Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

Cairan dan elektrolit merupakan komponen penting dari tubuh untuk


menjamin kehidupan normal dari semua proses yang berlangsung di dalam
tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit diatur oleh suatu mekanisme
kompleks yang melibatkan berbagai enzim, hormon, dan sistem saraf. 1

Kontrol keseimbangan cairan dan elektrolit perlu diperhatikan oleh


para klinisi. Keadaan yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit harus diatasi sebelum terganggunya fungsi dari sel, jaringan, dan
1
organ.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit disebabkan oleh
berbagai penyakit, dari yang bersifat ringan sampai berat. Terapi cairan dan
elektrolit bertujuan untuk membantu mekanisme kompensasi tubuh untuk
1
mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tersebut.
Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu
interior dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau
koloid (plasma ekspander) secara intravena. Tujuan utama terapi cairan
perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah, selama pembedahan
dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum berfungsi secara optimal
disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai berhasil
apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal
nafas.2,3
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang
kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai
penyakit primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan
yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada
periode pasca bedah kadang-kadang perdarahan dan atau kehilangan cairan
(dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus.
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit cairan

************** 1
(air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa.2,4,5 Gejala dari
defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya
adalah rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala.2,6 Gejala dehidrasi
ringan ini dapat memberikan kontribusi terhadap memanjangnya waktu
perawatan di rumah sakit yang terlihat dari penelitian 17638 pasien dengan
hasil bahwa rasa kantuk dan pusing kepala pasca bedah merupakan faktor
prediktor yang berdiri sendiri terhadap bertambah lamanya waktu perawatan
pasca bedah.7

************** 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Cairan Tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya
dapat berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas
seseorang. Pada bayi Usia < 1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat
badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 70-75 %.
Seiring dengan pertumbuhan Seseorang persentase jumlah cairan terhadap
berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat
badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan.6
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi
pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif
maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika
gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi
dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.2
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen
intraselular dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen
ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.6
- Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada
orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat
badannya merupakan cairan intraselular.6
- Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,

************** 3
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah
usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga
dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda
dengan berat rata-rata 70kg.6
Cairan ekstraselular dibagi menjadi: 6
o Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-
12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume
interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali
lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa. 6
o Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya
volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L
dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah,
sel darah putih dan platelet.6
o Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi
saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler
adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan
keluar dari ruang transeluler.6

************** 4
Keseimbangan cairan
Tubuh memerlukan air untuk tetap mempertahankan homeostasis. Agar
hal ini dapat berlangsung, diperlukan keseimbangan cairan masuk dan keluar
tubuh. Cairan yang masuk ke tubuh hampir sebagian besar berasal dari
makanan dan minuman. Hanya sebagian kecil saja yang berasal dari hasil
metabolisme sel, terutama glukosa yang melalui proses aerob.
Pengeluaran cairan dari tubuh dapat melalui beberapa cara. cairan yang
masuk melalui saluran pencernaan, selanjutnya akan masuk ke ruang
interstisial, dan bergerak keluar dan masuk ke sitoplasma dan lumen
pembuluh darah. Hampir 60 % pengeluaran air dari tubuh melalui ginjal,
yaitu berupa urin. Sebagian yang lain melalui penguapan yang tidak terlihat
yaitu dari paru, kulit (insesible water loss), keringat, dan feses.
Kehilangan cairan dan pemasukan cairan ke dalam tubuh, akan
mempengaruhi osmolaritas atau kepekatan zat terlarut dalam cairan .
osmolaritas yang tinggi akan menyebabkan rasa haus dan pelepasan
antidiuretik hormone (ADH) sehingga ginjal akan menahan cairan dalam
tubuh agar tetap terkumpul dalam kompartemen.

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan
non elektrolit.6
a. Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif

************** 5
(anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur
dalam miliekuivalen).6
! Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu
sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium
dan potassium ini.
! Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3 -), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular
adalah ion fosfat (PO4 3-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan
cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit plasma
mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.5

1. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma:
135-145mEq/liter.13 Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa
mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
- Atrial natriuretic factor
- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau
40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-
180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan
setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Natrium dapat bergerak cepat

************** 6
antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel.
Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai
kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan
diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan
cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila
volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah
kegagalan sirkulasi.8
2. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler
berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan
elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99%
dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium
yang terikat dengan protein didalam sel. 8
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3
mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan
konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter,
faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter. 8
3. Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran
ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin.
Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid,
tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan
didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam
sel.8
4. Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan untuk
pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces. 7
5. Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah
satu hasil akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh

************** 7
ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam
bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya dalam
keseimbangan asam basa. 8
b. Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.6

B. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh
melibatkan mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif
tidak membutuhkan energi sedangkan mekanisme transpor aktif
membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif.
Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP. 6,8,9
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah
menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh
membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan
osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.6,8,9
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan
tekanan
osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%,
Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut
hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik. 8,9
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.
Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi

************** 8
melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan
konsentrasi dan tekanan hidrostatik.6,8,9
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa
ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan
memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium
kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel. 6,8,9

C. Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal


Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat
berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun
oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal.9 Pada
keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500
ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan
cairan ratarata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan
paru-paru.10
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari
metabolisme oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-
300 ml per hari, cairan yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap
hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari, sedangkan
kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80
ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit
(insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang
dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada keadaan demam yaitu
100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di
atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari
tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap
hari dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200 ml tiap hari yang
dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus
gastrointestinal), third-space loses.6

************** 9
D. Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif 3,14,15

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan


pemberian cairan perioperatif, yaitu :
1. Kebutuhan Normal Cairan Dan Elektrolit Harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih
banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit Cairan Dan Elektrolit Pra Bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada
penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal
yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare,
diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita dengan trauma),
kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi,
demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah
ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.
3. Kehilangan Cairan Saat Pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
• Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap
darah (suction pump).
• Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung
10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat
menyerap darah100-10 ml.
Dalam praktek jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa
ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan
keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang- ulang (serial).

************** 10
Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio
plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan
penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan
pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup,
meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan Cairan Lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih
menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan
translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan
(evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka
pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau
lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara
masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang
mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan
serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion
fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang
terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat
merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler
dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
4. Gangguan Fungsi Ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
• Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate)
menurun.
• Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kadar aldosteron.
• Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan
terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes
(collecting tubules) meningkat.
• Ginjal tidak mampu mengekskresikan ³free water´ atau untuk
menghasilkan urin Hipotonis

************** 11
E. Penatalaksanaan Terapi 3,14,15

1. Cairan Pra Bedah


Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya
induksi anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler
dekompensasi akut. Penilaian status cairan ini didapat dari :
• Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus.
Kencing terakhir, jumlah dan warnya.
• Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda
obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan,
kulit, abdomen, mata dan mukosa.
• Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit,
hemoglobin dan protein.
Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang
terjadi.
• Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya
meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya
secara serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira
2% BB (1500 ml air).
• Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi
cepat dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.
• Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock
cardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB.
Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan
kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada
dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat
badan lebih dari 20 kg. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I,
ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat
badan sisanya. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan
kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi
urine 0,5-1 ml/kgBB.

************** 12
2. Cairan Selama Pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama
operasi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian
cairan pada trauma ringan, sedang dan berat. Pada pembedahan dengan
trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar
ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan.
Cairan pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan
pada trauma pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.
Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk trauma
pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam dan berat 6
ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur
pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah
perdarahan yang terjadi selama pembedahan sering mengalami kesulitan.,
dikarenakan adanya perdarahan yang sulit diukur/tersembunyi yang
terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi dan lain-lain.
Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah
perdarahan dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction
ditambah perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu
lembar duk dapat menampung 100 – 150 ml darah, sedangkan untuk kain
kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana selisih 1
gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan
dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara
serial.
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat
diberikan kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena
anemia. Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi
sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun
hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau Hct 21 – 30%. 20 –
25% pada individu sehat atau anemia kronis.

************** 13
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan
nilai hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB,
fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75
ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.
Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct
menjadi 30% dapat dihitung sebagai berikut :
• EBV
• Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
• Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
• Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop –
RBVC 30%)
• Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3
Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3.
Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian
cairan akibat perdarahan adalah sebagai berikut :
Berdasar berat-ringannya perdarahan :
• Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup
diganti dengan cairan elektrolit.
• Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat
diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
• Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti
dengan transfusi darah.

************** 14
Klasifikasi Shok Akibat Perdarahan :
Intravenous fluid replacement in haemorrhagic shock
Class I 2.5 l Ringer-lactate solution or 1.0 L
(haemorrhage 750 ml (15%)) polygelatin

Class II 1.0 l polygelatin plus 1.5 L Ringer-


(haemorrhage 800-1500 ml (15- lactate solution
30%))

Class III 1.0. l Ringer-lactate solution plus 0.5


(haemorrhage 1500-2000 ml (30- l whole blood or 0.1-1.5 l equal
40%)) volumes of concentrated red cells and
polygelatin

Class IV 1.0 l Ringer-lactate solution plus 1.0 l


(haemorrhage 2000 ml (48%)) polygelatin plus 2.0 l whole blood or
2.0 l equal volumes of concentrated
red cells and polygelatin or
hestastarch

3. Cairan Paska Bedah


Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
• Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
• Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung,
febris).
• Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
• Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori,
protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin
dan trace element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan
protein 0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada
penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan
kehilangan protein 75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan
edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka operasi, terjadi penurunan
enzym pencernaan yang menyulitkan proses realimentasi.

************** 15
F. Macam-macam Cairan yang Dapat Digunakan dalam Terapi
Cairan 2,13,14,15

1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan
mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak
menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat
disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di
ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Beberapa penelitian mengemukakan
bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang
interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian lain menunjukkan pemberian
sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat.
Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan
edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid
akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid
maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang
interstitiel. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan
susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang
terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati
menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah
NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

************** 16
1. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute´ atau plasma expander´. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
yang banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal
dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5
dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C
selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi
protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa
globulin dan beta globulin.Prekallikrein activators (Hageman’s factor
fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan
dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse dengan fraksi protein
plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

************** 17
2. Koloid Sintesis yaitu:
• Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan
Dextran 70(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi
oleh bakteri Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih
baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu
memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangiplatelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggucro match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran
1 (Promit) terlebih dahulu.
• Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ± 1.000.000,
rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30
mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan
dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam
waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau
jarang).Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
• Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin,
biasanya berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi.

************** 18
Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked
dari kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika
dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l.
Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume
yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi normovolemik. Efek
ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis
maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas,
lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk mentahnya
bersumer dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran
infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada
akumulasi jaringan
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3
macam gelatin, yaitu:
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin ,merupakan plasma expanders dan banyak
digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golonganurea linked gelatin

G. Transfusi 2,3,14,15

Transfusi darah merupakan salah satu bagian dari pemeliharaan


kesehatan modern. Menurut world healt organization (WHO) 2008, meskipun
dapat menyebabkan komplikasi yang akut atau tertunda dan berisiko
terjadinya penyebaran penyakit seperti HIV, virus hepatitis, dan sifilis, jika
digunakan secara tepat, transfusi dapat memperbaiki kesehatan dan bahkan
menyelamatkan hidup.
Pemilihan jenis transfusi darah atau produk darah yang tidak tepat,
apalagi dengan pengolahan dan penyarinagn produk yang tidak baik, akan
meningkatkan resiko terjadinya efek samping transfusi, misalnya penularan
virus, bakteri, dan parasit serta reaksi antigen-antibodi karena ketidakcocokan
darah donor dengan penerima. Selain itu umur darah dan produk darah yang

************** 19
masuk ke tubuh penerima dapat lebih pendek sehingga menurunkan
manfaatnya. Karena transfusi dapat menimbulkan efek yang merugikan,
transfusi hanya diberikan jika terdapat indikasi yang tepat. Pada batas-batas
tertentu, dapat digunakan cairan pengganti seperti kristaloid dan koloid.
Transfusi dapat lebih bermanfaat apabila digunakan secara selektif dan pada
keadaan yang memerlukan penurunan angka morbiditas dan mortalitas.
Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume, kecepatan,
dan lama perdarahan. Keadaan pasien sebelum perdarahan akan berpengaruh
pada respon yang diberikan. Pada orang dewasa sehat, perdarahan 10%
jumlah volume darah tidak menyebabkan perubahan tanda-tanda fisiknya.
Frekuensi nadi, tekanan darah, sirkulasi perifer dan tekanan vena sentral tidak
berubah. Reseptor dalam jantung akan mendeteksi penurunan volume ini dan
menyebabkan pusat vasomotor menstimulasi sistem saraf simpatik yang
selanjutnya menyebabkan vasokonstriksi.
Tranfusi darah sering menyelamatkan kehidupan, misalnya dalam kasus-
kasus yang gawat, perawatan neonatus premature yang intensif modern, anak
dengan kanker, penerima cangkok organ merupakan kasus yang tidak
mungkin tanpa tranfusi. Tranfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada
pasien (anak, bayi dan dewasa) yang diberikan atas indikasi. Kesesuaian
golongan darah antara resipien dan donor merupakan salah satu hal mutlak.
Penurunan tekanan darah pada ujung arteri kapiler menyebabkan
perpindahan cairan ke dalam ruang interstitial berkurang. Penurunan perfusi
ginjal menyebabkan retensi air dan ion Na+. Hal ini menyebabkan volume
darah kembali normal dalam 12 jam. Kadar protein plasma cepat menjadi
normal dalam waktu 2 minggu, kemudan akan terjadi hemopoesis ekstra yang
menghasilkan eritrosit. Proses kompensasi ini sangat efektif sampai
perdarahan sebanyak 30%.
Pada perdarahan yang terjadi di bawah 50% atau hematokrit masih di
atas 20%, darah yang hilang masih dapat diganti dengan cairan koloid atau
kombinasi koloid dengan kristaloid yang komposisinya sama dengan darah
yaitu Ringer Laktat. Namun bila kehilangan darah > 50%, biasanya
diperlukan transfusi.

************** 20
H. Tujuan dari transfusi darah adalah untuk:
1. Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor.
2. Memelihara keadaan biologis darah atau komponen – komponennya
agar tetap bermanfaat.
3. Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada
peredaran darah (stabilitas peredaran darah).
4. Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah.
5. Meningkatkan oksigenasi jaringan.
6. Memperbaiki fungsi Hemostatis.
7. Tindakan terapi kasus tertentu

I. Jenis Transfusi darah


1. Darah lengkap ( whole blood)
Whole blood atau darah lengkap pada transfusi adalah darah yang
diambil dari donor menggunakan container atau kantong darah
dengan antikoagulan yang steril dan bebas pyrogen. Whole blood
merupakan sumber komponen darah yang utama.whole blood
diambil dari pendonor ±450-500 ml darah yang tidak mengalami
pengolahan. Komposisi whole blood adalah eritrosit,plasma,lekosit
dan trombosit.
2. Sel darah merah ( packed red cell)
Pocked red cell (PRC) adalah suatu konsentrat eritrosit yang berasal
dari sentrifugasi whole blood, disimpan selama 42 hari dalam larutan
tambahan sebanyak 100 ml yang berisi salin,adeniin, glukosa ,
dengan atau tanpa manitol untuk mengurangi hemolisis eritrosit.
3. Trombosit dibuat dari konsentrat whole blood ( buffy coat) , dan
diberikan pada pasien dengan perdrahan karena trombositopenia.
Produk trombosit harus disimpan dalam kondisi spesifik untuk
mejamin penyembuhan dan fungsi optimal setelah transfusi. Umur
dan fungsi trombosit optimal pada penyimpanan di suhu ruangan 20-
240c.

************** 21
4. Plasma beku ( fresh frozen plasma)
5. Fresh frozen plasma (FFP) adalah plasma segar yang diberkukan
dalam waktu 8 jam dan disimpan pada suhu minimal -200c dapat
bertahan 1 tahun, yang berisi semua faktor koagulasi kecuali
trombosit, FFP diberikan untuk mengatasi kekurangan faktor
koagulasi yang masih belum jelas dan defisiensi anti –thrombin
III.FFP berisi plasma , semua faktor pembekuan stabil dan labil,
komplemen dari protein plasma. Volume sekitar 200-500 ml. Setiap
unit FFP biasanya dapat menaikkan masing-masing kadar faktor
pembekuan sebesar 2-3% pada orang dewasa, dosis inisial adalah
10-15 ml/kg.

A. Whole Blood Pada Transfusi Darah


a. Pengertian
Darah yang diambil langsung dari donor yang disebut whole blood
bercampur dengan antikoagulan yang sudah tersedia dalam kantong darah.
Darah lengkap mempunyai komponen uatama yaitu eritrosit, trombosit dan
faktor pembekuan labil (V,VIII). Satu unit kantong darah lengkap berisi 450
ml darah dan 63 ml antikoagulan. Di Indonesia, 1 kantong darah lengkap
berisi 250 ml darah dengan 37 ml antikoagulan, ada juga yang 1 unit
kantong berisi 350 ml darah dengan antikoagulan. Suhu simpan antara 2-4
O
c. Atu unit darah (250-450 ml) dengan antikoagulan sebanyak 15 ml/100
ml darah.
Masa penyimpanan whole blood ada dua, yaitu darah segar (fresh
blood), darah yang disimpan kurang dari 6 jam, masih lengkap mengandung
trombosit dan faktor pembekuan labil, serta darah yang disimpan (stored
blood). Yaitu darah yang sudah disimpan lebih dari 6 jam. Darah dapat
disimpan maksimal sampai dengan 35 hari. Darah simpan tersebut
mengandung trombosit dan sebagian faktor pembeku sudah menurun
jumlahnya.

************** 22
b. Tujuan transfusi whole blood
Whole blood berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan plasma
secara bersamaan. Dilakukannya transfusi whole blood harus melalui uji
cocok serasi mayor dan minor antara darah donor dan pasien. Peningkatan
hemoglobin post transfusi 450 ml darah lengkap adalah sebesar 0,9-1,2 g/dl
dan peningkatan hematokrit 3-4 %.

c. Indikasi
Wb harus dicadangkan untuk perdarahan medis atau bedah yang
parah, misalnya selama perdarahan saluran makanan yang cepat atau pada
trauma mayor saat diperlukan pemulihan daya angkut oksigen. , volume,
dan faktor pembekuan. Bahkan pada syok hemoragik, kombinasi sel darah
merah dan larutan kristaloid atau koloid biasanya efektif, pada keadaan
darurat, pergantian volum secara cepat biasanya mendahului penggantian sel
darah merah dan cairan resusitasi bebas sel harus digunakan apabila jenis
darah resipien sedang ditentukan, bila deficit sel darah merah kritis,
diindikasikan pemberian sel darah merah tipe O atau untuk spesifik tipe
yang tidak dicocokkan terlebih dahulu. Darah lengkap berguna untuk
meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume plasma dalam waktu
yang bersamaan, misalnya pada pendarahan aktif dengan kehilangan darah
lebih dari
25-30 % volume darah total .

d. Kontra Indikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia
kronik yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah
merah.

e. Dosis dan Cara Pemberian


Satu unit darah lengkap 250 ml pada orang dewasa meningkatkan Hb
sekitar 0.5-0.6 g/dl. Darah lengkap 8 ml/kg pada anak-anak akan
meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl. Pemberian darah lengkap sebaiknya melalui

************** 23
filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis pasien,
namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4 jam.

B. Packed Red Cell (PRC) Pada Transfusi Darah

a. Pengertian
PRC merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah
dipekatkan dengan memisahkan komponen-komponen lain sehingga
mencapai hematokrit 65-70%, yang berarti menghilangnya 125-150 ml
plasma dari satu unitnya. PRC merupakan pilihan utama untuk anemia kronik
karena volumenya yang lebih kecil dibandingkan dengan whole blood. Setiap
unit PRC mempunyai volume kira-kira 128-240 ml, tergantung volume kadar
hemoglobin donor dan proses separasi komponen awal. Volume darah
diperkirakan mengandung plasma 50 ml atau antara 20-150 ml .

PRC dibuat khusus di dalam kantong plastik pada saat segera setelah
donasi darah diputar secara khusus sehingga terpisah dari komponen-
komponen lain, jauh lebih baik dan lebih tahan lama disimpan. Packed cells
dibuat dengan cara pengendapan darah didalam botol lalu bagian plasmanya
disedot keluar tidak menghasilkan komponen yang ideal karena sudah
terbuka resiko kontaminasi pada waktu penghisapan. Waktu penyimpanannya
hanya sampai 24 jam didalam alat pendingin darah.

a. Tujuan Transfusi PRC


Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan hemoglobin klien tanpa
menaikkan volume darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC
dibandingkan dengan WB adalah kenaikan Hb dapat diatur sesuai dengan
yang diinginkan, mengurangi kemungkinan penularan penyakit dan reaksi
imunologis, volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga
kemungkinan overload berkurang serta komponen darah lainnya dapat
diberikan kepada klien yang lain.

************** 24
b. Indikasi
PRC digunakan pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan
volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik
kronik, leukemia akut, leukimia kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal
ginjal kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda “oxygen
need” (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing dan gelisah). PRC
diberikan sampai tanda oxygen need hilang, biasanya pada hemoglobin 8-10
gr/dl.

Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb < 7 g/dl,


terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik
atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima.Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada
kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang
bermakna secara klinis dan laboratorium.
Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit
jantung iskemik berat).

c. Dosis
Sel darah merah ada tiga jenis yaitu sel darah merah pekat (packed red
cell=PRC ), suspensi sel darah merah, dan sel darah merah yang dicuci.
Indikasi mutlak pemberian PRC adalah bila Hb penderita 5 g/dl. Jumlah PRC
yang diperlukan untuk menaikkan Hb dapat dihitung dengan menggunakan
rumus

sebagai berikut :

Jumlah PRC = Hb x 3 x BB

Hb = selisih Hb yang diinginkan dengan Hb sebelum transfusi

BB= berat badan

************** 25
C. Hemoglobin (Hb)

a. Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein yang ada dalam eritrosit yang
berfungsi membawa oksigen keseluruh jaringan tubuh, memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah, melalui fungsi ini maka oksigen
dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan. Hemoglobin merupakan senyawa
pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara
kimia dan jumlah Hb/100 ml darah digunakan sebagai indeks kapasitas
pembawa oksigen pada darah.

Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus hem yang


mengandung besi fero dan empat rantai globin Satu molekul hem
mengandung satu atom besi, satu protein globin yang hanya dapat mengikat
satu molekul hem. Hemoglobin berada di dalam eritrosit yang berfungsi
mengikat oksigen di paruparu dan melepaskan oksigen tersebut ke seluruh
tubuh (Brooker, 2005).

Hemoglobin berfungsi antara lain untuk mengikat dan membawa oksigen dari
paru paru ke seluruh jaringan tubuh, mengikat dan membawa CO2 dari
seluruh jaringan tubuh ke paru paru, memberi warna merah pada darah, dan
mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh (Arisman, 2004).

b. Kadar Hemoglobin (Hb)


Kadar hemoglobin adalah ukuran pigmen respiratorik dalam butiranbutiran
darah merah. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-kira 15
gram setiap 100 ml darah disebut “100 persen” Batas normal nilai
hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar hemoglobin
bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah menetapkan batas
kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin. Nilai normal
untuk kadar hemoglobin antara 13-18 g/dl untuk laki-laki dan 12-16 g/dl
untuk wanita atau 8.1-11.2 milimol/L untuk laki-laki dan 7.4-9.9 milimol/L
untuk wanita .

************** 26
c. Struktur Hemoglobin (Hb)
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus
heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Mutasi pada gen protein
hemoglobin mengakibatkan suatu golongan penyakit menurun yang disebut
hemoglobinopati, diantaranya yang paling sering ditemui adalah anemia sel
sabit dan talasemia. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein
(globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang
dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains,
sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir
terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2
rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Hemoglobin pada
manusia dewasa berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein), terdiri dari
masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara non kovalen.
Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap
subunit memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat
molekul total tetramernya menjadi sekitar 64,000 Dalton.

Pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan


porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan situs/loka
ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit
hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan
hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Molekul heme inilah
zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui
darah.

Kapasitas hemoglobin untuk mengikat oksigen bergantung pada


keberadaan gugus prastitik yang disebut heme. Gugus heme yang
menyebabkan darah berwarna merah, terdiri dari komponen anorganik dan
pusat atom besi. Komponen organik yang disebut protoporfirin terbentuk dari
empat cincin pirol yang dihubungkan oleh jembatan meterna membentuk
cincin tetra pirol. Empat gugus mitral dan gugus vinil dan dua sisi rantai
propionol terpasang pada cincin ini .

************** 27
Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel
darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini, maka
keluwesan sel darah merah dalam melewati kapiler jadi kurang maksimal.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi bisa
mengakibatkan anemia. Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan
anemia, dan apabila nilainya kelebihan akan mengakibatkan polinemis

d. Fungsi Hemoglobin (Hb)


Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh
jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke
paruparu untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir
oksigen dalam menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel
otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin.

Adapun guna hemoglobin antara lain :

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam


jaringanjaringan tubuh.
2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh
jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah
seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan
pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal
berarti kekurangan darah yang disebut anemia.

e. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin


Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah :

1. Kecukupan Besi dalam tubuh

Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi


besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan
kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien
essensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen

************** 28
dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk diekskresikan ke dalam udara
pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim pernafasan
seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase.

Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan
mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%)
terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai feritin di dalam hati,
hemosiderin didalam limfa dan sumsum tulang .

2. Metabolisme Besi dalam tubuh

Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah lebih
dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merah atau
hemoglobin (lebih dari 2,5 g), mioglobin (150 mg), phorphyrin cytochrome,
hati, limfa dan sumsum tulang (> 200-1500 mg).

Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai
untuk keperluan metabolik dan bagian yang merupakan cadangan.
Hemoglobin, mioglobin, sitokrom, serta enzim hem dan non hem adalah
bentuk besi fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan,
sedangkan besi cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis
dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat badan. Feritin dan hemosiderin adalah
bentuk besi cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum
tulang. Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi,
pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran .

3. Pemeriksaan Hemoglobin Setelah Transfusi Darah


Mekanisme penderita anemia dalam keadaan hemoglobin yang rendah,
untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen maka akan terjadi
peningkatan denyut jantung. Peningkatan dan pelepasan O2 oleh hemoglobin
sangat tergantung dari konsentrasi 2–3 difosfogliserida (2-3DPG). Afinitas
oksigen pada hemoglobin akan berkurang.

Selama penyimpanan sel darah merah terdapat penurunan kadar 2,3-


difosfogliserat (2,3 DPG), setelah transfusi kadar 2,3 DPG kembali normal

************** 29
dalam 24 jam. Fakor pembatas dalam menentukan simpanan sel darah merah
bank darah adalah kemampuan sel darah merah beredar normal menjadi sferis
karena perubahan dalam metabolisme energi. Hal ini disertai peningkatan
kekakuan sel darah merah dan setelah beberapa lama kerusakan sel menjadi
tidak reversibel, jika sel darah merah ditransfusi pada saat penyimpanan
maksimum sampai 20-30 %, sel darah merah dapat rusak dalam 24 jam,
sisanya memperlihatkan umur hampir normal, sehingga dibutuhkan waktu
untuk pemeriksaan hemoglobin pasca transfusi darah pasien diambil pada 6
jam dan/atau 24 jam setelah transfusi .

4. Spesimen
Spesimen atau bahan pemeriksaan kadar hemoglobin adalah darah
lengkap (whole blood) yang diperoleh dari darah vena maupun darah kapiler.
Darah lengkap yaitu darah yang sama bentuk atau kondisinya seperti ketika
beredar dalam aliran darah.

5. Antikoagulan EDTA
Antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate) merupakan
antikoagulan yang baik dan sering digunakan untuk berbagai macam
pemeriksaan hematologi. Digunakan dalam bentuk garam Na2EDTA atau
K2EDTA. K2EDTA lebih banyak digunakan karena daya larut dalam air
kira-kira 15 kali lebih besar dari Na2EDTA. EDTA dalam bentuk kering
dengan pemakaian 1-1,5 mg EDTA / ml sedang dalam bentuk larutan EDTA
10 % pemakaiannya 0,1 ml / ml darah. Garam-garam EDTA mengubah ion
kalsium dari darah menjadi bentuk yang bukan ion. Tiap 1 miligram EDTA
menghindarkan membekunya 1 mililiter darah.

J. Sifat-Sifat Plasma Substitute yang Ideal


Perbandingan Plasma Substitusi:
Sifat-sifat plasma substitute yang ideal adalah:
• pH, tekanan onkotik dan viskositas sebanding dengan plasma darah
• Efek volume yang cukup untuk periode waktu tertentu tanpa resiko
overload pada sistem cardiovaskuler atau terjadinya edema
• Meningkatkan mikrosirkulasi dan memperbaiki diuresis

************** 30
• Tidak mengganggu homeostasis
• Tidak mengganggu blood grouping dan cross matching
• Akumulasi minimal pada sistem retikuloendotelial
• Lama penyimpanan produk panjang
• Ekonomis

Kriteria Whole blood Larutan Albumin Dekstran HES 6% Haemaccel


elektrolit 20% 40+10
pH 7,3 – 7,4 5,5 – 6,5 6,47 – 7,2 4,5 – 5,7 5,0 – 7,0 7,0 – 7,6
BM rata-rata - - 66.000 40.000 200.000/ 35.000
450.000
Tekanan Fisiologis Non- Iso- Hiper- Hiper- Iso-osmotik
osmotic osmotik osmotik osmotik osmotik
Keseimbangan Terpelihara Resiko Perbaikan Dehidrasi Dehidrasi Perbaikan
cairan edema
intravaskuler-
interstitial
Waktu paruh Beberapa hari- Beberapa Beberapa 6-8 jam 12 jam 4-6 jam
efektif minggu menit hari
Gangguan Biasanya tidak Tidak Tidak Pseudoaglu Tidak Tidak
pada blood tinasi
typing
Gangguan Ada Hanya Hanya Menurunkan Menurunkan Hanya
pada kemungkinan pengence- pengence- fungsi fungsi pengenceran
homeostasis (aktivasi faktor) ran ran trombosit trombosit
dan dan
koagulopati koagulopati
Fungsi ginjal ? Membaik Membaik Mungkin Tidak Membaik
terganggu ditemukan
data literatur

************** 31
Overload Mungkin Tidak Tidak Mungkin Mungkin Tidak
cardiovaskuler mungkin mungkin

Efek samping Anafilaksis/ Edema Reaksi Anafilaksis Anafilaksis Reaksi kulit


yang mungkin inkompatibilitas pulmonal kutis, yang perlu atau reaksi lokal,
demam, premedikasi anafilaksis hipotensi
hipotensi sementara
sementara
Transmisi Resiko infeksi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
penyakit virus seperti
HIV, HBV,
HCV
Waktu 21 hari 3 tahun 3-5 tahun 5 tahun 3 tahun 5 tahun
penyimpanan
Suhu 4-60C Suhu 2-250C 0
C Suhu Suhu
penyimpanan ruangan ruangan ruangan
Akumulasi Tidak Tidak Tidak Beberapa Beberapa Tidak
pada RES minggu bulan

K. Golongan Darah. 17

Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu


antigenic berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat
dikenal; tanda dari masing-masing adalah di bawah control genetic dari
chromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada
transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody (
alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari

************** 32
transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas
sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.

a. Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan
B. Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan
modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan
antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir
semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan
antibody [ sebagian besar immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens (
Tabel 29-7) di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah
precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu chromosom
tempat berbeda. Tidak adanya antigen H( hh genotype, juga
disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B; individu
dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-B, dan
anti-H antibodi.

b. Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome. Ada
sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigens, tetapi secara klinis, ada lima
antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibody
.Biasanya, ada atau tidak allele yang paling immunogenic dan umum, D
antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit
putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan allele ini disebut
Rh-Negative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D hanya setelah
terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau kehamilan (
seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).

c. Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy,
Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan,

************** 33
dengan beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi
melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic serius.

L. Tes Kompatibilitas
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi
antigen-
antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima
donor darah harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.

" Tes ABO-Rh


Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO; antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi
melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan
mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah merah pasien diuji dengan
serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk
menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO
alami, konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien
melawan sel darah merah dengan antigen yang dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk
menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d
dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh
(+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama
pada antigen Rh adalah 50-70%.

************** 34
" Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh (
kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain ,
dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi
aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.

" Screening Antibodi


Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi
yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini (
dikenal juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan
mencampur serum pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal;
jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan
penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel
daraah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan
untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch.

" Type & Crossmatch versus Type & Screen


Timbulnya suatu reaksi hemolytic yang serius setelah transfusi dari
ABO- dan Rh-Compatible Transfusi dengan screening negatif tetapi tanpa
crossmatch kurang dari 1%. Crossmatching, bagaimanapun, meyakinkan
pentingnya kemanan yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang lain
yang muncul dalam screening. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk
prosedur operasi elektif dg kemungkinan transfusi darah. Oleh karena
waktunya sekitar 45 menit jika sebelumnya prosedur dua type dan screen
telah didokumentasikan, pada beberapa Center telah memulai crossmatch
secara komputer.

************** 35
M. KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
1. Berdasarkan Cakupannya
a. Komplikasi Local
Pada proses transfuse darah dapat terjadi suatu komplikasi, pada
komplikasi transfuse darah local dapat terjadi suatu reaksi atau komplikasi
yang meliputi :
- Kegagalan memperoleh akses vena
- Fiksasi vena tidak baik
- Masalah ditempat tusukan
- Vena pecah saat ditusuk, dll

b. Komplikasi Umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah
tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi,
walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk
mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis
reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang
tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum
yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang
infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga
dan bank darah.
2. Berdasarkan Cepat Lambanya
a. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24
jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu
ringan, sedang berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan
ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini
disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan
adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri
kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di
kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi ringan diatasi dengan
pemberian antipiretik, antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian

************** 36
transfusi dengan tetesan diperlambat. Reaksi sedang-berat biasanya
disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi
non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi
pirogen dan/atau bakteri. Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan
gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas
pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda
kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik),
takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas.
Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri,
syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena
ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan
sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien
atau unit darah yang akan diberikan.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam
dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas,
urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih
berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID),
dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian. Untuk mengatasi
hal tersebut perlu dilakukan tindakan meningkatkan perfusi ginjal,
mempertahankan volume intravaskuler, mencegah timbulnya DIC.

b. Reaksi Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh
adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi
dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya
selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang
terjadi biasanya ekstravaskuler.
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat,
ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang
perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler,
tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan,

************** 37
biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal,
penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.

3. Berdasarkan Factor Penyebabnya


b. Komplikasi Imunologis
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan
sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.
1) Reaksi hemolitik
Reaksi hemolitik adalah reaksi akibat bercampurnya darah yang
mempunyai aglutinin plasma anti A dan anti B dengan darah yang
mengandung aglutinogen A atau B dan darah yang mempunyai Rh berbeda
sehingga menyebabkan sel menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti
penyimpangan fisik sel dan serangan sel fagosit sehingga akan
menghancurkan sel-sel darah merah yang teraglutinasi 4 Akibat
penghancuran sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam
plasma dan bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi hemoglobinuria.
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari
sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit
biasanya, hemolysis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi
antibody sel darah merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP,
clotting faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-
A atau anti-B ( atau kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah
besar dapat menyebabkan hemolisis intravascular.
Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian transfusi darah
yang lisis akibat diberikan bersama larutan hipotonis misalnya dextrose 5%,
transfusi darah yang, sudah lisis akibat pemanasan mendadak dengan air
panas melebihi temperatur tubuh atau tetesan terlalu cepat serta dipompa dan
atau terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah bengkak dan hancur
akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C, dan transfusi darah pada penderita
paroksismal nokturnal hematuria (PNH) yang mengandung komponen aktif
dalam plasma donor yang dapat menyebabkan hemolisis.

************** 38
Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian transfusi, atasi
syok dengan posisi, oksigenasi, vasopresor, dan infus bila ada tanda-tanda
hipovolemia. Memaksa timbulnya diuresis dengan infus manitol 20 % dan
furosemid serta pemberian steroid. Lapor ke bank darah untuk pengulangan
pemeriksaan ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross match dari sisa
darah.
Reaksi hemolitik ini terdiri dari reaksi hemolitik akut dan reaksi
hemolitik lambat.

a) Reaksi Hemolitik Akut (Intravaskuler)


Reaksi hemolitik akut terjadi segera pada waktu transfusi baru
berlangsung. Lima puluh mililiter darah dari golongan yang tidak cocok
sudah dapat menimbulkan reaksi.Gejala berupa rasa panas sepanjang vena
dimana infus dipasang, nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka merah,
pireksia, mual, muntah, dan ikterus.
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien,
spesimen darah, atau unit transfuse, pemberian darah rhesus positif pada
penderita rhesus negatif yang mengandung anti D akibat transfusi
sebelumnya. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic
fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala
meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang
dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu
meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan , hipotensi, hemoglobinuria, dan
oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular
Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan
cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah
yang inkompatibel yang sudah diberikan.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya
terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah
dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label
pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi.
Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien

************** 39
melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari
darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml darah yang
ABO inkompatibel. Pada orang sadar, gejala yang dialami berupa menggigil,
demam, mual, serta nyeri dada dan panggul. Pada orang dalam keadaan
terbius, gejala berupa peningkatan suhu tubuh, takikardia yang tidak
diketahui penyebabnya, hipotensi, hemoglobinuria, dan perdarahan difus pada
daerah lapangan operasi. Koagulasi intravaskular disseminata, syok, dan
gagal ginjal terjadi dengan cepat. Berat ringannya gejala tersebut tergantung
dari seberapa banyak darah inkompatibilitas ABO yang ditransfusikan.
Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai berikut:
• Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan
segera.
• Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
• Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
• Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam
pembuluh darah.
• Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP.
• Ambil darah pasien untuk diperiksa kadar Hb, trombosit, uji kompatibilitas,
dan tes koagulasi.

b) Reaksi Hemolitik Lambat (Ekstravaskuler)


Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan
gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi
hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal
ginjal dan DIC jarang terjadi.
Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang sering mendapat
transfusi. Reaksi timbul beberapa jam atau beberapa hari sesudah transfusi
dan biasanya pada labu ke 2 atau lebih. Biasanya terjadi pada golongan darah
O dengan titer anti A dan anti B yang tinggi kepada golongan lain. Gejalanya
sama dengan reaksi hemolitik akut.

************** 40
Reaksi hemolitik lambat disebut sebagai hemolisis ekstravaskular.
Reaksi hemolitik yang terjadi pada tipe ini umumnya ringan. Penyebabnya
adalah antibodi terhadap antigen non-D dari sistem RH atau terhadap alel
asing dari sistem lain seperti Kell, Duffy, atau antigen Kidd.
Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi,
dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam.
Hematocrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil
pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin
difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya
antibody di membrane sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara
membrane antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane
antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu
pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen :
pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi
transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi.
Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan
pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah. Pencegahan dilakukan
dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma
pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.

b. Reaksi Imunologis Non Hemolitik


1) Demam
Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya
ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien
bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen
dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang
kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam
hipotalamus. Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan

************** 41
IL6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan
sendirinya
Sensitisasi terhadap sel darah putih atau trombosit umumnya
bermanifestasi sebagai demam. Insiden terjadi 1-3% dari episode transfusi.
Ciri-ciri adalah peningkatan suhu tubuh tanpa disertai bukti adanya hemolisis.
Pasien dengan riwayat demam berulang paska transfusi perlu mendapat
transfusi sel darah merah murni (tanpa ada sel darah putih). Komponen darah
tersebut bisa didapat dengan cara melakukan sentrifugasi, filtrasi, atau teknik
freeze-thaw.
2) Reaksi alergi (Urtikaria)
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering
muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu
sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat
adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi
IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan
pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan
rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat
menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi
tersebut.
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit
gatal bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam.
Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan
sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat
diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan
steroids.
Ditandai dengan eritema, bintik merah, dan gatal tanpa demam.
Diduga terjadi karena sensitisasi terhadap protein plasma. Reaksi urtikaria
dapat ditangani dengan antihistamin dan steroid

************** 42
3) Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul
pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti
IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa
menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia
lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos
terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda
reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing),
urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan.
Penanganan dini adalah epinefrin, cairan, kortikosteroid, dan
antihistamin. Pasien defisiensi IgA sebaiknya mendapat transfusi washed
packed red cell, sel darah merah beku deglycerolized, atau darah tanpa IgA.

4). Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung


injury= TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung
antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya
timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks
kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan
pernapasan di ruang rawat intensif.

1. Purpura pasca transfuse


Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi
potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal
ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik
trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda
yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10
hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit
<100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit
≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit
20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang
kompatibel dengan antibodi pasien. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan

************** 43
2. Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan.
Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan
transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi
transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human
leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan
tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis,
pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi
spesifik, terapi hanya bersifat suportif.
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised.
Produk sel darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun.
Penggunaan filter leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah
penyakit graft-versus-host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah,
granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit
tanpa mengubahefikasi dari transfusi.
3. Edema Pulmonary Noncardiogenic
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury)
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini berkaitan
dengan transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang saling
berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi
pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin.
Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress
syndrome ( ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy
suportif.
4. Imun Supresi
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai
immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di
mana transfusi darah preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari
graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan
malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah
selamapembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi
leukocyte allogenic dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada

************** 44
akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi yang serius
setelah pembedahan atau trauma.

a. komplikasi non imumologis


1) Transfusi darah masif
Transfusi darah masif adalah pemberian darah yang dengan volume
melebihi volume darah pasien dalam waktu 24 jam. Penggantian sejumlah
darah yang hilang atau lebih banyak dari total volume darah pasien dalam
waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan
mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan
oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal,
kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali
penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan
komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi
masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.
Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan
tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena
terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan
darah simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa
komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan
hemostatik, acute lung injury

a) Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah
dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak
biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika
tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa
Viscoelastic dari pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot
Analisa) juga bermanfaat.
" Trombositopenia
Terjadi setelah transfusi darah simpan lama lebih dari 80 ml/kgBB.
Diatasidengan pemberian trombosit bila jumlah trombosit

************** 45
<50.000/mm3 atau memberi unit darah utuh segar setiap transfusi 4
unit darah simpan.

" Turunnya faktor koagulasi labil (faktor V dan faktor VIII. Dapat
diatasi dengan pemberian 1 unit FFP setiap transfusi 5 unit
WB/PRC.

b) Keracunan Sitrat
Tubuh memiliki kemampuan yang besar untuk metabolisme sitrat,
kecuali pada keadaan shock, penyakit hati, dan lanjut usia. Pada kasus ini
dapat diberikan Calcium Glukonas 10% 1 gram IV pelan-pelan setiap telah
masuk 4 unit darah.
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat
menjadi penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis
hypocalcemia penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi
pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit.
Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau
disfungsi hepar ( dan kemungkinan pada pasien hipothermi) memerlukan
infuse calcium selama transfusi massif ).

c) Hiperkalemia
Kalium dalam darah simpan 21 hari dapat naik setinggi 32 mEq/L,
sedangkan batas dosis infus kalium adalah 20 mEq/jam. Hiperkalemia
menyebabkan aritmia sampai fibrilasi ventrikel/cardiac arrest. Untuk
mencegah hal ini diberikan Calsium Glukonas 5 mg/kgBB I.V pelan-pelan.
Maksud pemberian kalsium disini karena kalsium merupakan antagonis
terhadap hiperkalemia.
Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan
meningkat dengan waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada
unit masing-msaing kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat
berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100

************** 46
mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali
dihubungkan dengan alkalosis metabolisme.

d) Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk
semua produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal.
Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur
sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan
alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah
sungguh mengurangi timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan
transfusi.
Keseimbangan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan
dengan antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah
merahs (carbondioxida dan asam laktat), berkenaan dengan
metabolisme acidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah
umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah massif
adalah alkalosis metabolic postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki,
asidosis metabolic berakhir dan alkalosis metabolic progresif terjadi, sitrat
dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi
bikarbonat oleh hepar

a) DIC ( disseminated intravaskular coagulation)


DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih
disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma,
komplikasi obstetrik). Disseminated intravaskular coagulation (DIC)
ditandai dengan proses aktivasi dari sistem koagulasi yang menyeluruh
yang menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh darah
sehingga terjadi oklusi trombotik di dalam
pembuluh darah berukuran sedang dan kecil.Proses tersebut menjadika
n aliran darah terganggu sehingga terjadi kerusakan pada banyak

************** 47
organ tubuh. Pada saat yang bersamaan,
terjadi pemakaian trombosit dan protein dari
DIC ( disseminated intravaskular coagulation) merupakan keadaan
yang termasuk dalam kategori kedaruratan medic.
Tindakan dan penanganan yang diberikan tergantung dari
patofisiologi penyakit yang mendasarinya. Namun yang utama dalam
memberikan penanganan tersebut adalah
mengetahui proses patologi, yakni terjadinya proses trombosis
mikrovaskular dan kemungkinan terjadi perdarahan (diatesa hemoragik)
secara bersamaan. Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita DIC
yang disertai dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis, hematuria,
melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran
hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara
tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah
gangguan aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan
berakibat pada kegagalan fungsi
organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia
fokal, gangren pada kulit.
Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan
terjadinya DIC yaitu Sepsis, Trauma, Cidera jaringan berat, Cidera kepala,
Emboli lemak, Kanker ( Myeloproliferative disorder, Tumor padat),
komplikasi Obstetrik (Emboli cairan amnion, Abruptio Placenta), Kelainan
pembuluh darah (Giant hemangioma, Aneurysma Aorta), Reaksi terhadap
toksin, Kelainan Imunologik.
Pada pasien dengan DIC, terjadi
pembentukan fibrin oleh trombin yang diaktivasi oleh
faktor jaringan. Faktor jaringan,berupa sel mononuklir dan sel endotel
yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks
antara faktor jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut akan
mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII.
Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V akan mengubah

************** 48
protrombin menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi
konsumsi faktor antikoagulan sepertiantitrombin III, protein C dan j
alur penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor
tersebut. Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan
penghancuran fibrin yang adekuat, karena
sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-
aktivasi plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma
menghambat pembentukan plasmin dariplasminogen. Kombinasi antara
meningkatnya pembentukan fibrin dan tidak adekuatnya
penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular
yang menyeluruh.

Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas dasar temuan
sebagai berikut:
" Adanya penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
" Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm³.
Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000 = 1 <50000 = 2
" Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).
PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
" Adanya hasil degradasi fibrin di dalam
plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer)
D-dimer: < 500 = 0 500-1000 = 1>10000=2.
" Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
Penatalakasanaan DIC yang utama
adalah mengobati penyakit yang mendasari
terjadinya DIC.
" Antikogulan
" Plasma dan trombosit
" Penghambat pembekuan (AT III)
" Obat-obat antifibrinolitik

************** 49
2. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini
dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu
cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada
pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.

3. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu
panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis).
Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada
mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat
besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi
dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.
• Komplikasi Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung
pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan
skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit
darah. Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko
transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B
dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV), malaria, sifilis, bruselosis,
tripanosomiasis. Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit
terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi
dimana darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).
a) Hepatitis virus
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi
timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang
kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya
hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus
ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50% berkembang;menjadi penyakit hati
kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20%
berkembang menjadi cirrhosis.

************** 50
Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar
pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah
menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti
infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi
disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian
besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang
baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih
tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan
hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000.

b). AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome)


Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfuse
darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan
donor yang baik dan ketat. Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini,
HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah. Semua darah dites untuk
mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA yang
menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan
menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.

c). Infeksi CMV


Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir
premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di
leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif
mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel
darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV.
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya
menyebabkan penyakit sistemik ringan atau asimptomatik.Yang kurang
menguntungkan, pada beberapa individu menjadi pembawa
infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan
virus. Pasien immunosupresi dan Immunocompromise ( misalnya, bayi
prematur dan penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat
setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien menerima hanya CMV negative.

************** 51
Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari
transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang
CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang
dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel
virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan
lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi
darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah
dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan
krisis transient aplastic pada pasient immunocompromised. Penggunaan filter
leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya
komplikasi di atas.
d) Infeksi parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti
malaria, toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut
jarang terjadi.

e). infeksi Bakteri


Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui
transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000
trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi
darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk pRBC.
Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau
hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive (
Staphylococus) dan bakteri gram-negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang
mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah
kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah
dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan
berbagai macam rickettsia.

************** 52
f). Penyakit infeksi lain yang jarang
Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui
transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa,
penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD (
Creutzfeldt Jakob Disease). Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi
saat pengumpulan darah yang akan ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini
dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan.
Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian
antibiotic yang adekuat.

A. UPAYA PENANGGULANGAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH


Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya reaksi selama transfusi,
dilakukan beberapa tindakan pencegahan. Setelah diperiksa ulang bahwa
darah yang akan diberikan memang ditujukan untuk resipien yang akan
menerima darah tersebut, petugas secara perlahan memberikan darah kepada
resipien, biasanya selama 2 jam atau lebih untuk setiap unit darah. Karena
sebagian besar reaksi ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, , maka
pada awal prosedur, resipien harus diawasi secara ketat. Setelah itu, petugas
dapat memeriksa setiap 30- 45 menit dan jika terjadi reaksi ketidakcocokan,
maka transfusi harus dihentikan.
Sebagian besar transfusi adalah aman dan berhasil; tetapi reaksi ringan
kadang bisa terjadi, sedangkan reaksi yang berat dan fatal jarang terjadi.
Reaksi yang paling sering terjadi adalah demam dan reaksi alergi
(hipersensitivitas), yang terjadi sekitar 1-2% pada setiap transfusi.

Tindakan yang dilakukan jika terjadi reaksi transfuse adalah sebagai


berikut:
1. Stop transfusi
2. Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid,atau Bila perlu
tambahan inotropik
3. Beri oksigen 100% Jika terjadi kondisi hipoksia
4. Manitol 50 mg atau furosemid 10-20 mg

************** 53
5. Antihistamin dan epinefrin
6. Steroid dosis tinggi
7. Jika perlu exchange transfusion
8. Tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
9. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan.

Penanganan khusus pada reaksi Transfusi :


1. Reaksi alergi
Hipersensitivitas terhadap protein plasma donor. Gambaran klinis ada!ah
urtikaria, dan pada kasus berat dapat terjadi dispnea. udema fasial dan kaku.
Pengobatan segera dengan memberikan anti histamin dan hidrokortison.
Pilihan terakhir adalah adrenalin. Bila yang dibutuhkan komponen sel darah
merah transfusi dapat dilanjutkan dengan WRC.
2. Reaksi febris
Terjadi karena set infus atau labu darah yang tidak bebas bahan pirogen
sehingga menimbulkan reaksi anti bodi terhadap leukosit dan trombosit.
Gejala febris dapat disertai menggigil, sakit kepala, nyeri seluruh tubuh, dan
gelisah. Transfusi dihentikan dan dapat diberi antipiretik. Bila yang
dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan dengan
WRC.
3. Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri dapat terjadi waktu pengambilan darah donor,
karena darah terlalu lama dalam suhu kamar atau tusukan kedalam labu
darah. Gejala berupa panas tinggi, nyeri kepala, menggigil, muntah, sakit
perut, diare sampai syok yang terjadi pada waktu transfusi atau beberapa saat
setelahnya. Tindakan-tindakan yang segera harus dilakukan adalah
menghentikan transfusi darah, atasi syok, kompres es, dan pemberian
antibiotika dosis tinggi.
4. Kelebihan beban sirkulasi.
Dapat terjadi udem paru dan gejala rasa penuh dalam kepala dan batuk
kering. Bila tidak ditangani segera dapat terjadi payah jantung. Reaksi ini
dapat dicegah dengan pemberian transfusi lambat komponen darah yang

************** 54
dibutuhkan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah menghentikan transfusi
darah, memberikan oksigen, tidur dengan posisi setengah duduk, pemberian
obat-abatan misalnya diuretik, digitalis dan aminofilin. Untuk pencegahan
timbulnya peningkatan beban sirkulasi dapat dilakukan penetesan yang
lambat yaitu 6-8 tetes permenit, dan atau penggunaan kcmponen darah.

Hal-hal yang perlu diperhatikan

1. Cairan intravena, hanya larutan garam fisiologik saja (NaCl 0,9%)


yang cocok untuk dipakai pada transfusi, digunakan sebelum transfusi dan
dapat pula dipakai untuk mengencerkan konsentrat eritrosit. Dextroce 5%
dapat menyebabkan agregasi sel darah merah / hemolisis. Sedangkan RL
dapat menyebabkan terjadinya bekuan saluran transfusi tidak boleh
untuk memasukkan obat.

2. Set infus dengan saringan / filter; komponen darah harus dilewatkan


saringan sebelum masuk tubuh penerima. Saringan ini berfungsi untuk
mencegah masuknya bekuan Fibrin dan benda-benda asing lainnya,
kebanyakan perangkat standar mempunyai saringan dengan pori sebesar 170
mikron dalam keadaan normal dapat dipakai untuk menyaring 2-4 unit
darah pada transplantasi sumsum tulang darah yang di berikan harus melalui
saringan khusus dengan pori sebesar 25 mikron – 40 mikron agar bebas dar
leukorit dan microagregat.

3. Suhu. Pemberian darah suhu dingin dalam jumlah banyak dan


kecepatan infus tinggi dapat menimbulkan aritmia ventrikular / bahwa
0
kematian darah harus di usahakan bersuhu 37 C sedang suhu di atas
400C dapat menyebabkan hemolisis.

4. Kecepatan infus pada kebanyakan perangakat transfusi 15tts = 1ml.


Pada kecepatan 60tts / menit 60/15 x 60 = 240ml darah dapat masuk dalam
1jam, sehingga lama transfusi dapat diperhitungkan, jika dilakukan terjadi payah
jantung, darah tidak boleh ditransfusikan terlampau lambat, karena darah dalam

************** 55
keadaan hangat merupakan medium biakan bakteri. Dalam keadaan tertentu
perlu diberikan diuretik sebelum transfusi.

************** 56
BAB III
KESIMPULAN

1. Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu


interiur dalam batas-batas fisiologis.
2. Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor
preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
3. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari.
4. Selama pembedahan dapat terjadi kehilangan cairan melalui perdarahan
dan kehilangan cairan lainnya, seperti translokasi internal dan evaporasi.
5. Terapi cairan perioperatif meliputi pemberian cairan prabedah, selama
bedah dan pasca bedah.
6. Cairan yang dapat digunakan yaitu kristaloid (tanpa tekanan onkotik),
koloid (memiliki tekanan onkotik) dan darah.
7. Setiap unit darah mengganti 1 gr% Hb, dan setiap transfusi 3 ml/KgBB
mengganti 3 gr% Hb.

************** 57
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwarsa Oki. Fluids and Electrolyte Therapy in Emergency Skin


Diseases). Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran /
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. 2018;162.

2. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian


J.Anaesh.2003;47(5):380-387.
3. Kaswiyan U. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi. Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000.
4. Holte K, Kehlet H. Compensatory fluid administration for
preoperative dehydrationdoesit improve outcome. Acta Anaesthesiol
Scand. 2002; 46: 1089-93
5. Keane PW, Murray PF. Intravenous fluids in minor surgery. Their
effect on recovery from anaesthesia. 1986; 41: 635-7.
6. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed.
Missouri:Elsevier-mosby; 2005.p3-227
7. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed.
Pennsylvania: W.B.saunders company; 1997: 375-393
8. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada
pembedahan. Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif,
FKUI. 2002
9. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd
ed. Pennsylvania: Springhouse; 2002:3-189.
10. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed.
New york:McGraw-Hill; 1999:53-70.
11. Silbernagl F, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Stuttgart:
Thieme; 2000: 122-3.
12. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University
- Center for Veterinary Health. 2006. (Diakses tanggal 29Oktober
2011). Tersedia dari: http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm
13. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Smf/bagian anestesi dan
terapi intensif FK Undip: Semarang; 2004: 1-60.
14. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical
anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Lippincot williams and wilkins;
2006: 74-97.

************** 58
15. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius;2000:1-
58.14
16. Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical
update. Japanese Society of Anesthesiologist. 2010.
17. Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc
Graw-Hill Companies, Inc. United State.
18. https://www.academia.edu/9045609/komplikasi_transfusi_darah

************** 59

Anda mungkin juga menyukai