Anda di halaman 1dari 57

UNIVERSITAS INDONESIA

EFEK SAMPING PENGOBATAN ANTIEPILEPSI JANGKA


PANJANG TERHADAP TUBULUS GINJAL

TESIS

DEASY GRAFIANTI
NPM. 1006824503

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN ANAK
JAKARTA
JULI 2015

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

EFEK SAMPING PENGOBATAN ANTIEPILEPSI JANGKA


PANJANG TERHADAP TUBULUS GINJAL

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anak

DEASY GRAFIANTI
NPM. 1006824503

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN ANAK
JAKARTA
JULI 2015

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


iii Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


iv Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Anak pada
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dr. dr. Partini P Trihono, Sp.A(K), MM(Paed) dan dr. Mulya R Karyanti,
Sp.A(K), IBCLC selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyusunan tesis ini;
(2) dr. Abdul Latief, Sp.A(K), Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), dan dr.
Lily, Sp.A(K) selaku tim penguji yang telah memberi masukan demi
perbaikan tesis ini;
(3) Orangtua saya yaitu bapak Yongki B dan ibu Suliyanti M, suami saya Dicky
Novriadi, anak saya Amelia Zahraa Adeline, serta keluarga besar H. Mulya
Dharma yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral;
(4) Teman-teman PPDS IKA FKUI angkatan Januari 2011, serta para sahabat
yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu, yang telah banyak
membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu kedokteran.
Jakarta, 1 Juli 2015

Penulis

v Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


vi Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


ABSTRAK

Nama : Deasy Grafianti


Program studi : Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak
Judul : Efek samping pengobatan antiepilepsi jangka panjang terhadap
tubulus ginjal

Latar belakang: Obat antiepilepsi (OAE), seperti asam valproat (valproic acid,
VPA) dan karbamazepin (carbamazepin, CBZ) sering digunakan dalam jangka waktu
panjang. Obat-obatan tersebut dapat mengganggu fungsi tubulus ginjal. N-acetyl-
beta-D-glucosaminidase (NAG) urin merupakan enzim yang dapat dipakai sebagai
marka fungsi tubulus sehingga diharapkan dapat mendeteksi jejas tubulus. Penelitian
mengenai efek nefrotoksik VPA dan CBZ terhadap tubulus menggunakan penanda
NAG urin ini belum pernah dilakukan di Indonesia.

Tujuan: Mengukur indeks NAG (iNAG) urin pada anak epilepsi yang mendapat
VPA dan atau CBZ jangka panjang untuk mendeteksi efek nefrotoksik kedua OAE
tersebut pada tubulus ginjal.

Metodologi: Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang dilakukan pada
Januari-Maret 2015. Subjek penelitian ini adalah 36 anak epilepsi dengan monoterapi
VPA, 14 dengan monoterapi CBZ, 14 dengan kombinasi VPA dan CBZ, rentang usia
3-16 tahun. Pada seluruh subjek dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin urin dan
kadar NAG urin. Sebagai nilai acuan kadar NAG urin, dipilih 30 anak sehat dengan
usia yang disesuaikan dengan subjek penelitian. Untuk menghilangkan variabilitas
harian, maka NAG urin dibagi dengan kreatinin urin, menjadi iNAG (satuan U/g
kreatinin). Indeks NAG dikategorikan meningkat bila nilainya lebih dari rerata NAG
+ 2 SD kelompok anak sehat.

Hasil: Rerata iNAG urin pada kelompok anak sehat, monoterapi VPA, monoterapi
CBZ dan kombinasi VPA dan CBZ berturut-turut adalah 3,01; 5,9; 4,07; 6,9. Tiap
kelompok kasus memiliki rerata iNAG urin lebih tinggi dibandingkan anak sehat.
Proporsi kenaikan iNAG urin ditemukan pada 11/ 36 anak dengan monoterapi VPA,
2/14 pada kelompok monoterapi CBZ, dan 9/14 pada terapi kombinasi VPA dan
CBZ.

Simpulan: Pemberian VPA jangka panjang dapat menyebabkan jejas pada tubulus
ginjal dengan parameter kenaikan iNAG urin, dan jejas tubulus ini meningkat dengan
pemakaian VPA dan CBZ secara kombinasi.
Kata kunci: asam valproat; epilepsi; iNAG urin; jejas tubulus; karbamazepin

vii Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


ABSTRACT

Name : Deasy Grafianti


Study Program : Department of Child Health
Title : Side effect of long term antiepileptic drugs on kidney tubules.

Background: Antiepileptic drugs such as valproic acid (VPA) and carbamazepine


(CBZ) are often used in the long term manner. These drugs may disrupt the function
of the kidney tubules. Urinary N-acetyl-beta-D-glucosaminidase (NAG) is an enzyme
that can be utilised as marker of tubular function and is therefore expected to be
useful in detecting kidney tubular injuries. There have been no studies conducted in
Indonesia on the nephrotoxic effect of VPA and CBZ to tubules using urinary NAG
as marker.

Objectives: To measure urinary NAG index (iNAG) in epileptic children with long-
term use of VPA and CBZ in order to detect their nephrotoxic effects on kidney
tubules.
Methods: This is a cross-sectional study performed on January to March 2015. The
subject includes 36 patients on VPA monotherapy, 14 patients on CBZ monotherapy,
and 14 patients on VPA-CBZ combination therapy with age ranging from 3 to 16
years old. Urine creatinine concentration and urinary NAG values of all the patients
are measured. Thirty age-adjusted healthy children are included in the study for NAG
value reference. To eliminate NAG diurnal variability, iNAG is calculated by
dividing urinary NAG value and urine creatinine concentration. Urinary iNAG values
that fall above the +2 standard deviations from the mean of healthy children are
considered elevated.
Results: Urinary iNAG values of the healthy children, VPA monotherapy, CBZ
monotherapy, and VPA-CBZ comination therapy groups are 3.01; 5.9; 4.07; 6.9 U/g
respectively. Each case group has higher urinary iNAG mean value than the control
group. Urinary iNAG urine increased proportion is found in 11/36 children on VPA
monotherapy, 2/14 children on CBZ monotherapy, and 9/14 children on VPA-CBZ
combination therapy.
Conclusions: Long-term VPA use may cause renal tubular injuries with increased
urinary iNAG value as parameter. Tubular injury is increased with the use of VPA
and CBZ in combination.

Keywords: epilepsy, VPA, CBZ, urinary iNAG, renal tubular injury

viii Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………. i
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………. iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………… vii
ABSTRACT………………………………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….. xiii

1. PENDAHULUAN…………………………………………………………... 1
1.1 Latar belakang………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan masalah………………………………………………….... 3
1.3 Tujuan penelitian……………………………………………………. 3
1.3.1 Tujuan umum……………………………………………….. 3
1.3.2 Tujuan khusus………………………………………………. 3
1.4 Manfaat penelitian…………………………………………………... 3
1.4.1 Bidang akademis…………………………………………… 3
1.4.2 Bidang pelayanan…………………………………………... 3
1.4.3 Bidang pengembangan penelitian………………………….. 3

2. TINJAUAN PUSTAKA…………………….……………………………... 4
2.1 Ginjal sebagai organ ekskresi……………………………………… 4
2.2 Mekanisme sifat nefrotoksik obat…………….................................. 5
2.3 Pemantauan fungsi ekskresi ginjal…….…………………………… 7
2.4 N-acetyl-beta glucosaminidase………...………………………………… 8
2.5 Asam valproat dan karbamazepin……………………….................. 11
2.6 Hubungan pemakaian asam valproat dan karbamazepin dengan
kenaikan NAG urin …………………………………………………. 12

3. KERANGKA TEORI……………………………………………………… 13
KERANGKA KONSEP…………………………………………………….. 18

4. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………… 18
4.1 Desain penelitian……………………………….……………………. 18
4.2 Tempat dan waktu penelitian……………………………………….. 18
4.3 Populasi dan sampel penelitian……………………………………... 18
4.3.1 Kelompok kasus…………………………………………...... 18
4.3.1.1 Populasi target…………………………………… 18

ix Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


4.3.1.2 Populasi terjangkau…………………………….... 18
4.3.2 Kelompok kontrol………..…………………………………. 18
4.3.3 Sampel penelitian…………………………………………… 18
4.4 Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kasus………………………. 19
4.4.1 Kriteria inklusi………………………………………...……. 19
4.4.2 Kriteria eksklusi…………………………………………….. 19
4.5 Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kontrol…………………..… 19
4.5.1 Kriteria inklusi………………………………………...…… 19
4.5.2 Kriteria eksklusi…………………………………………….. 19
4.6 Estimasi besar sampel……………………………………………….. 20
4.7 Metode pengambilan sampel……………………………………….. 21
4.8 Prosedur penelitian………………………………………………….. 21
4.9 Alur penelitian ……………………………………………………… 23
4.10 Pengolahan dan analisis data, serta penyajian hasil penelitian …….. 23
4.11 Definisi operasional…………………………………………………. 24
4.12 Etik penelitian……………………………………………………….. 25

5. HASIL PENELITIAN……………………………………………………… 26
5.1 Karakteristik subjek penelitian……………………………………… 26
5.2 Indeks NAG urin antar kelompok…………………………………… 26
5.3 Perbandingan besar proporsi subjek yang mengalami kenaikan
iNAG antar kelompok………………………………………………. 27

6. DISKUSI…………………………………………………………………….. 28
6.1 Keterbatasan dan kelebihan penelitian……………………………… 28
6.2 Karakteristik subjek penelitian ……………………………………... 28
6.3 Indeks NAG urin antar kelompok ………………………………….. 30

7. SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………… 34


7.1 Simpulan…………………………………………………………….. 34
7.2 Saran………………………………………………………………… 34

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 35

x Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian………………………………. 26

Tabel 5.2 Indeks NAG urin antar kelompok…………………………… 27

Tabel 5.3. Perbandingan besar proporsi kenaikan iNAG urin antar


kelompok ……………………………………………………. 27

xi Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar informasi untuk orangtua/wali ……………………. 39

Lampiran 2. Lembar persetujuan oleh subjek dan orangtua……………… 40

Lampiran 3. Lembar data subjek penelitian..…………………………….. 43

Lampiran 4. Surat lolos kaji etik………………………………………… 44

xii Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


DAFTAR SINGKATAN

ACE : angiotensin converting enzyme


AKI : acute kidney injury
CBZ : carbamazepin (karbamazepin)
CKD : chronic kidney disease
DM : diabetes mellitus
GABA : gamma-amino butyric acid
HSP : Henoch-Schonlein Purpura
iNAG : indeks NAG
ISK : infeksi saluran kemih
LFG : laju filtrasi glomerulus
NAG : N-acetyl-β-D-glucosaminidase
OAINS : obat-obat antiinflamasi non steroid
VPA : valproic acid (asam valproat)

xiii Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ginjal memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ekskresi dan fungsi hormonal.1
Salah satu fungsi ekskresi ginjal adalah mengeluarkan zat-zat kimia yang bersifat
asing (xenobiotik), termasuk obat dan metabolitnya.2 Obat dapat bersifat
nefrotoksik terhadap ginjal. Kurang lebih 20% dari gangguan ginjal akut
disebabkan karena obat nefrotoksik.3,4 Terdapat beberapa mekanisme obat yang
mencetuskan jejas pada ginjal. Mekanisme-mekanisme ini antara lain
menyebabkan perubahan pada hemodinamik glomerulus, toksisitas terhadap sel-
sel tubulus, dan menyebabkan nefritis interstisialis.5,6 Banyak obat yang memiliki
sifat nefrotoksik, misalnya antibiotik golongan aminoglikosida, amfoterisin B,
sisplatin, obat antiinflamasi non steroid (OAINS), dan lain-lain.2,5 Sifat
nefrotoksik penting diperhatikan karena umumnya dapat dicegah dan bersifat
reversibel.6

