlah unsur primer,
melainkan mengikuti apa yang bernilai. Jadi, bukan asal memenuhi kewajiban,
melainkan realisasi nilai-nilai yang merupakan inti tindakan moral.
b. Nilai-nilai itu bersifat material (berisi, lawan dari formal) dan apriori.
c. Harus dibedakan dengan tujuan antara nilai-nilai itu sendiri (werte, values) dan
apa yang bernilai/realitas bernilai (gutter, goods). Seperti nilai yang muncul
pada suatu benda, perbuatan, atau orang, misalnya: hutan indah, perbuatan
mulia, orang jujur.
d. Cara menagkap nilai bukan dengan pikiran, melainkan dengan suatu perasaan
intensional (tidak dibatasi dengan perasaan fisikatau emosional, melainkan
dengan keterbukaan hati atau budi).
e. Ada empat gugus nilai yang mandiri dan jelas berbeda antara satu dengan
lainnya, yaitu:
 Gugus nilai-nilai sekitar yang enak dan tidak enak
 Gugus nilai-nilai vital sekitar yang luhur dan yang hina
 Gugus nilai-nilai rohani
 Gugus nilai-nilai tertinggi sekitar yang kudus dan yang profane yang
dihayati manusia dalam pengalaman religious
Keempat gugus nilai ini membentuk suatu tatanan atau hierarki; ada yang
lebih rendah dan ada yang lebih tinggi. Gugus nilai enak dan tidak enak yang
paling rendah, diikuti gugus nilai vital, selanjutnya gugus nilai rohani, dan yang
paling tinggi gugus nilai-nilai sekitar yang kudus.

f. Pada gugu ketiga (nilai-nilai rohani) dan gugus keempat (sekitar nilai-nilai yang
kudus), keduanya mempunyai ciri khas yaitu tidak mempunyai acuan apa pun
pada perasaan fisik di sekitar tubuh kita. Ada tiga macam nlai rohani, yaitu:
 nilai estetik
 nilai yang benar dan yang tidak benar
 nilai-nilai pengetian kebenaran murni, yaitu bernilainya pengetahuan
karena pengetahuan itu sendiri dan bukan karena ada manfaatnya.
g. Corak kepribadian, baik orang per orang maupun sebuah komunitas, akan
ditentukan oleh nilai-nilai mana yang dominan.

Dari penjelasan tentang nilai tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan tiga hal, yaitu:

1. Nilai itu slalu dikaitkan dengan sesuatu (benda, orang, hal)


2. Ada bermacam-macam (gugus) nilai selain nilai uang (ekonomis) yang sudah cukup
dikenal.
3. Gugus-gugus nilai itu membentuk semacam hierarki dari yang terendah sampai yang
tertinggi.

E. HUBUNGAN AGAMA, ETIKA, DAN NILAI

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi berkat kelebihan


akal/pikiran yang diberikan Tuhan kepada manusia. Berkat pikirannya, manusia mampu
memperoleh ilmu (pengetahuan) tentang hakikat keberadaan (duniawi) melalui proses
penalaran serta mampu menyadari adanya kekuatan tak terbatas di luar dirinya yang
menciptakan dan mengatur eksistensi alam raya. Hanya manusia yang mampu menyadari
perlunya mencapai nilai tertinggi atau nilai akhir ( hidup kekal di akhirat) yang harus di
capai di samping adanya nilai-nilai antara, yaitu nilai nilai yang lebih rendah (kekayaan,
kenikmatan duniawi).
Semua agama melalui kitab sucinya masing masing mengajarkan tentang tiga hal
pokok, yaitu (1) hakikat Tuhan (God, Allah, Gusti Allah, Budha, Budha, Brahman,
Kekuatan tak terbatas, dan lain-lain). (2) etika, tata susial, dan (3) ritual, tata cara
beribadat. Jelas sekali bahwa antara agama dan etika tidak dapat dipisahkan. Tidak ada
agama yang tidak mengajarkan etika/moralitas. Kualitas keimanan (spiritualitas) sesorang
ditentukan bukan saja oleh kualitas peribadatan (kualitas keimanan dengan Tuhan), tetapi
juga oleh kualitas moral/etika (kulitas hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masyarakat dan dengan alam). Nilai ibadah menjadi sia-sia tanpa dilandasi oleh nilai-nilai
moral.

Intinya, tingkat keyakinan dan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
tingkat/kualitas peribadatan, dan tingkat/kualitas moral seseorang akan menentukan
gugus/hierarki nilai kehidupanyang telah dicapai. Tujuan semua agama adalah untuk
merealisasikan nilai tertinggi, yaitu hidup kekal di akhirat (agam Hindu menyebut Moksa,
sedangkan agama Budha menyebut Nirwana). Dari sudut pandang semua agama,
pencapaian nilai-nilai kehidupan duniawi (nilai-nilai yang lebih rendah) bukan merupakan
tujuan akhir, tetapi hanya meupakan tujuan sementara atau tujuan antara, dan dianggap
hanya sebagai media atau alat (means) untuk mendukung pencapaian tujuan akhir (nilai
tertinggi kehidupan).

Anda mungkin juga menyukai