Anda di halaman 1dari 31

Teori Belajar matematika

(Brunner, Dienes, Ausubel)

A. Pendahuluan
Kegiatan belajar, sering dikaitkan dengan kegiatan mengajar. Begitu
eratnya kaitan tersebut, sehingga keduanya sulit dipisahkan. Dalam percapakan
sehari-hari sering didengar istilah kegiatan “belajar-mengajar” menjadi satu
kesatuan. Bahwa kedua kegiatan tersebut berkaitan erat adalah benar. Namun,
dalam setiap kegiatan belajar tidak harus selalu ada orang yangmengajar. Kegiatan
belajar bisa saja terjadi walaupun tidak ada kegiatan mengajar. Begitu pula
sebaliknya, kegiatan mengajar tidak selalu dapat menghasilkan kegiatan belajar.
Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha guru untuk membuat
belajar para siswanya. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak
menghasilkan kegiatan belajar pada para siswanya. Kegiatan belajar hanya bisa
berhasil jika si belajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar.
Seorang guru tidak dapat mewakili belajar untuk siswanya. Seorang siswa
belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam satu
ruangan dengan guru yang sedang mengajar. Ada satu syarat mutlak yang harus
dipenuhi agar terjadi kegiatan belajar. Syarat itu adalah adanya interaksi antara
pebelajar (learner) dengan sumber belajar. Jadi, belajar hanya terjadi jika dan
hanya jika terjadi interaksi antara pebelajar dengan sumber belajar. Tanpa
terpenuhi syarat itu, mustahil kegiatan belajar akanterjadi.
Kegiatan mengajar tidak selalu harus diartikan sebagai kegiatan
menyajikan materi pelajaran. Meskipun menyajikan materi pelajaran memang
merupakan bagian dari kegiatan mengajar, tetapi bukanlah satu-satunya.Masih
banyak cara lain yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa belajar. Peran
yang seharusnya dilakukan guru adalah mengusahakan agarsetiap siswa dapat
berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber belajar yang ada.
Sebagian besar orang memahami bahwa psikologi pembelajaran
membahas tentang bagaimana seseorang belajar, bagaimana orang tersebut
melakukan atau melakssiswaan suatu tugas, dan tentang bagaimana ia bisa
berkembang. Pengertian tersebut dinyatakan Resnick dan Ford (1984) yaitu:

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 1


“Most people know psychology is concerned with how people learn, with how they
perform tasks, and with how they develop.”
Psikologi pembelajaran matematika menurut Resnick dan Ford (1984:4)
adalah ilmu yang mengkaji tentang struktur atau susunan bangunan matematika
itu sendiri dan mengkaji juga tentang bagaimana seseorang itu berpikir (think),
bernalar (reason), dan bagimana ia menggunakan kemampuan intelektualnya
tersebut. Pada akhir-akhir ini, banyak ahli pembelajaran matematika yang muncul,
di antaranya Resnick dan Ford yang telah menulis buku berjudul “The Psychology
of Mathematics for Instruction” dan juga Orton yang menulis buku “Learning
Mathematics”. Kedua buku tersebut membahas teori belajar yang langsung
dikaitkan dengan materi matematika.
Pada pelajaran matematika, teori belajar yang menekankan pada aspek
kognitif akhir-akhir ini sangat banyak dikembangkan seiring dengan munculnya
pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran, Seperti model pembelajaran
penemuan (discovery learning) yang dikembangkan oleh Brunner dimana Siswa
belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan
guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan
kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri
mereka sendiri.
Begitu pentingnya pengetahuan teori belajar matematika dalam sistim
penyampaian materi di kelas, sehingga setiap metode pengajaran harus selalu
disesuaikan dengan teori belajar yang dikemukakan oleh ahli pendidikan. Tidak
hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa tetapi harus
disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun
demikian pula. Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental siswa dan
bagaimana pengajaran yang harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap yang
benar. Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu satu aplikasi teori pembelajaran
yang dikembangkan oleh J. Brunner, Dienes, Teori Ausubel

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 2


B. Teori Belajar Matematika Menurut J.Bruner
Bruner sebagai salah satu ahli psikologi dan pemikir mengembangkan
sebuah teori belajar yang berlandaskan pandangan konstruktivisme dan sangat
berkaitan dengan teori belajar kognitif. Teori kontrukstivis Brunner telah
dipengaruhi oleh penelitian-penelitian tentang teori kognitif yang dikemukakan
oleh Jean Piaget dan Lev Vigotsky sebelum, teori ini mengakui bahwa siswa
dapat membangun atau mengkonstruksi konsep-konsep atau ide-ide baru dari
pengetahuan yang sudah dia miliki. Proses belajar menjadi sangat aktif dan
melibatkan transpormasi informasi, menurunkan makna dari pengalaman,
membentuk hipotesis dan mengambil keputusan. Dalam teori ini siswa dianggap
sebagai pencipta dan pemikir dengan menggunakan informasi yang ada untuk
menemukan konsep dan pengalaman baru dalam belajar matematika.
Dalam pengajaran disekolah, Brunner mengajukan bahwa dalam
pembelajaran hendaknya mencakup:
a) Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar.
b) Pensturkturasi pengetahuan untuk pemahaman optimal