Fungsi ekskresi ginjal dijalankan oleh glomerulus dan tubulus ginjal. Fungsi ini
dapat dievaluasi dengan berbagai pemeriksaan laboratorium.1 Kreatinin serum
merupakan penanda yang paling sering digunakan untuk mengetahui fungsi
glomerulus, namun kreatinin memiliki beberapa kelemahan dalam menapis
penyakit ginjal. Kelemahan yang utama adalah kadar kreatinin serum tidak
spesifik dan memberi informasi yang terlambat dalam mengenali acute kidney
injury (AKI).7 Kadar ureum dan kreatinin terdeteksi meningkat dalam darah bila
laju filtrasi glomerulus (LFG) telah turun 60-70%, sehingga tidak dapat digunakan
untuk mendeteksi kelainan ginjal yang dini. Fungsi tubulus ginjal tidak dapat
dinilai dari kadar kreatinin serum, walaupun kerusakan pada tubulus pada
akhirnya juga memengaruhi fungsi glomerulus, demikian juga sebaliknya.1

Kebutuhan yang mendesak serta perkembangan teknologi mendorong para


peneliti untuk mencari alternatif penanda lain yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kelainan ginjal. Beberapa tahun belakangan telah ditemukan belasan

1 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


2

penanda baru yang menjanjikan, salah satunya adalah N-acetyl-beta


glucosaminidase (NAG) urin. Kadar NAG urin mencerminkan fungsi ekskresi
tubulus. Kadarnya yang terdeteksi meningkat di urin menandakan terjadinya jejas
pada tubulus. Kenaikan kadar NAG urin ini terjadi sebelum peningkatan kreatinin
serum, sehingga diharapkan dapat mendeteksi kelainan ginjal lebih dini.8,9
Sayangnya belum terdapat nilai normal kadar NAG urin sehingga para peneliti
membuat batasannya masing-masing sesuai dengan metode dan reagen/substrat
yang digunakan.

Epilepsi memberi masalah morbiditas yang tinggi pada anak. Insidens epilepsi
berkisar 5-7 kasus per 10.000 anak per tahun. Sejak lahir sampai dengan usia 15
tahun dan sekitar lima dari 1000 anak diperkirakan akan menderita epilepsi.
Jumlah penderita epilepsi di Amerika sekitar 2 juta orang dan pada tahun 2010
terdiagnosis hampir 140.000 kasus baru.10,11 Secara keseluruhan prevalens kasus
epilepsi sebesar 3 kasus per 1000. Besarnya jumlah penderita akan meningkatkan
pemakaian obat-obat antiepilepsi (OAE).

Penelitian dalam dua dekade terakhir menunjukkan bahwa OAE asam valproat
(valproic acid, VPA) dan karbamazepin (carbamazepine, CBZ) memiliki efek
nefrotoksik. Angka kejadiannya belum diketahui, namun penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan terdapat jejas pada tubulus ginjal pada pasien-pasien yang
mengonsumsi VPA maupun CBZ, terlihat dari peningkatan indeks NAG urin
(iNAG), yang merupakan rasio NAG per kreatinin urin.12-18 Kadar NAG dalam
penelitian-penelitian tersebut disajikan dalam iNAG, dengan tujuan mengurangi
variabilitas harian ekskresi NAG urin.

Dasar penelitian ini dilakukan karena sudah banyak penelitian di luar negeri yang
menyatakan bahwa pemakaian OAE VPA dan CBZ meningkatkan iNAG urin.12-18
Peningkatan iNAG urin pada pengguna OAE ini belum terdata di RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Mendeteksi adanya kenaikan iNAG urin membantu
para klinisi untuk mewaspadai kerusakan tubulus ginjal lebih dini dibandingkan
kenaikan kreatinin serum.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


3

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
Apakah iNAG urin pada anak epilepsi yang mendapat OAE VPA maupun
CBZ lebih tinggi daripada iNAG urin anak yang tidak mendapat OAE
VPA maupun CBZ?

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mendeteksi efek kerusakan tubulus ginjal pada pengguna VPA dan CBZ
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui iNAG urin pada pasien epilepsi yang mendapat monoterapi
VPA atau CBZ, serta kombinasi VPA dan CBZ.
b. Mengetahuibesar proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG urin
pada pasien epilepsi yang mendapat monoterapi VPA atau CBZ, serta
kombinasi VPA dan CBZ.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bidang akademis
Hasil penelitian dapat sebagai sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya di
bidang nefrologi, yaitu dapat mengetahui kenaikan iNAG urin pada anak
yang mendapat OAE
1.4.2 Bidang pelayanan
Memberikan informasi mengenai hal-hal yang perlu dipantau pada anak
yang mendapat OAE sehingga jejas pada ginjal dapat dideteksi lebih dini
1.4.3 Bidang pengembangan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan penggunaan
penanda alternatif selain pemeriksaan kreatinin dalam mendeteksi jejas
pada ginjal

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal sebagai organ ekskresi


Aspek penting fungsi ginjal adalah mengeliminasi zat-zat xenobiotik, termasuk
obat-obatan dan metabolitnya. Bersama dengan hati, ginjal membuang sisa
metabolisme obat yang telah mengalami perubahan akibat enzim-enzim di hati
menjadi senyawa polar yang dapat diekskresi di urin. Mayoritas obat-obat
dieliminasi dalam bentuk inaktif, namun terdapat pula sejumlah besar obat
diekskresi di urin dalam bentuk yang belum berubah (contohnya asiklovir,
golongan aminoglikosida, digoksin, furosemid, dan lain-lain) maupun metabolit
aktif (contohnya adriamisin, kaptopril, siprofloksasin, diazepam, dan lain-lain).2

Tiga proses dasar ginjal dalam mengeliminasi obat ke urin adalah filtrasi
glomerulus, sekresi aktif tubulus dan reabsorbsi pasif. Peran proses filtrasi
terhadap eliminasi obat adalah LFG, konsentrasi obat bebas di plasma dan
reabsorbsi pasif obat setelah filtrasi. Filtrasi glomerulus tidak memberi peran
besar terhadap proses eliminasi obat yang terikat erat pada protein, misalnya
OAINS, sebagian besar obat golongan penisilin, diuretik, obat-obat dengan berat
molekul yang besar (contohnya dekstran), dan obat yang memiliki bagian negatif
(contohnya heparin) karena obat-obat tersebut tidak dapat melalui sawar
glomerulus dengan bebas.2

Pada sekresi aktif terjadi transfer obat dari kapiler peritubular ke lumen tubulus.
Mekanisme ini lebih efisien dalam mengeliminasi obat daripada filtrasi
glomerulus terutama untuk obat-obat yang terikat kuat dengan protein. Kurang
lebih 80% aliran darah plasma renal terpapar pada sisi sekretorik, namun hanya
20% dari aliran darah ini yang tersaring. Terdapat dua sistem sekretorik yang
independen, keduanya terletak di tubulus proksimal. Sistem yang pertama adalah
transport anion organik, berfungsi mensekresi zat-zat yang bersifat asam, seperti
aspirin, penisilin dan furosemid. Sistem kedua berfungsi mensekresi zat-zat yang
bersifat basa (kation) seperti efedrin, epinefrin, simetidin dan morfin.2

4 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


5

2.2 Mekanisme sifat nefrotoksik obat


Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal menyebabkan ginjal terpapar zat-zat
yang beredar dalam sirkulasi. Sebagai konsekuensinya, bahan-bahan yang bersifat
toksik menjadi mudah menyebabkan kerusakan pada jaringan ginjal dalam bentuk
perubahan struktur dan fungsi ginjal. Keadaan ini disebut nefropati toksik dan
dapat mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskular, maupun interstisial
ginjal.6

Jenis-jenis obat nefrotoksik yang telah dikenal:


- Analgetik: asetaminofen, aspirin, OAINS
- Antidepresi: amitriptilin, fluoksetin
- Antihistamin: difenhidramin
- Antivirus: asiklovir, gansiklovir
- Antibiotik: aminoglikosida, beta laktam, kuinolon, rifampisin, sulfa,
vankomisin
- Antijamur: amfoterisin
- Benzodiazepin
- Calcineurin inhibitors: siklosporin, takrolimus
- Angiotensin converting enzym inhibitor
- Angiotensin receptor blockers (ARB)
- Klopidogrel
- Statin
- Kemoterapi: sisplatin, metotreksat
- Ketamin
- Tiazid
- Kokain, heroin
- Penghambat pompa proton (proton pump inhibitor, PPI): lanzoprazol,
omeprazol, pantoprazol

Sebagian besar obat memberi efek toksik ke ginjal melalui satu atau lebih
mekanisme patogenesis. Obat dapat bersifat nefrotoksik dengan berbagai
mekanisme kerja, yaitu:

4 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


6

1. Perubahan hemodinamik intraglomerulus


Ginjal mempertahankan autoregulasi tekanan intraglomerulus dengan mengatur
tonus arteri aferen dan eferen untuk menjaga LFG dan produksi urin.
Vasokonstriksi arteri eferen diatur oleh aksi angiotensin II. Obat-obat
antiprostaglandin (OAINS) dan antiangiotensin II (ACE inhibitor, ARB) dapat
mengganggu kemampuan ginjal dalam menjaga hemodinamik intraglomerulus.
Obat calcineurin inhibitors dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri aferen yang
bersifat dose-dependent.6,19,20
2. Kerusakan tubulus
Sebagian besar mekanisme nefrotoksik obat terjadi karena kerusakan pada
tubulus. Sel-sel tubulus, terutama pada tubulus proksimal rentan terhadap efek
toksisitas obat karena peranan tubulus dalam memekatkan dan reabsorbsi filtrat
dari glomerulus. Fungsi tersebut menyebabkan tubulus proksimal terpapar oleh
sejumlah toksin yang bersifat tubulotoksik. Obat dapat bersifat tubulotoksik
dengan cara merusak fungsi mitokondria, mengganggu transport di tubulus,
meningkatkan stress oksidatif, dan membentuk radikal bebas. Amfoterisin,
aminoglikosida, antiretro virus, dan zolendronat merupakan obat-obat yang
bersifat tubulotoksik.6,19,20
Asam valproat terbukti menghambat beta-oksidasi asam lemak di mitokondria dan
merangsang proliferasi peroksisom di hati dan ginjal pada hewan coba. Asam
valproat meningkatkan uptake glutamin dan produksi amonia di tubulus ginjal.21
3. Inflamasi
Obat dapat menyebabkan inflamasi pada glomerulus, sel tubulus ginjal, dan
jaringan interstisial sehingga terjadi terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Nefritis
interstisial akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi suatu obat, yang bersifat
idiosinkratik dan non dose-dependent. Allopurinol, antibiotik golongan beta
laktam, kuinolon, rifampisin, sulfa, vankomisin, asiklovir, loop diuretics, PPI, dan
ranitidin dapat menyebabkan nefritis interstisial akut dengan berikatan dengan
antigen di ginjal, menumpuk di jaringan intertisial kemudian merangsang reaksi
imun.6,19,20
Nefritis interstisial kronik terjadi lebih jarang daripada bentuk akut. Obat yang
dapat menyebabkan nefritis interstisial kronik antara lain calcineurin inhibitors,

