Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN BERUSIA 21 HARI DENGAN


ATRESIA DUODENUM

DISUSUN OLEH :
M FAKHRI KW G99172104
Periode : 19-20 September 2019

PEMBIMBING :
dr. NUNIK AGUSTRIANI, Sp.B., Sp.BA(K).

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

SEORANG ANAK PEREMPUAN BERUSIA 21 HARI DENGAN


ATRESIA DUODENUM

Hari, tanggal : Kamis, 19 September 2019

Oleh:
M Fakhri KW G99172104

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus Chief Residen,

dr. Nunik Agustriani, Sp.B.,


Sp.BA(K). dr. Rizka
NIP. 19580811 198410 2 001

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas pasien
Nama : An. ATS
Umur : 21 Hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Nomor RM : 0147xxx
Alamat : Ngawi, Jawa Timur
Agama : Islam
Berat Badan : 2,7 kg
Panjang Badan : 56 cm
Tanggal MRS : 9 September 2019
Tanggal Periksa : 19 September 2019

B. Keluhan Utama
Muntah muntah sejak 20 hari SMRS
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 hari setelah lahir pasien selalu muntah muntah saat minum susu.
Muntah dirasakan sekitar +- 1/4-1/3 gelas berwarna kuning kehijauan, muntah
bertambah setiap hari dan selama minum ASI/ susu formula pasien selalu
muntah. Pada pasien keluar residu berwarna kehijauan sejak sekitar 2 Minggu
yang lalu yang lalu dengan jumlah ± 10cc tiap harinya, sejak saat itu pada
pasien dipuasakan dan dipasang OGT.
Keluhan muntah disertai dengan kesulitan BAB, keluarga pasien
mengaku pasien sulit BAB sejak lahir frekuensi BAB pasien 2-3 hari sekali
dengan volume yang sedikit serta konsistensi kadang kadang cair. BAB
berwarna kuning, BAB disertai darah (-).

2
2 hari setelah lahir pasien dipuasakan pada masa perawatan di RSUD
Ngawi pasien dilakukan foto baby gram dan dikatakan tidak terbentuk usus 12
jari. Keluhan demam disangkal, batuk disangkal dan BAK dalam batas normal
Karena direncanakan untuk operasi pasien di rujuk ke salah satu RS
Swasta di Solo untuk dilakukan operasi. Karena keterbatasan sarana pasien
dirujuk lagi ke RS Dr Moewardi Solo

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : SC 29/08/19
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : (+) 29/08/19 sampai sekarang

E. Status Ibu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat jantung : disangkal

F. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu G1P0A0 usia 22 tahun usia kehamilan 37 Minggu lahir
secara SC a.i pinggul sempit, KPD 12 jam
BBL 2700 dan Panjang Badan 49CM.

3
H. Riwayat Kehamilan dan ANC
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal
Riwayat ANC : pasien rutin kontrol kehamilan di bidan

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Sakit Berat, BB: 2,7 kg, PB: 49 cm
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign :
TD : - mmHg
N : 140 x/menit, regular
RR : 35 x/menit
T : 36.8oC
SiO2 : 99%

B. General Survey
Kulit : warna kuning cerah, hiperpigmentasi (-), turgor kulit menurun (-)
Kepala : mesocephal, old man face (-), ubun ubun cekung (-)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+)
mata cekung (-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung(-), sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-) terpasang OGT (+) produk 30cc
kuning kehijauan
Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)
Thorak : normochest, retraksi (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.

4
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (+) di
SIC IV linea sternalis sinistra.
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).

Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, perut distended (+)
Auskultasi : bising usus (+) 6x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), defans muscular (-),
undulasi (-), hepar dan lien sulit dievaluasi,

Ekstremitas :

Akral dingin Oedema


- - - -
- - - -

Ikterik CRT
+ + <2detik <2detik
+ + <2detik <2detik

Genitourinaria : penis (+) normal, scrotum (+) normal, sekret (-), lubang
anus (+).

5
III. ASSESSMENT
1. Atresia Duodenum
IV. PLANNING
1. MRS masuk HCU Neonatus
2. 02 ruangan
3. Diet puasa sementara, NGT dialirkan
4. IVFD D1/4 NS 350 ml
5. Inj Ampicilin (50mg/kg/12 jam) 130mg/12 jam
6. Inj. Gentamicin (4mg/kg/24jam) 40 mg / 24 jam
Plan
1. DR2, albumin, GDS, elektrolit, PT/APTT, HBSAG, kultur darah, HSCRP
2. OMD (Oesophagusgrafi)
3. Foto USG Abdomen
4. Jika KU pasien stabil-> Pro Laparatomi Shunting Procedure

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah (RSDM, 10 September 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13.2 g/dl 10.8-12.8
Hematokrit 40 % 35-43
Leukosit 8.0 ribu/µl 5.5-17.0
Trombosit 16 ribu/µl 150-450
Eritrosit 4.63 juta/µl 4.10-5.30
Golongan Darah O
Golongan Darah Positif
Rh
HOMEOSTASIS
PT 13.9 Detik 10.0-15.0
APTT 29.5 detik 20.0-40.0

6
INR 1.110 -
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 87 mg/dl 50-80
Sewaktu
Albumin 3,7 g/dl 3.8-5.4
Creatinin 0.2 mg/dl 0.3-0.7
Ureum 32 mg/dl <48
ELEKTROLIT
Natrium darah 128 mmol/L 132-145
Kalium darah 3.5 mmol/L 3.1-5.1
Chlorida darah 85 mmol/L 98-106
SEROLOGI
HbsAg Nonreactive Nonreactive

7
Foto Babygram (09/09/19)

KESIMPULAN:
1.Menyokong gambaran atresia duodenum
2.Terpasang Gatric Tube dengan Tip Proyeksi pada Gaster

8
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Usus manusia secara umum terdiri atas usus besar dan usus halus.
Segmen pada usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum.
Duodenum merupakan bagian pertama dari usus setelah lambung. Duodenum
akan diikuti oleh bagian usus yang panjang yang disebut jejunum. Jejunum
diikuti oleh ileum yang merupakan bagian akhir dari usus halus yang akan
menghubungkan usus halus dengan usus besar. Apabila bagian dari usus ini
gagal untuk berkembang pada fetus akan mengakibatkan terjadinya sumbatan
pada usus. Kondisi ini disebut dengan atresia intestinal.
Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada
neonatus yang baru lahir. Atresia intestinal dapat terjadi pada 1 dari 1000
kelahiran. Atresia intestinal dapat terjadi pada berbagai tempat pada usus
halus. 50% kasus atresia intestinal terjadi pada duodenum dengan 57%
perempuan dan 43% laki-laki. 46% kasus terjadi pada jejunoileal dengan 61%
laki-laki dan 39% perempuan.
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak
berkembang baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan
secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju
usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi
secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis.
Stenosis adalah suatu obstruksi lengkap dengan lubang kecil sekunder
diafragma atau web, sedangkan atresia adalah sebuah obstruksi lengkap.
Stenosis duodenum adalah penyempitan atau striktura lumen duodenum yang
abnormal menyebabkan obstruksi yang tidak lengkap. Bedakan dengan atresia
yang menyebabkan obstruksi lengkap stenosis dan atresia duodenum
umumnya terdapat pada bagian pertama dan kedua duodenum, kebanyakan
pada daerah sekitar papilla Vater.
Duodenal atresia terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Beberapa
penelitian juga menyebutkan insiden dari duodenal atresia mencapai 1 dari

9
2000 kelahiran sampai 1 dari 40.000 kelahiran. Sepertiga neonatus yang lahir
dengan duodenal atresia disertai dengan down sindrom. Disamping itu, juga
terdapat penyakit lain yang menyertai seperti penyakit jantung. Di afrika,
insiden dari duodenal atresia terjadi pada 1 dari 5000-10.000 kelahiran.
Atresia duodenal dan jejunoileal merupakan kasus obstruksi intestinal
yang paling sering terjadi di afrika. Atresia duodenal dapat terjadi pada pars
desenden dari duodenum diikuti dengan obstruksi yang terjadi dibawah
ampula vater.
B. Etiologi
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini
belum diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa
anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan.
Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan
pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus,
malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum,
juga diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi.
Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai
penyebab signifikan terjadinya anomali ini. Pada sepertiga pasien dengan
atresia duodenal menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini
bukanlah faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia
duodenal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis
duodenal disebabkan karena polihidramnion.
Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular
pancreas berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal.
Penyebab obstruksi yang tidak lazim adalah jaringan “windsock”
yaitu suatu flap jaringan yang dapat mengembang yang terjadi karena anomali
saluran empedu. Obstruksi duodenum dapat juga disebabkan oleh kompresi
ekstrinsik seperti pankreas anulare atau oleh adanya pita – pita Ladd (Ladd’s
band) pada penderita dengan malrotasi yang berhubungan dengan kegagalan
turunnya caecum, kista enterogenik, dan milk curd obstruction.

10
Penyebab paling sering obstruksi duodenum secara ekstrinsik adalah
adanya pendesakan jaringan pankreas secara komplit atau sebagian pada pars
desenden duodenum. Hal ini dapat terjadi pada semua derajat obstruksi.
Pankreas anulare sering kali baru ditemukan ketika sudah dilakukan
laparotomi atau otopsi karena sering bersifat asimtomatik. Pankreas anulare
merupakan penyebab paling sering obstruksi duodenum pada semua umur
dengan insidensi paling sering pada neonatus dan masa awal anak - anak.
Obstruksi parsial dapat disebabkan oleh pembukaan tengah atau eksentrik dari
diaphragma, atau web mukosa. Kelainan ini kemungkinan saja baru terdeteksi
ketika usia anak – anak, tergantung dari derajat besarnya obstruksi. Obstruksi
inkomplit dapat pula disebabkan oleh penyempitan lumen duodenum karena
pita mesenteriolum akibat terjadinya malrotasi atau karena adanya pankreas
anulare atau pendesakan jaringan pankreas ke dinding duodenum.
Malrotasi dan volvulus merupakan kasus gawat darurat dibidang
bedah yang memerlukan intervensi segera. Malrotasi dan volvulus
kebanyakan terjadi pada periode neonatus dimana berhubungan dengan
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada kasus - kasus dengan
keterlambatan diagnosis. Walaupun demikian beberapa kasus dilaporkan
terjadi pada usia anak besar bahkan dewasa. Manifestasi
klinis klasik dari malrotasi pada bayi baru lahir adalah muntah hijau
dengan atau tanpa distensi abdomen yang berhubungan dengan obstruksi
duodenum atau volvulus midgut. Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana
dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis intestinal, short bowel syndrome,
dan ketergantungan pada nutrisi parenteral total.
Malrotasi merupakan anomali kongenital berupa gagalnya suatu
rotasi/perputaran dan fiksasi normal pada organ, terutama usus selama
perkembangan embriologik. Malrotasi dapat terjadi disertai atau tanpa
volvulus. Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus
terhadap usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dimana
mesenterium itu sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan obstruksi

11
saluran cerna. Keadaan ini disebabkan karena adanya rotasi gelung usus di
sekeliling cabang arteri mesenterika superior.
Lengkung usus tengah yang terletak pada ujung umbilikus berotasi
sebesar 90 derajat berlawanan arah jarum jam (dilihat dari anterior) dengan
arteri mesenterika superior sebagai aksisnya (lengkung kranialmengarah ke
kanan bawah sedangkan lengkung kaudal naik ke kiri atas). Proses tersebut
lengkap setelah minggu ke-8. Selama rotasi,
lengkung kranial usus tengah memanjang dan membentuk lengkung
jejunum - ileum, sedangkan perluasan dari sekum membentuk suatu tunas
yaitu apendiks vermiformis. Pada minggu ke-10 intrauterin, sekum dan usus
halus kembali keintra abdomen dari
saluran tali pusat. Sekum mengadakan rotasi menuju ke kuadran
kanan bawah dan usus halus berotasi dengan aksis arteri mesenterika superior,
sehingga sekum terfiksasi pada kanan bawah dan usus halus terfiksasi pada
peritoneum posterior. Setiap hambatan rotasi dan kembalinya sekum dan usus
halus ke abdomen pada setiap tempat menyebabkan pembentukan pita (Ladd’s
band) yang menyilang duodenum dan sekum yang tidak berotasi sempurna
dan menyebabkan mesenterium usus halus tidak terfiksasi pada dinding
posterior abdomen. Usus halus bebas bergerak tanpa fiksasi sehingga
memungkinkan terjadinya volvulus. Ladd’s Bands merupakan jaringan
fibrosis dari peritoneal yang melekatkan sekum didinding abdomen dan
menimbulkan obstruksi pada duodenum serta khas terdapat pada malrotasi
intestinal. Malrotasi dari intestinal loop dapat bersifat asimptomatik, namun
beresiko terhadap adanya volvulus dikemudian hari.

12
Duodenal web atau duodenal diaphragm merupakan obstruksi komplit
atau inkomplit pada duodenum akibat dari membranous web atau
divertikulum intraluminal. Ada duodenal web biasanya terdapat celah kecil
pada bagian tengah yang membedakannya dari atresia duodenal. Duodenal
web atau duodenal diaphragm dianggap sebagai suatu bentuk ringan dari
atresia. Duodenal web sering muncul sebagai kelainan kongenital dan
bermani"estasi pada masa anak-anak, akan tetapi duodenal web juga dapat
muncul pada masa dewasa.

13
Gambar 2.1.2 Gambaran radiologi dengan barium non-obstruksi
duodenal diaphragm tampak transverse filling defect pada duodenum
(ditunjukkan oleh panah)

Duodenal web atau diafragma sering ditemukan pada bayi. Bentuk


web tersebut tipis, yang terdiri dari mukosa dan submukosa tanpa disertai
lapisan muskular. Gerakan peristaltik menyebabkan diafragma
mengembungkan bagian distal sehingga tampakan klinis terdapat tumpukan
udara. Duodenal web diduga akibat dari kegagalan rekanalisasi lumen
duodenum selama perkembangan janin.

C. Perkembangan Embriologi Duodenum


Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik
dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah
distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil
bentuk melengkung seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini
bersama-sama dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum
membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga
abdomen. Deodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan,
dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium
yang ada didekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan
duodenum serta kaput pankreas menjadi terfikasasi di posisi retroperitonial.
Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali di daerah pilorus
lambung, dengan sebagian kecil duodenum (tutup duodenum) yang tetap
intraperitonial.

14
Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh ploriferasi sel
di dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami rekanalisasi sesudah
bulan kedua. Usus depan akan disuplai oleh pembuluh darah yang berasal
dari arteri sefalika dan usus tengah oleh arteri mesenterika superior, sehingga
duodenum akan disuplai oleh kedua pembuluh darah tersebut.

D. Patogenesis
Ada faktor instrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan
terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan
terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum
dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu
ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami
rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan
atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi
endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya
atau disebabkan kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses
vakuolisasi). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum
berploriferasi dalam usia kehamilan.
30-60 hari atau pada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6,
kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian
akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses
apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan
terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11
kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen
duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum
akan mengalami penyempitan.
Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena
faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan
struktur tetangga, seperti adanya pankreas anular. Pankreas anular merupakan
jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama

15
deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan
perkembangan duodenum.

E. Klasifikasi
Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia
tipe I terjadi pada lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum.
Kandungan lumen diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapar
windsock deformity, dimana bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada
bagian distal dari duodenum yang obstruksi.
Tipe 1 :
kelainan yang terbanyak pada atresia duodenum dimana terdapat
membrandiafragma (atresia) dengan dinding duodenum yang masih ada.
Tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu.
Tipe 2 :
kelainan “two end atresia”, dimana antara ujung atresia
dihubungkan dengan jaringan fibrous. Dikarakteristikan dengan dilatasi
proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous
cord.
Tipe 3 :
jarang ditemukan, merupakan kelainan berupa pemisahan komplit
antara duaujung dari atresia duodenum. Memiliki gap pemisah yang nyata
antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal.

16
F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus.
Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien
dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah
kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering
terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus
ditemukan pada 85% pasien.
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung
cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul
yaitu non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula
veteri.5,6,7 Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah
neonatus mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi
obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi
pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau
seperti susu yang mengental.

17
Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan
nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama
kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus
dicurigai mengalami obstruksi usus.
Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk
menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki
mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan
berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada
beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal.
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi
anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi,
penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi
tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik
dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi
gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami
demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila
temperatur diatas 103º F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur
intestinal atau peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi
distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien
tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada
epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah.
Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam,
tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang
dapat menyebabkan traktus alimentari menjadi kosong. Pada beberapa

18
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah
ke kavum peritoneal.
Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang
berbentuk skafoid. Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang
melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik
duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum
maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian
dinding perut.
Bila obstruksinya total, hanya sedikit kesulitan untuk mengenal
secara klinis, tetapi jika tidak total, pembuatan diagnosis mungkin sangat
sulit. Bila obstruksinya tidak total seperti pada stenosis duodenum, tanda –
tanda (muntah, perut kembung, obstipasi) dapat muncul segera setelah lahir
atau mungkin tertunda sampai kapan pun. Gejala dapat mendekati beratnya
gejala lesi obstruksi total, atau mungkin cukup ringan dan jarang sehingga
terabaikan sampai suatu episode akut atau pemeriksaan diagnostik
menampakkan lesinya.
Saat berumur beberapa bulan/tahun anak dapat menunjukkan gejala
muntah , bilious dan non bilious, bisa timbul saat dewasa (refluks
gastroesofageal, ulserasi peptic, atau obstruksi duodenum proksimal). Gejala
sering tidak berkembang pada masa neonatus. Biasanya anak mengalami
mual intermiten dengan muntah. Muntahan berisi empedu, anak gagal untuk
berkembang, Dapat ditemukan di perut bagian atas kembung, Diwarnai
muntah empedu pada neonatus berusia 24 jam, radiografi polos yang
menunjukkan penampilan gas usus distal yang mengindikasikan stenosis,
membran tidak lengkap, atau anomali duktushepatopancreatik. stenosis
duodenum yang signifikan dan tidak diobati, kondisi ini akan cepat menjadi
fatal sebagai akibat dari hilangnya elektrolit dan ketidakseimbangan cairan.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat
postnatal. (Prenatal) Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan

19
menggunakan prenatal ultrasonografi. Sonografi dapat meng-evaluasi adanya
polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan
gambaran double bubble pada 44% kasus.Sebagian besar kasus atresia
duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada
beberapa penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20.
(Postnatal) Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru
lahir dengan kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni
pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya
muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan
elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan terjadinya
metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan
paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu
dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan pemeriksaan
darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam karena
peritonitis dan kondisi pasien secara umum.
Pemeriksaan rontgen yang pertama kali dilakukan yakni plain
abdominal 3 posisi. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign
tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak
gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat
dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak ke kanan. Apabila
pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia
duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi misalnya karena
muntah, maka udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan
juga akan menyebabkan gambaran double-bubble. Pada pemeriksaan foto
polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan terlihat gambaran 2
bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung lambung dan
duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung mungkin duodenum terisi
penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau membrane prapilorik. Atresia
pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2
gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis

20
duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa
volvulus.

Gambar 4. Foto polos abdomen posisi AP dan lateral yang


memperlihatkan gambaran “the double-bubble sign” pada atresia duodenum

Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan


obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort
besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi
dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi
duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda)
pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan
gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik
yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling
prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang
memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.

21
Gambar 5. Prenatal sonogram pada potongan sagital oblik
memberikan gambaran double bubble sign pada fetus dengan atresia
duodenum. In utero, the stomach (S) dan duodenum (D) terisi oleh cairan.

Sedangkan gambaran radiografi untuk stenosis duodenum adalah


sebagai berikut :

Plain radiograph of duodenal stenosis. adanya gambaran double-buble


sign Menunjukkan adanya udara di lambung dan proximal duodenum

22
yang mengindikasikan adanya obstruksi pada duodenum yang komplit
atau mendekati komplit.

A contrast study illustrating duodenal stenosis. Gambaran radiografi


dengan zat kontras mungkin dapat menunjukkan diagnosis secara lebih
pasti.
Pada gambaran radiografi pada duodenum stenosis terlihat
gambaran adanya sedikit bagian radiolusen yang mnonjol dari lumen
duodenum dan biasanya ada gambaran dilatasi bagian proximal duodenum.
Karena obstruksi pada duodenum incomplete maka ada sebagian kecil gas
yang menyebar melewati bagian usus yang lebih distal.
H. Tata Laksana
Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif,
intraoperatif serta postoperatif.

- Tata Laksana Preoperatif


Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan
dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas
elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan
orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini
dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian besar pasien dengan duodenal
atresia merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan khusus
diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya
hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah,

23
CHD, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam
inkubator.
- Tata Laksana Intraoperatif
Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang
dipilih untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun
atresia. Kemudian, berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai
teknik yang bervariasi, meliputi side-to-side duodenoduodenostomi,
diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke
mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side
duodenoplasty yang panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada
beberapa penelitian teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi
dan obstruksi yang lama. Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering
mengalami blind-loop syndrome.
Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun
open duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada
bagian proksimal secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau
diamond shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian
proksimal secara tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini
akan didapatkan diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini
lebih baik untuk mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus,
duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan menyebabkan proses
perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan minimal.
Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara
tranversal pada kuadran kanan atas pada suprambilikal. Untuk membuka
abdomen maka diperlukan insisi pada kulit secara tranversal, dimulai kurang
lebih 2 cm diatas umbilikus dari garis tengah dan meluas kurang lebih 5 cm
ke kuadran kanan atas. Setelah kita menggeser kolon ascending dan
tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat duodenal yang mengalami
obstruksi. Disamping mengevaluasi duodenal stresia, dapat dievaluasi adanya
malrotasi karena 30% obstruksi duodenal kongenital dihubungkan dengan
adanya malrotasi. Kemudian dilakukan duodenotomi secara tranversal pada

24
dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal yang terdilatasi serta
duodenostomi yang sama panjangnya dibuat secara vertikal pada batas
antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis
dengan menyatukan akhir dari tiap insisi dengan bagian insisi yang lain.
Disamping melakukan open duodenoduodenostomi, pada negara
maju dapat dilakukan teknik operasi menggunakan laparoscopic. Teknik
dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan
diinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada
mid-epigastik kanan.
Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami
obstruksi. Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli
bedah melakukan laparoscopik anatomosis dengan jahitan secara interrupted,
akan tetapi teknik ini memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang
dilaporkan, kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-
clips untuk membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan
bayi akan lebih untuk dapat segera menyusui dibandingkan open
duodenoduodenostomi secara konvensional.
Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka
dilakukan duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan
dibawah area cincin pankreas. Operator tidak boleh melakukan pembedahan
pada pankreas karena akan menyebabkan pankreatik fistula, kondisi demikian
menyebabkan stenosis atau atresia duodenum akan menetap.
- Tata Laksana Postoperatif
Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan.
Pasien menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat
mulai menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi
jangka panjang, maka dapat dipasang kateter intravena baik sentral maupun
perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat untuk memberi suplai
nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode
aspirasi asam lambung yang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena
peristaltik yang tidak efektif atau distensi pada duodenum bagian atas.

25
Permulaan awal memberi makanan oral tergantung pada penurunan volume
gastrik yang diaspirasi.

I. Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi
dehidrasi, terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan,
dapat terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum
(megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.

J. Prognosis
Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-
95%. Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta
abnormalitas kongenital yang multiple. Komplikasi post operatif dilaporkan
pada 14-18% pasien, dan beberapa pasien memerlukan operasi kembali.
Beberapa kondisi yang sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu dioperasi
kembali, yakni kebocoran anstomosis, obstruksi fungsional duodenal, serta
adanya adhesi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richard E, et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta : EGC,
2000.

Escobar MA, Ladd AP, Grosfeld JL, et al. Duodenal atresia and stenosis: long-
term follow-up over 30 years. J Pediatr Surg. Jun 2004

Jong, Wim D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. ECG: Jakarta.

Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Editor


Reksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.

Karrer F, Potter D, Calkins C. Duodenal Atresia. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/932917-print. Updated: Mar 3,
2009. Diakses pada tanggal 13 Januari 2015.

Lewis N.Pediatric Duodenal Atresia and Stenosis Surgery. Tersedia pada


http://emedicine.medscape.com/article/935748-overview#showall. Diakses
pada tanggal 13 Januari 2015.

Mandell G, Karan J. Imaging in Duodenal Atresia. Tersedia pada


http://emedicine.medscape.com/article/408582-overview#showall. Diakses
pada tanggal 13 Januari 2015.

Mandel G. Duodenal Atresia. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/408582-print. Updated 28 Agustus
2007. Diakses pada tanggal 13 Januari 2015.

Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Jilid 3. Jakarta: EGC.

Ronald L. Eisenberg .2003. Gastrointestinal Radiology: A Pattern Approach ed 4.


Lippincott Williams & Wilkins

Rukiyah, Ai Yeyeh. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta : TIM

Traubici J. The Double Bubble Sign. Radiology 2001; 220:463–464.


1

Anda mungkin juga menyukai