Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508

pulau dan 81.000 Km garis pantai, di mana sekitar 70 % wilayah teritorialnya

berupa laut. Dengan perairan laut seluas total 5,8 juta Km2 (berdasarkan konvensi

PBB Tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan non

hayati yang melimpah (Simanungkalit dalam Resosudarmo, dkk. 2002). Hal ini

menyebabkan sebagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah sekitar

wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan.

Jumlah nelayan perikanan laut di Indonesia menurut kategori nelayan maka status

nelayan penuh merupakan jumlah terbesar dari nelayan sambilan utama maupun

nelayan sambilan tambahan dan jumlah ini setiap tahunnya menunjukkan

peningkatan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2002). Hal ini mempunyai indikasi

bahwa jumlah nelayan yang cukup besar ini merupakan suatu potensi yang besar

dalam pembangunan perikanan. Keberadaan kehidupan nelayan selama ini

dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti

lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan

modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan,

rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain


2

sebagainya mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan

kemiskinan.

Kemiskinan, rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta kurangnya informasi

sebagai akibat keterisolasian pulau-pulau kecil merupakan karakteristik dari

masyarakat pulau-pulau kecil (Sulistyowati, 2003). Hasil pembangunan selama ini

belum dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pulau terpencil.

Masyarakat diletakkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek

pembangunan, dengan demikian dibutuhkan perhatian dan keinginan yang tinggi

untuk memajukan kondisi masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai

pengelola sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat berlangsung secara lestari

(Sulistyowati, 2003).

Pemerintah melalui Departemen Perikanan dan Kelautan selama ini telah

melakukan kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang

berjalan berdasarkan kebijakan Kepmen 41 Tahun 2000 Departemen Kelautan dan

Perikanan tentang Pedoman Umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang

berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Tujuan dalam program pemberdayaan

ekonomi masyarakat pesisir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat (DKP, 2002). Kebijakan

tersebut menghendaki perlu adanya partisipasi memahami berbagai permasalahan

yang muncul serta memahami keputusan akhir yang akan diambil. Untuk itu,

dalam partisipasi masyarakat diperlukan adanya komunikasi dua arah yang terus

menerus dan informasi yang berkenaan dengan program, proyek atau kebijakan
3

yang disampaikan dengan bermacam-macam teknik yang tidak hanya pasif dan

formal tetapi juga aktif dan informal (Hadi dalam Harahap, 2001).

Komunitas masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan

berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris yang petani. Karakteristik

masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang

digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal maka

nelayan cenderung memilki karakter khas, yakni keras, tegas, dan terbuka. Posisi

tingkat sosial masyarakat inilah yang cenderung menempatkan nelayan berada

dalam lingkaran garis kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural yang

mengantarkannya menjadi komunitas masyarakat terpinggirkan dalam proses

pembangunan masa lalu.

Sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki resiko dan ketidakpastian, telah

menciptakan hubungan khas patron-klien pada komunitas nelayan. Hubungan

yang didasarkan pada emotional friendship dan instrumental friendship ini telah

mengakar hingga beberapa generasi nelayan di wilayah pesisir. Akibatnya nelayan

cenderung dihadapkan pada sejumlah masalah yang tidak pernah tuntas, seperti

pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir dan harga ikan yang lebih rendah dari

harga pasar. Pada akhirnya, proses "pengawetan" kemiskinan pada masyarakat

nelayan terus berlanjut.

Melihat promblematika di atas, sebenarnya cukup banyak kebijakan pemerintah

untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hingga saat ini masalah kemiskinan

nelayan belum juga terselesaikan. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh
4

pemerintah adalah mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan melalui Departemen Kelautan

dan Perikanan (DKP).

Terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan lebih disebabkan karena faktor

struktural dan kultural. Faktor kultural dicirikan dengan keterbatasan modal dan

tehnologi, budaya malas, gaya hidup berfoya-foya, manajemen buruk dan

terbatasnya sumerdaya alam.

Sedangkan secara struktural, kemiskinan lebih disebabkan pengaruh eksternal,

seperti tergusur dalam proses pembangunan sebagaimana yang dialami

masyarakat Lempasing, keterbatasan akses terhadap modal, implementasi

kebijakan pemerintah yang bersifat top down dan kebijakan yang tidak

berorientasi pada prinsip pemberdayaan dan partisipasi nelayan setempat,

rendahnya posisi tawar dan proses pemasaran, keterbatasan sarana dan prasarana

pendukung, dan rendahnya penangkapan hasil penangkapan.

Artinya tidak berarti nelayan tidak maju, tetapi nelayan tidak memiliki

kesempatan untuk maju. Begitu pula sebaliknya, tidak berarti pemerintah tidak

memiliki perhatian dalam membangun kesejahteraan nelayan, tetapi hambatan

budaya sangatlah mengikat nelayan untuk meningkatkan dirinya untuk maju.

Kedua faktor tersebutlah yang selama ini mendorong terciptannya proses

"pengawetan" kemiskinan pada masyarakat nelayan, dan keberadaan masyarakat

nelayan selau terabaikan dalam proses pembangunan nasional, meskipun

keberadaan sub sektor ini telah menjadi "primadona" dalam pembangunan


5

perikanan nasional.

Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964

mempunyai luas daratan 35.376 km' dengan panjang garis pantai 1.105 km

termasuk 69 pulau-pulau kecil. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, maka luas wilayah pengelolaan sumberdaya

perairan laut bagi daerah Lampung sekitar 24.820 km2 (DKP, 2001) sehingga luas

wilayah Provinsi Lampung adalah 60.196 km2 (daratan 58,7% dan laut 41,23%).

Secara administratif, Provinsi Lampung terbagi dalam 10 (sepuluh)

Kabupaten/Kota, 7 (tujuh) di antaranya memiliki wilayah pesisir yaitu Bandar

Lampung, Lampung Selatan, Tanggamus, Lampung Tengah, Lampung Barat,

Tulang Bawang dan Lampung Timur. Wilayah tersebut mempunyai potensi

sumberdaya alam yang cukup besar dan potensial untuk dapat dimanfaatkan

dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat. Potensi tersebut antara lain

adalah potensi di bidang perikanan budidaya air payau/tambak, budidaya laut,

penangkapan ikan dan potensi wisata bahari serta alur pelayaran baik nasional

maupun internasional.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumberdaya di

wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dar garis pantai ke arah laut

lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari

wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.


6

Berdasarkan besarnya potensi laut dan didukung dengan adanya otonomi daerah,

maka dapat dikatakan bahwa "idealnya" nelayan mendapatkan kesejahteraan yang

sangat layak karena mereka menguasai laut secara nyata. Akan tetapi pada

kenyataannya masyarakat pesisir selalu dikategorikan sebagai masyarakat miskin

dan tertinggal.

Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : (1)

rendahnya tingkat teknologi penangkapan, (2) kecilnya skala usaha, (3) belum

efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4) status nelayan yang sebagian besar

adalah buruh.

Dalam Dokumentasi Yayasan Kalyanamitra, 2005 dijelaskan bahwa gambaran

umum kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan

masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas

pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari

kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding

anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia dan keterbatasan

kepemilikan perabotan rumah tangga, itulah tempat tinggal para nelayan buruh

atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap

sarana yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal juragan atau

pemilik modal, pemilik perahu dan pedagang ikan berskala besar. Tiap rumah

tangga nelayan miskin biasanya ditempati oleh beberapa keluarga yang masih

berkerabat maupun tidak. Pembentukan rumah tangga luas ini adalah salah satu

strategi adaptasi mereka dalam menghadapi tekanan-tekanan kemiskinan. Selain


7

gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan miskin dapat

dilihat dari tingkat pendidikan anak-anaknya, pola konsumsi sehari-hari dan

tingkat pendapatan per kapita.

Hampir di setiap wilayah pesisir di Indonesia dijumpai adanya tengkulak yang

mengambil beberapa fungsi pengembangan di sektor perikanan dan kelautan

secara informal. Fungsi-fungsi pengembangan sektor perikanan dan kelautan yang

dimasuki oleh tengkulak tidak saja hanya pada fungsi finansial, tetapi banyak

fungsi lainnya yang telah diambilnya, yakni :

1. Fungsi Produksi :

Pada fungsi produksi ini tengkulak mengambil peran sebagai penyedia

faktor/sarana produksi penangkapan ikan, seperti : menyediakan biaya-biaya

bekal operasi penangkapan ikan, penyedia alat tangkap ikan dan bahkan

penyedia mesin motor tempel serta kapal penangkap ikan.

2. Fungsi Pemasaran :

Ikan hasil tangkapan nelayan, pada lokasi-lokasi di mana tidak terdapat tempat

pelelangan ikan (TPI) umumnya dibeli oleh tengkulak yang kemudian oleh

tengkulak disalurkan ke perusahaan-perusahaan exportir atau disalurkan ke

pasar-pasar lokal.

3. Fungsi Finansial :

Segala kebutuhan berupa finansial untuk terlaksananya kegiatan usaha pe-

nangkapan ikan senantiasa disediakan oleh tengkulak . Nelayan hampir dapat

dikatakan bergantung pada tengkulak. Para tengkulak memberikan bantuan

finansial tanpa syarat-syarat tertentu tidak seperti pada lembaga-lembaga


8

keuangan (bank).

4. Fungsi Sosial :

Dikala terjadi musim paceklik, nelayan tidak melakukan operasi penangkapan

ikan sama sekali. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

mereka banyak mengandalkan pada bantuan tengkulak. Bahkan untuk

kepentingan biaya sekolah putera-puteri nelayan, kadang-kadang mereka juga

memohon bantuan pada tengkulak.

Hal menarik yang perlu dikemukakan di sini adalah mengapa nelayan tidak mau

memanfaatkan lembaga keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan

lainnya seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi justru mengikatkan diri pada

sistem yang dilakukan oleh tengkulak ? Seolah-olah telah terjadi adanya ikatan

(emosional) lahiriyah dan batiniyah diantara kedua belah pihak. Apabila

diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka peran yang dimainkan oleh lembaga

keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti telah

disebutkan di atas hanyalah terbatas pada peran finansialnya saja, itupun menurut

nelayan tradisional memerlukan persyaratan yang memberatkan mereka. Di sisi

lain, peran yang dimainkan oleh para tengkulak adalah meliputi keseluruhan peran

(produksi, pemasaran, finansial dan sosial) yang dibutuhkan oleh kelompok

masyarakat nelayan tradisional yang membuat mereka "rela" mengikatkan diri

pada ikatan yang menimbulkan adanya ketergantungan.

Menurut Efrizal Syarief, masyarakat pesisir dapat dikelompokkan berdasarkan

kehidupannya di antaranya:
9

1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata

pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok ini dibagi

lagi menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan

nelayan tangkap tradisional. Kedua kelompok ini dapat dibedakan dari jenis

kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.

2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakat pesisir

yang bekerja di sekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan

mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun

dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat

sekitarnya atau dibawa ke pasar-pasar local. Umumnya, yang menjadi

pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.

3. Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling

banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat

dilihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka

tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif

Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-

kapal juragan dengan penghasilan yang minim.

4. Masyarakat nelayan tambak dan masyarakat nelayan pengolah.

Dan hasil observasi dan pengamatan, bahwa nelayan di Kecamatan Teluk Betung

Barat dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu nelayan juragan/pembina,

nahkoda dan pandega (ABK).


10

Berdasarkan dokumentasi Yayasan Kalyanamitra, 2005, bahwa di Indonesia

dikenal adanya tiga strata sosial-ekonomi nelayan yakni nelayan juragan, nelayan

pekerja dan nelayan pemilik.

Nelayan juragan merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang

mampu mengupah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya

menangkap ikan di laut.

Nelayan pekerja adalah nelayan yang tidak mempunyai alat produksi, tetapi hanya

ia memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu

menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Dalam hubungan kerja antara

nelayan pekerja dan nelayan juragan, biasanya berlaku perjanjian tidak tertulis.

Dalam hal ini, nelayan juragan berkewajiban mengutangkan bahan makanan dan

bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan. Apabila nelayan pekerja

membutuhkan lagi bahan makanan untuk keperluan dapur keluarga yang

ditinggalkannya selama ia melaut, maka nelayan pekerja harus berutang lagi

kepada nelayan juragan. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu

yang berbeda-beda. Umumnya, bagian nelayan pekerja selalu habis untuk

membayar utangnya kepada nelayan juragan yang bersangkutan.

Nelayan pemilik kehidupannya agak lebih mapan daripada nelayan pekerja.

Nelayan ini memiliki perahu kecil untuk dirinya sendiri dan alat penangkap ikan

yang sederhana. Sering nelayan pemilik ini dikenal dengan sebutan nelayan

tradisional. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki modal kerja sendiri, namun

meminjam dari rentenir dengan perjanjian tertentu yang umumnya memberikan


11

bunga yang lebih besar dari yang seharusnya. Selain membayar utangnya, nelayan

pemilik harus menyetorkan sejumlah uang setiap kali bongkar hasil tangkapan

kepada pemilik modal. Besar setoran ini ditentukan oleh pemilik modal dan tidak

dihitung sebagai pengembalian hutang nelayan pekerja. Yang sering terjadi

akhirnya hutang nelayan pekerja menjadi hutang tujuh turunan yang tidak pernah

terlunasi.

Untuk dapat lebih jelas tentang perbandingan pendapatan rumah tangga

nelayan dengan pemilik kapal berdasarkan alat tangkapan dapat dilihat pada

Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Kota Bandar Lampung Tahun


2005 berdasarkan alat tangkapan.
Pendapatan
No Alat tangkapan Pemilik Kapal Anak Buah Kapal
(Rp/bln) (Rp/bln)
1. Cantrang 5.070.000,- 507.000,-
2. Mini Purse Seine 6.225.000,- 311.250,-
3. Payang 3.485.000,- 435.000,-
4. Bagan/Pelele 5.452.000,- 452.000,-
5. Pancing 756.600,- 252.250,-
6. Jaring Rampus 1.479.200,- 252.250,-
Sumber : UPTD Pelabuhan Perikanan Tahun 2006.

Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung sebesar 809.860 jiwa (178.895 KK), dan

sebesar 217.092 jiwa (26,8%) adalah masyarakat pesisir (BPS Kota Bandar

Lampung, 2006) yang tinggal di Kecamatan Teluk Betung Selatan, Teluk Betung

Barat dan Panjang. Dilihat dari segi mata pencaharian, maka jumlah kepala

keluarga yang bekerja di sektor perikanan tangkap sebesar 1.877 KK (1,05%),

yang beroperasi di PPP Lempasing, terdiri dari: 53,2% berukuran 5-10 GT; 28,3%

berukuran lebih kecil dari 5 GT; 10,2% berukuran 11-20 GT dan 8,3% berukuran
12

21-30 GT. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan di Kota Bandar

Lampung adalah nelayan tradisional yang menggunakan perahu tradisional dan

kapal motor berukuran kecil dengan tenaga penggerak bermesin dalam (inboard).

Kapal motor berukuran kecil tersebut sangat efektif untuk melakukan operasi

penangkapan di sekitar pantai. (Data Statistik Perikanan Tangkap PPP Lempasing

Tahun 2006).

Peran juragan/pembina atau dengan sebutan miring tengkulak terhadap kehidupan

masyarakat pesisir sangatlah dominan baik ikatan secara emosional maupun

secara finansial hal tersebut disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah

tengkulak dapat mengatasi permasalahan-permasalahan masyarakat nelayan baik

secara sosial maupun secara finansial yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga

pembiayaan formal.

Banyak program pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir yang telah digulirkan

sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat

(bottom up), tapi ironisnya program tersebut tetap saja tidak dapat berbuat banyak

terhadap kehidupan masyarakat pesisir sehingga tidak aneh banyak program yang

hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan

masyarakat. Di Kota Bandar Lampung misalnya, telah mendapat Program

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) pada Tahun 2002, dengan

melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu: kelembagaan, pendampingan dan dana usaha

produktif bergulir. Akan tetapi, program tersebut hanya berumur satu tahun, dan

saat ini program tersebut tidak terlihat bekasnya. Kondisi masyarakat nelayan pun

masih terlilit kemiskinan dan masih tergantung kepada juragan atau tengkulak.
13

1.2 Perumusan Masalah

Keterbatasan permodalan, rendahnya tingkat teknologi penangkapan, kecilnya

skala usaha, belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan status nelayan

yang sebagian besar adalah buruh merupakan permasalahan yang dihadapi oleh

masyarakat pesisir. Keterbatasan permodalan tersebut ditandai oleh minimnya

peran serta lembaga-lembaga pembiayaan pemerintah maupun swasta terhadap

permodalan masyarakat nelayan. Konsekuensinya, kebutuhan permodalan

terutama nelayan dipenuhi oleh para juragan/pembina atau juragan, yang dalam

kenyataannya sangat berperan dalam kehidupan masyarakat nelayan.

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan pokok penelitian ini adalah sebagai

berikut :

“Bagaimana peranan juragan terhadap keterikatan kehidupan masyarakat nelayan

di PPP Lempasing Kota Bandar Lampung”.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

”Untuk mengetahui peranan juragan terhadap keterikatan kehidupan masyarakat

nelayan di PPP Lempasing Kota Bandar Lampung”.


14

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kota

Bandar Lampung dalam menetapkan kebijakan, program/kegiatan

pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir Kota

Bandar Lampung.

2. Bagi pihak-pihak yang berkeinginan untuk mengembangkan penelitian ini di

wilayah pesisir Provinsi Lampung lainnya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan

dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan

jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan

alat tangkap ikan, metode dan taktik penangkapan tertentu.

Nelayan juragan/pembina atau tengkulak merupakan nelayan pemilik perahu dan

alat penangkap ikan yang mampu mengupah para nelayan pekerja sebagai

pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut (Dokumentasi Yayasan

Kalyanamitra, 2005).
15

Profil nelayan tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil

menggutamakan peralatan yang dimilikinya dengan sarana penangkapan ikan dan

kemampuan yang sangat terbatas dan seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah

yang lebih modern. Posisi ekonomi nelayan yang sangat readah diakibatkan

karena modal terbatas, produktivitas yang rendah dengan hasil tangkapan ikan

yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim, juga dengan jaminan

pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala

dalam penentuan harga jual pada tingkat nelayan. Hal lain yang juga menarik

adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat nelayan, umumnyaa berada

dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan hari depannya,

dan karenanya kurang kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan yang

diperolehnya terutama pada saat musim ikan.

Kondisi seperti di atas ternyata merupakan peluang bagi tumbuh suburnya para

tengkulak, dengan memanfaatkan berbagai macam kelemahan yang dimiliki para

nelayan tradisional. Tengkulak tersebut merupakan salah satu mata rantai usaha

penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, terutama dalam hal penyediaan

sarana produksi dan permodalan yang diperlukan oleh nelayan. Pelayanan yang

diberikan tengkulak kepada nelayan yang tidak berbelit-belit dan dapat dengan

segera memberi layanan yang cepat, menjadikan nelayan semakin menyukai

masuk pada lingkaran tersebut, walaupun seringkali terdapat beberapa kerugian

yang dialami oleh nelayan, terutama penentuan harga jual ikan hasil tangkapan

nelayan yang hanya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak sebagai pemberi

modal.
16

Dalam konteks manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Soemodiningrat

(1999), setiap upaya pemberdayaan baik yang dilakukan oleh pemerintah, dunia

usaha, maupun pihak yang peduli kepada masyarakat, upaya itu harus dipandang

sebagai sebuah pemacu untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Oleh karena itu,

upaya-upaya tersebut paling tidak harus memuat empat hal pokok, yaitu: (1)

bantuan dana sebagai modal usaha: (2) pembangunan prasarana sebagai

pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat; (3) penyediaan sarana

untuk memperlancar pemasaran basil produksi barang dan jasa masyarakat; dan

(4) penguatan lembaga sosial ekonomi rakyat.

Pemberdayaan nelayan merupakan salah satu bentuk upaya pengentasan

kemiskinan yang merupakan rangkaian strategi pengembangan masyarakat

pesisir. Secara sederhana pemberdayaan masyarakat pesisir dapat diartikan

sebagai upaya yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir dalam rangka

mengembangkan potensi masyarakat miskin atau terbelakang ke tingkat

kesejahteraan yang lebih baik (Khaeron 2004). Masyarakat nelayan adalah

komunitas yang paling besar dari masyarakat pesisir yang merupakan sasaran

utama dari proses pemberdayaan. Salah satu wujud pemberdayaan nelayan

dalam pembangunan adalah meningkatkan produktivitas nelayan untuk

meningkatkan pendapatannya yang salah satu caranya melalui keikutsertaan

nelayan dalam kesejahteraan yang lebih baik (Khaeron 2004). Upaya untuk

meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan komunitas desa pantai atau pesisir

sesungguhnya bukan hanya mencakup arti penting pengelolaan sumber daya

perikanan (fisheries management) yang berorientasi pada kesinambungan

sumberdaya laut (sustainability), tetapi juga menyangkut persoalan bagaimana


17

upaya pemberdayaan masyarakat desa pesisir yang dilakukan dapat menjamin

para pelaku ekonomi rakyat memperoleh apa yang sebetulnya menjadi hak

masyarakat itu, khususnya kesejahteraan dan taraf kehidupan layak (Suyanto

2003).

Dalam kehidupan nelayan peran tengkulak sangatlah dominan, hal tersebut

disebabkan tengkulak memiliki peran khusus (ikatan emosional) yang tidak

dimiliki oleh lembaga-lembaga pembiayaan baik swasta maupun pemerintah.

Di mana tengkulak memiliki peran produksi, pemasaran, finansial dan peran

sosial dalam kehidupan masyarakat pesisir.

Untuk membangun kemampuan nelayan dan menghindari jeratan tengkulak dalam

hal penyediaan sarana dan permodalan dalam usaha penangkapan ikan, maka

keterlibatan beberapa lembagalembaga keuangan sangat diperlukan seperti

koperasi dan bank-bank pemberi kredit pada saat yang tepat. Selain itu juga

diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat ikut serta di dalam peningkatan

kualitas SDM nelayan, dengan berbagai macam program diantaranya, pelatihan

peningkatan keterampilan menangkap ikan, kemampuan berwirausaha yang baik

dan benar serta beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat lainnya (Purwaka,

2000).
18

JURAGAN SEBAGAI
PENYEDIA ALAT
PRODUKSI

JURAGAN SEBAGAI
PEMBERI BANTUAN JURAGAN SEABGAI
KETERIKATAN
DIKALA TIDAK PEMBELI
MELAUT FUNGSI NELAYAN (PEMASARAN)
SOSIAL

JURAGAN SEBAGAI
PENYEDIA
PERMODALAN
(FINANSIAL)

Gambar 1. Peranan Juragan Dalam Kehidupan Masyarakat Nelayan

1.6 Hipotesis Konseptual

Berdasarkan kerangka penelitian bahwa keterikatan nelayan terhadap juragan

dipengaruhi oleh fungsi sosial dan ekonomi di mana yang dimaksud juragan atau

tengkulak adalah nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu

mengupah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap

ikan di laut. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan

penelitian yaitu :

”Keterikatan nelayan terhadap juragan di PPP Lempasing dipengaruhi secara

signifikan oleh fungsi produksi, fungsi pemasaran, fungsi finansial dan fungsi

sosial juragan”.

Anda mungkin juga menyukai