Dalam penyajian materi ada 3 tahapan penting yang harus diperhatikan


dalam mengaplikasikan teori ini yaitu:
a) Tahapan Enaktif: Pengetahuan sebagian besar dalam bentuk respon
motorik, siswa dapat lebih baik menunjukkan pekerjaan pisik ketimbang
mendeskripsikan secara tepat tugas yang sama, dalam hal ini peserta masih
membutuhkan benda konkret dari sesuatu.
b) Tahapan Ikonik: Pengetahuan sebagian besar dibangun dari gambar-
gambar visual untuk membentuk informasi baru, cara penyajian ikonik
didasarkan atas pikiran internal, pengetahuan disajikan oleh sekumpulan
gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu.
c) Tahapan simbolik: Pada tahap ini pengetahuan sudah di bangun dengan
menggunakan simbol-simbol matematika dan bahasa. Penyajian simbolik
dibuktikan oleh kemauan seseorang lebih memperhatikan preposisi/

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 3


pernyataan daripada obyek-obyek yeng memberikan struktur hirarkis pada
konsep-konsep an kemungkinan alternative dalam suatu cara
kombinatorial
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika
proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap
belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar
tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik,
dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap
ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik.
Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal
itu dengan menggunakan benda-benda konkret. Kemudian kegiatan belajar
digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram . Pada tahap yang kedua
ini bisa juga siswa melakukan operasi matematika dengan menggunakan
pembayangan visual (visual imagery) dari objek-objek tersebut. Pada tahap
berikutnya, siswa melakukan operasi matematika dengan menggunakan lambang-
lambang matematis (Suwarsono,2002) .
Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan
mengajar matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah
teorema penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation theorem),
teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras and variation theorem),
teorema pengaitan (Connectivity theorem) (Suherman E., 2003)
1. Teorema penyusunan (Construction theorem)
Teorema ini menyatakan bahwa bagi siswa cara yang paling baik
untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan
melakukan penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep
pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan
representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri.
Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila siswa
disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah
mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, siswa lebih mudah

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 4


menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan
diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian yang
menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat
dicapai karena siswa memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu
pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh siswa
bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda
konkrit.
Contoh, untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 3 + 4 = 7,
siswa bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 3 kotak dan empat
kotak pada garis bilangan. Dengan mengulangi hal yang sama untuk dua
bilangan yang lainnya siswa-siswa akan memahami konsep penjumlahan
dengan pengertian yang mendalam.
2. Teorema Notasi
Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep,
notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam
menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus
misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh siswa, tidak rumit
dan mudah dimengerti.
Sebagai contoh pada permulaan konsep fungsi diperkenalkan pada
siswa SD kelas-kelas akhir, notasi yang sesuai menyatakan fungsi ... = 2...
+ 3, untuk tingkat yang lebih tinggi misalnya siswa SMP notasi fungsi
dituliskan y = 2x + 3, setelah siswa memasuki SMA atau perguruan tinggi
Notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari
yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi
disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
3. Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari
representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep
dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 5


keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada
siswa mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan
dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan
beranekaragam contoh. Dengan demikian siswa dapat memahami dengan
mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut.
Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan
dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai
contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada siswa diberikan
padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan
genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil.
Kemudian siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang
termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.
4. Teorema pengaitan (Konektivitas)
Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu
konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja
dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi
yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu
konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya
konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras
atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
Guru harus dapat menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa.
Hal ini penting agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil.
Dengan melihat kaitan-kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan
bahwa cabang-cabang dalam matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri
tanpa keterkaitan satu sama lainnya.

Perlu diperhatikan bahwa keempat teorema tersebut tidak dimaksudkan


untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dua teorema atau
lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi
matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau
topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 6


Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah
model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan
(discovery learning) (Dahar R.,1988). Bruner menganggap, bahwa belajar
penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan
dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk
mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna (yaitu kegiatan belajar dengan
pemahaman). Belajar bermakna merupakan satu-satunya jenis belajar yang
mendapat perhatian Bruner.
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui
berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-pninsip, agar mereka
dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen
eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu
sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukan
beberapa kebaikan, diantaranya:
a) pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat, atau lebih mudah
diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-
cara lain.
b) Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada
hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip
yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-
situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan
penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas. Secara khusus
belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk
menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
c) Bahwa belajar penemuan membangkitkan keinginan-tahuan siswa, memberi
motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Lagi pula
pendekatan ini dapat mengajarkan keterampilan memecahkan masalah tanpa
pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk menganalisis dan
memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 7


Bruner menyadari, bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan
waktu, karena itu dalam bukunya ‘The Relevance of Education”, Ia menyarankan
agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas
tertentu, yaitu dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.
Dalam menerapkan belajar penemuan pada siswa, perlu diperhatikan juga
pendekatan, metoda, tujuan, serta peranan guru dalam pembelajaran matematika,
(Dahar R.,1988).
a. Pendekatan Spiral dalam Pembelajaran Matematika
Berdasarkan peningkatan taraf kemampuan berfikir para siswa sesuai
dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner
(Suwarsono,2002) menganjurkan digunakannya pendekatan spiral (Spiral
approach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi
matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang
sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat
pembelajaran yang satu ke saat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan
dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari,
termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan.
Sebagai contoh, pada suatu saat siswa SMP mempelajari fungsi yang
daerah asal dan daerah kawannya berupa himpunan yang berasal dari
kehidupan sehari-hari, dan dengan system notasi yang masih sederhana. Pada
suatu saat di kemudian hari, siswa yang sama mempelajari fungsi untuk
kedua kalinya, tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang
berupa himpunan bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat
berikutnya, pembahasan tentang fungsi bisa ditingkatkan lagi baik dalam hal
kerumitan materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi
yang digunakan.
Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut
diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa
dalam berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan
siswa.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 8


