TESIS
DEASY GRAFIANTI
NPM. 1006824503
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak
DEASY GRAFIANTI
NPM. 1006824503
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Anak pada
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dr. dr. Partini P Trihono, Sp.A(K), MM(Paed) dan dr. Mulya R Karyanti,
Sp.A(K), IBCLC selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyusunan tesis ini;
(2) dr. Abdul Latief, Sp.A(K), Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), dan dr.
Lily, Sp.A(K) selaku tim penguji yang telah memberi masukan demi
perbaikan tesis ini;
(3) Orangtua saya yaitu bapak Yongki B dan ibu Suliyanti M, suami saya Dicky
Novriadi, anak saya Amelia Zahraa Adeline, serta keluarga besar H. Mulya
Dharma yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral;
(4) Teman-teman PPDS IKA FKUI angkatan Januari 2011, serta para sahabat
yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu, yang telah banyak
membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu kedokteran.
Jakarta, 1 Juli 2015
Penulis
v Universitas Indonesia
Latar belakang: Obat antiepilepsi (OAE), seperti asam valproat (valproic acid,
VPA) dan karbamazepin (carbamazepin, CBZ) sering digunakan dalam jangka waktu
panjang. Obat-obatan tersebut dapat mengganggu fungsi tubulus ginjal. N-acetyl-
beta-D-glucosaminidase (NAG) urin merupakan enzim yang dapat dipakai sebagai
marka fungsi tubulus sehingga diharapkan dapat mendeteksi jejas tubulus. Penelitian
mengenai efek nefrotoksik VPA dan CBZ terhadap tubulus menggunakan penanda
NAG urin ini belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: Mengukur indeks NAG (iNAG) urin pada anak epilepsi yang mendapat
VPA dan atau CBZ jangka panjang untuk mendeteksi efek nefrotoksik kedua OAE
tersebut pada tubulus ginjal.
Metodologi: Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang dilakukan pada
Januari-Maret 2015. Subjek penelitian ini adalah 36 anak epilepsi dengan monoterapi
VPA, 14 dengan monoterapi CBZ, 14 dengan kombinasi VPA dan CBZ, rentang usia
3-16 tahun. Pada seluruh subjek dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin urin dan
kadar NAG urin. Sebagai nilai acuan kadar NAG urin, dipilih 30 anak sehat dengan
usia yang disesuaikan dengan subjek penelitian. Untuk menghilangkan variabilitas
harian, maka NAG urin dibagi dengan kreatinin urin, menjadi iNAG (satuan U/g
kreatinin). Indeks NAG dikategorikan meningkat bila nilainya lebih dari rerata NAG
+ 2 SD kelompok anak sehat.
Hasil: Rerata iNAG urin pada kelompok anak sehat, monoterapi VPA, monoterapi
CBZ dan kombinasi VPA dan CBZ berturut-turut adalah 3,01; 5,9; 4,07; 6,9. Tiap
kelompok kasus memiliki rerata iNAG urin lebih tinggi dibandingkan anak sehat.
Proporsi kenaikan iNAG urin ditemukan pada 11/ 36 anak dengan monoterapi VPA,
2/14 pada kelompok monoterapi CBZ, dan 9/14 pada terapi kombinasi VPA dan
CBZ.
Simpulan: Pemberian VPA jangka panjang dapat menyebabkan jejas pada tubulus
ginjal dengan parameter kenaikan iNAG urin, dan jejas tubulus ini meningkat dengan
pemakaian VPA dan CBZ secara kombinasi.
Kata kunci: asam valproat; epilepsi; iNAG urin; jejas tubulus; karbamazepin
Objectives: To measure urinary NAG index (iNAG) in epileptic children with long-
term use of VPA and CBZ in order to detect their nephrotoxic effects on kidney
tubules.