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


7

obat kemoterapi, serta asetaminofen dan aspirin yang digunakan selama lebih dari
2 tahun dengan dosis melebihi 1 gram sehari (dose dan length dependent).6
4. Crystal nephropathy
Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena penggunaan obat yang memproduksi
kristal yang tidak larut di urin. Kristal ini biasanya mengalami presipitasi di lumen
tubulus distal sehingga menghalangi aliran urin dan memicu reaksi interstisial.
Obat-obat yang dapat menghasilkan proses pengkristalan antara lain ampisilin,
siprofloksasin, methotreksat. Proses ini dipengaruhi oleh konsentrasi obat di urin,
pH urin, dan keadaan hipovolemia, bersifat dose dan length dependent.6
5. Rabdomiolisis
Rabdomiolisis adalah suatu keadaan dimana otot skeletal mengalami jejas
sehingga terjadi pemecahan miosit, pengeluaran mioglobin dan kreatin kinase ke
dalam plasma. Mioglobin memicu jejas pada ginjal melalui mekanisme secara
langsung, obstruksi tubulus, dan perubahan LFG. Gejala rabdomiolisis berupa
kelemahan otot, myalgia, dan urin yang berwarna seperti teh. Statin merupakan
obat tersering yang menyebabkan rabdomiolisis, diikuti kokain, heroin, ketamin
dan metadon.6
6. Mikroangiopati trombosis
Pada mikroangiopati trombosis, kerusakan organ disebabkan karena trombus
platelet di mikrosirkulasi. Mekanisme kerusakan ginjal karena mikroangiopati
trombosis meliputi reaksi yang diperantarai reaksi imun, atau kerusakan endotel
secara langsung. Obat yang terlibat antara lain klopidogrel, siklosporin, dan
kuinin.6
Sebagian besar kerusakan ginjal akibat obat nefrotoksik bersifat reversibel. Fungsi
ginjal umumnya kembali ke awal bila gangguan ginjal terdeteksi dini dan
pemberian obat nefrotoksik dihentikan. Kesalahan dalam mengenali gejala dan
interpretasi hasil laboratorium terjadi sekitar 37% pada reaksi simpang obat yang
melibatkan kerusakan ginjal.10

2.3 Pemantauan fungsi ekskresi ginjal


Fungsi ekskresi ginjal dilakukan oleh glomerulus dan tubulus. Evaluasi fungsi
ekskresi ginjal dapat dilakukan dengan berbagai pemeriksaan laboratorium

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


8

tergantung apa yang akan diketahui. Salah satunya adalah dengan menghitung
LFG dengan menggunakan kadar kreatinin serum yang mencerminkan fungsi
glomerulus.1

Kreatinin adalah hasil metabolisme kreatin dan fosfokreatin. Zat ini terutama
disintesis di otot skelet. Ekskresi kreatinin seluruhnya melalui ginjal melalui
filtrasi glomerulus. Pada keadaan normal sekresi di tubulus sangat sedikit
sehingga dapat diabaikan tetapi pada keadaan kerusakan ginjal jumlah sekresi di
tubulus bertambah.1

Sintesis kreatinin relatif konstan sehingga kadar kreatinin darah dapat


menggambarkan pengeluaran kreatinin dari ginjal. Bila kadar kreatinin serum
meningkat berarti klirens kreatinin atau LFG menurun. Pada fungsi ginjal yang
normal, dapat terjadi peningkatan kadar kreatinin serum bila terjadi kerusakan otot
yang hebat misalnya pada trauma otot atau rabdomiolisis.1

Pengukuran kadar kreatinin serum untuk menapis penyakit ginjal mulai


ditinggalkan karena tidak terlalu sensitif untuk mendiagnosis penyakit ginjal dan
juga tidak bersifat spesifik. Individu yang sehat dengan massa otot yang berat
maka kadar kreatinin serum lebih tinggi daripada individu yang ototnya sedikit.
Di lain pihak, kapasitas filtrasi ginjal memiliki banyak cadangan sehingga tidak
sensitif untuk mendeteksi AKI kecuali bila jejas yang ada cukup banyak sehingga
mempengaruhi kemampuan filtrasi ginjal.7 Penghitungan LFG relatif memiliki
sensitifitas yang rendah disebabkan karena fungsi cadangan yang besar untuk
dapat mengkompensasi jejas yang terjadi.6 Penilaian fungsi ekskresi ginjal dengan
bergantung pada kadar kreatinin serum membuat para klinisi hanya melihat
puncak fenomena gunung es. Kita mungkin kehilangan sejumlah pasien yang
menunjukkan gejala subklinis bila menunggu kadar serum kreatinin meningkat.7

2.4 N-acetyl-beta glucosaminidase (NAG)


N-acetyl-beta glucosaminidase merupakan enzim lisosom yang banyak terdapat di
dalam sel tubulus proksimal ginjal. Enzim ini memiliki berat molekul yang relatif

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


9

besar, yaitu 130.000 sampai 140.000 Dalton sehingga tidak memungkinkan


difiltrasi melalui membran basalis glomerulus. Oleh sebab itu maka ekskresinya
melalui urin relatif konstan dengan variasi diurnal yang minimal. N-acetyl-beta
glucosaminidase ini mencerminkan fungsi ekskresi tubulus. N-acetyl-beta
glucosaminidase bersifat stabil dalam suasana pH dan temperatur yang berubah.
N-acetyl-beta glucosaminidase terdiri dari beberapa isoenzim. Dua isoenzim yang
utama terdapat di ginjal (bentuk A, asam) dan di hati (bentuk B, basa), beserta
sejumlah kecil bentuk intermediet yaitu bentuk I1 dan I2. Bentuk NAG di serum
yang dominan adalah bentuk As yang juga merupakan satu-satunya bentuk NAG
yang terdapat di cairan serebro-spinal dan cairan sinovial. Pada urin individu yang
sehat terdapat sejumlah kecil NAG, dengan perbandingan isoenzim A: isoenzim B
adalah 4:1 sampai 10:1, dan bentuk intermediet tidak terdeteksi. Pada pasien
dengan jejas tubulus dan interstisial ginjal, aktivitas total NAG meningkat,
terutama bentuk B, sehingga terjadi perubahan perbandingan A:B. Bentuk
intermediet NAG juga meningkat, namun jarang melebihi 5% dari total NAG
urin.22,23

Pemeriksaan kadar NAG urin cukup praktis, dapat dilakukan sambil rawat jalan,
tidak invasif, dan bisa dilakukan sendiri oleh orangtua. Sampel urin sebaiknya
menggunakan urin pertama pagi hari. Untuk menghilangkan variabilitas harian,
umumnya kadar NAG dibagi dengan kreatinin sewaktu, sehingga menghasilkan
iNAG. Volume urin yang dibutuhkan 3-5 ml untuk masing-masing sampel NAG
urin dan kreatinin urin.

Kini terdapat beberapa cara untuk melihat aktivitas katalitik NAG urin. Metode
fluorometric assay berdasar pada substrat fluorescent 4-methylumbelliferyl-N-
acetyl-β-D-glucosaminide awalnya diperkenalkan pada akhir tahun 60an,
kemudian diikuti oleh metode kolorimetri dan spektrofotometri yang lebih mudah.
Metode fluoresen cukup sensitif untuk mendeteksi aktivitas enzim yang sangat
rendah pada urin yang telah diencerkan 20-50 kali untuk menghilangkan faktor
endogen yang memiliki berat molekul rendah.22,23

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


10

Metode spektrofotometri berdasar pada kelarutan dan kestabilan 4-nitrophenyl-N-


acetyl-β-D-glucosaminide sebagai substrat. Sensitifitas dari metode ini hanya bisa
digunakan sampai batas tertentu dengan menambahkan sampel urin pada
campuran reagen.23

Peningkatan kadar NAG urin mencerminkan adanya gangguan fungsi ekskresi


tubulus ginjal dan dapat ditemui pada berbagai keadaan. Pada refluks vesikouretra
derajat III-V, ditemukan peningkatan kadar NAG urin yang berhubungan dengan
terjadinya parut ginjal. Pada uropati obstruktif juga ditemukan kadar NAG urin
yang tinggi. Kasus-kasus infeksi saluran kemih (ISK) bagian atas juga terjadi
peningkatan NAG urin. Pada anak dengan sindrom nefrotik primer, kadar NAG
urin lebih tinggi terutama pada fase relaps dibandingkan pada fase remisi. Bila
dibandingkan dengan penderita sindrom nefrotik sensitif steroid, kadar NAG urin
lebih tinggi pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid. Selain itu kadar
NAG urin yang tinggi juga ditemukan pada penyakit diabetes melitus (DM),
purpura Henoch-Schonlein (Henoch-Schonlein purpura, HSP), glycogen storage
disease, dan pasien thalasemia beta mayor yang mengalami kelebihan zat besi.
Kadar NAG yang rendah membantu dalam mendiagnosis reaksi penolakan pada
pasien pasca transplantasi ginjal.22

Selain ditemukan pada beberapa penyakit, peningkatan kadar NAG urin juga
ditemui pada kasus yang menggunakan obat-obatan tertentu. Pada anak maupun
dewasa pemakai aminoglikosida, dijumpai kenaikan kadar NAG urin. Pada pasien
yang diterapi dengan antikonvulsan, terutama VPA, juga terjadi peningkatan
kadar NAG urin. Beberapa penelitian menyatakan adanya abnormalitas
mitokondria di sel-sel tubulus ginjal pada pasien yang mengkonsumsi VPA,
namun mekanismenya masih belum jelas.24 Pemeriksaan NAGuntuk memantau
fungsi tubulus pada penggunaan obat nefrotoksik masih digunakan dalam ranah
penelitian dan belum menjadi prosedur baku.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


