Anda di halaman 1dari 15

Affandi Koesoma

Affandi Koesoma adalah maestro seni lukis Indonesia. Dia lahir pada tahun 1907 di Cirebon.
Ayahnya, R. Koesoma, bekerja sebagai mantri ukur pabrik gula. Peruntungan ini membuat
Affandi kecil berkesempatan mengecap berbagai tingkat bangku pendidikan (dalam sistem
kolonial Belanda) mulai dari HIS, MULO, dan AMS; sebuah peruntungan yang memang
tidak banyak bisa dirasakan teman sebayanya.
Dengan bakat lukis dan minat seni yang mengalahkan disiplin ilmu lain, Affandi, sebelum
menjadi pelukis besar, dia adalah tukang sobek karcis dan pembuat iklan. Menginjak usia 26
tahun, ia menikahi Maryati dan dikaruniai Kartika Affandi, matahari lain dalam wujud
seorang putri.
Affandi mulai melukis dengan bergabung dalam kelompok seniman Lima Bandung yang
menjadi tempat berkumpulnya pelukis kenamaan Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan
Wahdi, dan Affandi sendiri sebagai ketua. Selain itu, nama maestro lukis ini pernah menuai
'kontroversi' pada masa-masa Orde Baru terkait keterlibatannya dalam kepemimpinan Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Pada 1943, pameran tunggal pertama Affandi diadakan di Gedung Poetra Djakarta. Sejak itu,
Affandi berubah menjadi matahari. Lebih dari 2000 karya lukis dihasilkan begawan warna
Indonesia ini. Dan matahari lukisnya terus bersinar di benua Asia, Eropa, Amerika dan
Australia. Begawan yang gemar menyulut rokoknya dengan pipa unik ini juga dianugerahi
Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada 1974. Setahun sebelumnya,
pemerintah Indonesia memberikan penghargaan berupa sebuah museum yang didirikan tepat
di atas tanah yang pernah menjadi tempat tinggal sang Empu Lukis Indonesia dan diresmikan
Menteri P&K masa itu, Fuad Hassan.
Meski dunia internasional menyebut Affandi terpayungi dalam genre ekspresionisme, sang
Begawan Lukis ini menyatakan tidak mengenal aliran seperti itu dalam karyanya. Tentu saja,
'Affandi dan Matahari' bukan ekspresionis maupun yang lain; Affandi adalah Matahari itu
sendiri. Dan 'aliran matahari' belum dikenal di dunia lukis manapun di dunia ini. Dan sang
Begawan sendiripun juga mungkin tidak peduli dengan sebutan, setidak peduli asap
tembakau pipanya yang terus menyeruak, berbaur menjadi udara.
Dalam melukis Affandi melangkah dengan lebih mengutamakan kebebasan berekspresi.
Dilandasi jiwa kerakyatan, Affandi tertarik dengan tema kehidupan masyarakat kecil. Teknik
melukis bentuk bahkan yang cenderung memerintah objeknya seperti yang dilakukan
angkatan Moi India atau India Jelita, dirasakan Affandi tidak mewakili kondisi masyarakat
dengan kemelaratan akibat penjajahan.
Pada 23 Mei 1990 Affandi meninggal dunia. Meski telah tiada, karya-karyanya masih dapat
dinikmati di Museum Affandi. Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh
Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad
pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas
tanah yang menjadi tempat tinggalnya.

Penghargaan
 Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969
 Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, 1974
 Dag Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)
 Bintang Jasa Utama, tahun 1978
 Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune
 Gelar Grand Maestro di Florence, Italia

Lukisan Karya Affandi Koesoema

Pelukis: Affandi
Tahun karya: 1981
Judul : 'Kebun Cengkeh'
Media : Oil on Canvas

Sebuah karya seni kelas tinggi dari sang pelukis maestro Affandi, melukiskan sebuah
pemandangan alam perkebunan cengkeh, area perkebunan berbukit yang masih alami
nampak terlukis apa adanya dari alam, untuk menghidupkan suasana pada lukisan,
dihadirkanya figur manusia sebagai obyek pendukung namun adalah inti dari lukisan, yang
menunjukan adanya aktifitas kehidupan yang menyatu dengan alam. Ekspresi goresan khas
Affandi terlihat unik, yang menjadikan lukisan ini istimewa.
Seperti pada kebanyakan lukisan Affandi yang selalu menempatkan Matahari sebagai bagian
dari obyek utama, namun dalam lukisan ini, penempatan matahari nampak unik, seolah sang
pelukis mengambil perspektif posisi dibalik matahari, sehingga nampak dalam lukisan
matahari tidak di balik bukit, melainkan nampak diatas bukit dan menutupi bukit, keunikan
ini mungkin hanya dimiliki oleh Affandi, sebagai cara sudut pandang dia dalam ber ekspresi,
dimana kualitas imajinasinya sebagai seorang pelukis maestro ternama.
Pelukis: Affandi
Tahun karya: 1979
Judul : 'Ayam tarung'
Media : Oil on Canvas

Lukisan bertema ayam tarung merupakan salah satu tema kesukaan Affandi, sehingga beliau
membuat beberapa karya lukisan bertema Ayam tarung dalam versi yang berbeda, ada lebih
dari 10 versi lukisan ayam tarung karya Affandi, salah satunya adalah lukisan Ayam Tarung
berikut ini.
Melukiskan sebuah pertarungan ayam yang sengit, antara Ayam jago berwarna putih ke
emasan dan Ayam jago berwarna hitam ke emasan, yang merupakan simbol pertarungan
antara kejahatan dan kebenaran, itulah yang terjadi dalam kehidupan, dalam setiap diri
manusia, dimana setiap waktu selalu dihadapkan antara dua pilihan baik dan buruk, selalu
terjadi pertarungan antara keduanya, adakalanya kebenaran harus tersingkirkan, adakalanya
kejahatan harus terhapuskan, namun yang pasti kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.
Ayam Tarung atau adu ayam merupakan salah satu tradisi rakyat khusunya jawa yang
menjadi hiburan rakyat, dan sekaligus menjadi ajang arena pertaruhan, hanya ayam-ayam
kuat terpilih yang masuk dalam arena pertarungan ini, dan ayam terbaik yang akan
memenangkan pertarungan sengit ini, untuk menjadi sang Jawara.
Dua ayam dalam lukisan ini adalah ayam-ayam terbaik yang bertarung dengan sengit, hidup
dan mati, untuk menentukan siapa yang menjadi Jawara sejati.
Lukisan “Perahu dan Matahari (Badai pasti berlalu)” memiliki makna dan falsafah kehidupan
yang dalam, ada pembelajaran yang tinggi dari Lukisan ini.
Barli Sasmitawinata

Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realis. Pria yang lahir di Bandung 18
Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935,
Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang
pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung. Ia mulai menekuni dunia seni lukis sekitar tahun
1930-an dan merupakan bagian dari "Kelompok Lima" yang juga beranggotakan Affandi,
Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi.
Sasmitawinata dikenal sebagai orang menekankan pentingnya pendidikan seni rupa. Tahun
1948 ia mendirikan studio Jiwa Mukti bersama Karnedi dan Sartono. Setelah menyelesaikan
pendidikan di luar negeri, ia mendirikan Sanggar Rangga Gempol di kawasan Dago, Bandung
pada tahun 1958. Barli adalah pelukis sekaligus guru. Sudah banyak mahasiswa yang dia ajar
di Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun murid yang dia bimbing di sanggar seni
miliknya, tumbuh menjadi seniman mandiri. Antara murid-murid yang pernah dididiknya
adalah Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, Yusuf Affendi, AD Pirous, Anton Huang, R
Rudiyat Martadiraja, Chusin Setiadikara, Sam Bimbo, Rudi Pranajaya.
Perjalanan karir lukis Barli dimulai sejak tahun 1930-an sebagai ilustrator terkenal di Balai
Pustaka, Jakarta. Dia juga dipakai sebagai ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di
Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut di tahun 1950-an saat dia sudah melanglang
buana ke mancanegara. Karya-karyanya pernah dipamerkan baik di dalam maupun luar
negeri. Koleksinya juga dipamerkan di Museum Barli Bandung. Pada tahun 2000, ia
menerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari presiden.
Walau pelukis realis Barli mengaku cukup mengerti abstrak sebab menurutnya seni memang
abstrak. Seni adalah nilai. Setiap kali melihat karya yang realis Barli justru tertarik pada segi-
segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi yang abstrak yang tidak bisa
dijelaskan oleh pelukisnya sendiri.
Barli Sasmitawinata meninggal pada Kamis 8 Februari 2007 di Rumah Sakit Advent,
Bandung pada usia 86 tahun. Kemudian dimakamkan pada Jumat 9 Februari 2007 di Taman
Makam Pahlawan Cikutra.
Lukisan Karya Barli Sasmitawinata

Di Pasar – Barli Sasmitawinata

 Pelukis : Barli Sasmitawinata


 Judul : “Di Pasar”
 Tahun : 2004
 Media : Oil on Canvas
 Ukuran : 40 cm x 30 cm

Deskripsi Lukisan “Di Pasar”


Lukisan ini merupakan lukisan dengan gaya realisme, abstrak, dan ekspresionisme. Dengan
teknik melukis menggunakan cat minyak di atas kanvas.
Dalam lukisan ini, pelukis menggambarkan suasana dan aktivitas di Pasar.

Terbaring Sejenak – Barli Sasmitawinata


Pelukis : Barli Sasmitawinata
Judul : “Terbaring Sejenak”
Tahun : 1995
Media : Charcoal and Oil on Canvas
Ukuran : 100 cm x 120 cm

Deskripsi Lukisan “Terbaring Sejenak”


Lukisan ini merupakan lukisan dengan gaya realisme, abstrak, dan ekspresionisme. Dengan
teknik melukis menggunakan cat minyak dan arang di atas kanvas.

Potret Dhanny Dahlan – Barli Sasmitawinata

Pelukis : Barli Sasmitawinata


Judul : “Potret Dhanny Dahlan”
Tahun : 2003
Media : Charcoal and Oil on Canvas
Ukuran : 70 cm x 90 cm

Deskripsi Lukisan “Potret Dhanny Dahlan”


Lukisan ini merupakan lukisan dengan gaya realisme, abstrak, dan ekspresionisme. Dengan
teknik melukis menggunakan cat minyak dan arang di atas kanvas.
Dhanny Dahlan, yang bernama lengkap Asih Dahyani Dahlan (lahir di Jakarta, 9
Agustus 1959; umur 58 tahun) adalah seorang perancang busana, pengusaha garmen serta
mantan model ternama Indonesia pada tahun 80 dan 90-an.
Basuki Abdullah

Basuki Abdullah lahir di Surakarta, 25 Januari 1915. Basuki Abdullah adalah salah satu
pelukis terkenal Indonesia. Pelukis beraliran realis dan naturalis ini pernah diangkat menjadi
pelukis resmi Istana Merdeka pada 1974. Lukisan-lukisan karyanya menghiasi istana negara,
selain menjadi koleksi dari berbagai penjuru dunia.
Bakat melukis Basuki Abdullah terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suryosubro, yang juga
seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan
Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal 1900-an, yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo.
Basuki Abdullah bersekolah di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo, kemudian
mendapatkan beasiswa pada 1933 untuk belajar di Akademi Seni Rupa (Academie Voor
Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu tiga
tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).
Pada 6 September 1948, sewaktu penobatan Ratu Yuliana di Belanda, Basuki Abdullah
berhasil mengalahkan 87 pelukis dunia lainnya dalam sebuah sayembara yang diadakan di
Amsterdam, Belanda. Sedangkan lukisannya, “Balinese Beauty” terjual di balai lelang
Christie’s di Singapura, pada tahun 1996.
Selama karirnya dalam melukis, Basuki terkenal sebagai pelukis potret, meski ia juga melukis
pemandangan alam, flora, fauna, tema-tema perjuangan, pembangunan, dan lainnya. Dia
sering mengadakan pameran tunggal, di dalam maupun di luar negeri, seperti di Thailand,
Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang
memiliki karya lukisan beliau. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri.
Selain menjadi pelukis, dia juga pandai menari dan sering tampil dengan tarian wayang orang
sebagai Rahwana atau Hanoman. Pria yang menikah empat kali ini tidak hanya menguasai
soal kewayangan, budaya Jawa di mana dia berasal. Tetapi juga menggemari komposisi-
kompasisi Franz Schubert, Beethoven dan Paganini, dengan demikian wawasannya sebagai
seniman luas dan tidak Jawasentris.
Kemtiannya cukup tragis. Basuki Abdullah tewas dibunuh perampok di rumah kediamannya,
pada 5 November 1993. Ia meninggal dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa
Mlati, Sleman, Yogyakarta.
Lukisan Karya Basuki Abdullah

Lukisan Keluarga Berencana

Judul : “Keluarga Berencana”


Tahun : 1975
Pelukis : Basuki Abdullah
Aliran : Realisme Natural
Ukuran : 200 cm x 90 cm
Media : Oil on Canvas
Deskripsi Lukisan Keluarga Berencana
Basuki Abdullah yang berjiwa romantis, melukis kuda pun menjadi cantik. Kesan beauty
tersirat dari perindahan bentuk dan pemilihan warna yang cemerlang. Keindahan pada
sebahagian besar lukisan Basuki Abdullah merupakan keindahan yang estetis obyektif ringan
yang terkadang hampa dari pendalaman ekspresi.
Makna Lukisan
Lukisan ini bermakna yaitu sosok keluarga berencana dari kuda yang cantik tersebut yang
sangat sedang bahagia. Basuki menggambarkan sisi lain dari keluarga berencana yang biasa
digadang-gadangkan pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat dan
menggantinya dengan sosok kuda. Kuda biasa berarti sebuah semangat, loyalitas, enerjik, dan
juga keberanian serta dipercaya mampu menjadi pembawa keberhasilan. Di dalam bahasa
Cina, kuda memiliki nama Ma Mao Kung yang memiliki arti Ma adalah kuda, Mao adalah
datang dan Kung adalah berhasil. Sehingga bisa diartikan bahwa kuda adalah hewan yang
datang dengan pembawa keberhasilan.
Lukisan Gatotkaca
 Judul : “Gatotkaca dan 2 Isteri Kembarnya, Pergiwa dan Pergiwati”
 Pelukis : Basuki Abdullah
 Ukuran : 150 x 100 cm
 Media : Kanvas

Sejarah Lukisan Gatotkaca dan 2 Istri Kembarnya


Pada Tahun 1950-an Presiden Ir. Soekarno yang dikenal sangat mencintai seni lukis dan
dunia pewayangan, meminta Basoeki Abdullah untuk melukis dengan tema Gatotkaca
dengan dua isteri kembarnya, Pergiwa dan Pergiwati. Hal itu dikarenakan Gatotkaca, sosok
ksatria gagah perkasa yang dianggap mirip dirinya sendiri.
Basuki pun menggoreskan kuasnya di atas selembar kanvas yang ukurannya tidak biasa dan
aneh. Lukisan itu selesai dalam waktu beberapa hari. Setelah rampung, Basoeki lantas
memberi lukisan bergaya realis-naturalisnya itu dengan tajuk “Gatotkaca dan Anak-Anak
Arjuna Pergiwa-Pergiwati.”
Deskripsi Lukisan
Lukisan ini menggambarkan Gatotkaca. Gatotkaca adalah ksatria Pringgondani yang sakti.
Dari segi visualnya sudah nampak personifikasi. Pembawaannya yang gagah, punya tatapan
tajam dan berwibawa.(salah satu ksatria sebangsa Werkudara putra dari Bima) tengah terbang
layaknya Superman. Mata sang ksatria menatap tajam penuh asmara, sementara si kembar
cantik Pergiwa-Pergiwati yang digambarkan cukup molek, saling berbeda pandang terhadap
keberadaan Gatotkaca.

Diponegoro Memimpin Pertempuran

Judul : “Diponegoro Memimpin Pertempuran”


Pelukis : Basuki Abdullah
Tahun : 1837 M
Media : Oil on Canvas
Ukuran : 150×120 cm

Lukisan Basuki Abdullah ini menampilkan subject matter yang berupa seorang pangeran
diponegoro yang menunggangi kuda.
Sedangkan subject pendukungnya berupa backgroud api membara.
Untuk warna pada subject matter adalah: warna putih pada pakaian pangeran diponegoro,
gradasi coklat kekuningan, hitam pada kulit pangeran diponegoro, dan warna hitam juga juga
putih terdapat pada kuda.
Pada subject pendukung, warna gradasi coklat dan kuning dengan hitam pada bagian api yang
sedang membara.
Karya Basuki Abdullah yang berjudul “Diponegoro Memimpin Pertempuran” merupakan
salah satu karya yang dikoleksi oleh Bung Karno Presiden Indonesia waktu itu.

Makna Tersirat
 Dalam lukisan ini, Basuki Abdullah mengungkapkan perjuangan yang dramatis, yakni
Seorang Pangeran Diponegoroyang sedang berperang diselimuti api berkobar
disekelilingnya.
 Suasana tampak lebih menekan oleh kegelapan dan cahaya yang ditimbulkan dari api.
 Pada kaki kuda terlukiskan sedang melewati api yang sedang panas membara, hal ini
lebih memberi tekanan suasana yang dramatis pada lukisan.
 Tema dalam lukisan berjudul “Diponegoro Memimpin Pertempuran” adalah sebuah
perjuangan.
 Makna dalam lukisan tersebut adalah semangat yang berkobar dalam pertempuran
layaknya api yang sedang membara.

Raden Saleh

Raden Saleh lahir pada tahun 1807. Ia dilahrikan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat.
Ayahnya bernama Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab
sedangkan ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen.
Saat berusia 10 tahun, Raden Saleh dirawat oleh pamannya yang pada saat itu menjabat
sebagai Bupati di Semarang. Bakatnya dalam menggambar mulai menonjol saat bersekolah di
Volks-School. Ia dikenal ramah dan mudah bergaul sehingga memudahkannya untuk
menyesuaikan diri dalam lingkungan orang Belanda dan lembaha-lembaga Elite Hindia
Belanda.
Raden saleh kecil dengan keahliannya yang menonjol sebagai seorang pelukis besar sejak
bersekolah di sekolah rakyat di zamannya membuat Raden Saleh menjadi tokoh yang besar
dengan berbagai macam penghargaan. Belajar dari seorang pelukis keturunan Belgia berasal
dari belanda,menjadikan raden saleh seorang pelukis dengan multi talenta,seperti melukis
dengan cat minyak,di tambah dengan terjun langsung dengan mencari objek pemandangan
dan objek lukisan tipe tipe orang indonesia di daerah yang di singgahi.
Pada Tahun 1829, hijrahlah Raden Saleh ke Belanda untuk Belajar, selama di eropa Raden
Saleh juga belajar mendalami pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif
manusia,melukis kehidupan satwa di padang pasir juga merupakan salah satu ilham yg keluar
selama tinggal di Aljazair beberapa bulan pada tahun 1846. Raden Saleh juga di percaya
menjadi menjadi konservator pada "Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Dari
keunikan keunikan jiwa seni inilah yang menjadikan Raden saleh menjadi sosok tokoh yang
sangat inspiratif di zamannya.
Salah satu karya Raden Saleh adalah lukisan penangkapan Diponegoro,yg mana lukisan
tersebut menggambarkan bahwa Raden Saleh tidak menyukai penindasan serta mempercayai
idealisme kebebasan dan kemerdekaan. Berbagai macam penghargaan mengalir dari hasil
karya Raden Saleh baik penghargaan mancanegara maupun dari indonesia. Raden saleh
menikah dengan gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo setelah perceraiannya dengan
istri terdahulu.Batavia adalah tempat di mana Raden Saleh Tinggal dengan gedung hasil
karyanya sendiri dari segi bangunan dan tekniknya yang mana sesuai dengan tugasnya
sebagai seorang pelukis.

Pada 23 April 1880, Raden Saleh meninggal dunia. Menurut hasil dari pemeriksaan Dokter,
ia meninggal dunia karena trombosis atau pembekuan darah. Ia dimakamkan di TPU
Bondongan, Bogor Jawa Barat. Di nisan makamnya tertulis "Raden Saleh Djoeroegambar
dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda", kalimat itu sering melahirkan banyak tafsir
yang memancin perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh. Setelah
kematiannya, 3 bulan kemudian tepat pada 31 Juli 1880, Raden Ayu Danudirja, istrinya
meninggal dunia.

Lukisan Karya Raden Saleh

Badai

Judul Lukisan : “Badai” (The Storm)


Pelukis : Raden Saleh
Aliran Lukisan : Romantisme
Keterangan Lukisan
Lukisan ini dibuat pada tahun 1851 dengan media cat minyak di atas kanvas dengan ukuran
97 x 74 cm. Lukisan Raden Saleh yang berjudul “Badai” ini merupakan ungkapan khas karya
yang beraliran Romatisme. Dalam aliran ini seniman sebenarnya ingin mengungkapkan
gejolak jiwanya yang terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyatakan dunia
(imajinasi) ideal dan dunia nyata yang rumit dan terpecah-pecah.
Dalam lukisan “Badai” ini, dapat dilihat bagaimana Raden Saleh mengungkapkan perjuangan
yang dramatis dua buah kapal dalam hempasan badai dahsyat di tengah lautan. Suasana
tampak lebih menekan oleh kegelapan awan tebal dan terkaman ombak-ombak tinggi yang
menghancurkan salah satu kapal. Dari sudut atas secercah sinar matahari yang memantul ke
gulungan ombak, lebih memberikan tekanan suasana yang dramatis.

Perburuan Rusa

Judul Lukisan : “Perburuan Rusa”


Pelukis : Raden Saleh
Aliran Lukisan : Romantisme dan Naturalis
Keterangan Lukisan :
Raden Saleh Syarif Bustaman (1807), pelopor seni lukis modern di Indonesia yang berhasil
menguasai gaya romantis yang lazim di Barat pada abad ke-19. Corak lukisannya beraliran
Romantis dan Naturalis. Aliran Romantisnya menampilkan karya-karya yang berceritera
dahsyat, penuh kegetiran seperti tentang perkelahian dengan binatang buas. Sedangkan gaya
naturalisnya sangat jelas nampak dalam melukis potret. Salah satu karyanya yang beraliran
romantis, bertema “Perburuan Rusa”, pada tahun 1846 dengan media cat minyak dan
kanvas.

Perkelahian dengan Singa


Karya : Raden Saleh
Tahun : 1870
Media : Cat minyak diatas kanvas
Pada lukisan karya Raden Saleh yang berjudul “Perkelahian dengan Singa” itu
menggambarkan perkelahian antara seorang laki-laki aljazair yang mengendarai kuda
menghadapi singa di padangpasir. Tampak disana otot-otot singa dan ketakutan kuda
tergambar dengan menarik. Seorang pembantunya nampak mati tersungkur. Terkaman yang
kuat menyebabkan pengendara kuda jatuh dan terasa pula suasana yang dramatic dan
emosional padapertarungan antaramanusia dan singa dalam lukisan tersebut. Pada
pewarnaannya menggunakan warna yang gelap kelam, langit kemerahan dan tandusnya
gurun, menyebabkan lukisan tersebut gagah dan elok untuk dilihat. Dan keharmonisan warna
background dengan objek sangat menyatu.

Abdullah Suriosubroto

Abdullah Suriosubroto (Semarang, 1878 - Yogyakarta, 1941) adalah seorang pelukis


Indonesia. Ia adalah anak ambil Wahidin Sudirohusodo, seorang tokoh gerakan nasional
Indonesia. Ia adalah juga ayah pelukis Indonesia terkenal Sudjono Abdullah dan Basoeki
Abdullah.
Mengikuti jejak ayah ambilnya, Abdullah masuk sekolah kedokteran di Batavia (kini
Jakarta). Belakang ia melanjutkan kuliahnya di Belanda. Di sana, ia beralih ke seni lukis dan
masuk sekolah seni rupa. Sepulangnya di Indonesia, ia melanjutkan karirnya sebagai pelukis.
Abdullah dipandang sebagai pelukis Indonesia yang pertama di masa seratus tahun ke-20.
Benda lukisan kesukaannya adalah pemandangan. Ia dimasukkan dalam saluran yang dijuluki
"Mooi Indie" ("Hindia Indah").
Abdullah mulai menetap beberapa tahun di Bandung agar dekat dengan dunia yang ia suka
lukis. Belakang ia pindah ke Yogyakarta, di mana ia gugur tahun 1941.

Karya Lukis
 Pemandangan di Djawa Tengah
 Pemandangan di Sekitar Gunung Merapi
 Scenery
 Pemandangan Gunung
 Hamparan Sawah
 Dll

Pemandangan di Djawa Tengah

Pelaku Seni : Abdullah Suriosubroto


Medium : Oil paint , Canvas
Tahun Pembuatan : 1900-1930
Dimensi Karya : cm x 95 cm x 60 cm
Deskripsi :
Foto karya berasal dari buku "Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno
dari Republik Indonesia, Jilid 1", Panitia Penerbit Lukisan-lukisan dan Patung-patung
Koleksi Sukarno (Lee Man Fong), Jakarta, 1964.

Pemandangan di Sekitar Gunung Merapi

Pelaku Seni : Abdullah Suriosubroto


Medium : Canvas , Oil paint
Tahun Pembuatan : 1900-1930
Dimensi Karya : cm x 95 cm x 59 cm
Deskripsi : Foto karya berasal dari buku "Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi
Presiden Sukarno dari Republik Indonesia, Jilid 2", Panitia Penerbit Lukisan-lukisan dan
Patung-patung Koleksi Sukarno (Lee Man Fong), Jakarta, 1964.

Pemandangan Gunung

Pelaku Seni : Abdullah Suriosubroto


Medium : Oil paint , Canvas
Tahun Pembuatan : 1935-1993
Dimensi Karya : cm x 126 cm x 88 cm
Deskripsi : Karya ini dikoleksi oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno di Istana
Bogor. Gambar didonasikan oleh Enong Ismail.

Anda mungkin juga menyukai