b. Metoda dan Tujuan
Dalam belajar penemuan, metoda dan tujuan tidak sepenuhnya seiring.
Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan
belajar sebenarnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara
yang dapat melatih kemampuan-kemampuan intelektual para siswa, dan
merangsang keinginan tahu mereka dan memotivasi kemampuan mereka.
Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar
penemuan.
Jadi, kalau kita mengajarkan sains misalnya, kita bukan akan
menghasilkan perpustakaan-perpustakaan hidup kecil tentang sains,
melainkan kita ingin membuat siswa berpikir secara matematis bagi dirinya
sendiri, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu
adalah suatu proses, bukan suatu produk.
Tujuan pembelajaran hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat
dicapai dengan càra-cara yang tidak perlu sama oleh para siswa yang
mengikuti pelajaran yang sama itu. Dengan mengajar seperti yang dimaksud
oleh Bruner ini, bagaimana peranan guru dalam proses belajar mengajar?
Peranan guru lain sekali bila dibandingkan dengan peranan guru yang
mengajar secara klasikal dengan metoda ceramah. Dalam belajar penemuan
ini, guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar.
c. Peranan Guru
Dalam belajar penemuan, peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut :
(i) merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat
pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa. (ii)
menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa
untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat
mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan,
misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya
mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru
mengemukakan sesuatu yang berlawanan. (iii) Selain hal-hal yang tersebut di

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 9


atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas
terdahulu, yaitu cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik.
Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan
menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa.
Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu
simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif,
ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya
jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari,
tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada
waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan
cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru.
Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan.
Seperti diketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan
tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses
tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari
generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi itu.
Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi pemahaman
tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa
untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk
tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.

C. Teori Belajar Matematika Menurut Dienes


Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya
bertumpu pada teori Piaget dan Bruner, dan pengembangannya diorientasikan
pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu
menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Seperti halnya Piaget dan

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 10


Bruner, Dienes dianggap sebagai salah satu tokoh konstruktivisme dan teori
belajar yang diajukannya dimasukkan ke dalam rumpun teori belajar kognitif.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap
sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara
struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-
struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam
matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami
dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam
bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam
pengajaran matematika.
Menurut Dienes, belajar matematika itu melibatkan suatu struktur hirarki
dari konsep-konsep tingkat yang lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang
telah dibentuk sebelumnya. Jadi bila suatu materi yang menjadi prasyarat dari
materi yang lebih lanjut belum dipelajari atau pun belum dipahami dengan baik,
maka tidak mungkin dapat dipahami dengan baik atau dengan kata lain, materi
prasyarat harus diajarkan mendahului materi yang lebih tinggi. (Orton, 1992).
Untuk memperoleh pemahaman terhadap suatu konsep dengan baik maka
siswa harus belajar secara aktif. Jika siswa aktif melibatkan dirinya dalam
menemukan suatu prinsip dasar maka siswa itu akan mengerti konsep tersebut
lebih baik, diingat lebih lama, dan mampu menerapkan konsep tersebut pada
konteks lain yang berkaitan. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat
secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Melalui aktivitas secara fisik
pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan pengalaman belajar atau
bahan yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa itu sendiri
dan ini berlangsung secara mental. Dengan kata lain, pembelajaran matematika
adalah proses membangun pengetahuan matematika.
Suatu pembelajaran harus dilakukan secara konstruktif, yaitu dengan cara
membangun pemahaman anak terhadap suatu konsep yang diajarkan berdasarkan
dari sejumlah kegiatan yang dilakukannya. Dengan demikian anak membangun
pemahamannya sendiri terhadap suatu konsep dimana guru hanya mengarahkan
agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 11


Dienes percaya bahwa anak-anak secara alami secara mendasar memiliki
sifat konstruktivis daripada analitis. Mereka membangun sebuah pemahaman dari
pengalaman dengan menggunakan benda-benda nyata. Namun proses ini sangat
bergantung pada seberapa aktif anak dalam mengekplorasi hal-hal yang
dilakukannya dalam pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran matematika, Dienes (Orton, 1992)
merekomendasikan beberapa perangkat belajar yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran konsep-konsep matematika, yaitu:
1. Multibase Arithmatics Block (MAB)

Gambar 1. Contoh MAB


2. Algebraic Experience Material (AEM)

Gambar 2. Contoh AEM


3. The Equalizer (Dienes’ Balance)

Gambar 2. Contoh Dienes’ Balance


4. Logical Block

Gambar 3. Contoh Logical Block

Dalam penggunaan alat-alat di atas, Dienes mengarahkan kepada


pembentukan suatu struktur dengan cara menyusunnya ke dalam bentuk-bentuk
tertentu sesuai konsep yang diajarkan. Kemudian dari bentuk-bentuk yang telah
dibuat dicari kesamaan-kesamaan ataupun pola-pola yang sama di antara bentuk-
bentuk tadi. Dari sanalah maka akan diperoleh suatu konsep matematika yang
diajarkan kepada anak didik. (Mark dan Cindy, 1984).
Supaya berpikir matematik bisa efektif maka abstraksi dan generalisasi
harus menjadi perhatian utama. Abstraksi dan generalisasi merupakan bagian

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 12


berpikir matematik yang bermanfaat karena dari keduanyalah matematika dapat
diaplikasikan ke situasi nyata, baik yang belum diketahui maupun yang sudah
terduga.
Agar suatu pembelajaran matematika dapat tercapai dengan optimal maka
diperlukan suatu acuan teori tentang bagaimana seharusnya suatu konsep
matematika tersebut harus diajarkan. Menurut Dienes (Orton, 1992) pembelajaran
matematika itu harus memperhatikan 4 prinsip, yaitu:
1. Prinsip dinamik, proses pemahaman konsep berjalan dari pengalaman ke
penetapan klasifikasi (Hudojo, 2001). Jadi, anak-anak mempelajari sesuatu
melalui proses penjelasan dan eksperimen untuk membentuk atau
menemukan satu konsep matematika.
2. Prinsip konstruktivis, konstruksi harus mengambil bagian sebelum analisis
dapat berfungsi secara efektif. Mengkonstruksi setiap ide matematika atas
konsep yang menghendaki sifat-sifat tertentu adalah konstruktif (Hudojo,
2001). Seseorang haruslah memahami konsep sebelum memahaminya
dengan analisa yang logis.
3. Prinsip variabilitas matematik, setiap konsep matematika menyertakan
variabel-variabel esensial yang perlu dibuat bermacam-macam bila
generalisasi dari konsep matematika itu telah tercapai (Hudojo, 2001). Jadi
suatu konsep matematika itu mengandung berbagai variabel yang bervariasi
sehingga pembelajaran terhadap suatu konsep haruslah memperhatikan
variabel-variabel tersebut.
4. Prinsip variabilitas perseptual, bahwa untuk mencapai suatu abstraksi yang
efektif dari struktur matematika, haruslah diakomodasikan sebanyak
mungkin situasi-situasi yang berbeda untuk struktur atau konsep yang sama
(Hudojo, 2001). Hal ini mengandung arti bahwa apabila dalam
pembelajaran suatu konsep matematika, agar konsep tersebut bisa dipahami
dengan baik maka haruslah diberikan berbagai contoh atau perspektif-
perspektif yang berbeda mengenai konsep tersebut. Dari berbagai perspektif
tersebut maka seseorang akan dapat mengambil suatu inti darinya yang
merupakan konsep matematika yang diajarkan.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 13


Suatu konsep matematika biasanya berisi variabel yang bervariasi dan
merupakan ketetapan dari suatu hubungan yang membentuk suatu konsep
matematika. Seperti pada pembelajaran tentang persegi, tentang panjang dan
orientasi sudut haruslah berbeda-beda. Terkadang guru hanya memberikan
berbagai bentuk yang tidak bervariasi. Pembelajaran haruslah diberikan dalam
sebuah pendekatan yang sesuai sehingga tidak membingungkan anak. Hal ini
menunjukkan bahwa prinsip variabilitas matematik tidak boleh diabaikan.
Empat prinsip teori pembelajaran matematika Dienes tidak hanya
ditujukan untuk diterapkan pada konsep-konsep matematika tingkat dasar, tetapi
juga dapat diterapkan pada konsep matematika tingkat lanjut. Seperti penggunaan
AEM untuk mengajarkan pemahaman terhadap konsep persamaan kuadrat.
Dengan pendekatan konstruktivis maka pemahaman awal terhadap konsep
tersebut dapat diajarkan.

Dari gambar di atas dapat diambil suatu persamaan berikut:


32 = 22 + 2 × 2 + 1
42 = 32 + 2 × 3 + 1
52 = 42 + 2 × 4 + 1
62 = 52 + 2 × 5 + 1

Sehingga dapat disimpulkan bahwa:


(𝑥 + 1)2 = 𝑥 2 + 2𝑥 + 1
Rumus yang telah diperoleh tidak dibuktikan. Bilangan-bilangan yang
terbentuk bervariasi tetapi mempunyai struktur sama maka prinsip variabilitas
matematika telah diterapkan.
Kemudian dengan menerapkan berbagai cara yang beragam yang
menunjukan kondisi penerapan prinsip variabilitas perseptual seperti dengan dua
baris bintang dan seterusnya seperti gambar berikut:

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 14


Dan seterusnya sehingga diperoleh:
(𝑥 + 2)2 = 𝑥 2 + 4𝑥 + 4
(𝑥 + 3)2 = 𝑥 2 + 6𝑥 + 9
(𝑥 + 4)2 = 𝑥 2 + 8𝑥 + 16
Dan seterusnya
Dari percobaan-percobaan dan representasi-representasi di atas maka
diperoleh rumus umumnya:
(𝑥 + 𝑎)2 = 𝑥 2 + 2𝑎𝑥 + 𝑎2
Dan juga
(𝑎𝑥 + 1)2 = 𝑎2 𝑥 2 + 2𝑥 + 1
Sampai seluruh berbagai perluasan kuadrat telah dieksplorasi, dan
digeneralisasi yang sesuai bentuk yang dibangun.
Teori pembelajaran Dienes sangat memuaskan dalam berbagai hal. Hal ini
dengan dimasukkannya teori pembelajaran Dienes ke dalam bagian teori belajar
kognitif yang dibangun oleh Piaget dan Bruner yang mendapat banyak perhatian
dari para pendidik. Beberapa isu penting yang diajukan adalah percepatan cara
belajar dan cara mengatasi perbedaan individu dalam suatu grup. Pada saat ini
belajar memberikan penekanan pada kepercayaan bahwa pengetahuan dibangun
oleh masing-masing individu, bukan hanya cukup ditransfer dari guru kepada
peserta didik. Prinsip konstruktivistik Dienes dapat dipandang sebagai dasar
dalam melihat konstruktivisme.
Namun tidak dapat disangkal bahwa teori belajar ini juga memiliki
keterbatasan karena prinsip konstruktivistik yang berkaitan dengan konsep
pembelajaran individu dan hubungan antara belajar dari konsep-konsep baru dan
struktur pengetahuan yang ada di pikiran tidak dipertimbangkan. Padahal seperti
telah disebutkan di atas bahwa matematika bersifat hirarkis sehingga prasyarat
haruslah dikuasai terlebih dahulu sebelum konsep lanjutannya diajarkan.
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu. Sebuah pembelajaran terhadap suatu konsep akan
mudah dipelajari jika konsep tersebut diajarkan mulai dari hal-hal yang sederhana
hingga kepada hal-hal kompleks yang disusun secara sistematis akan dapat

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 15


membentuk suatu pemahaman yang utuh pada tingkatan akhir dari proses
pembelajaran tersebut.
Menurut Dienes, pembentukan konsep matematika dapat dicapai melalui
serangkaian pola yang saling berhubungan dalam sebuah urutan kegiatan
pembelajaran dari konkret ke simbolis (abstrak). Sebuah pembelajaran merupakan
interaksi yang terencana antara bagian dari struktur pengetahuan dengan sebuah
pebelajar aktif, menggunakan media khusus yang dirancang untuk materi
matematika.
Dienes yang membangun tahapan-tahapan belajarnya berdasarkan tahapan
belajar yang diajukan oleh Bruner yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu enaktif,
ikonik, dan simbolik. Di mana ketiga tahapan tersebut terurut dari hal-hal yang
bersifat konkrit kepada hal-hal yang bersifat abstrak.
Dari tahapan belajar Bruner tersebut Dienes membagi tahap-tahap belajar
yang pada awalnya hanya terdiri dari 3 tahap menjadi 6 tahapan belajar. Namun
tahapan belajar yang dilewati oleh setiap anak-anak tidaklah selalu sama untuk
tiap tingkatan usia. Adapun tahapan belajar Dienes secara umum adalah :
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari
pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas
merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak
diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Aktivitas ini
memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengutak-atik
(memanipulasi) berbagai benda konkrit dan abstrak dari unsur-unsur yang
sedang dipelajari. Selama permainan pengetahuan anak muncul.
Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-
unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar.
Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun
juga belajar membentuk struktur sikap dalam mempersiapkan diri dalam
pemahaman konsep. (Tim MKPBM, 2001)

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 16


Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai
mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang
merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti
pola-poladan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini
mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep
yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan
melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan
bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan
yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang
dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan
matematis dalam konsep yang dipelajari itu.
Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik
memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam
pengalaman, dan kegiatan untuk yang relevan dengan pengalaman itu. Contoh
dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk
kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian
membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan
sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang
merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul
penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau,
kuning).
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu
mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk
permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak
yang ada dalam permainan semula.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 17


Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak
dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak
diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam
kelompok tersebut (anggota kelompok).
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa
situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep
tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat
dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini
bersifat abstrak. Dengan demikian siswa telah mengarah pada pengertian
struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang
sedang dipelajari.
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan
menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal (Tim
MKPBM, 2001). Dari berbagai hal yang dilakukan anak membuat suatu
penyimbolan atau menyatakannya dengan suatu ungkapan yang bersesuaian
dengan segala sifat-sifat yang sama yang ditemukan dari percobaan-
percobaan terhadap benda-benda konkrit tadi. Pada tahap ini anak sudah
memperoleh suatu konsep yang besifat abstrak.
Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan
pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus
banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang
didapat anak.
Banyak 3 4 5 6 … 𝑛
segi
Banyak 1 1 1 1 … 1
3(3 − 3) = 0 4(4 − 3) = 2 5(5 − 3) = 5 6(6 − 3) = 9 𝑛(𝑛 − 3)
diagonal 2 2 2 2 2

6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)


Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam
tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 18


kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa
yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma,
harus mampumerumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema
serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai
pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep
yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi
penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen
identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem
matematika. Dienes (Resnick dan Ford, 1981) menyatakan bahwa proses
pemahaman (abstraction) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran
konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika
secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes
berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian
(multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan
bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik.
Berbagai penyajian materi (multiple embodiment) dapat mempermudah
proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu
dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perceptual
variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai
pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap
konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment)
juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel
matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas
mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep
yang lain.
Dalam siklus pembelajaran, siswa diarahkan pada peningkatan
kemampuan manipulasi terkontrol atau permainan dengan beberapa sajian
dari konsep-konsep yang diajarkan. Hal ini dilakukan untuk membantu
mereka menemukan cara untuk menyampaikan tentang temuan mereka.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 19


Menurut Dienes, langkah berikutnya adalah mendorong siswa untuk belajar
lebih jauh kepada hal-hal yang abstrak dari bahan-bahan konkret seperti
menggambar grafik atau peta hingga akhirnya pada penyimbolan matematis
dari suatu konsep.
Penggunaan simbol-simbol digunakan untuk membantu siswa dalam
membentuk suatu pola dan hubungan dari suatu kegiatan tentang konsep
matematika yang mereka lakukan. Dengan begitu, siswa diharapkan
memperoleh suatu kesenangan untuk berpartisipasi dalam proses penemuan
dan formalisasi berdasarkan pengalaman matematis mereka.
Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada
permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan
kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga
untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut
Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran
tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan
akhirnya memadukan simbol-simbol dengan konsep tersebut.
Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi
kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan
formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga
lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya
sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan
kegiatan matematika ke satu bidang baru.
Dalam pembelajaran matematika, teori belajar Dienes diterapkan
dalam tahapan-tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Tahapan
tersebut dimulai dari hal-hal yang bersifat sederhana menuju pada hal-hal
yang kompleks dan abstrak. Tahapan tersebut dapat diterapkan pada
pembelajaran konsep berbagai bidang matematika seperti aritmatika,
geometri, dan aljabar.
Sebagai gambarannya maka akan diberikan sebuah contoh
pembelajaran tentang konsep persamaan kuadrat dengan menerapkan teori
belajar Dienes.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 20


D. Teori Belajar Matematika Menurut Ausubel
Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel
(Hudoyo, 1998) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakana” artinya
bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan
dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus
dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep
konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor
intelektual, emosional siswa tersebut terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar
menerima. Pada belajar menemukan, konsep dicari/ditemukan oleh siswa.
Sedangkan pada belejar menerima siswa hanya menerima konsep atau materi dari
guru, dengan demikian siswa tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga
membedakan antara brelajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar
menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi pada
belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan
lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.
Ausubel menentang pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan
dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan
sebaliknya metode ceramah adalah metode yang kurang baik karena merupakan
belajar menerima. Menurutnya baik metode penemuan maupun metode ceramah
bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.
Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1. Belajar Bermakna (Meaningfull Learning), belajar dikatakan bermakna
bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan
struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu
dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang
dimilikinya.
2. Belajar Menghafal (Rote Learning), bila struktur kognitif yang cocok
dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus
dipelajari secara menghafal.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 21


Kedua demensi ini merupakan suatu kontinum. Novak (Dahar,
1988)memperlihatkan gambar sebagai berikut:

Menjelaskan
Pengajaran Audio-
hubungan antara Penelitian Ilmiah
Tutorial
konsep-konsep
Belajar Bermakna Sebagian Besar
Penyajian Melalui Kegiatan di
penelitian rutin
Ceramah atau laboratorium
atau produksi
buku pelajaran sekolah
intelektual
Menerapkan
rumus-rumus
Pemecahan
Daftar Perkalian untuk
dengan coba-coba
Belajar hafalan memecahkan
Masalah
Belajar Belajar Penemuan Belajar Penemuan
Penerimaan Terbimbing Mandiri
Dari gambar diatas dapat dikatakan bahwa belajar penerimaan yang
bermakna dapat dilakukan dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-
konsep, sedangkan belajar penemuan yang masih berupa hafalan apabila belajar
dilakukan dengan pemecahan masalah secara coba-coba. Belajar penemuan yang
bermakna hanyalah terjadi pada penelitian ilmiah
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi.
Pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan
kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Kedua, menyangkut
bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif
yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru
itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar
dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik menghubungkan atau mengaitkan
informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar
bermakna.
Dalam kaitannya dengan tipe belajar, Ausubel mengemukakan empat tipe
belajar, yaitu:
i. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik.
Peserta didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu
dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 22


menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan
yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat
menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
ii. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik,
kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat
bujur sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan
dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka.
Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian
dihafalkan.
iii. Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik
dalam bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan
pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya
peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar
mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur
sedemikian rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan mudah
ter’tanam’ kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik.
Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat,
materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.
iv. Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk
final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang
disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik
(Hudoyo, 1990)
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut
Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan
dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur
kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi
baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi
yang terjadi.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 23


Hal ini dirinci oleh Ausubel dalam beberapa kondisi belajar bermakna:
1) Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan-
bahan lama.
2) Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang
lebih terperinci.
3) Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan
lama.
4) Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide
yang baru disajikan.
Sebagaimana disimpulkan oleh Rosser (Dahar, 1988) bahwa belajar
bermakna dapat terjadi bila memenuhi tiga komponen yaitu materi pelajaran harus
bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memesukkan materi itu
kedalam struktur kognitifnya dan dalam struktur kognitif siswa harus terdapat
unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau menghubungkan materi baru
secara non-arbitrar dan substantif. Jika salah satu komponen tidak ada,maka
materi itu akan dipelajari secara hafalan.
Ausubel mengungkapkan beberapa prinsip dalam teori belajarnya, diantaranya:
1) Advance Organizer
Advance Organizer mengarahkan para siswa ke materi yang akan
dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat
digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Advance
Organizer dapat dianggap merupakan suatu pertolongan mental dan disajikan
sebelum materi baru (Dahar, 1988)
2) Diferensiasi Progresif
Selama belajar bermakna berlangsung perlu terjadi pengembangan konsep
dari umum ke khusus. Dengan strategi ini guru mengajarkan konsep mulai
dari konsep yang paling inklusif, kemudian kurang inklusif dan selanjutnya
hal-hal yang khusus seperti contoh- contoh setiap konsep. Sehubungan
dengan ini dikatakan Sulaiman (1988) bahwa diferensiasi progresif adalah
cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 24


heirarkis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu
kesatuan yang besar
3) Belajar Superordinat
Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang
lebih luas. Belajar superorninat tidak dapat terjadi disekolah, sebab sebagian
besar guru-guru dan buku-buku teks mulai dengan konsep-konsep yang lebih
inklusif (Dahar:1988).
4) Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif)
Menurut Ausubel, selain urutan menurut diferensiasi progresif yang harus
diperhatikan dalam mengajar, juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-
konsep baru dihubungkan dengan konsep-konsep yang superordinat (Dahar,
1988). Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru
dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti sebelumnya yang lebih sempit
dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi mengambil arti
baru.
Untuk menerapkan teori belajar Ausubel, Dadang Sulaiman (1988)
menyarankan agar menggunakan dua fase yaitu fase perencanan dan fase
pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran,
mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan
memformulasikan advance organizer. Fase pelaksanakan terdiri dari advance
organizer, diferensiasi progresif dan rekonsiliasi integratif:
a. Fase Perencanaan
i. Menetapkan Tujuan Pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan
perencanaan adalah menetapkan tujuan pembelajaran. Model Ausubel ini
dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep-konsep dan
generalisasi-generalisasi. Sebagaimana dikatakan Sulaiman (1988),
bahwa model Ausubel tidak dirancang untuk mengajarkan konsep atau
generalisasi, melainkan untuk mengajarkan “Organized bodies of
content” yang memuat bermacam konsep dan generalisasi

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 25


ii. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, model Ausubel ini
meskipun dirancang untuk mengajarkan hubungan antar konsep-konsep
dan generalisasi generalisasi dan tidak untuk mengajarkan bentuk materi
pengajaran itu sendiri, tetapi cukup fleksibel untuk dipakai mengajarkan
konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar
belakang pengetahuan siswa, Efektivitas penggunaan model ini akan
sangat tergantung pada sensitivitas guru terhadap latar belakang
pengetahuan siswa, pengalaman siswa dan struktur pengetahuan siswa.
Latar belakang pengetahuan siswa dapat diketahui melalui pretes, diskusi
atau pertanyaan
iii. Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis
merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif
dari teori Ausubel
iv. Memformulasikan Advance Organizer, Eggen(1979), Advance organizer
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) mengkaitkan atau
menghubungkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan siswa, b)
mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa.
Terdapat tiga macam organizer, yaitu definisi konsep, generalisasi dan
analogi:
a) Definisi konsep dapat merupakan organizer materi yang bermakna,
bila materi tersebut merupakan bahan pengajaran baru atau tidak
dikenal oleh siswa. Untuk kemudahan siswa, guru sebaiknya
mengusahakan agar definisi dibuat dalam terminalogi yang dikenal
siswa.
b) Generalisasi berguna untuk meringkas sejumlah informasi
c) Analogi merupakan advance organizer yang paling efektif karena
seringkali sesuai dengan latar belakang siswa. Nilai analogi sebagai
advance organizer tergantung pada dua faktor yaitu (1)penguasaan
atau pengetahuan siswa terhadap analogi itu, (2) tingkat saling
menunjang antara gagasan yang diajarkan dengan analogi yang

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 26


digunakan. Dengan analogi, motif dan minat siswa lebih baik
dibandingkan dengan generalisasi dan definisi konsep
b. Fase Pelaksanaan
Untuk menjaga agar siswa tidak pasif maka guru harus dapat
mempertahankan adanya interaksi dengan siswa melalui tanya jawab,
memberi contoh perbandingan dan sebaginya berkaitan dengan ide yang
disampaikan saat itu. Guru hendaknya mulai dengan advance organizer
dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk
mengembangkan bahan pengajaran.
Langkah berikutnya adalah menguraikan pokok-pokok bahan
menjadi lebih terperinci melalui diferensiasi progresif. Setelah guru yakin
bahwa siswa mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan
langkah berikutnya yaitu:1) menghubungkan atau membandingkan
konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integratif, atau 2) melanjutkan
dengan difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.

Contoh penerapan Teori Belajar Ausubel pada Pembelajaran Pokok Bahasan


Pertidaksamaan kuadrat
a) Fase Perencanaan
1) Menetapkan tujuan Pembelajaran, siswa memahami dan terampil
menggunakan aturan dan rumus-rumus persamaan kuadrat, fungsi
kuadrat dan grafiknya serta pertidaksamaan kuadrat.
2) Indikator: Menentukan himpunan penyelesaian dari pertidaksamaan
kuadrat
3) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, latar belakang
pengetahuan siswa dalam memahami pokok bahasan ini adalah sebagai
berikut;
i. Pertidaksamaan dan ketidaksamaan
ii. Pertidaksamaan linear satu peubah
iii. Persamaan kuadrat

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 27


4) Membuat struktur materi (Kalimat Matematika  Kelimat Terbuka),
(Kalimat Terbuka  persamaan dan Pertidaksamaan)
5) Memformulasikan Advance Organizer, untuk mengajarkan pokok
bahasan pertidaksamaan kuadrat, pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dan dapat digunakan sebagai advance organizer adalah sebagai
berikut:
i. Pertidaksamaan adalah kalimat terbuka yang ruas kiri dan kanan
dihubungkan oleh salah satu dari tanda ≠, >, <, ≤, ≥
ii. Ketidaksamaan adalah kalimat tertutup yang ruas kiri dan kanan
dihubungkan dengan tanda ≠, >, <, ≤, ≥
iii. Pertidaksamaan dalam bentuk seperti 𝑎𝑥 + 𝑏 > 0, 𝑎𝑥 + 𝑏 <
𝑜, 𝑎𝑥 + 𝑏 ≥ 0, 𝑎𝑥 + 𝑏 ≤ 0 dengan 𝑎, 𝑏𝜖 𝑅 dan 𝑎 ≠ 0 disebut
pertidaksamaan linear dengan satu variabel. Dikatakan linear
karena pangkat dari variabelnya yaitu 𝑥 adalah satu)
iv. Sifat-sifat yang digunakan dalam menyelesaikan pertidaksamaan
linear satu variabel adalah:
1) Jika kedua ruas dari pertidaksamaan ditambah atau dikurangi
dengan bilangan yang sama, maka penyelesaiannya tidak
berubah
2) Jika kedua ruas dari pertidaksamaan dikalikan dengan bilangan
positif yang sama, maka penyelesaiannya tidak berubah
3) Jika kedua ruas dari pertidaksamaan dikalikan dengan bilangan
negatif yang sama, maka penyelesaiannya tidak berubah asalkan
arah dari tanda pertidaksamaan dibalik
v. Bentuk umum persamaan kuadrat adalah 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 =
0 𝑎, 𝑏, 𝑐 ∈ 𝑅, 𝑎 ≠ 0
vi. Untuk mencari akar-akar persamaan kuadrat digunakan beberapa
cara yaitu memfaktorkan, membentuk kuadrat sempurna dan
“rumus 𝑎𝑏𝑐”

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 28


b) Fase Pelaksanaan
Uraian kegiatan Prinsip yang digunakan
- Guru mengingatkan siswa tentang perbedaan Advance Organizer
antara ketidaksamaan dan pertidaksamaan
- Guru mengingatkan siswa pada persamaan
linear satu peubah dan tiga sifat yang Advance Organizer
diperlukan dalam menyelesaikan
pertidaksamaan tsb
- Guru memberi problema tentang tentukan Advance Organizer
himpunan penyelesaian dari 4𝑥 − 7 > 3, 𝑥 ∈
𝑅
- Guru melanjutkan ke materi pertidaksamaan
kuadrat Pertidaksamaan kuadrat dalam bentuk
Diferensiasi progresif
umum adalah 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 > 9, 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 +
𝑐 < 0, 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 ≤ 0, 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 ≥ 0
dengan 𝑎, 𝑏𝜖 𝑅 dan 𝑎 ≠0
- Dengan menggunakan beberapa contoh antara Diferensiasi progresif
lain soal tentukan himpunan penyelesaian
𝑥 2 − 5𝑥 + 6 ≤ 0 , 𝑥𝜖 𝑅
- Dengan arahan guru, siswa diminta untuk
dapat menyimpulkan cara yang dapat Rekonsiliasi integratif
digunakan dalam menentukan tanda positif
atau negatif pada garis bilangan
- Untuk menentukan tanda positif atau negatif
pada garis bilangan, cukup diambil salah satu
titikk saja pada salah satu daerah, kemudian
pada setiap pergerantian daerah tandanya
berubah
4 Diferensiasi progresif
- Tentukan himpunan penyelesaian dari >
𝑥−2
1, 𝑥 ≠ 2

E. Penutup
Dapat dipahami bahwa materi matematika itu tidak datang dengan
sendirinya melainkan hasil temuan para ahli matematika. Namun demikian dalam
proses mengajar belajar matematika, tidak semua materi harus dipahami siswa
melalui penemuan. Siswa dapat belajar dengan penerimaan yang bermakna
asalkan siswa dapat mengkaitkan pengetahuan yang baru dipelajarinya dengan
struktur yang telah dimilikinya.
Dalam Teori Bruner dengan metode Penemuan (discovery learning),
kekurangannya tidak bisa digunakan pada semua materi dalam matematika hanya
beberapa materi saja yang dapat digunakan dengan metode penemuan. Teori
belajar matematika menurut J.S. Bruner tidak jauh berbeda dengan teori J. Piaget.
Menurut teori J.S. Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalah

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 29


dengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar
konsep, pengertian akan lebih melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan
representasi (model) konsep dilakukan oleh siswa sendiri dan antara pelajaran
yang lalu dengan yang dipelajari harus ada kaitannya
Pengajaran matematika dari Dienes lebih mengutamakan kepada
pengertian dan pemahaman sehingga matematika itu lebih mudah dipelajari dan
lebih menarik. Dengan pembelajaran matematika yang diawali dengan
penggunaan benda-benda konkrit untuk mengarah kepada konsep yang abstrak.
Dengan menggunakan berbagai benda-benda belajar yang khusus dibuat untuk
pembelajaran matematika dan memperhatikan berbagai prinsip-prinsip.
Ausubel yang dikenal dengan teori belajar bermakna pembelajaran
dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah. Walaupun metode yang
digunakan metode ceramah, guru tidak perlu pesimis akan kebermaknaan materi
yang disampaikan asalkan selalu dikaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki
siswa. Dengan memakai teori belajar Ausubel ini, guru tidak akan menganggap
bahwa pengajaran dengan metode ceramah hanya akan menyebabkan siswa akan
belajar secara hafalan.

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 30


Daftar Pustaka
Dahar, Retnowilis, 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Grabe, Mark dan Cindy Grabe, 1984. Integrating Tecnologi for Meaningful
Learning. New Jersey: Boston.
Hudojo, Herman, 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: Jica.
Hudoyo, Herman, 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: Penerbit
IKIP Malang
Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran
Matematika.Yogyakarta.
Orton, Anthony. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom
Practice. New York: Norfolk.
Resnick, Lauren B. dan Wendy W. Ford, 1981. The Psychologi of Mathematics
for Instruction. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Suherman, Erman, dkk.,2003.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung:JICA:Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Sulaiman , Dadang, 1988. Teknologi/ Metodologi Pengajaran. Jakarta: P2LPTK
Suwarsono, 2002. Teori-teori Perkembangan Kognitif dan Proses Pembelajaran
yang Relevan Untuk Pembelajaran Matematika. Jakarta:Departemen
Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).
Tim MKPBM, 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
Jica UPI

e-mail: edisutomo1985@gmail.com twitter: @ed_1st 31

Anda mungkin juga menyukai