11

2.5 Asam valproat dan karbamazepin


Asam valproat merupakan obat yang sering dipakai sebagai antikonvulsan dan
mood-stabilizer, sebagai terapi utama dalam pengobatan epilepsi, gangguan
bipolar dan depresi. Asam valproat bersifat stabil dalam suhu kamar, namun bisa
bereaksi dengan zat basa. Mekanisme VPA sebagai antikonvulsan yaitu
menginduksi gamma aminobutyric acid (GABA) dengan menghambat GABA
transaminase. Asam valproat digunakan untuk mengontrol epilepsi tipe absans,
grand mal, kompleks parsial, dan juvenile myoclonic epilepsy. Hal-hal yang
penting diperhatikan pada penggunaan VPA adalah potensi obat ini dalam
mengganggu fungsi hepar dan sistem hemopoetik. Terdapat pula laporan yang
menyatakan penggunaan lama VPA berkaitan dengan kejadian jejas pada ginjal.25

Karbamazepin merupakan jenis antikonvulsan dan mood stabilizer yang juga


sering dipakai untuk terapi epilepsi, gangguan bipolar, dan neuralgia trigeminus.
Obat ini disetujui FDA untuk digunakan pada epilepsi serangan parsial dan tonik
klonik. Karbamazepin memiliki sifat autoinduksi; obat ini menginduksi sistem
enzim mikrosom CYP3A4 yang memetabolisme karbamazepin itu sendiri. Setelah
kadarnya cukup terpapar oleh jaringan hepar, aktifitas CYP3A4 meningkat,
mempercepat pembersihan dan mempersingkat waktu paruh. Autoinduksi akan
terus berlangsung dengan adanya peningkatan dosis namun biasanya akan
mencapai plateu dalam 5-7 hari dosis pemeliharaan. Konsentrasi obat akan stabil
dalam 2-3 minggu setelah dimulainya terapi. Mekanisme kerja obat ini adalah
menstabilkan kanal sodium, artinya akan lebih sedikit kanal yang terbuka,
sehingga sel-sel otak tidak mudah tereksitasi. Efek samping yang sering ditemui
adalah rasa mengantuk, sakit kepala, gangguan koordinasi motorik. Efek samping
yang jarang antara lain penglihatan yang kabur dan anemia aplastik.26 Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Marson dkk27 (2000), dikatakan CBZ lebih dipilih
untuk epilepsi parsial dan tidak cukup bukti untuk lebih memilih VPA untuk
epilepsi umum.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


12

2.6. Hubungan pemakaian VPA dan CBZ dengan kenaikan kadar NAG urin
Dalam dua dekade terakhir telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
pemakaian VPA dan CBZ meningkatkan kadar NAG urin, yang dinyatakan dalam
kenaikan iNAG. Penelitian yang dilakukan oleh Otsuka dkk13 (1994) melibatkan
79 pasien yang telah minum VPA, CBZ, maupun fenobarbital. Hasil studi
menunjukkan peningkatan iNAG urin ditemukan pada 48% subjek pengguna
VPA, 38% subjek pengguna CBZ, dan tidak ditemukan peningkatan NAG urin
pada subjek pengguna fenobarbital.

Penelitian yang dilakukan Yuksel dkk14 (1999) mengukur iNAG urin pasien
epilepsi sebelum diterapi sama dengan kelompok kontrol, kemudian iNAG urin
diukur ulang setelah 8 bulan menerima VPA atau CBZ. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan kenaikan iNAG urin pada kelompok penerima VPA maupun CBZ.

Verotti dkk15 (2000) menyatakan bahwa setelah 6 bulan menggunakan VPA atau
CBZ, iNAG urin meningkat dibanding sebelum terapi. Peningkatan iNAG urin ini
menetap saat dilakukan pengukuran ulang pada 1 dan 2 tahun penggunaan VPA
dan CBZ.

Unay dkk17 (2006) meneliti 114 subjek yang menggunakan OAE selama minimal
1 tahun. Hasil studi tersebut menyatakan adanya peningkatan iNAG urin pada
subjek pemakai VPA atau CBZ dibandingkan kontrol. Peningkatan iNAG urin
tidak terjadi pada kelompok subjek pemakai lamotrigin.

Mazaheri dkk18 (2011) membagi sampel menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok


kontrol, pasien epilepsi yang belum diterapi, pasien yang sedang mendapat VPA
minimal 6 bulan, dan pasien yang mendapat CBZ minimal 6 bulan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pasien epilepsi yang belum diterapi memiliki iNAG urin
sama dengan kontrol, namun iNAG urin ditemukan meningkat pada subjek
penerima VPA dan CBZ.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


13

Korinthenberg dkk28 (2000) menyatakan bahwa setelah pengobatan 3-4 bulan


dengan OAE, iNAG urin pasien epilepsi tidak meningkat secara bermakna bila
dibandingkan dengan iNAG awal sebelum diterapi.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan batas


minimal pemakaian VPA dan CBZ minimal selama 6 bulan.

Sampai saat ini, belum ada rekomendasi baku mengenai tata laksana bila terjadi
peningkatan iNAG urin karena OAE. Konsekuensi peningkatan iNAG urin karena
VPA dan atau CBZ kemungkinan memberi dampak klinis bila telah terjadi dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa jurnal menyebutkan VPA dan CBZ harus
diberikan dalam dosis dan durasi yang tepat, untuk meminimalisasi efek samping
yang mungkin terjadi.12,18 Pada pasien yang mengalami kenaikan iNAG harus
dievaluasi mengenai tata laksana pemberian VPA dan atau CBZ selama ini,
penyesuaian dosis, bahkan penggantian obat yang tidak bersifat nefrotoksik bila
memungkinkan.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


14

BAB 3
KERANGKA TEORI

obat-obat nefrotoksik

penisilinamin aminoglikosid OAINS beta laktam ampisilin statin


ACE inhibitors a ACE vankomisin siprofloksasin heroin
OAINS inhibitors rifampisin
siprofloksasin
furosemid
epilepsi

VPA CBZ
crystal rabdo
nephropathy miolisis

mekanism Methotreksa
e belum t
jelas

meningkatkan
uptake
glutamin dan
produksi
amonia

glomerulus tubulus tubulus interstisial


proksimal distal

urin lengkap, silinder


1.daya asidifikasi urin
leukosit, piuria,
2.daya konsentrasi eosinofiluria
urin (Hansel,s stain),
silinder eritrosit
1.NAG urin -usia
-penyakit: parut ginjal,
1. LFG 2.urin lengkap, refluks vesiko-uretra, ISK
2. kreatinin urin glukosuria,
proteinuria,
atas, DM, HSP
3. kadar serum
kreatinin dan bikarbonaturia,
fosfaturia
ureum
3. fraksi ekskresi : ruang lingkup penelitian
4. klirens inulin bikarbonat
5. klirens kreatinin 4. fraksi ekskresi
dan serum fosfat

14 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


15

Obat-obatan dapat bersifat toksik terhadap ginjal melalui beberapa mekanisme,


yaitu merusak glomerulus, tubulus proksimal maupun distal, menyebabkan
inflamasi di jaringan interstisial, membentuk crystal nephropathy, dan
menyebabkan rabdomiolisis. Obat-obat yang merusak glomerulus antara lain
penisilinamin, OAINS, ACE inhibitor sehingga menurunkan LFG dan
meningkatkan ureum. Obat-obat yang merusak tubulus proksimal antara lain
aminoglikosida, VPA, dan CBZ sehingga NAG urin meningkat, dapat terjadi
proteinuria, bikarbonaturia, fosfaturia. Mekanisme VPA dalam merusak tubulus
dengan meningkatkan uptake glutamin dan produksi ammonia, sedangkan
mekanisme CBZ dalam merusak tubulus belum jelas.Obat-obat yang dapat
merusak tubulus distal antara lain OAINS dan ACE inhibitor sehingga
menurunkan daya asidifikasi urin dan konsentrasi urin. Obat beta laktam,
vankomisin, rifampisin, dan siprofloksasin dapat mengakibatkan inflamasi pada
glomerulus, sel tubulus ginjal, dan jaringan interstisial sehingga terjadi terbentuk
fibrosis dan jaringan parut. Hal ini tampak dari silinder leukosit, piuria, eosinofilia
(Hansel’s stain), dan silinder eritrosit yang ditemukan pada urin lengkap. Produksi
kristal yang tidak larut di urin dan menyebabkan presipitasi di lumen tubulus
dapat disebabkan oleh ampisilin, siprofloksasin, dan methotreksat. Statin, kokain,
maupun heroin dapat menyebabkan rabdomiolisis, dan mioglobin yang terbentuk
memicu jejas pada ginjal melalui mekanisme secara langsung, obstruksi tubulus,
dan perubahan LFG.
Untuk mengukur fungsi ekskresi, umumnya dilakukan pemeriksaan LFG, yang
hanya memberi gambaran fungsi glomerulus saja. Kelemahan pemeriksaan LFG
meliputi sifatnya yang kurang cepat dalam memberi informasi adanya penurunan
fungsi ekskresi karena glomerulus memiliki kapasitas yang besar. Obat
antiepilepsi VPA dan CBZ juga termasuk obat nefrotoksik yang dapat memberi
jejas pada tubulus proksimal. Fungsi tubulus ini diukur dengan NAG urin, salah
satu alternatif pemeriksaan fungsi ekskresi tubulus, sehingga diharapkan jejas
tubulus terdeteksi lebih dini daripada menunggu hasil penurunan LFG.
Faktor-faktor yang memengaruhi NAG urin meliputi penyakit parut ginjal, refluks
vesiouretra, ISK atas, DM dan HSP yang dapat meningkatkan nilai NAG urin.
Selain itu, NAG urin juga dipengaruhi oleh usia. Untuk mengurangi variabilitas

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


16

harian, NAG urin dirasiokan dengan kreatinin urin yang ekskresinya di urin relatif
tetap, menjadi bentuk iNAG.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


17

KERANGKA KONSEP

fungsi ekskresi
ginjal
epilepsi

meningkatkan tubulus glomerulus


Obat antiepilepsi: uptake
glutamin dan
produksi
amonia proksimal
- VPA distal
mekanisme
- CBZ belum jelas

-usia 1.NAG urin 1.daya asidifikasi


2.urin lengkap, urin
-penyakit: parut glukosuria, 2. daya konsentrasi
ginjal, refluks proteinuria, urin
vesiko-uretra, ISK bikarbonaturia,
atas, DM, HSP fosfaturia 1.LFG
3. fraksi ekskresi 2.kreatinin urin
bikarbonat 3.kadar serum
4. fraksi ekskresi fosfat
kreatinin dan ureum
4.klirens inulin
5.klirens kreatinin dan
: ruang lingkup penelitian serum

Obat antiepilepsi VPA memberikan efek nefrotoksik dengan cara meningatkan


uptake glutamin dan produksi ammonia di tubulus proksimal. Obat antiepilepsi
CBZ juga memberi jejas pada tubulus proksimal dengan mekanisme yang belum
diketahui. Fungsi tubulus proksimal diukur dengan pemeriksaan NAG urin. Usia
memengaruhi NAG urin, sehingga menjadi batasan dalam perekrutan subjek
untuk penelitian ini. Beberapa penyakit juga memengaruhi NAG urin sehingga
menjadi kriteria eksklusi. Bersama dengan tubulus, glomerulus juga melakukan
fungsi ekskresi ginjal, yang diukur melalui pemeriksaan LFG.