Methods: This is a cross-sectional study performed on January to March 2015. The
subject includes 36 patients on VPA monotherapy, 14 patients on CBZ monotherapy,
and 14 patients on VPA-CBZ combination therapy with age ranging from 3 to 16
years old. Urine creatinine concentration and urinary NAG values of all the patients
are measured. Thirty age-adjusted healthy children are included in the study for NAG
value reference. To eliminate NAG diurnal variability, iNAG is calculated by
dividing urinary NAG value and urine creatinine concentration. Urinary iNAG values
that fall above the +2 standard deviations from the mean of healthy children are
considered elevated.
Results: Urinary iNAG values of the healthy children, VPA monotherapy, CBZ
monotherapy, and VPA-CBZ comination therapy groups are 3.01; 5.9; 4.07; 6.9 U/g
respectively. Each case group has higher urinary iNAG mean value than the control
group. Urinary iNAG urine increased proportion is found in 11/36 children on VPA
monotherapy, 2/14 children on CBZ monotherapy, and 9/14 children on VPA-CBZ
combination therapy.
Conclusions: Long-term VPA use may cause renal tubular injuries with increased
urinary iNAG value as parameter. Tubular injury is increased with the use of VPA
and CBZ in combination.
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………. i
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………. iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………… vii
ABSTRACT………………………………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….. xiii
1. PENDAHULUAN…………………………………………………………... 1
1.1 Latar belakang………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan masalah………………………………………………….... 3
1.3 Tujuan penelitian……………………………………………………. 3
1.3.1 Tujuan umum……………………………………………….. 3
1.3.2 Tujuan khusus………………………………………………. 3
1.4 Manfaat penelitian…………………………………………………... 3
1.4.1 Bidang akademis…………………………………………… 3
1.4.2 Bidang pelayanan…………………………………………... 3
1.4.3 Bidang pengembangan penelitian………………………….. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA…………………….……………………………... 4
2.1 Ginjal sebagai organ ekskresi……………………………………… 4
2.2 Mekanisme sifat nefrotoksik obat…………….................................. 5
2.3 Pemantauan fungsi ekskresi ginjal…….…………………………… 7
2.4 N-acetyl-beta glucosaminidase………...………………………………… 8
2.5 Asam valproat dan karbamazepin……………………….................. 11
2.6 Hubungan pemakaian asam valproat dan karbamazepin dengan
kenaikan NAG urin …………………………………………………. 12
3. KERANGKA TEORI……………………………………………………… 13
KERANGKA KONSEP…………………………………………………….. 18
4. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………… 18
4.1 Desain penelitian……………………………….……………………. 18
4.2 Tempat dan waktu penelitian……………………………………….. 18
4.3 Populasi dan sampel penelitian……………………………………... 18
4.3.1 Kelompok kasus…………………………………………...... 18
4.3.1.1 Populasi target…………………………………… 18
ix Universitas Indonesia
5. HASIL PENELITIAN……………………………………………………… 26
5.1 Karakteristik subjek penelitian……………………………………… 26
5.2 Indeks NAG urin antar kelompok…………………………………… 26
5.3 Perbandingan besar proporsi subjek yang mengalami kenaikan
iNAG antar kelompok………………………………………………. 27
6. DISKUSI…………………………………………………………………….. 28
6.1 Keterbatasan dan kelebihan penelitian……………………………… 28
6.2 Karakteristik subjek penelitian ……………………………………... 28
6.3 Indeks NAG urin antar kelompok ………………………………….. 30
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 35
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Fungsi ekskresi ginjal dijalankan oleh glomerulus dan tubulus ginjal. Fungsi ini
dapat dievaluasi dengan berbagai pemeriksaan laboratorium.1 Kreatinin serum
merupakan penanda yang paling sering digunakan untuk mengetahui fungsi
glomerulus, namun kreatinin memiliki beberapa kelemahan dalam menapis
penyakit ginjal. Kelemahan yang utama adalah kadar kreatinin serum tidak
spesifik dan memberi informasi yang terlambat dalam mengenali acute kidney
injury (AKI).7 Kadar ureum dan kreatinin terdeteksi meningkat dalam darah bila
laju filtrasi glomerulus (LFG) telah turun 60-70%, sehingga tidak dapat digunakan
untuk mendeteksi kelainan ginjal yang dini. Fungsi tubulus ginjal tidak dapat
dinilai dari kadar kreatinin serum, walaupun kerusakan pada tubulus pada
akhirnya juga memengaruhi fungsi glomerulus, demikian juga sebaliknya.1
1 Universitas Indonesia
Epilepsi memberi masalah morbiditas yang tinggi pada anak. Insidens epilepsi
berkisar 5-7 kasus per 10.000 anak per tahun. Sejak lahir sampai dengan usia 15
tahun dan sekitar lima dari 1000 anak diperkirakan akan menderita epilepsi.
Jumlah penderita epilepsi di Amerika sekitar 2 juta orang dan pada tahun 2010
terdiagnosis hampir 140.000 kasus baru.10,11 Secara keseluruhan prevalens kasus
epilepsi sebesar 3 kasus per 1000. Besarnya jumlah penderita akan meningkatkan
pemakaian obat-obat antiepilepsi (OAE).
Penelitian dalam dua dekade terakhir menunjukkan bahwa OAE asam valproat
(valproic acid, VPA) dan karbamazepin (carbamazepine, CBZ) memiliki efek
nefrotoksik. Angka kejadiannya belum diketahui, namun penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan terdapat jejas pada tubulus ginjal pada pasien-pasien yang
mengonsumsi VPA maupun CBZ, terlihat dari peningkatan indeks NAG urin
(iNAG), yang merupakan rasio NAG per kreatinin urin.12-18 Kadar NAG dalam
penelitian-penelitian tersebut disajikan dalam iNAG, dengan tujuan mengurangi
variabilitas harian ekskresi NAG urin.
Dasar penelitian ini dilakukan karena sudah banyak penelitian di luar negeri yang
menyatakan bahwa pemakaian OAE VPA dan CBZ meningkatkan iNAG urin.12-18
Peningkatan iNAG urin pada pengguna OAE ini belum terdata di RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Mendeteksi adanya kenaikan iNAG urin membantu
para klinisi untuk mewaspadai kerusakan tubulus ginjal lebih dini dibandingkan
kenaikan kreatinin serum.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tiga proses dasar ginjal dalam mengeliminasi obat ke urin adalah filtrasi
glomerulus, sekresi aktif tubulus dan reabsorbsi pasif. Peran proses filtrasi
terhadap eliminasi obat adalah LFG, konsentrasi obat bebas di plasma dan
reabsorbsi pasif obat setelah filtrasi. Filtrasi glomerulus tidak memberi peran
besar terhadap proses eliminasi obat yang terikat erat pada protein, misalnya
OAINS, sebagian besar obat golongan penisilin, diuretik, obat-obat dengan berat
molekul yang besar (contohnya dekstran), dan obat yang memiliki bagian negatif
(contohnya heparin) karena obat-obat tersebut tidak dapat melalui sawar
glomerulus dengan bebas.2
Pada sekresi aktif terjadi transfer obat dari kapiler peritubular ke lumen tubulus.
Mekanisme ini lebih efisien dalam mengeliminasi obat daripada filtrasi
glomerulus terutama untuk obat-obat yang terikat kuat dengan protein. Kurang
lebih 80% aliran darah plasma renal terpapar pada sisi sekretorik, namun hanya
20% dari aliran darah ini yang tersaring. Terdapat dua sistem sekretorik yang
independen, keduanya terletak di tubulus proksimal. Sistem yang pertama adalah
transport anion organik, berfungsi mensekresi zat-zat yang bersifat asam, seperti
aspirin, penisilin dan furosemid. Sistem kedua berfungsi mensekresi zat-zat yang
bersifat basa (kation) seperti efedrin, epinefrin, simetidin dan morfin.2
4 Universitas Indonesia
Sebagian besar obat memberi efek toksik ke ginjal melalui satu atau lebih
mekanisme patogenesis. Obat dapat bersifat nefrotoksik dengan berbagai
mekanisme kerja, yaitu:
4 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
obat kemoterapi, serta asetaminofen dan aspirin yang digunakan selama lebih dari
2 tahun dengan dosis melebihi 1 gram sehari (dose dan length dependent).6
4. Crystal nephropathy
Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena penggunaan obat yang memproduksi
kristal yang tidak larut di urin. Kristal ini biasanya mengalami presipitasi di lumen
tubulus distal sehingga menghalangi aliran urin dan memicu reaksi interstisial.
Obat-obat yang dapat menghasilkan proses pengkristalan antara lain ampisilin,
siprofloksasin, methotreksat. Proses ini dipengaruhi oleh konsentrasi obat di urin,
pH urin, dan keadaan hipovolemia, bersifat dose dan length dependent.6
5. Rabdomiolisis
Rabdomiolisis adalah suatu keadaan dimana otot skeletal mengalami jejas
sehingga terjadi pemecahan miosit, pengeluaran mioglobin dan kreatin kinase ke
dalam plasma. Mioglobin memicu jejas pada ginjal melalui mekanisme secara
langsung, obstruksi tubulus, dan perubahan LFG. Gejala rabdomiolisis berupa
kelemahan otot, myalgia, dan urin yang berwarna seperti teh. Statin merupakan
obat tersering yang menyebabkan rabdomiolisis, diikuti kokain, heroin, ketamin
dan metadon.6
6. Mikroangiopati trombosis
Pada mikroangiopati trombosis, kerusakan organ disebabkan karena trombus
platelet di mikrosirkulasi. Mekanisme kerusakan ginjal karena mikroangiopati
trombosis meliputi reaksi yang diperantarai reaksi imun, atau kerusakan endotel
secara langsung. Obat yang terlibat antara lain klopidogrel, siklosporin, dan
kuinin.6
Sebagian besar kerusakan ginjal akibat obat nefrotoksik bersifat reversibel. Fungsi
ginjal umumnya kembali ke awal bila gangguan ginjal terdeteksi dini dan
pemberian obat nefrotoksik dihentikan. Kesalahan dalam mengenali gejala dan
interpretasi hasil laboratorium terjadi sekitar 37% pada reaksi simpang obat yang
melibatkan kerusakan ginjal.10
Universitas Indonesia
tergantung apa yang akan diketahui. Salah satunya adalah dengan menghitung
LFG dengan menggunakan kadar kreatinin serum yang mencerminkan fungsi
glomerulus.1
Kreatinin adalah hasil metabolisme kreatin dan fosfokreatin. Zat ini terutama
disintesis di otot skelet. Ekskresi kreatinin seluruhnya melalui ginjal melalui
filtrasi glomerulus. Pada keadaan normal sekresi di tubulus sangat sedikit
sehingga dapat diabaikan tetapi pada keadaan kerusakan ginjal jumlah sekresi di
tubulus bertambah.1
Universitas Indonesia
Pemeriksaan kadar NAG urin cukup praktis, dapat dilakukan sambil rawat jalan,
tidak invasif, dan bisa dilakukan sendiri oleh orangtua. Sampel urin sebaiknya
menggunakan urin pertama pagi hari. Untuk menghilangkan variabilitas harian,
umumnya kadar NAG dibagi dengan kreatinin sewaktu, sehingga menghasilkan
iNAG. Volume urin yang dibutuhkan 3-5 ml untuk masing-masing sampel NAG
urin dan kreatinin urin.
Kini terdapat beberapa cara untuk melihat aktivitas katalitik NAG urin. Metode
fluorometric assay berdasar pada substrat fluorescent 4-methylumbelliferyl-N-
acetyl-β-D-glucosaminide awalnya diperkenalkan pada akhir tahun 60an,
kemudian diikuti oleh metode kolorimetri dan spektrofotometri yang lebih mudah.
Metode fluoresen cukup sensitif untuk mendeteksi aktivitas enzim yang sangat
rendah pada urin yang telah diencerkan 20-50 kali untuk menghilangkan faktor
endogen yang memiliki berat molekul rendah.22,23
Universitas Indonesia
Selain ditemukan pada beberapa penyakit, peningkatan kadar NAG urin juga
ditemui pada kasus yang menggunakan obat-obatan tertentu. Pada anak maupun
dewasa pemakai aminoglikosida, dijumpai kenaikan kadar NAG urin. Pada pasien
yang diterapi dengan antikonvulsan, terutama VPA, juga terjadi peningkatan
kadar NAG urin. Beberapa penelitian menyatakan adanya abnormalitas
mitokondria di sel-sel tubulus ginjal pada pasien yang mengkonsumsi VPA,
namun mekanismenya masih belum jelas.24 Pemeriksaan NAGuntuk memantau
fungsi tubulus pada penggunaan obat nefrotoksik masih digunakan dalam ranah
penelitian dan belum menjadi prosedur baku.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.6. Hubungan pemakaian VPA dan CBZ dengan kenaikan kadar NAG urin
Dalam dua dekade terakhir telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
pemakaian VPA dan CBZ meningkatkan kadar NAG urin, yang dinyatakan dalam
kenaikan iNAG. Penelitian yang dilakukan oleh Otsuka dkk13 (1994) melibatkan
79 pasien yang telah minum VPA, CBZ, maupun fenobarbital. Hasil studi
menunjukkan peningkatan iNAG urin ditemukan pada 48% subjek pengguna
VPA, 38% subjek pengguna CBZ, dan tidak ditemukan peningkatan NAG urin
pada subjek pengguna fenobarbital.
Penelitian yang dilakukan Yuksel dkk14 (1999) mengukur iNAG urin pasien
epilepsi sebelum diterapi sama dengan kelompok kontrol, kemudian iNAG urin
diukur ulang setelah 8 bulan menerima VPA atau CBZ. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan kenaikan iNAG urin pada kelompok penerima VPA maupun CBZ.
Verotti dkk15 (2000) menyatakan bahwa setelah 6 bulan menggunakan VPA atau
CBZ, iNAG urin meningkat dibanding sebelum terapi. Peningkatan iNAG urin ini
menetap saat dilakukan pengukuran ulang pada 1 dan 2 tahun penggunaan VPA
dan CBZ.
Unay dkk17 (2006) meneliti 114 subjek yang menggunakan OAE selama minimal
1 tahun. Hasil studi tersebut menyatakan adanya peningkatan iNAG urin pada
subjek pemakai VPA atau CBZ dibandingkan kontrol. Peningkatan iNAG urin
tidak terjadi pada kelompok subjek pemakai lamotrigin.
Universitas Indonesia
Sampai saat ini, belum ada rekomendasi baku mengenai tata laksana bila terjadi
peningkatan iNAG urin karena OAE. Konsekuensi peningkatan iNAG urin karena
VPA dan atau CBZ kemungkinan memberi dampak klinis bila telah terjadi dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa jurnal menyebutkan VPA dan CBZ harus
diberikan dalam dosis dan durasi yang tepat, untuk meminimalisasi efek samping
yang mungkin terjadi.12,18 Pada pasien yang mengalami kenaikan iNAG harus
dievaluasi mengenai tata laksana pemberian VPA dan atau CBZ selama ini,
penyesuaian dosis, bahkan penggantian obat yang tidak bersifat nefrotoksik bila
memungkinkan.
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI
obat-obat nefrotoksik
VPA CBZ
crystal rabdo
nephropathy miolisis
mekanism Methotreksa
e belum t
jelas
meningkatkan
uptake
glutamin dan
produksi
amonia
14 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
harian, NAG urin dirasiokan dengan kreatinin urin yang ekskresinya di urin relatif
tetap, menjadi bentuk iNAG.
Universitas Indonesia
KERANGKA KONSEP
fungsi ekskresi
ginjal
epilepsi
17 Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
18 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Besar sampel tiap kelompok, n1=n2=n3= n4=25 orang, bila prediksi drop out
10% dari besar sampel, maka n1=n2=n3= 25 + (25x10%) = 27,5 orang.
Penelitian ini membulatkan besar sampel ke atas menjadi n1=n2=n3=n4= 30
orang.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kelompok kontrol didapat dari anak sehat sesuai definisi operasional penelitian
ini. Setelah mendapatkan sekitar 75% sampel dari kelompok kasus, peneliti
memulai pencarian kelompok kontrol, dengan sasaran usia yang sesuai dengan
usia sampel yang didapat dari kelompok kasus. Peneliti mendatangi RT 12 RW
II Kelurahan Pancoran, Jakarta Selatan. Warga setempat diberi penjelasan
mengenai kepentingan penelitian. Orangtua yang menyetujui ikut penelitian
diminta menandatangani formulir persetujuan, kemudian dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis pada anak mereka. Subjek yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi diminta memberikan sampel urin dan tidak dilakukan
pemeriksaan darah. Sampel urin dari kelompok kontrol kemudian dikirim ke
laboratorium Prodia oleh petugas Prodia, kemudian dilakukan penanganan
sampel sama seperti prosedur di atas.
Universitas Indonesia
Informed consent
Eksklusi
Inklusi
Pengolahan data
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ini nilai NAG urin sewaktu akan dibagi dengan kreatinin urin sewaktu,
menjadi rasio NAG/kreatinin urin (iNAG), satuannya adalah U/g kreatinin.
j) Indeks NAG urin meningkat
Indeks NAG urin dikategorikan meningkat bila nilainya lebih dari rerata+ 2
SD kelompok kontrol.
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
26 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 6
DISKUSI
28 Universitas Indonesia
orang), dan tidak terdapat subjek dengan gizi buruk. Kelompok dengan subjek
status gizi obesitas terbanyak adalah kelompok pemakai VPA, yaitu 14 subjek
dari 36 subjek. Hal ini sesuai dengan penelitian Verotti A dkk30, dipublikasikan
tahun 2011, yang melaporkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan berat
badan saat 3 bulan pertama pemakaian VPA dengan penyebab multifaktor yang
masih kontroversial. Beberapa hipotesis yang dikaitkan dengan efek VPA dan
kenaikan berat badan antara lain disregulasi sistem hipotalamus, efek
hiperinsulinemia, resistensi insulin dan kerentanan genetik.
Usia subjek pada penelitian awalnya dibatasi pada rentang 6-12 tahun, namun
karena kesulitan mencari subjek pemakai CBZ secara monoterapi maupun
kombinasi, maka rentang usia diperluas hingga 3-16 tahun. Kesulitan mencari
subjek pemakai CBZ disebabkan karena adanya laporan efek samping pemakaian
CBZ berupa sindrom Steven-Johnson (SSJ), yang menyebutkan kasus SSJ yang
berhubungan dengan obat, 40% di antaranya adalah akibat obat CBZ.31-33
Salah satu kriteria inklusi pada kelompok kasus adalah lama pemakaian OAE
minimal 6 bulan. Hasil pengumpulan data lama terapi penelitian ini pada 3
kelompok kasus bervariasi, pada kelompok VPA median pemakaian VPA selama
16 bulan (rentang 7-70), median pemakaian CBZ pada kelompok CBZ 28 bulan
(rentang 12-75), median pemakaian secara kombinasi pada kelompok kombinasi
VPA dan CBZ 20,5 bulan (rentang 8-102).
Dosis OAE disesuaikan dengan respons klinis pasien. Pada penelitian ini variabel
dosis memiliki variasi yang luas, median dosis pada kelompok VPA 20
mg/kgBB/hari (rentang 7,5-49), median dosis pada kelompok CBZ 15
mg/kgBB/hari (rentang 10-30), dan pada kelompok kombinasi median dosis VPA
30 mg/kgBB/hari (rentang 12,5-50), median dosis CBZ 20 mg/kgBB/hari (rentang
10-45).
Universitas Indonesia
Ketiga penelitian di atas memberi bukti bahwa terdapat peningkatan kadar iNAG
urin pada kelompok pemakai monoterapi CBZ dibandingkan anak sehat sebagai
kontrol.15,17,18 Kenyataan tersebut tidak ditemukan pada penelitian ini, yang
memberikan hasil iNAG urin kelompok monoterapi CBZ tidak berbeda dengan
kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah subjek kelompok CBZ
hanya 14 subjek, kurang dari jumlah sampel yang seharusnya, yaitu 30 subjek.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sampai saat ini belum ada rekomendasi baku mengenai tata laksana bila terjadi
peningkatan iNAG karena OAE. Klinisi harus lebih mewaspadai pada
penggunaan obat secara kombinasi. Konsekuensi peningkatan iNAG urin karena
VPA dan atau CBZ kemungkinan memberi dampak klinis bila telah terjadi dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa jurnal menyebutkan VPA dan CBZ harus
diberikan dalam dosis dan durasi yang tepat, untuk meminimalisasi efek samping
yang mungkin terjadi.12,18 Pada pasien yang mengalami kenaikan iNAG harus
dievaluasi mengenai tata laksana pemberian VPA dan atau CBZ selama ini,
Universitas Indonesia
penyesuaian dosis, bahkan penggantian obat yang tidak bersifat nefrotoksik bila
memungkinkan. Contoh OAE tersebut adalah lamotrigin dan levetirasetam.
Langkah-langkah ini penting karena sudah terdapat tanda kerusakan tubulus ginjal
yang dapat berlanjut ke gangguan ekskresi ginjal. Selain itu, perlu dilakukan
pemantauan lebih ketat untuk pasien-pasien tersebut. Orangtua pasien hendaknya
diedukasi mengenai efek samping yang sedang terjadi, alternatif penggantian
dosis atau obat, maupun kepentingan pemeriksaan selanjutnya bila diperlukan.
Komunikasi yang terjalin antara orangtua, pasien, dan dokter diharapkan dapat
memperbaiki luaran pasien epilepsi yang mengalami kenaikan iNAG urin akibat
kedua jenis OAE di atas.
Universitas Indonesia
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Indeks NAG urin pada anak epilepsi yang mendapat VPA lebih tinggi 2
kali lipat daripada iNAG urin anak sehat dan lebih tinggi 2,3 kali lipat
apabila pemberian VPA dikombinasikan dengan CBZ.
2. Indeks NAG urin meningkat pada 11 dari 36 subjek kelompok monoterapi
VPA, 2 dari 14 subjek kelompok monoterapi CBZ, 9 dari 14 subjek
kelompok kombinasi VPA dan CBZ. Dengan kata lain, proporsi subjek
yang mengalami kenaikan iNAG urin pada kelompok terapi kombinasi 2
kali lipat daripada kelompok monoterapi VPA dan proporsi pada
kelompok monoterapi VPA 2 kali lipat daripada proporsi kelompok
monoterapi CBZ.
7.2 Saran
1. Indeks NAG urin sebaiknya diperiksa pada pasien anak yang menerima
obat VPA dan CBZ untuk mendeteksi efek nefrotoksik obat tersebut.
2. Perlu penelitian lanjutan dengan desain kohort prospektif untuk mengukur
iNAG urin saat pasien epilepsi belum menerima terapi dan diukur kembali
secara berkala saat telah menerima terapi. Hal ini bertujuan untuk
mengenali kapan terjadinya kenaikan iNAG urin, sehingga klinisi dapat
melakukan pemeriksaan iNAG urin pada waktu yang tepat.
34 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Saya, dr. Deasy Grafianti, dari program studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia sedang melakukan penelitian untuk mengetahui kadar
enzim N-asetil beta glucosaminidase (NAG) urin pada anak yang menggunakan obat
antiepilepsi. Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi efek samping gangguan fungsi ginjal
pada anak yang mendapat terapi antiepilepsi. Keuntungan mengikuti penelitian ini adalah
dokter dapat mengetahui adanya gangguan tubulus ginjal lebih dini sebelum gejala maupun
kenaikan ureum dan kreatinin muncul.
Penelitian ini menggunakan pemeriksaan darah dan urin. Contoh darah diambil oleh
perawat/petugas laboratorium, kemudian diperiksakan ureum dan kreatinin. Pengambilan
urin melalui urin sewaktu saat pasien kontrol di poliklinik, dan diperiksakan urin lengkap,
kreatinin urin, dan NAG urin. Sampel darah dan urin akan diantar ke Prodia oleh petugas
penelitian.
Penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa dipungut biaya. Bapak/Ibu bebas
memutuskan keikutsertaan anaknya dalam penelitian ini. Data pribadi akan dijaga
kerahasiaannya sesuai dengan etika profesi kedokteran dan hasil penelitian akan
disebarluaskan melalui publikasi ilmiah. Jika Bapak/Ibu membutuhkan informasi lebih lanjut,
dapat menghubungi dr. Deasy Grafianti di program studi Ilmu Kesehatan Anak FK UI/
RSCM, Jalan Salemba Raya 6 di nomor telepon 081212214944.
Saya menyampaikan terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta dalam
penelitian ini. Data yang Bapak/Ibu berikan mempunyai makna yang penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Peneliti
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1,2, dan 3 mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh dr. Deasy Grafianti dengan judul Pemeriksaan fungsi saluran
ginjal pada anak yang mengomsumsi obat antiepilepsi informasi tersebut telah Saya
pahami dengan baik.
_________________________ _________________________
Tanda Tangan Subyek atau cap jempol Tanggal
_________________________
Nama Subyek
_________________________
Tanda Tangan Saksi/ Wali Tanggal
_________________________
Nama Saksi/ Wali
Ket: Tanda tangan saksi/ wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan
kesadaran, mengalami gangguan jiwa, dan berusia di bawah 18 tahun.
Universitas Indonesia
Saya telah menjelaskan kepada subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta resiko dan ketidaknyamanan
potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang Saya tandai
di atas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan
sebaik-baiknya.
_________________________
Tanda Tangan Peneliti Tanggal
_________________________
Nama Peneliti
Universitas Indonesia
Lampiran 3
I. IDENTITAS PASIEN
Nama :
Usia/ tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Alamat rumah :
No. telepon :
II. DATA PASIEN
Anamnesis
1. Apakah antiepilepsi yang dikonsumsi selama 6 bulan terakhir?
Asam valproat Karbamazepin Lainnya, sebutkan: ……..
2. Apakah anak sedang mengonsumsi salah satu atau lebih obat berikut:
trimetoprim, sefalosporin, atau simetidin?
Ya Tidak
3. Apakah anak pernah mengalami salah satu atau lebih gejala bengkak pada
kelopak mata atau sekitar punggung kaki?
Ya Tidak
4. Apakah anak pernah mengalami gejala kuning atau didiagnosis adanya gangguan
hati, ginjal, hipertensi, kencing manis, atau ISK berulang?
Ya Tidak
Pemeriksaan fisis
1. Berat badan :
2. Tinggi badan :
3. Status gizi : baik/ kurang/ buruk
4. Frekuensi nadi :
5. Frekuensi napas :
6. Tekanan darah :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia