Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Peninggalan Sejarah merupakan suatu warisan budaya yang menceritakan keluhuran

dari suatu budaya masyarakat. Peninggalan sejarah yang tersebar diseluruh kepulauan

Indonesia merupakan suatu kekayaan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan

keberadaanya. Dengan adanya berbagai peninggalan sejarah, bangsa Indonesia dapat

belajar dari kekayaan budaya masa lalu yang berguna dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.(Universitas Kristen Maranatha, : 1)

Rakyat Indonesia pastinya tidak akan pernah lupa sejarah penjajahan Belanda di

Indonesia, karena mereka telah menjajah Negara ini selama kurang lebih 3,5 abad.

Tentunya merupakan waktu yang tidak bisa dibilang sebentar. Pada masa-masa itu, bangsa

Indonesia mengalami masa-masa sulit hingga pada akhirnya dapat menyatakan

kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. (Viva, 2014, Sejarah penjajahan Belanda di

Indonesia, 22 Oktober 2017. http://www.viva.co.id/blog/sejarah/562782-sejarah-

penjajahan-belanda-di-indonesia).

Fanny, veronica, dan Ivan (dalam Soekiman, 2014), kebudayaan Belanda yang telah

memperkaya kebudayaan Indonesia dalam tujuh unsur budaya universal, yaitu : (1) bahasa

(lisan maupun tulisan); (2) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, rumah,

senjata, alat transportasi, alat produksi dan sebagainya); (3) mata pencaharian hidup dan

sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi dan sebagainya); (4) sistem

kemasyarakatan (contoh : organisasi politik, sistem kekerabatan, sistem hukum, sistem

1
perkawinan dan sebagainya); (5) kesenian (seni rupa, seni sastera, seni suara, seni gerak,

dan sebagainya); (6) Ilmu Pengetahuan: dan (7) religi (agama).

Terkadang dalam berbagai kejadian pada masa lalu, bangunan menjadi saksi bisu baik

didalam maupun disekitarnya. Bangunan mempunyai nilai arsitektural (seperti ruang,

keindahan, konstruksi, teknologi dan lain-lain), dan juga nilai sejarah. Makin lama

bangunan itu berdiri semakin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budayanya. Yuri

Arief Waspodo (dalam Yulianto, 1995 : 2).

Fanny, veronica, dan Ivan (dalam Sumalyo, 1995a), kebudayaan Belanda tidak hanya

saja mempengaruhi kehidupan masyarakat indonesia saja, tetapi juga, cara berpikir para

arsitek Belanda, ketika menerapkan konsep-konsep lokal/tradisional pada bangunan-

bangunan rancanganya. Arsitektur Kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang

unik (percampuran antara budaya penjajah dan budaya Indonesia), dan tidak terdapat dilain

tempat, termasuk Negara-negara bekas koloni lainnya (dalam Sumalyo, 1995b). Keunikkan

bangunan-bangunan tersebut dapat dilihat pada bentuk-bentuk bangunan peninggalan

Kolonial Belanda, yang menurut hasil identifikasi dan analisis Fanny, Veronica dan Ivan

(dalam Handinoto, 2010).

Belanda yang telah menjajah Indonesia begitu lamanya, selama kurang lebih 3,5 abad

meninggalkan banyak bangunan peninggalan masa Kolonial Belanda. Peninggalan masa

Kolonial Belanda yang ada di Indonesia mempunyai makna yang penting dalam sejarah

kebudayaan bangsa Indonesia. Bukan hanya sebagai bangunan yang memiliki fungsi pada

masa itu namun juga sebagai saksi bisu dari peristiwa kekejaman penjajahan Kolonial

Belanda yang telah taerjadi pada masa itu. Meskipun banyak bangunan-bangunan

peninggalan Kolonial Belanda yang sudah berbeda fungsinya, namun bangunan tersebut

masih ada dan memiliki sejarah yang panjang untuk Bangsa Indonesia itu Sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, kelompok kami tertarik untuk menulis makalah mengenai

Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda.

2
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan Masalah untuk makalah ini yaitu :

1. Apa Saja Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belnda ?

2. Bagaimana Sejarah Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda ?

3. Kapan Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda Dibangun ?

4. Bagaimana Deskripsi dari Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda ?

5. Apa Fungsi dari Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda Ketika Pada Masa itu

dan Pada Masa Sekarang ini ?

1.3 Tujuan

Tujuan untuk makalah ini yaitu :

1. Untuk Mengetahui Berbagai Macam Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda.

2. Untuk Mengetahui Sejarah Peninggalan Masa Kolonial Belanda.

3. Untuk Mengetahui Waktu Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda Dibangun.

4. Untuk Mengetahui Deskripsi dari Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda.

5. Untuk Mengetahui Fungsi dari Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda Ketika

Pada Masa itu dan Pada Masa Sekarang.

3
BAB II

ISI

2.1 Bangunan Sejarah Peninggalan Masa Kolonial Belanda

2.1.1 Gedung Sate Bandung

Sebagaimana namanya, Gedung Sate memiliki cirri khas berupa ornament tusuk

sate pada atapnya. Gedung indah yang telah lama menjadi salah satu cirri khas kota

Bandung tersebut berada di Jalan Diponegoro No. 22, Bandung, Jawa Barat.

Pembangunan gedung ini dimulai pada masa Hindia Belanda di tahun 1920.

Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J. Gerber dan kelompoknya

dengan masukan dari maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus. Pelaksanaan

pembangunannya melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat atau ahli

bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan China dari Konghu

atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen dari penduduk sekitar. Empat

tahun kemudian, tepatnya bulan September 1924, bangunan utama berhasil

diselesaikan. Gedung ini berdiri diatas lahan dengan luas sekitar 30.000 m2 dan luas

bangunan hampir 11.000 m2.

Pembangunan Gedung Sate terkait erat dengan rencana Pemerintah Kolonial

Belanda untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia atau Jakarta sekarang ke

Kota Bandung. Akibat terjadinya resesi ekonomi (malaise) di tahun 1930-an, akhirnya

rencana pemindahan ibu kota Negara beserta bangunan-bangunan pemerintah pusat

dari Batavia ke Bandung tidak dilanjutkan. Saat ini, Gedung Sate berfungsi sebagai

gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.

4
Gedung Sate merupakan bangunan yang memiliki nilai arsitektur tinggi.

Tampilan gedung berwarna putih ini tampak kokoh namun anggun. Dengan gaya

arsitektur tradisional Nusantara. Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan yang

memuji keindahan bangunan ini. keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan taman

disekelilingnya yang terpelihara dengan baik. Tidak heran bila taman ini diminati oleh

masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

(Nunung Marzuki, 2009 : 22)

2.1.2 Istana Bogor

Sesuai dengan namanya, istana ini terletak di kota Bogor, Jawa Barat. Meski

sehari-harinya tidak lagi digunakan untuk kegiatan kepresidenan, namun sesekali Istana

ini masih digunakan untuk kegiatan kenegaraan.

Istana Bogor dibangun pada tahun 1745. Bangunan tersebut berupa pesanggrahan

yang diberi nama Buitenzorg yang artinya bebas masalah/kesulitan Bangunan ini sempat

mengalami beberapa kali kerusakan dan perbaikan yang disertai penambahan dan

perubahan bentuk bangunan. Bangunan istana baru terwujud secara utuh pada masa

pemerintahan Fredinand Charles Pahud de Montager (1858-1861). Tahun 1870, Istana

Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para Gubernur Jendral Belanda.

Pada masa pendudukkan Jepang, bangunan ini dikuasai oleh Jepang. Ketika

Jepang menyerah kepada tentara Sekutu pada masa akhir perang dunia II, Barisan

Keamanan Rakyat (BKR) sempat menduduki Istana Buitenzorg untuk mengibarkan

bendera merah putih. Istana Buitenzorg yang namanya kini menjadi Istana Kepresidenan

Bogor diserahkan kembali kepada pemerintah republik ini pada akhir tahun 1949. Setelah

masa kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia

pada bulan Januari 1950.

5
Saat ini, Istana Bogor bisa dikunjungi oleh khalayak umum dengan sebelumnya

meminta izin ke Sekretaris Negara, c.q. Kepala Rumah Tangga Kepresidenan. Pada hari-

hari libur, area sekitar halaman Istana Bogor biasanya ramai dikunjungi warga yang

berjalan-jalan menikmati suasana sambil memberi makan rusa-rusa dari Nepal yang

dipelihara dan dibiarkan berkeliaran bebas di halaman Istana. (Nunung Marzuki, 2009 :

36)

2.1.3 Istana Cipanas

Istana Cipanas terletak di kaki Gunung Gede, Jawa Barat. Tepatnya, terletak di

Desa Cipanas, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, lebih kurang 103 Km dari Jakarta

ke arah Bandung melalui Puncak.

Nama Cipanas berasal dari bahasa Sunda, yaitu ci atau cai yang berarti air dan

panas yang berarti panas. Daerah ini dinamakan Cipanas karena disini terdapat sumber

air panas yang mengandung belerang. Luas areal komplek Istana ini sekitar 26 hektar,

namun hanya sekitar 7.760 m2 yang digunakan untuk bangunan. Selebihnya digunakan

sebagai area hijau dengan ditumbuhi beragam tanaman yang tertata rapi.

Awalnya bangunan induk Istana ini adalah milik pribadi seorang tuan tanah

Belanda yang dibangun pada tahun 1740. Sejak masa pemerintahan Gustaaf Willem

Baron Van Imhoff, bangunan ini dijadikan tempat peristirahatan Gubernur Jenderal

Hindia Belanda.

Meski sejak awal difungsikan sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan,

tempat ini sempat beralih fungsi menjadi gedung pengobatan bagi anggota militer

Kompeni yang perlu mendapat perawatan. Hal ini karena suasana tempat yang sejuk dan

asri serta kekuatan sumber air panas yang mengandung belerang itu.

6
Setelah kemerdekaan Indonesia, secara resmi gedung tersebut ditetapkan

sebagai salah satu Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Sebagaimana semula,

fungsinya tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan Presiden atau Wakil Presiden RI

beserta keluarganya. (Nunung Marzuki, 2009 : 38)

2.1.4 Benteng Fort de Kock

Benteng Fort de Kock terdapat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Benteng tersebut

berada diatas Bukit Jirek. Lokasinya yang diatas Bukit ini sesuai dengan tujuan

pembangunanya yang digunakan untuk memantau seluruh kota.

Benteng ini dibangun sekitar tahun 1925 oleh Kapten Bever. Nama Fort de Kock

diambil dari nama seorang jenderal yang terkenal dengan strategi benteng stelsel, yang

juga merencanakan pembangunan benteng-benteng di Pulau Jawa dan Sumatera. Nama

Fort de Kock sempat menjadi nama daerah dimana benteng itu didirikan sebelum

akhirnya berganti menjadi Bukit Tinggi.

Benteng ini dibangun sebagai pertahanan Belanda, sekaligus untuk menahan

gempuran rakyat Minangkabau, terutama setelah meletusnya Perang Padri (1821-1827).

Pada masa kepemimpinan Jenderal Riesz, benteng ini juga berfungsi sebagai pusat

operasi penyerangan ke wilayah selatan Sumatera Barat melalui Matur.

Di Benteng ini terdapat parit perlindungan dan beberapa meriam peninggalan

tentara Belanda yang sudah berkarat. Dari menara pengawas yang merupakan bagian

tertinggi di benteng ini, dapat disaksikan pemandangan indah kota Bukit Tinggi serta

kawasan sekitarnya dengan panorama pegununganya. Saat ini, sebagai obyek wisata,

benteng ini dibuat satu komplek dengan kebun binatang dan museum zoologi. (Nunung

Marzuki, 2009 : 47 )

7
2.1.5 Benteng Van der Wijck

Benteng Van der Wijck terletak di Kebumen, Jawa Tengah. Keberadaanya

merupakan saksi bisu perjuangan Pangeran Diponegoro pada awal abad ke-19.

Perlawanan Diponegoro sangat merepotkan Belanda. Untuk membendung

perlawanan pasukan Diponegoro, Belanda lalu menerapkan taktik benteng stelsel, yaitu

dengan segera membangun benteng didaerah yang dikuasai.

Begitu juga yang dilakukan Belanda di daerah Kedu Selatan. Sekitar tahun 1820,

sebagai bagian dari taktik benteng stelsel, Gubernur Jenderal Van den Bosch

memprakarsai pembangunan benteng Van der Wijck. Tujuanya jelas sebagai tempat

pertahanan sekaligus markas penyerangan.

Pada awal didirikan, benteng dengan tinggi tembok 10 m ini diberi nama Fort

Cochius (Benteng Cochius). Sedangkan nama Van der Wijck, yang tercantum pada

bagian depan pintu masuk, merupakan salah seorang perwira militer Belanda yang pernah

menjadi komandan di Benteng tersebut.

Saat ini benteng kuno tersebut telah mengalami renovasi dan dipelihara dengan

baik sebagai obyek wisata. Bangunannya dicat dengan dominasi warna merah. Ruangan-

ruangan bekas barak militer, asrama, dan pos jaga, tampak bersih dan terawatt. Komplek

bangunan seluas 3.606,62 m2 ini juga telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk

kenyamanan pengunjung. (Nunung Marzuki, 2009 : 50)

8
2.2 Deskripsi Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda

2.2.1 Gedung Sate

Gedung Sate berdiri di atas lahan seluas 27.990,895 m2, luar bangunan 10.877,734 m2,

terdiri dari basement seluas 3.039,264 m2, lantai 1 seluas 4.062,553 m2 dengan teras seluas

212,976 m2, lantai 2 seluas 3.023,796 m2 dengan teras seluas 212,976 m2, menara seluas 121

m2 dengan teras menara seluas 205,169 m2. Kuat dan utuhnya gedung sate tidak terlepas dari

bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu

ukuran besar (1x1x2m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung Timur sekitar

Arcamanik dan Gunung Manglayang.

Arsitek Gedung Sate Ir. J.Gerber memadukan beberapa aliran arsitektur kedalam

rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk

bangunannya adalah Rennaisance italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran

Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat “tusuk sate”

dengan 6 buah ornamen sate yang melambangkan 6 juta gulden yaitu jumlah yang digunakan

untuk membangun Gedung Sate. Tampak depan dari Gedung Sate juga ternyata sangat

diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan, Gedung Sate justru sengaja

dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.

Di halaman depan Gedung Sate terdapat sebuah tugu dari batu untuk mengenang tujuh

pemuda yang meninggal karena mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha.

Di lantai 2 terdapat ruang kerja Gubernur, Wakil Gubernur, Sekertaris Daerah, Para Asisten,

dan Biro. Di bagian timur dan barat terdapat dua ruangan besar yang terlihat seperti ballroom

pada bangunan bernuansa Eropa. Ruangan ini disebut aula barat dan aula timur. Terdapat pula

6 tangga dengan masing-masing 10 anak tangga untuk akses ke menara gedung. Saat ini

Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung

Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir. Sudibyo pada tahun 1977 yang

9
difungsikan sebagai Lembaga Legislatif Daerah. (www.jabar.go.id /situs pemerintah jawa

barat)

2.2.2 Istana Bogor

Istana Bogor mempunyai bangunan induk dengan sayap kiri dan sayap kanan.

Keseluruhan komplek Istana mencapai luas 1,5 hektar. Bangunan induk Istana Bogor terdiri

dari Bangunan induk Istana, Sayap kiri bangunan yang memiliki 6 kamar tidur, Sayap kanan

memiliki 4 kamar tidur. Pada tahun 1964 dibangunan bangunan khusus yang dikenal dengan

nama Dyah Bayurini sebagai ruang peristirahatan presiden dan keluarganya. Bangunan ini

termasuk lima paviliun terpisah. Di bangunan ini juga terdapat kantor pribadi Kepala Negara,

perpustakaan, ruang makan, ruang sidan menteri, ruang pemutaran film, ruang Garuda, ruang

Teratai, dan kaca seribu. Di ruang kantor pribadi Kepala Negara terdapat lukisan abad ke-19

“The Russian Wedding” karya Makowski. (www.wikipedia.org)

2.2.3 Istana Cipanas

Istana Cipanas dengan luas area komplek 26 hektar dan luas bangunan 7.760 m2

merupakan bangunan yang digagas oleh Gustaaf Willem Baron Van Imhoff dengan gaya dasar

arsitektur rumah musim panas Eropa, tetapi dengan penguatan arsitektur tropis dengan

menampilkan nuansa Jawa Barat. Hampir seluruh konstruksi bangunan Istana Cipanas dari

lantai hingga atap dibangun dari bahan kayu jati. Elemen besi cor juga digunakan sebagai

penguat dan ragam hias bangunan. Dalam perkembangannya, beberapa lantai dan dinding

direnovasi dengan bahan batu dan batako. Renovasi tersebut menghilangkan desain asli

bangunan yang berkonsep rumah panggung.

Bangunan induk Istana Cipanas mempunyai beberapa ruang tidur, ruang kerja, ruang

tamu, ruang makan, serambi depan, dan serambi belakang. Serambi depan yang ditutup dengan

jendela-jendela kaca yang lebar pada kiri dan kanannya untuk menahan tiupan angin. Lantai

serambi ditinggikan sekitar dua meter dari permukaan tanah untuk membuat kesan lebih
10
anggun. Sedangkan serambi belakang yang lebih luas dari serambi depan menyajikan

pemandangan lereng Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang asri. Ruang makan juga

berfungsi sebagai ruang pertemuan.

Tahun 1916, Pemerintah menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk.

Paviliun-paviliun itu dinamakan Arjuna, Yudhistira, dan Bima. Bagian belakang bagunan

induk juga diperpanjang untuk mementaskan berbagai kesenian. Tahun 1954, Bung Karno

memerintahkan pembangunan sebuah studio terpencil di salah satu puncak bukit dalam

lingkungan Istana Cipanas untuk tempat Ia merenung. Puncak bukit itu dipilih karena orang

dapat melihat pemandangan Gunung Gede di pagi hari dengan jelas sebelum kabut menutupi

puncaknya. Dua orang arsitek- R.M.Soedarsono dan F. Silaban yang menggarap desain studio

itu. Bangunan sederhana dari bahan dasar batu kali dan menonjolkannya sebagai ragam hias

dan karena itu pula bangunan itu disebut Gedung Bentol.

Di dalam Gedung Bentol ini terdapat satu set meja dan kursi kerja, sebuah lemari,

sebuah dipan kecil,dan sebuah meja rendah. Selain itu, di komplek Istana Cipanas kini tersedia

lapangan tenis, lapangan bermain anak-anak, kolam pemancingan ikan, kolam renang, dan

kolam berendam air panas. Tahun 1983, Pemerintah menambahkan dua bangunan baru yakni

Paviliun Nakula dan Sadewa. Di paviliun tersebut digunakan untuk areal perkantoran, mesjid,

perumahan karyawan dan poliklinik. (www.indonesia.go.id)

2.2.4 Benteng Fort de Kock

Benteng Fort de Kock dibangun diatas bukit di ketinggian 985 mdpl. Secara fisik

bangunan benteng di lokasi ini sudah tidak ada. Bangunan yang tersisa hanya berupa bangunan

bak air dengan denah persegi empat. Areal bekas benteng dibatasi oleh parit melingkar sedalam

1 meter dan lebar sekitar 3 meter. Salah satu peninggalan yang masih berhubungan dengan

benteng adalah delapan buah meriam besi yang dipasang di sekeliling areal bekas benteng

11
dengan panjang antara 116-280 sentimeter. Salah satu meriam tersebut terdapat inskripsi yang

menunjukkan angka tahun 1813. Fungsi awal benteng sebagai tempat pertahanan.

Sejak di renovasi pada tahun 2002 lalu oleh Pemerintah Daerah, benteng Fort de Kock

kini berubah menjadi Taman Kota Bukittinggi dan Taman Burung Tropis. Kawasan sekitar

benteng sudah dipugar oleh Pemerintah Daerah menjadi sebuah taman dengan banyak

pepohonan dan taman bermain anak-anak. (kebudayaan.kemdikbud.go.id dan Amir B 2000,

“Sejarah Sumatera Barat”)

2.2.5 Benteng Van Der Wijck

Benteng Van Der Wijck terletak di 4 kilometer utara Gombong, 35 kilometer sebelah

barat dari Ibukota kabupaten Kebumen- Jawa Tengah, dan 18 kilometer dari Kota

Karanganyar. Benteng ini merupakan benteng persegi delapan satu-satunya di Indonesia. Pada

ketinggian 135 Mdpl, benteng ini memiliki benteng atas dan benteng bawah seluas 3.606,625

m2, tinggi benteng 9,67 meter dengan cerobong asap 3,33 meter, dindingnya memiliki

ketebalan 1,4 meter.

Struktur ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama memiliki empat pintu masuk dan 16

kamar besar masing-masing berukuran 18 meter x 6,5 meter, ada pula 27 kamar dengan

berbagai ukuran, 72 jendela, 8 tangga menuju ke lantai dua dan 2 tangga darurat. Di lantai dua

terdapat 70 pintu penghubung, 84 jendela, 16 kamar besar masing-masing berukuran 18 meter

x 6,5 meter, 25 kamar kecil dan 4 tangga menuju ke atap tetapi 2 dari 4 tangga tersebut tidak

diperuntukkan untuk umum.

Dengan kondisi masih asli, benteng ini memiliki atap piramida yang terbuat dari bata

merah, dalam bentuk bukit-bukit kecil dengan 2 lubang ventilasi di atas. Atapnya berukuran 3

x 3 x 1,5 meter. Di bangunan ini ada dua jenis pintu, yaitu pintu utama dan pintu yang mengarah

ke kamar. Pintu utama terdiri dari 4 buah masing-masing berukuran 3,25 x 3 meter. Sedangkan

pintu kamar masing-masing berukuran 2,3 x 2,1 meter. (www.wikipedia.org)


12
2.3 Gambar Bangunan Peninggalan Masa Kolonial Belanda

Benteng Van Der Wijck Istana Cipanas

Gedung Sate Istana Bogor

Benteng Fort de Kock

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam hal ini kami kelompok 3 menyimpulkan dengan adanya beberapa peninggalan
Kolonial di Indonesia. Kita dapat beberapa hal terdahulu dan itu juga merupakan bukti nyata
dari peninggalan Kolonial tersebut.

Jadi, bangunan bersejarah menyimpan banyak cerita penting dari masa lalu cerita
tersebut adalah sebuah jejak sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang harus dijaga untuk
diteruskan kegenerasi berikutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Fanny, Veronica dan Ivan R.B Kaunang. Gaya Bangunan Arsitektur Kolonial pada
Bangunan Umum Bersejarah Dikota Manado.2015. Jurnal Penelitian Universitas Sam
Ratulangi Manado.
http://www.viva.co.id/blog/sejarah/562782-sejarah-penjajahan-belanda-di-indonesia, diakses
tanggal 22 Oktober 2017.
Jurnal Penelitian Universitas Kristen Maranatha.
Marzuki, Nunung. Mengenal Lebih Dekat Bangunan Bersejarah Indonesia.2009. Jakarta:
Pacu Minat Baca.
Waspodo, Yuri Arief.Gedung Bouwpleog yang Ditinjau dari Segi Arkeologi Sejarah dan
juga Arsitektur.2009. Jurnal Penelitian Universitas Indonesia.
www.jabar.go.id /situs pemerintah Jawa Barat, diakses tanggal 22 Oktober 2017

www.wikipedia.org, diakses tanggal 22 Oktober 2017

www.indonesia.go.id, diakses tanggal 22 Oktober 2017

15

Anda mungkin juga menyukai