17 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


18

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain penelitian


Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan desain potong lintang (cross
sectional) untuk mengetahui iNAG urin pada pasien penerima OAE dengan
membandingkan iNAG urin pada anak sehat sebagai acuan.

4.2 Tempat dan waktu penelitian


Penelitian dilakukan di Poli Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
(IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RSCM Jakarta,
Klinik Anakku Pondok Pinang, dan wilayah RT 2 RW II Kelurahan Pancoran.
Waktu penelitian dimulai setelah mendapat persetujuan lolos kaji etik dari
Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran/Kesehatan FKUI/RSCM dengan
perkiraan jangka waktu pengumpulan data 2 bulan.

4.3 Populasi dan sampel penelitian


4.3.1 Kelompok kasus
4.3.1.1 Populasi target
Populasi target penelitian adalah semua pasien epilepsi anak yang
menggunakan VPA atau CBZ.
4.3.1.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua pasien epilepsi yang menggunakan VPA
atau CBZ usia 6-12 tahun di Poli Neurologi Departemen IKA RSCM dan
Klinik Anakku Pondok Pinang.
4.3.2 Kelompok kontrol
Kelompok kontrol yang digunakan adalah anak sehat, setelah dilakukan
matching menurut usia dengan populasi terjangkau kelompok kasus.
4.3.3 Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua anak pada populasi terjangkau dan
kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

18 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


19

4.4 Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kasus


4.4.1 Kriteria inklusi
a. penderita epilepsi usia 6 tahun-12 tahun saat pengambilan sampel
b.menggunakan antiepilepsi VPA, CBZ, atau politerapi (VPA dan
CBZ) selama minimal 6 bulan
c.hasil anamnesis tidak memiliki riwayat sakit ginjal, gejala-gejala
penyakit hati, maupun gejala ISK
d. tinggi badan dan tekanan darah dalam batas normal
e. kadar ureum dan kreatinin normal
4.4.2 Kriteria eksklusi
a. sedang menggunakan obat-obatan sefalosporin, simetidin, sisplatin,
aminoglikosida, trimetoprim
b. terdapat penyakit kronik, seperti DM, HSP, glycogen storage
disease, thalasemia
c. hasil urinalisis menunjukkan tanda-tanda ISK
d. perawakan pendek
4.5 Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kontrol
4.5.1 Kriteria inklusi
a. anak yang pada anamnesis tidak memiliki riwayat sakit ginjal,
gejala-gejala penyakit hati, maupun gejala ISK
b. anak dengan tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan status
generalis dalam batas normal
4.5.2 Kriteria eksklusi
a. sedang menggunakan obat-obatan sefalosporin, simetidin, sisplatin,
aminoglikosida, trimetoprim
b. terdapat penyakit kronik, seperti DM, HSP, glycogen storage
disease, thalasemia, ISK berulang, penyakit hati
c. perawakan pendek

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


20

4.6 Estimasi besar sampel


Menggunakan rumus proporsi tunggal
n= 4 p q
d2

n1= jumlah sampel anak yang mengkonsumsi VPA


n2=jumlah sampel anak yang mengkonsumsi CBZ
n3= jumlah sampel anak yang mengkonsumsi kombinasi VPA dan CBZ
n4=jumlah sampel kelompok kontrol
p =proporsi
q =1-p
d= tingkat ketepatan absolut, yaitu 0,2
Angka proporsi didapat dari penelitian Csathy dkk16 (2000).
p1 = proporsi pasien menggunakan VPA yang mengalami kenaikan iNAG urin =
0,45
q = 1-0,45=0,55
n1 = 25 orang
p2 = proporsi pasien menggunakan CBZ yang mengalami kenaikan iNAG urin =
0,26
q = 1-0,26 = 0,74
n2= 19 orang
p3= proporsi pasien menggunakan kombinasi VPA dan CBZ yang mengalami
kenaikan iNAG urin = 0,36
q = 1-0,36= 0,64
n3 = 23 orang

Besar sampel tiap kelompok, n1=n2=n3= n4=25 orang, bila prediksi drop out
10% dari besar sampel, maka n1=n2=n3= 25 + (25x10%) = 27,5 orang.
Penelitian ini membulatkan besar sampel ke atas menjadi n1=n2=n3=n4= 30
orang.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


21

4.7 Metode pengambilan sampel


Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling.

4.8 Prosedur penelitian


Peneliti mendatangi Poli Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
UI/RSCM untuk mendapatkan sampel dari kelompok kasus. Subjek dipilih
berusia 6-12 tahun dengan pertimbangan mempersempit rentang usia sehingga
menekan perbedaan iNAG karena faktor usia. Peneliti menjelaskan tujuan
penelitian kepada pihak-pihak yang terkait. Orangtua pasien diberi penjelasan
dan diminta untuk menandatangani formulir persetujuan. Peneliti kemudian
melakukan wawancara kepada orangtua pasien dan melakukan pemeriksaan
fisis terhadap subjek penelitian. Orangtua diberi penjelasan mengenai manfaat
mengikuti penelitian, yaitu memonitor efek samping obat pada saluran ginjal.
Kriteria eksklusi DM, HSP, glycogen storage disease, thalasemia, ISK
berulang, penyakit hati disingkirkan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan
fisis.

Anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian menjalani


pemeriksaan ureum, kreatinin, urin lengkap, kreatinin urin sewaktu, dan NAG
urin sewaktu. Pengambilan darah dilakukan oleh petugas laboratorium,
sedangkan pengambilan sampel urin dilakukan oleh orangtua pasien
menggunakan pot urin saat itu juga. Volume darah yang diambil sekitar 3 ml
dan volume urin minimal 10 ml. Sampel darah dan urin kemudian dibawa ke
Laboratorium Prodia oleh peneliti untuk diperiksa urin lengkap, kreatinin urin
sewaktu dan kadar NAG urin sewaktu. Petugas Laboratorium Prodia kemudian
memisahkan tiap sampel urin menjadi 3 bagian. Sampel untuk urinalisis
dilakukan pemeriksaan saat itu juga, namun sampel untuk pemeriksaan
kreatinin urin dan NAG urin disimpan pada suhu -20oC dan akan diperiksa saat
keseluruhan sampel (120 sampel urin) berhasil dikumpulkan.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


22

Untuk mendapatkan subjek dari Klinik Anakku Pondok Pinang, peneliti


bekerja sama dengan konsultan neurologi anak yang praktek di klinik tersebut
dan pihak klinik. Pihak klinik menghubungi peneliti bila ada calon subjek yang
akan kontrol. Peneliti kemudian bertemu dengan orangtua menjelaskan
mengenai penelitian, dan langkah selanjutnya sama dengan subjek dari Poli
Neurologi IKA RSCM, dengan perbedaannya adalah pemeriksaan fisis
dilakukan oleh konsultan neurologi anak yang praktek di klinik tersebut,
pemeriksaan darah dan urin dilakukan pada Laboratorium Prodia pada cabang
klinik tersebut.

Kelompok kontrol didapat dari anak sehat sesuai definisi operasional penelitian
ini. Setelah mendapatkan sekitar 75% sampel dari kelompok kasus, peneliti
memulai pencarian kelompok kontrol, dengan sasaran usia yang sesuai dengan
usia sampel yang didapat dari kelompok kasus. Peneliti mendatangi RT 12 RW
II Kelurahan Pancoran, Jakarta Selatan. Warga setempat diberi penjelasan
mengenai kepentingan penelitian. Orangtua yang menyetujui ikut penelitian
diminta menandatangani formulir persetujuan, kemudian dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis pada anak mereka. Subjek yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi diminta memberikan sampel urin dan tidak dilakukan
pemeriksaan darah. Sampel urin dari kelompok kontrol kemudian dikirim ke
laboratorium Prodia oleh petugas Prodia, kemudian dilakukan penanganan
sampel sama seperti prosedur di atas.

Setelah proses pengumpulan sampel dinyatakan selesai, seluruh sampel urin


dilakukan pemeriksaan kreatinin urin dan NAG urin dalam waktu yang sama.
Pemeriksaan NAG dilakukan dengan metode kolorimetri dengan reagen 3-
cresolsulfonphthaleinyl-N-acetyl-beta-D-glucosaminide. Hasil NAG urin
dinyatakan dalam rasio NAG/kreatinin urin (iNAG), satuannya adalah U/g
kreatinin.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


23

4.9 Alur penelitian


Penderita epilepsi yang menggunakan VPA Kelompok kontrol “matching” sesuai
dan CBZ minimal 6 bulan usia

Informed consent

Anamnesis dan pemeriksaan fisis

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum

Normal Tidak normal

Eksklusi

Inklusi

Pemeriksaan urin lengkap, kreatinin urin sewaktu, NAG urin


sewaktu

Pengolahan data

Penyajian dan pelaporan hasil


penelitian

4.10 Pengolahan dan analisis data, serta penyajian hasil penelitian


Data disajikan secara tekstular dan tabular. Data dengan sebaran normal
disajikan menggunakan rerata dan simpang baku, sedangkan untuk data yang
sebarannya tidak normal disajikan menggunakan nilai tengah dan kisaran.
Data akan diolah dengan analisis statistik uji T tidak berpasangan atau uji
Mann-Whitney untuk mengetahui adakah perbedaan iNAG urin subjek

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


24

kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Untuk melihat


apakah proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG urin berbeda
bermakna antar kelompok, digunakan uji Chi-square atau Kruskall –Wallis (uji
alternatif untuk k independent sample).

4.11 Definisi operasional


a) Usia: usia dalam tahun dihitung sejak tanggal lahir hingga saat anak
terhitung sebagai subjek penelitian, dengan perhitungan kurang dari 12
bulan dibulatkan ke bawah
b) Epilepsi: kelainan neurologis yang muncul dalam bentuk kejang berulang
dan tidak terprovokasi, dan didiagnosis oleh konsultan neurologi anak di
Poli Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI/RSCM
c) Monoterapi: pasien yang menerima VPA saja atau CBZ saja
d) Kombinasi: pasien yang menerima VPA dan CBZ
e) Anak sehat: anak yang memenuhi syarat pada kriteria inklusi dan eksklusi
kelompok kontrol, jamu-jamuan, obat-obatan dalam jangka panjang
(misalnya obat tuberkulosis).
f) Dosis: adalah dosis terakhir yang sedang diterima subjek penelitian saat
pengambilan sampel, tidak memperhitungkan berapa lama subjek sedang
dalam pengobatan dengan dosis tersebut, dinyatakan dalam
mg/kgBBideal/hari.
g) Nilai LFG normal: ditentukan dengan rumus Schwartz29
LFG (ml/menit/1,73 m2)= k x tinggi badan (cm)
kreatinin plasma
nilai k untuk anak sampai remaja (perempuan) = 0,55
nilai k untuk remaja laki-laki = 0,70
Nilai LFG normal
usia 2-5 tahun = 126,5 ± 24,0 ml/menit/1,73m2
usia 5-15 tahun = 116,7±20,2ml/menit/1,73m2
h) Nilai NAG urin
Pengukuran NAG urin menggunakan metode kolorimetri dengan reagen 3-
cresolsulfonphthaleinyl-N-acetyl-_-D-glucosaminide yang dibuat oleh
Roche®. Untuk menghilangkan variabilitas harian, maka pada penelitian

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


25

ini nilai NAG urin sewaktu akan dibagi dengan kreatinin urin sewaktu,
menjadi rasio NAG/kreatinin urin (iNAG), satuannya adalah U/g kreatinin.
j) Indeks NAG urin meningkat
Indeks NAG urin dikategorikan meningkat bila nilainya lebih dari rerata+ 2
SD kelompok kontrol.

4.12 Etik penelitian


Persetujuan etik penelitian diperoleh dari Komite Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, nomor surat 78/UN2.F1/ETIK/2015
(Lampiran 4). Sebelum subjek diikutsertakan dalam penelitian, persetujuan
tertulis akan diminta dari orangtua setelah sebelumnya diberikan penjelasan
mengenai tujuan, prosedur, manfaat, serta risiko penelitian (Lampiran 1 dan
2).

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


26

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakterisitik subjek penelitian


Hasil perekrutan subjek kelompok kasus dan kontrol selama bulan Januari-
Maret 2015 mendapatkan jumlah sampel sebanyak 94 subjek yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, terbagi menjadi 36 anak menerima obat VPA
(kelompok 1), 14 anak menerima obat CBZ (kelompok 2), 14 anak menerima
kombinasi VPA dan CBZ (kelompok 3), dan 30 anak sebagai kontrol
(kelompok 4). Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 di
bawah ini.
Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
VPA CBZ kombinasi kontrol
n=36 n=14 n=14 n=30
Median usia (rentang), tahun : 9 (4-14) 8.5 (4 - 14) 10 (3 - 16) 8 (3 - 14)
Jenis kelamin :
Laki-Laki 21 7 7 18
Perempuan 15 7 7 12
Status gizi :
Obesitas 14 4 3 5
Gizi lebih 5 1 1 6
Gizi baik 15 8 8 17
Gizi kurang 2 1 2 2
Lama terapi OAE (rentang),
bulan: 16 (7-70) 28 (12-75) 20.5 (8-102) -
Median dosis OAE (rentang),
mg/kg/hari
VPA 20 (7.5 - 49) - 30 (12.5 -50) -
CBZ - 15 (10 - 30) 20 (10 - 45) -

5.2 Indeks NAG urin antar kelompok


Tabel 5.2 berisi rerata iNAG tiap kelompok. Indeks NAG pada kelompok kontrol,
monoterapi VPA, monoterapi CBZ dan kombinasi VPA dan CBZ berturut-turut
adalah 3,01 , 5,9 , 4,07 , 6,9 U/g kreatinin. Perbandingan iNAG antar kelompok vs
kontrol dilakukan dengan menggunakan analisis Mann-Whitney.

26 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


27

Tabel 5.2. Indeks NAG urin antar kelompok


VPA CBZ Kombinasi Kontrol
n=36 n=14 n=14 n=30
Rerata iNAG (SD), 5,919
4,07 (2,36) 6,9 (2,98) 3,01 (1,83)
U/g kreatinin (4,17)
P tiap kelompok kasus vs
0,009 0,244 0,000 -
kontrol
bermakna bila P < 0,05
Berdasarkan Tabel 5.2, tampak bahwa kelompok monoterapi VPA dan terapi
kombinasi memiliki iNAG urin lebih tinggi daripada kelompok kontrol
(meningkat sekitar 2 kali lipat daripada kelompok kontrol, P<0,05).

5.3 Perbandingan besar proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG


antar kelompok
Besar proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG antar kelompok terdapat
pada Tabel. 5.3.

Tabel 5.3. Perbandingan besar proporsi kenaikan iNAG urin antar


kelompok

VPA CBZ Kombinasi P


n=36 n=14 n=14
Subjek yang mengalami
kenaikan iNAG 11 2 9 0,017
Nilai cut-off menggunakan rerata + 2 SD kelompok kontrol (3+3,6 U/g kreatinin)

Berdasarkan nilai cut-off menggunakan rerata + 2 SD kelompok kontrol, terdapat


11 dari 36 subjek kelompok monoterapi VPA, 2 dari 14 subjek kelompok
monoterapi CBZ, dan 9 dari 14 subjek kelompok terapi kombinasi VPA dan CBZ
yang mengalami kenaikan iNAG urin. Data ini kemudian dianalisis menggunakan
Kruskal-Wallis (uji alternatif untuk k independent sample, dilakukan karena syarat
Chi-square tidak terpenuhi). Hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan besar
proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG urin pada tiap kelompok kasus.
Proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG pada kelompok kombinasi lebih
besar 2 kali lipat daripada proporsi pada kelompok monoterapi VPA, dan proporsi
pada kelompok monoterapi VPA lebih besar 2 kali lipat daripada proporsi
kelompok monoterapi CBZ.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


28

BAB 6
DISKUSI

6.1 Keterbatasan dan kelebihan penelitian


Penelitian ini memiliki keterbatasan sulitnya mencari subjek yang melibatkan obat
CBZ (baik kelompok monoterapi CBZ maupun kombinasi CBZ dan VPA).
Kesulitan mencari subjek mengakibatkan jumlah sampel kedua kelompok tersebut
kurang dari jumlah yang seharusnya (hanya terkumpul 14 subjek pada kelompok
CBZ, 14 subjek pada kombinasi, dengan jumlah ideal adalah 30 subjek tiap
kelompok). Hal ini juga berakibat pencarian subjek dengan meluaskan rentang
usia, menjadi 3-16 tahun, sehingga memperluas variasi iNAG urin (variasi iNAG
ditentukan oleh usia). Jumlah kontrol yang sedikit tidak bisa memberi kesimpulan
berapa iNAG urin yang normal di kelompok usia tertentu, sehingga idealnya
hanya membandingkan apakah ada perbedaan iNAG antara kelompok kasus dan
kelompok kontrol. Keterbatasan lain penelitian ini tidak mencari korelasi dosis
kumulatif dengan iNAG, tidak mencari informasi kapan iNAG mulai meningkat,
sehingga secara klinis sulit menentukan kapan sebaiknya tiap pasien penerima
OAE diperiksa iNAG.

Kelebihan penelitian ini adalah merupakan penelitian pertama di Indonesia yang


mencari adanya kerusakan tubulus ginjal pada pasien anak pemakai OAE
menggunakan NAG urin, biomarka yang lebih sensitif daripada ureum dan
kreatinin untuk melihat fungsi ekskresi. Indeks NAG dipengaruhi oleh usia,
sehingga usia subjek kelompok kontrol yang sesuai dengan usia kelompok kasus
diharapkan dapat mengurangi variabilitas ini. Waktu pemeriksaan NAG urin yang
bersamaan untuk seluruh sampel (94 sampel), dapat mengurangi bias reagen dan
alat pemeriksaan.

6.2 Karakteristik subjek penelitian


Subjek penelitian berjumlah 94 anak, dengan jumlah laki-laki 53 anak, perempuan
41 anak. Status gizi pada seluruh subjek penelitian (94 subjek) terbagi menjadi
obesitas (26 orang), gizi lebih (13 orang), gizi baik (48 orang), gizi kurang (7

28 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


29

orang), dan tidak terdapat subjek dengan gizi buruk. Kelompok dengan subjek
status gizi obesitas terbanyak adalah kelompok pemakai VPA, yaitu 14 subjek
dari 36 subjek. Hal ini sesuai dengan penelitian Verotti A dkk30, dipublikasikan
tahun 2011, yang melaporkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan berat
badan saat 3 bulan pertama pemakaian VPA dengan penyebab multifaktor yang
masih kontroversial. Beberapa hipotesis yang dikaitkan dengan efek VPA dan
kenaikan berat badan antara lain disregulasi sistem hipotalamus, efek
hiperinsulinemia, resistensi insulin dan kerentanan genetik.

Usia subjek pada penelitian awalnya dibatasi pada rentang 6-12 tahun, namun
karena kesulitan mencari subjek pemakai CBZ secara monoterapi maupun
kombinasi, maka rentang usia diperluas hingga 3-16 tahun. Kesulitan mencari
subjek pemakai CBZ disebabkan karena adanya laporan efek samping pemakaian
CBZ berupa sindrom Steven-Johnson (SSJ), yang menyebutkan kasus SSJ yang
berhubungan dengan obat, 40% di antaranya adalah akibat obat CBZ.31-33

Salah satu kriteria inklusi pada kelompok kasus adalah lama pemakaian OAE
minimal 6 bulan. Hasil pengumpulan data lama terapi penelitian ini pada 3
kelompok kasus bervariasi, pada kelompok VPA median pemakaian VPA selama
16 bulan (rentang 7-70), median pemakaian CBZ pada kelompok CBZ 28 bulan
(rentang 12-75), median pemakaian secara kombinasi pada kelompok kombinasi
VPA dan CBZ 20,5 bulan (rentang 8-102).

Dosis OAE disesuaikan dengan respons klinis pasien. Pada penelitian ini variabel
dosis memiliki variasi yang luas, median dosis pada kelompok VPA 20
mg/kgBB/hari (rentang 7,5-49), median dosis pada kelompok CBZ 15
mg/kgBB/hari (rentang 10-30), dan pada kelompok kombinasi median dosis VPA
30 mg/kgBB/hari (rentang 12,5-50), median dosis CBZ 20 mg/kgBB/hari (rentang
10-45).

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


30

6.3 Indeks NAG urin tiap kelompok


Pemeriksaan iNAG urin dilakukan di Laboratorium Prodia pada Maret 2015.
Penelitian ini memberikan bukti bahwa iNAG urin lebih tinggi pada kelompok
monoterapi VPA dan kombinasi VPA dan CBZ dibanding kelompok kontrol.
Indeks NAG tertinggi terdapat pada kelompok kombinasi, mencerminkan adanya
jejas pada tubulus ginjal sangat mungkin diperparah dengan pemakaian obat
secara kombinasi. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang sudah ada.
Mekanisme jejas pada tubulus ginjal akibat VPA telah diteliti pada hewan coba.
Asam valproat terbukti menghambat beta-oksidasi asam lemak di mitokondria dan
merangsang proliferasi peroksisom di hati dan ginjal pada hewan coba. Asam
valproat meningkatkan uptake glutamin dan produksi amonia di tubulus ginjal.21
Patogenesis dan patofisiologi mekanisme jejas tubulus ginjal pada pemakai CBZ
tidak dapat ditemukan dari literatur.

Penelitian kohort yang dilakukan Verrotti dkk15 memperlihatkanpeningkatan


iNAG urin pada kelompok VPA maupun CBZ setelah 6 bulan terapi. Namun hal
ini tidak terjadi pada kelompok pemakai fenobarbital. Penelitian Unay dkk17
memberikan kesimpulan yang mirip. Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa
anak yang memakai monoterapi VPA, CBZ, dan kombinasi VPA dan CBZ
memiliki iNAG yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, namun tidak pada subjek
pemakai lamotrigin. Penelitian Mazaheri dkk18 juga menyatakan bahwa kelompok
pemakai VPA maupun CBZ memiliki iNAG urin lebih tinggi dibandingkan
kontrol anak sehat, maupun pasien epilepsi yang belum menerima terapi.

Ketiga penelitian di atas memberi bukti bahwa terdapat peningkatan kadar iNAG
urin pada kelompok pemakai monoterapi CBZ dibandingkan anak sehat sebagai
kontrol.15,17,18 Kenyataan tersebut tidak ditemukan pada penelitian ini, yang
memberikan hasil iNAG urin kelompok monoterapi CBZ tidak berbeda dengan
kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah subjek kelompok CBZ
hanya 14 subjek, kurang dari jumlah sampel yang seharusnya, yaitu 30 subjek.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


31

Beragamnya metode pengukuran iNAG urin serta satuan yang digunakan,


mempersulit interpretasi iNAG urin bila dilakukan dengan metode dan satuan
pengukuran yang lain. Telaah sistematis pertama yang mencoba merangkum
berbagai metode pengukuran iNAG urin dilakukan oleh Csathy dkk34 yang
dipublikasikan tahun 1995. Telaah ini mengumpulkan penelitian dari tahun 1962
sampai 1992 dengan berbagai metode pengukuran, bermacam-macam
substrat/reagen, dan hasil analisis statistik yang berbeda. Penelitian iNAG urin
pada bayi dan anak sehat antara lain dilakukan oleh Skalova dan Chladek 35 yang
dipublikasikan tahun 2004. Penelitian ini melibatkan 262 anak sehat berusia 0
bulan – 18 tahun, menggunakan metode fluorimetri, dengan satuannya adalah
nkat/mmol kreatinin. Sulitnya melakukan konversi iNAG urin bila menggunakan
metode pengukuran dan reagen yang berbeda, menyebabkan seluruh studi yang
meneliti iNAG urin pada subjek penerima OAE melibatkan anak sehat sebagai
kontrol masing-masing penelitian, termasuk pada penelitian ini.

6.4 Proporsi subjek yang mengalami kenaikan iNAG urin


Selain membandingkan iNAG urin antar kelompok, penelitian ini juga melihat
besar proporsi kelompok kasus yang mengalami kenaikan iNAG urin. Indeks
NAG urin yang normal pada kelompok kontrol ditentukan dengan nilai cut-off
rerata + 2 SD (3,0 + 3,6 U/g kreatinin). Dengan menggunakan nilai tersebut (6,6
U/g kreatinin), maka subjek yang mengalami kenaikan iNAG pada kelompok
monoterapi VPA, monoterapi CBZ, dan kombinasi VPA dan CBZ berturut-turut
sebesar 11 dari 36 subjek, 2 dari 14 subjek, dan 9 dari 14 subjek. Analisis statistik
menggunakan Chi-square tidak bisa dilakukan karena tidak memenuhi syarat,
sehingga dilakukan dilakukan uji alternatif untuk k independent sample, yaitu
Kruskal-Wallis yang menunjukkan terdapat perbedaan besar proporsi subjek yang
mengalami kenaikan iNAG urin pada tiap kelompok kasus, yaitu proporsi subjek
yang mengalami kenaikan iNAG pada kelompok kombinasi lebih besar 2 kali
lipat daripada proporsi pada kelompok monoterapi VPA, dan proporsi pada
kelompok monoterapi VPA lebih besar 2 kali lipat daripada proporsi kelompok
monoterapi CBZ.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


32

Penelitian Korinthenberg dkk12 (1994) melakukan penelitian serupa pada 20


subjek penerima VPA, 27 subjek penerima CBZ, 9 subjek penerima ethoksusimid,
8 subjek penerima fenobarbital, dan 23 subjek sebagai kontrol dengan
penyesuaian usia. Penelitian tersebut menggunakan kriteria nilai cut-off lebih dari
persentil 95 kelompok kontrol sebagai peningkatan iNAG urin. Hasil penelitian
menyatakan terdapat 33%, 20%, dan 25% subjek, berturut-turut dari kelompok
ethoksusimid, VPA, dan fenobarbital, yang mengalami kenaikan iNAG urin.
Kelompok CBZ tidak mengalami kenaikan iNAG urin yang bermakna secara
statistik.

Penelitian Otsuka dkk13 (1994) melakukan penelitian serupa dengan


menggunakan kriteria nilai cut-off rerata + 2 SD iNAG urin kelompok kontrol.
Penelitian ini juga mengukur kadar VPA serum pada kelompok penerima VPA.
Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat 47% subjek penerima VPA dengan
kadar serum VPA lebih dari 60 μg/ml, 24% subjek penerima VPA dengan kadar
serum VPA kurang dari 60 μg/ml, 38% subjek penerima CBZ, dan 25% subjek
penerima politerapi yang melibatkan VPA yang mengalami kenaikan iNAG urin.

Penelitian Csathy dkk16 (2000) melakukan penelitian serupa dengan menggunakan


kriteria nilai cut-off rerata + 2 SD iNAG urin kelompok kontrol. Hasil penelitian
menyatakan bahwa terdapat 45% subjek penerima VPA, 26% subjek penerima
CBZ, dan 36% subjek penerima politerapi yang melibatkan VPA yang mengalami
kenaikan iNAG urin.

Sampai saat ini belum ada rekomendasi baku mengenai tata laksana bila terjadi
peningkatan iNAG karena OAE. Klinisi harus lebih mewaspadai pada
penggunaan obat secara kombinasi. Konsekuensi peningkatan iNAG urin karena
VPA dan atau CBZ kemungkinan memberi dampak klinis bila telah terjadi dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa jurnal menyebutkan VPA dan CBZ harus
diberikan dalam dosis dan durasi yang tepat, untuk meminimalisasi efek samping
yang mungkin terjadi.12,18 Pada pasien yang mengalami kenaikan iNAG harus
dievaluasi mengenai tata laksana pemberian VPA dan atau CBZ selama ini,

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


33

penyesuaian dosis, bahkan penggantian obat yang tidak bersifat nefrotoksik bila
memungkinkan. Contoh OAE tersebut adalah lamotrigin dan levetirasetam.
Langkah-langkah ini penting karena sudah terdapat tanda kerusakan tubulus ginjal
yang dapat berlanjut ke gangguan ekskresi ginjal. Selain itu, perlu dilakukan
pemantauan lebih ketat untuk pasien-pasien tersebut. Orangtua pasien hendaknya
diedukasi mengenai efek samping yang sedang terjadi, alternatif penggantian
dosis atau obat, maupun kepentingan pemeriksaan selanjutnya bila diperlukan.
Komunikasi yang terjalin antara orangtua, pasien, dan dokter diharapkan dapat
memperbaiki luaran pasien epilepsi yang mengalami kenaikan iNAG urin akibat
kedua jenis OAE di atas.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


34

BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Indeks NAG urin pada anak epilepsi yang mendapat VPA lebih tinggi 2
kali lipat daripada iNAG urin anak sehat dan lebih tinggi 2,3 kali lipat
apabila pemberian VPA dikombinasikan dengan CBZ.
2. Indeks NAG urin meningkat pada 11 dari 36 subjek kelompok monoterapi
VPA, 2 dari 14 subjek kelompok monoterapi CBZ, 9 dari 14 subjek
kelompok kombinasi VPA dan CBZ. Dengan kata lain, proporsi subjek
yang mengalami kenaikan iNAG urin pada kelompok terapi kombinasi 2
kali lipat daripada kelompok monoterapi VPA dan proporsi pada
kelompok monoterapi VPA 2 kali lipat daripada proporsi kelompok
monoterapi CBZ.

7.2 Saran

1. Indeks NAG urin sebaiknya diperiksa pada pasien anak yang menerima
obat VPA dan CBZ untuk mendeteksi efek nefrotoksik obat tersebut.
2. Perlu penelitian lanjutan dengan desain kohort prospektif untuk mengukur
iNAG urin saat pasien epilepsi belum menerima terapi dan diukur kembali
secara berkala saat telah menerima terapi. Hal ini bertujuan untuk
mengenali kapan terjadinya kenaikan iNAG urin, sehingga klinisi dapat
melakukan pemeriksaan iNAG urin pada waktu yang tepat.

34 Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


35

DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas H. Anatomi dan fisiologi ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T,


Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi
ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2002.h.1-28.
2. Anaizi N. The drug monitor. Rev Renal Pharmacol. Diunduh dari
http://www.thedrugmonitor.com/RIT97.html. Diakses tanggal 24 Februari
2012.
3. Nash K, Hafeez A, Hou S. Hospital-acquired renal insufficiency. Am J
Kidney Dis. 2002;39:930-6.
4. Bellomo R. The epidemiology of acute renal failure: 1975 versus 2005.
Curr Opin Crit Care. 2005;11:555-65.
5. Galley HF. Can acute renal failure be prevented? J R Coll Surg Edinb.
2000;45:44-50.
6. Naughton C. Drug-induced nephrotoxicity. AAFP. 2008;78:743-50.
7. Wu I, Parikh CR. Screening for kidney disease: older measures versus
novel biomarkers. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:1895-1901.
8. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and outcomes
of acute kidney injury. Clin AmSoc Nephrol. 2008;3:844-61.
9. Siew ED, Ware LB, Ikizler TA. Biological markers of acute kidney
injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;22:810-20.
10. Targeting epilepsy. CDC. Diunduh dari http:www.cdc.gov/epilepsy.
Diakses tanggal 24 Februari 2012.
11. Cowan LD. The epidemiology of epilepsies in children. Ment Retard Dev
Disabil Res Rev. 2002;8:171-81.
12. Korinthenberg R, Wehrle L, Zimmerhackl LB. Renal tubular dysfunction
following treatment with anti-epileptic drugs. Eur J Pediatr. 1994;153:855-
8.
13. Otsuka T, Sunaga Y, Hikima A. Urinary N-acetyl-β –glucosaminidase and
guanidinoacetic acid levels in epileptic patients treated with anti-epileptic
drugs. Brain Dev. 1994; 16:437-40.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


36

14. Yuksel A, Cengiz M, Seven M. N-acetyl-β-glucosaminidase and β-


galactosidase activity in children receiving antiepileptic drugs. Pediatr
Neurol. 1999;20:24-6.
15. Verotti R, Greco R, Pascarella V, Matera V, Morgese G, Chiarell F. Renal
tubular function in patients receiving anticonvulsant therapy: a long-term
study. Epilepsia. 2000;41:1432-5.
16. Csathy L, Olah AV, Clemens B, Gyorgy I, Varga J. Urinary N-acetyl-β-D-
glucosaminidase in epileptic children treated in antiepileptic drugs. Arch
Dis Child. 2000;83:420-2.
17. Unay B, Akin R, Sarici SU, Gok F, Kurt I, Gokcay E. Evaluation of renal
tubular function in children taking anti-epileptic treatment. Nephrol.
2006;11:485-8.
18. Mazaheri M, Samaie A, Semnani V. Renal tubular dysfunction measured
by N-acetyl-beta glucosaminidase/creatinine activity index in children
receiving antiepileptic drugs: a randomized controlled trial. Ital J Pediatr.
2011;37:21.
19. Rauf S. Nefropati toksik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2002.h.459-69.
20. Perazzela M. Renal vulnerability to drug toxicity. Clin J Am Soc Nephrol.
2009;4:1275-83.
21. Gougoux A, Vinay P. Metabolic effects of valproat on dog renal cortical
tubules. Can J Physiol Pharmacol. 1988;67:88-97.
22. Skalova S. The diagnostic role of urinary N-acetyl-β-D-glucosaminidase
(NAG) activity in the detection of renal tubular impairment. Acta Medica.
2005;48:75-80.
23. Price RG. The role of NAG (N-acetyl-β-D-glucosaminidase) in the
diagnosis of kidney disease including the monitoring of nephrotoxicity.
Clin Nephrol. 1992;38:14-9.
24. Price RG. Measurement of NAG (N-acetyl-β-D-glucosaminidase) and its
isoenzymes in urine. Methods and clinical applications. Eur J Clin Chem
Biochem. 1992;30:693-705.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


37

25. Perucca E. Pharmacological and therapeutic properties of valproat: a


summary after 35 years of clinical experience. CNS Drugs. 2002;16:695-
714.
26. Granger P. The gamma-aminobutyric acid type A receptor by the
antiepileptic drugs carbamazepine and phenytoin. Mol
Pharmacol.1995;47:1189-96.
27. Marson A, Williamson PR, Hutton JL, Clough HE, Chadwick DW.
Carbamazepine versus valproat monotherapy for epilepsy. Cochrane
database systematic reviews. 2000. Diunduh dari
http://www.cochrane.org/CD001030/epilepsy_carbamazepine-versus-
valproate-monotherapy-for-epilepsy pada tanggal 17 September 2014.
28. Korinthenberg R, Sager A, Zimmerhackl LB. Increased urinary excretion
of tubular enzymes and proteins in children with epilepsy. Eur J of Paed
Neurol. 2000;4:263-7.
29. Schwartz GJ, Haycock GB, Edelmann CM. A simple estimate of
glomerular filtration in children derived from body length and plasma
creatinine. Pediatrics. 1976;58:259.
30. Verrotti A, D’Egidio C, Mohn A, Coppola G. Weight gain following
treatment with valproic acid: pathogenic mechanism and clinical
implications. Obese Rev. 2011;12:32-43.
31. Bae HM, Park YJ, Moon DE. Steven-Johnson syndrome induced by
carbamazepine in a patient who previously had carbamazepine induced
pruritus. Korean J Pain. 2013;26:80-3.
32. Coleman A, Trappler B. Steven-Johnson syndrome following treatment
with carbamazepin for a mood disorder. Jeff J of Psych. 2012;13:1-5.
33. Devi K, George S, Criton S, Suja V, Sridevi PK. Carbamazepine-the
commonest cause of toxic epidermal necrolysis and Steven-Johnson
syndrome: a study of 7 years. Indian J Dermatol Venereol Leprol.
2005;71:325-8.
34. Csathy L, Pocsy I. Urinary NAG determination in newborns and children:
methods and diagnostic applications. Eur J Clin Chem Clin Biochem.
1995;33:575-87.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


38

35. Skalova S, Chladek J. Urinary N-acetyl-β-D-glucosaminidase activity in


healthy children. Nephrol. 2004;9:19-21.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


39

Lampiran 1

Lembar informasi dan persetujuan orangtua/wali

Penjelasan tentang penelitian Kadar N-acetyl-beta Glucosaminidase Urin pada Anak


dengan Pengobatan Antiepilepsi

Bapak/Ibu yang terhormat,

Saya, dr. Deasy Grafianti, dari program studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia sedang melakukan penelitian untuk mengetahui kadar
enzim N-asetil beta glucosaminidase (NAG) urin pada anak yang menggunakan obat
antiepilepsi. Penelitian ini dilakukan untuk mendeteksi efek samping gangguan fungsi ginjal
pada anak yang mendapat terapi antiepilepsi. Keuntungan mengikuti penelitian ini adalah
dokter dapat mengetahui adanya gangguan tubulus ginjal lebih dini sebelum gejala maupun
kenaikan ureum dan kreatinin muncul.
Penelitian ini menggunakan pemeriksaan darah dan urin. Contoh darah diambil oleh
perawat/petugas laboratorium, kemudian diperiksakan ureum dan kreatinin. Pengambilan
urin melalui urin sewaktu saat pasien kontrol di poliklinik, dan diperiksakan urin lengkap,
kreatinin urin, dan NAG urin. Sampel darah dan urin akan diantar ke Prodia oleh petugas
penelitian.
Penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa dipungut biaya. Bapak/Ibu bebas
memutuskan keikutsertaan anaknya dalam penelitian ini. Data pribadi akan dijaga
kerahasiaannya sesuai dengan etika profesi kedokteran dan hasil penelitian akan
disebarluaskan melalui publikasi ilmiah. Jika Bapak/Ibu membutuhkan informasi lebih lanjut,
dapat menghubungi dr. Deasy Grafianti di program studi Ilmu Kesehatan Anak FK UI/
RSCM, Jalan Salemba Raya 6 di nomor telepon 081212214944.
Saya menyampaikan terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta dalam
penelitian ini. Data yang Bapak/Ibu berikan mempunyai makna yang penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.

dr. Deasy Grafianti

Peneliti

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


40
NRM :
RSCM Nama :
Jenis Kelamin :
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta 10430
Tanggal lahir :
Telp: (021) 3918301 Fax: (021) 3148991 (Mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(FORMULIR INFORMED CONSENT)

Peneliti Utama :dr. Deasy Grafianti


Pemberi informasi :dr. Deasy Grafianti
Penerima informasi
Nama Subyek :
Tanggal Lahir (Umur) :
Jenis Kelamin :
Alamat :
No. Telp (HP) :
JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDAI
(diisi dengan bahasa yang dimengerti oleh
masyarakat awam)
1 Judul Penelitian Pemeriksaan fungsi saluran ginjal pada anak
yang mengomsumsi obat antiepilepsi
2 Tujuan Penelitian Setelah disetujui mengikuti penelitian, akan
dievaluasi apakah terdapat gangguan fungsi
saluran ginjal karena putra/i Bapak/Ibu
mengonsumsi obat antiepilepsi dalam jangka
waktu lama
3 Cara dan Prosedur 1. Putra/putri Bapak Ibu yang telah
Penelitian disetujui untuk ikut serta dalam
penelitian akan menjalani pemeriksaan
kesehatan rutin termasuk pengukuran
berat badan, tinggi badan, dan
pemeriksaan umum lain
2. Menjalani tes darah (± 1 sendok teh)
dan tes air kencing (±2 sendok makan) di
hari yang sama
4 Jumlah subyek 90 anak epilepsi
5 Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian dapat memberikan
termasuk manfaat bagi informasi kepada Bapak/Ibu tentang
subyek penelitian kondisi saluran ginjal saat memakai obat
antiepilepsi

6 Risiko & Efek samping Diharapkan tidak ada


dalam penelitian
7 Ketidaknyamanan subyek Saat tes darah bisa terjadi rasa nyeri, namun
penelitian tes darah dilakukan oleh petugas
laboratorium yang sudah terampil
mengambil darah anak dan dengan prosedur
yang baku

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


41
NRM :
RSCM Nama :
Jenis Kelamin :
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta 10430
Tanggal lahir :
Telp: (021) 3918301 Fax: (021) 3148991 (Mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

8 Kompensasi bila terjadi Jika terjadi efek samping terkait dengan


efek samping penelitian, akan ditangani di RSCM dengan
pengawasan tim peneliti
9 Alternatif Penanganan (bila Jika terjadi efek samping akan ditangani di
ada) RSCM dan biaya akan ditanggung oleh pihak
RSCM serta tim peneliti akan terlibat jika
pasien memerlukan perawatan
10 Penjagaan kerahasiaan data Data pasien akan dirahasiakan
11 Biaya yang ditanggung oleh Tidak ada
subyek
12 Insentif bagi subyek
1. Pasien yang diikutsertakan yang berasal dari
Poli Neurologi akan diberi cendera mata
13 Nama dan alamat peneliti dr. Deasy Grafianti
serta nomor telepon yang Jl. Teratai 7 No. H8 Tanjung Barat Indah –
dapat dihubungi Jagakarsa- Jakarta Selatan
HP. 081212214944

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1,2, dan 3 mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh dr. Deasy Grafianti dengan judul Pemeriksaan fungsi saluran
ginjal pada anak yang mengomsumsi obat antiepilepsi informasi tersebut telah Saya
pahami dengan baik.

Dengan menandatangani formulir ini, saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam


penelitian di atas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu
waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, Saya berhak membatalkan
persetujuan ini.

_________________________ _________________________
Tanda Tangan Subyek atau cap jempol Tanggal
_________________________
Nama Subyek

_________________________
Tanda Tangan Saksi/ Wali Tanggal
_________________________
Nama Saksi/ Wali

Ket: Tanda tangan saksi/ wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan
kesadaran, mengalami gangguan jiwa, dan berusia di bawah 18 tahun.

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


NRM : 42
RSCM Nama :
Jenis Kelamin :
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta 10430
Tanggal lahir :
Telp: (021) 3918301 Fax: (021) 3148991 (Mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)

Saya telah menjelaskan kepada subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta resiko dan ketidaknyamanan
potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang Saya tandai
di atas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan
sebaik-baiknya.

_________________________
Tanda Tangan Peneliti Tanggal

_________________________
Nama Peneliti

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


43

Lampiran 3

LEMBAR DATA SUBJEK PENELITIAN


KADAR N-ACETYL-BETA GLUCOSAMINIDASE URIN PADA ANAK DENGAN
PENGOBATAN ANTIEPILEPSI

I. IDENTITAS PASIEN
Nama :
Usia/ tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Alamat rumah :
No. telepon :
II. DATA PASIEN
Anamnesis
1. Apakah antiepilepsi yang dikonsumsi selama 6 bulan terakhir?
Asam valproat Karbamazepin Lainnya, sebutkan: ……..

2. Apakah anak sedang mengonsumsi salah satu atau lebih obat berikut:
trimetoprim, sefalosporin, atau simetidin?
Ya Tidak

3. Apakah anak pernah mengalami salah satu atau lebih gejala bengkak pada
kelopak mata atau sekitar punggung kaki?
Ya Tidak

4. Apakah anak pernah mengalami gejala kuning atau didiagnosis adanya gangguan
hati, ginjal, hipertensi, kencing manis, atau ISK berulang?
Ya Tidak

Pemeriksaan fisis
1. Berat badan :
2. Tinggi badan :
3. Status gizi : baik/ kurang/ buruk
4. Frekuensi nadi :
5. Frekuensi napas :
6. Tekanan darah :

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015


44

Universitas Indonesia

Efek samping..., Deasy Grafianti, FK UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai