1
mencetuskan kontraksi masing-masing otot, sedangkan stimulasi pada area
6 mencetuskan gerakan yang lebih luas dan kompleks, misalnya pada
seluruh ekstremitas atas atau bawah.
Gambar 1.Area motorik primer/girus presentralis (area 4), korteks premotor (area 6), dan lapang
mata prefontal (area 8)
2
Mayoritas serabut traktus piramidalis menyilang di dekusasio
piramidum, kemudian menuruni medula spinalis di funikulus lateralis
kontralateral sebagai traktus kortikuspinal lateralis. Traktus ini memgecil
pada area potong-melintangnya ketika berjalan turun ke bawah medula
spinalis, karena beberapa serabutnya berakhir di masing-masing segmen
disepanjang perjalannya. Sekitar 90% dari semua serabut traktus piramidalis
berakhir membentuk sinaps dengan interneuron, yang kemudian
menghantarkan impuls motorik ke neuron motor gamma yang lebih kecil.
3
Gambar 2. Perjalanan Traktus Piramidalis
4
Gambar 3. Sinaps Traktus Motorik Desendens ke Neuron Kornu Anterius
c. Traktus Kortikonuklearis
Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa
utama traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke
dorsal menuju nuklei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi
nuklei batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi lagi tidak
menyilang. Nuklei yang menerima input traktus piramidalis adalah nuklei
yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui nervus kranialis
IX, X, dan XI (nervus glosofaringeus, nervus vagus, nervus aksesorius) serta
nervus kranialis XII (nervus hipoglosus).
Traktus Kortikomesensefalikus.Ada pula sekumpulan serabut yang
berjalan bersama-sama dengan traktus kortikunuklearis yang tidak berjalan
bersama-sama dengan traktus kortikonuklearis yang tidak berasal dari area 4
atau area 6, tetapi berasal dari area 8, lapang mata frontal. Impuls dari serabut-
serabut ini memediasi gerakan mata konjugat yang merupakan proses motorik
yang kompleks. Karena asal dan fungsinya yang khas, jaras yang berasal dari
lapang mata frontal memiliki nama yang bertbeda (traktus
5
kortikomesensefalikus), meskipun sebagian besar penulis menganggap jaras ini
sebagai bagian dari traktus ortikonuklearis.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
piramidalis (tepat di bagian rostralnya, krus posterius kapsula interna) dan
kemudian mengarah ke bagian dorsal menuju nuklei nervikranialis yang
memediasi pergerakan mata yaitu nervus kranialis III, IV, VI (nervus
okulomotorius, nervus trokhlearis, dan nervus abdesens). Area 8 mempersarafi
otot-otot mata secara eksklusif dengan cara yang sinergistik, bukan secara
individual. Stimulasi pada area 8 mencetuskan deviasi tatapan konjuugat ke sisi
kontralateral. Serabut-serabut traktus kortikomesensefalik tidak langsung
berakhir pada neron motor nuklei nervi kranialis III, IV dan Vi, situasi anatomis
di daerah ini rumit dan masih belum dipahami.
6
atas) dan juga membuat hubungan propiospinal yang pendek. Serabut-serabut
ini terutama berperan pada gerakan volunter lengan bawah dan tangan,yaitu
untuk kontrol motorik halus yang tepat dan terampil. Sebaliknya, traktus
medial mempersarafi neuron motor yang terletak lebih medial di kornu anterius
dan membuat hubungan propiospinal yang relatif panjang. Serabut ini terutama
berperan pada gerakan tbuh dan ekstremitas bawah (postur dan gait)
7
khas yang berkaitan dengan lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas
atas bagian distal yang dominan, konsekuensi fungsional yang terberat
adalah gangguan kontrol motorik halus. Kelemahan tersebut tidak total
(paresis, bukan plegia), dan lebih berupa gangguan flaksid, bukan bentuk
spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal) sebagian besar tidak
terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut dapat menimbulkan kejang fokal
(jacksonian)
2) Jika kapsula interna(b, pada Gambar 4.) terlibat (misalnya, oleh
perdarahan atau iskemia), akan terjadi hemiplegia spastik kontralateral—
lesi pada level ini mengenai serabut piramidal dan serabut non piramidal,
karena serabut kedua jaras tersebut terletak berdekatan. Traktus
kortikonuklearis juga terkena, sehingga terjadi paresis nervus fasialis
kontalateral, dan mungkin disertai oleh paresis nervus hipoglosus tipe
sentral. Namun tidak terlihat defisit nervus kranialis lainnya karena nervus
kranialis lainnya mendapat persarafan bilateral. Paresis pada sisi
kontralateral awalnya berbentuk flaksid (pada “fase syok”) tetapi menjadi
spastik dalam beberapa jam atau hari akibat kerusakan pada serabut-serabut
nonpiramidal yang terjadi bersamaan.
3) Lesi setingkat pedunkulus serebri (c, pada Gambar 4.), seperti proses
vaskular, perdarahan, atau tumor, menimbulkan hemiparesis spastik
kontralateral yang dapat disertai oleh kelumpuhan nervus okulomotorius
ipsilateral (Sindroma Weber).
4) Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (d, pada Gambar 4.;
contohnya pada tumor, iskemia batang otak, perdarahan) menyebabkan
hemiparesis kontralateral atau mungkin bilateral. Biasanya tidak semua
serabut traktus piramidalis terkena karena serabut-serabut tersebut
menyebar di daerah potong-lintang yang lebih luas di daerah pons
dibandingkan di daerah lainnya (misalnya, setingkat kapsula interna).
Serabut-serabut yang mempersarafi nukleus fasialis dan nukleus
hipoglosalis telah berjalan ke daerah yang lebih dorsal sebelum mencapai
tingkat ini; dengan demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan nervus
8
fasialis tipe sentral jarang terjadi, meskipun dapat disertai oleh defisit nervus
trigeminus atau nervus abdusens ipsilateral (Gambar 5. Dan Gambar 6.)
5) Lesi pada piramid medula (e pada Gambar 4.; biasanya akibat tumor)
dapat merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena
serabut-serabut nonpiramidal terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini.
Akibatnya, dapat terjadi hemiparesis flaksid kontralateral. Kelemahan tidak
bersifat total (paresis, bukan plegia), karena jaras desendenss lain tidak
terganggu.
6) Lesi traktus piramidalis di medula spinalis. Suatu lesi yang mengenai
traktus piramidalis pada level servikal (f, pada Gambar 4.;misalnya, akibat
tumor, mielitis, trauma) menyebabkan hemiplegia spastik ipsilateral;
ipsilateral karena traktus tersebut telah menyilang pada level yang lebih
tinggi, dan spastik karena traktus tersebut mengandung serabut-serabut
piramidalis dan non piramidalis pada level ini. Lesi bilateral di medula
spinalis servikalis bagian atas dapat menyebabkan kuadriparesis atau
kuadriplegia.
9
Gambar 4 Lokasi-lokasi lesi potensial pada Traktus Piramidalis
10
Gambar 5 Sindroma Tegmentum Pontis Orale
11
Gambar 6. Sindroma Basis Pontis bagian Tengah
12
hipertensi atau usia lanjut merupakan indikasi telah terjadi stroke. Jika tidak
terdapat gejala-gejala serebral, dapat diduga terjadi myelitis transversus dari korda
spinalis servikal, tetapi kondisi ini berprogresi secara lambat (beberapa hari) dan
lebih sering menyerang keempat tungkai. Begitu pula dengan sklerosis multipel
yang biasanya bermanifestasi menjadi tanda kortikospinal bilateral daripada
hemiplegia murni.
Jika hemiparesis yang berasal dari serebral berprogresi dalam hari atau
minggu, dapat dicurigai lesi massa serebral, baik pada pasien anak-anak atau
dewasa. Selain tumor otak, kemungkinan lain termasuk malformasi arteriovenosus,
abses otak, atau infeksi lainnya. Kelainan otak metabolik biasanya mengakibatkan
tanda bilateral dengan gangguan mental, tetapi merupakan penyebab hemiparesis
yang jarang. Secara umum, hemiparesis biasanya merujuk pada lesi serebral
daripada lesi di leher, dan penyebabnya dapat ditemukan dengan melihat gejala
klinis dan dengan CT atau MRI.
a. Anamnesis
Jenis awitan. Awitan yang mendadak merujuk pada gangguan vaskular,
seperti stroke, atau akibat racun tertentu atau gangguan metabolik. Awitan subakut,
dalam beberapa hari sampai minggu, biasanya berhubungan dengan proses
neoplastik, infektif, atau inflamasi. Kelumpuhan yang timbul secara perlahan
dalam beberapa bulan atau tahun biasa memiliki dasar herediter, degeneratif,
endokrinologik, atau neoplastik.
Perjalanan. Peningkatan progresif defisit neuron motorik dari awitannya
merujuk pada aktivitas yang berlanjut dari proses yang menyebabkan kelumpuhan.
Progresi episodik merujuk pada penyebab vaskular atau inflamasi. Progresi secara
stabil lebih merujuk pada kelainan neoplastik atau kondisi degeneratif. Fluktuasi
cepat dari gejala dalam periode yang cepat merupakan karakteristik myasthenia
gravis.
Gejala yang berhubungan. Distribusi kelumpuhan dan keberadaan gejala
yang berhubungan dapat mengindikasikan tempat terjadinya lesi. Contohnya,
kelumpuhan pada tangan dan kaki kanan dapat disebabkan oleh lesi dari korteks
motorik kontralateral atau traktus kortikospinal di atas segmen servikal 5 korda
spinalis. Kelumpuhan muka bagian kanan mengindikasikan lesi berada di atas
tingkat nukleus nervus fasialis (N. VII) pada batang otak, dan adanya aphasia atau
gangguan lapang pandang mengindikasikan lesi pada hemisfer serebral.
13
Rekam medis. Kepentingan rekam medis tergantung dari keluhan pasien
sekarang dan penyakit sebelumnya. Misalnya, pada pasien dengan karsinoma paru,
kelumpuhan tungkai dapat merupakan metastasis atau komplikasi nonmetastatik
dari kanker. Kelumpuhan kaki pada pasien diabetes dapat merupakan komplikasi
yang mempengaruhi saraf atau pleksus perifer.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan
urutan tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
1) Pengamatan:
o Gaya berjalan dan tingkah laku
o Simetri tubuh dan ektremitas
o Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll
2) Gerakan volunteer
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa,
misalnya:
o Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu
o Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti
o Mengepal dan membuka jari-jari tangan
o Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul
o Fleksi dan ekstensi artikulus genu
o Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki
o Gerakan jari- jari kaki
3) Palpasi otot
o Pengukuran besar otot
o Nyeri tekan
o Kontraktur
o Konsistensi
Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
- Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis,
HNP
- Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
- Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
- Kontraktur otot
14
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada:
Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot
Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di “motor end plate”
4) Perkusi otot
o Normal : Otot yang diperkusi akan berkontraksi yang
bersifat setempat dan berlangsung hanya 1 atau
2 detik saja
o Miodema : Penimbunan sejenak tempat yang telah
diperkusi (biasanya terdapat pada pasien
mixedema, pasien dengan gizi buruk)
o Miotonik : Tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk
beberapa detik oleh karena kontraksi otot yang
bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
5) Tonus otot
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa
kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada
sendi siku dan lutut.
o Normal : Terdapat tahanan yang wajar
o Flaksid : Tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan
LMN)
o Hipotoni : Tahanan berkurang
o Spastik : Tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini
dijumpai pada kelumpuhan UMN
o Rigid : Tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada
Parkinson.
6) Kekuatan otot
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan
otot ada dua cara:
a. Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan
pemeriksa menahan gerakan ini
b. Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia
disuruh menahan
15
Cara menilai kekuatan otot:
0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada
persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut
2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitasi)
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)
Dari pemeriksaan motorik kita dapat membedakan apakah lesi Sindrom
Spastik Flaksid
Hipertoni Atoni
16
o Gangguan gerak-otot asosiatif
Gangguan yang ditimbulkan serebelum :
o Gangguan sikap dan tonus
o Ataksia/gangguan koordinasi gerakan
o Dismetria/gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada
waktunya/tepat pada tempat yang dituju
o Tremor intensi. tremor yang timbul waktu melakukan gerakan
volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan hampir mencapai
tujuannya
o Tiga fungsi penting dari serebelum adalah keseimbangan pengatur
tonus otot dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunteer
7) Gait
o Hemiplegik gait (gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara
sirkumduksi)
o Spastik/ Scissors gait (gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai)
o Tabetic gait (gaya jalan pada pasien tabes dorsalis)
o Steppage gait (gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese
flaccid/paralisis n. peroneus)
o Waddling gait (gaya berjalan dengan pantat & pinggang bergoyang
berlebihan khas untuk kelemahan otot tungkai proximal misal otot gluteus)
o Parkinsonian gait (gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk,
kedua tungkai berfleksi sedikit pada sendi lutut & panggul. Langkah
dilakukan setengah diseret dengan jangkauan yang pendek-pendek)
17
BAB II
DIAGNOSIS DIFERENSIAL HEMIPARESIS
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah defisit neurologis, baik fokal maupun global yang
terjadi secara mendadak, oleh karena gangguan pembuluh darah otak
(cerebrovaskular), yang mempunyai pola gejala yang berhubungan dengan
waktu.
Kata stroke berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu serangan
mendadak seperti disambar petir . Stroke adalah serangan otak yang terjadi secara
tiba-tiba dengan akibat kematian atau kelumpuhan bagian tubuh. Karena sifatnya
yang menyerang itu, sindrom ini diberi nama stroke yang artinya kurang lebih
pukulan telak dan mendadak. Stroke disebut juga sebagai CVA (cerebro-vaskuler
accident).
Menurut WHO, penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah
pembunuh nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi akibat
stroke pada tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian. di
Indonesia dari data Departemen Kesehatan R.I. (2009), prevalensi stroke mencapai
angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi
adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah
adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk).
2.1.2 Klasifikasi
a) Berdasarkan waktu terjadinya
1) TIA (Transient Ischemic Attack)
Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu
singkat dapat dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi
lokal. Secara klinis, gejala yang timbul adalah Transient Ischemic
Attack(TIA) yang timbul dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia
umum sepintas, yaitu selama < 24 jam.
TIA atau yang disebut serangan iskemik sesaat adalah serangan pada
pembuluh darah otak karena terjadi gangguan akut dari fungsi fokal serebral
dengan tanda dan gejala yang hampir sama dengan stroke, tetapi semua
18
gejala kelumpuhan dan defisit neurologis tersebut akan hilang kurang dari
24 jam biasanya disebabkan karena emboli atau trombosis. Sebanyak 50%
dari TIA telah sembuh dalam waktu 1 jam dan 90% telah sembuh dalam
waktu 4 jam. Dengan demikian pada umumnya setelah 4 jam sudah dapat
dibedakan antara TIA dengan stroke (komplit). Oleh karena otak mendapat
darah dari dua sistem, yaitu sistem karotis dan sistem vertebrobasilaris.
2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas sehingga penurunan
CBF regional lebih besar. Pada keadaan ini, mekanisme kompensasi masih
mampu memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai
2 minggu. Keadaan ini secara klinis disebut Reversible Ischemic Neurologic
Deficit (RIND).
3) Progressing stroke atau Stroke in evolution
Sumbatan cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas,
sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tidak dapat mengatasinya.
Dalam keadaan ini timbul defisit neurologis yang berlanjut.Pada bentuk ini
kelainan yang ada masih terus berkembang ke arah yang lebih berat.
4) Completed stroke
Completed stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada
sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi.
19
2.1.3 Faktor Risiko
Berbagai faktor resiko berperan bagi terjadinya stroke antara lain:
1) Faktor resiko yang tak dapat dimodifikasi, yaitu :
Kelainan pembuluh darah otak, biasanya merupakan kelainan
bawaan. Pembuluh darah yang tidak normal tersebut dapat pecah
atau robek sehingga menimbulkan perdarahan otak.
Jenis kelamin dan penuaan, pria berusia 65 tahun memiliki
resiko terkena stroke iskemik ataupun perdarahan intra serebrum
lebih tinggi sekitar 20 % daripada wanita. Resiko terkena stroke
meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai 50 tahun,
setiap penambahan usia 3 tahun meningkatkan risiko stroke
sebesar 11-20%, dengan peningkatan bertambah seiring usia
terutama pada pasien yang berusia lebih dari 64 tahun dimana
pada usia ini 75% stroke ditemukan.
Riwayat keluarga dan genetika, kelainan turunan sangat jarang
menjadi penyebab langsung stroke. namun gen berperan besar
dalam beberapa faktor risiko stroke misalnya hipertensi,
penyakit jantung, diabetes, dan kelainan pembuluh darah.
Ras
Di Amerika Serikat, insidens stroke lebih tinggi pada populasi
kulit hitam daripada populasi kulit putih. Lelaki negro memiliki
insidens 93 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian mencapai
51% sedang pada wanita negro memiliki insidens 79 per 100.000
jiwa dengan tingkat kematian 39,2%. Lelaki kulit putih memiliki
insidens 62,8 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian
mencapai 26,3% sedang pada wanita kulit putih memiliki
insidens 59 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian 39,2%.
20
Hipertensi, merupakan faktor resiko utama bagi terjadinya
trombosis infark cerebral dan perdarahan intrakranial.
Hipertensi mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya
pembuluh darah otak. Pecahnya pembuluh darah otak
menimbulkan perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah
otak menyempit maka aliran darah ke otak terganggu
mengakibatkan sel-sel otak mengalami kematian. Usia 30
tahun merupakan kewaspadaan terhadap munculnya
hipertensi, makin lanjut usia seseorang makin tinggi
kemungkinan terjadinya hipertensi.
Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung berpotensi
menyebabkan stroke dikemudian hari antara lain: penyakit
jantung rematik, penyakit jantung koroner, dan gangguan
irama jantung. Faktor resiko ini umumnya menimbulkan
sumbatan/hambatan darah ke otak karena jantung melepas
gumpalan darah atau sel-sel/jaringan yang mati ke dalam
aliran darah. Munculnya penyakit jantung dapat disebabkan
oleh hipertensi, diabetes mellitus, obesitas ataupun
hiperkolesterolemia.
Diabetes mellitus, penyakit diabetes mellitus menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah otak yang berukuran
besar dan akhirnya mengganggu kelancaran aliran darah
otak dan menimbulkan infark otak.
Hiperkolesterolemia, meningginya kadar kolesterol dalam
darah, terutama LDL merupakan faktor resiko penting bagi
terjadinya aterosklerosis sehingga harus segera dikoreksi.
Serangan iskemik sesaat, sekitar 1 dari 100 orang dewasa
akan mengalami paling sedikit satu kali serangan iskemik
sesaat ( transient ischemic attack atau TIA) seumur hidup
mereka. Jika tidak diobati dengan benar, sekitar
sepersepuluh dari pasien ini akan mengalami stroke dalam 3
21
bulan serangan pertama, dan sekitar sepertiga akn terkena
stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.
Obesitas, berat badan berlebih, masih menjadi perdebatan
apakah suatu faktor resiko stroke atau bukan.
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
jantung sehingga obesitas mungkin menjadi faktor resiko
sekunder bagi terjadinya stroke.
Merokok, merokok dapat meningkatkan konsentrasi
fibrinogen; peningkatan ini akan mempermudah terjadinya
penebalan dinding pembuluh darah dan peningkatan
viskositas darah sehingga memudahkan terjadinya
aterosklerosis.
2.1.4 Patofisiologi
Dari percobaan pada hewan maupun manusia, ternyata derajat
ambang batas aliran darah otak yang secara langsung berhubungan dengan
fungsi otak, yaitu :
a. Ambang fungsional
Adalah batas aliran darah otak, sekitar 50-60 cc/ 100 gram/ menit,
yang bila tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal,
tetapi integritas sel-sel saraf masih utuh.
ISKEMIA OTAK
22
Iskemia otak adalah gangguan aliran darah otak yang
membahayakan fungsi neuron tanpa perubahan yang menetap. Bila aliran
darah otak turun pada batas kritis yaitu 10 – 18 ml/ 100 gram otak/ menit
maka akan terjadi penekanan aktivitas neuronal tanpa perubahan struktural
dari sel. Daerah otak dengan keadaan ini dikenal sebagai penumbra iskemik.
Di sini sel relatif inaktif tapi masih viable.
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen
akibat perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang
berbeda, yaitu :
23
Pada 3 jam permulaan iskemia, akan terjadi kenaikan kadar air dan
natrium pada substansia grisea, dan setelah 12 – 48 jam terjadi kenaikan
yang progresif dari kadar air dan natrium pada substansia alba, sehingga
memperberat edem otak dan meningkatkan tekanan intrakranial.
Pelepasan asam lemak bebas. Oksidasi dari asam lemak bebas ini
akan menghasilkan metabolit-metabolit yang lebih toksik seperti
radikal bebas, prostaglandin yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatnya agregasi trombosit, nantinya akan mengakibatkan
perubahan sel yang irreversibel.
24
Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh
dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai bagian produk dari
metabolisme oksidatif terutama dalam mitokondria. Pada keadaan
iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting karena
merupakan bagian dari patofisiologi iskemi fokal maupun global.
Superoksida, radikal bebas oksigen telah ditemukan pada iskemia
terutama pada periode reperfusi jaringan, yang berasal dari proses
alamiah maupun sebagai tindakan pengobatan. Radikal bebas
oksigen dihasilkan dari proses lipolisis kaskade arakhidonat dalam
sel-sel di daerah penumbra. Sumber lain dari superoksida ialah
aktivitas enzimatik (monoaminoksidase) dalam otooksidase dari
biologiamin (epinefrin, serotonin dan sebagainya). Pada iskemia
fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktivitasnya karena :
i. Timbulnya edema otak vasogenik / seluler, telah diketahui
bahwa endotelium memproduksi oksida nitrit (NO) dan pada
keadaan patologik menghasilkan radikal bebas yang akan
memperburuk timbulnya edema.
ii. Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium
akibat kerusakan membran sel yang berkaitan dengan pompa
ion. Gangguan ini mempercepat kalsium influks dan natrium
influks ke dalam sel.
iii. Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik
neurotransmitter glutamat. Meningkatnya aktivitas superoksida
mempercepat dan memperbesar pengeluaran neurotransmitter
eksitatorik glutamat dan aspartat. Usaha pengobatan dilakukan
untuk menghambat akibat dari ekses superoksida dengan
pemberian anti oksidan seperti glutation, vitamin E, dan L
arginin.
Penurunan kadar ATP
Terjadi asidosis.
25
Dengan ditemukannya Positron Emission Tomography (PET)
menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara aliran darah otak dengan
metabolisme. Pada 24 – 48 jam pertama terjadi penurunan aliran darah otak
lebih besar daripada gangguan metabolisme oksigen, akan tetapi setelah 72
jam terjadi penurunan yang nyata dari metabolisme dibandingkan aliran
darah otak. Dengan PET dapat pula diketahui bahwa pada infark akut di satu
hemisferium dapat mengakibatkan penurunan aliran darah otak serta
gangguan metabolisme pada hemisferium yang kontralateral.
INFARK OTAK
26
Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau
reperfusi pada penutupan atau penghentian aliran darah ke otak
mencetuskan beberapa reaksi kompleks di tingkat mikrosirkulasi, iskemia
berupa edema jaringan, vasospasme kapiler/arteriol, penggumpalan sel-sel
darah merah, asidosis jaringan, aliran kalsium masuk ke dalam sel, dan
dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat demikian hebat sehingga
disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat munculnya gejala
neurologik yang relatif menetap.
27
Perubahan akibat proses hemodinamik dimana tekanan perfusi sangat menurun
karena sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri seperti sumbatan arteri
karotis atau vertebro-basilar.
Perubahan akibat perubahan sifat darah, misalnya sickle-cell, leukemia akut,
polisitemia, hemoglobinopati dan makroglobulinemia.
Tersumbatnya pembuluh darah akibat emboli daerah proksimal, misalnya
“artery to artery thrombosis”, emboli jantung dan lain-lain.
Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu,
maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini
dimulai di tingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktur sel yang diikuti
dengan kerusakan pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel,
selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron.
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan pada ekstraseluler,
karena peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat
neurotransmitter (glutamat) serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai
kerusakan blood brain barrier. Seluruh proses ini merupakan perubahan yang
terjadi pada stroke iskemik.
Pada fase stroke akut, perubahan terjadi pada aliran darah otak. Pada
daerah yang terkena iskemia, aliran darah menurun secara signifikan. Secara
mikroskopik daerah yang iskemik (penumbra) yang pucat ini dikelilingi oleh
daerah yang hiperemis di bagian luar, yaitu daerah yang disebut sebagai “luxury
perfusion” karena melebihi kebutuhan metabolik, sebagai akibat mekanisme
sistem kolateral yang mencoba mengatasi keadaan iskemia. Di daerah sentral
dari fokus iskemik ini terdapat inti yang terdiri atas jaringan nekrotik atau
jaringan dengan tingkat iskemi yang terberat.
28
Konsep “penumbra iskemia” merupakan dasar pada pengobatan stroke,
karena merupakan manifestasi terdapatnya struktur seluler neuron yang masih
hidup dan mungkin masih reversibel apabila dilakukan pengobatan yang cepat.
Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi harus
tepat waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat,
sehingga neuron penumbra tidak mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai “therapeutic window” yaitu
jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan melakukan
tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu diingat di
daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme
oksidatif sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat minimal mengalami proses
depolarisasi neuronal.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah
iskemia, sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan
oksigen / karbondioksida menghilang. Selain itu mekanisme patologi lain yang
terjadi pada aliran darah otak adalah, berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer
di sisi yang sama dan juga di sisi hemisfer yang berlawanan (diaschisis) dalam
tingkat yang lebih ringan.
Perubahan aliran darah otak bersifat umum / global akibat stroke ini
disebut diaschisis (Meyer et al), yang merupakan reaksi global terhadap aliran
darah otak, dimana seluruh aliran darah otak berkurang / menurun. Kerusakan
hemisfer terutama / lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari
sumbatan).
Proses diaschisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu)
tergantung luasnya infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan
global dan pengaturan neurotransmiter.
29
cc/ 100 gram otak / menit, menyebabkan aktivitas otak listrik berhenti walaupun
kegiatan ion-pump masih berlangsung.
Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron penumbra masih
hidup jika CBF berkurang di bawah 20 cc/ 100 gram otak / menit dan kematian
neuron akan terjadi apabila CBF di bawah 10 cc/ 100 gram otak / menit.
Daerah penumbra pada “misery perfusion” ini, jika aliran darahnya
dicukupi kembali sebelum “therapeutic window”, dapat kembali normal dalam
waktu singkat. Sedangkan sebagian lesi tetap akan mengalami kematian setelah
beberapa jam atau hari setelah iskemik otak temporer.
Dengan kata lain di daerah “ischemic core” kematian sudah terjadi
sehingga mengalami nekrosis akibat kegagalan energi (energy failure) yang
secara dahsyat merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis
(sitolisis), di lain pihak pada daerah penumbra jika terjadi iskemia
berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya sehingga
akan terjadi kematian sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis :
disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding
sel yang disebut “programmed cell death”.
Kumpulan sel-sel ini disebut sebagai “selectively vulnerable neuron”.
Pada neuron-neuron tersebut terdapat hierarchi sensitivitas terhadap iskemia
diawali pada daerah hypokampus CA I dan sebagian kolikulus inferior,
kemudian jika iskemia lebih dari 5 menit (10-15 menit) akan diikuti oleh lapis 3
dan 5 dari Neocortex Striatum Septum, sektor CA 3 hipokampus, talamus,
korpus genikulatum medial dan substansia nigra. Meskipun ditemukan pada
binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di daerah sistem limbik dan ganglia
basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap iskemia. Hal yang juga menarik
adalah bahwa sel-sel yang sensintif terhadap iskemia terutama merupakan
bagian dari serabut yang terisi glutamat. Iskemia menyebabkan aktivitas
intraseluler Ca2+ meningkat menyebabkan aktivitas Ca2+ di “synaptic cleft”
bertambah dengan akibat sekresi yang berlebihan dari neurotransmitter termasuk
glutamat, aspartat dan kainat yang bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992),
membuktikan bahwa, akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat
30
yang dikeluarkan oleh sel, menyebabkan juga aktivasi reseptor neurotropik yang
merangsang pembukaan Ca2+ channel yang tidak tergantung pada kondisi
tegangan potensial membran seluler disebut “receptor operated gate opening”
disamping terbukanya Ca2+ channel akibat aktivasi NMDA reseptor “voltage
operated gate opening” yang telah terjadi sebelumnya. Kedua proses tersebut
mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke dalam ruang intraseluler.
Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan membran sel
dan rangka sel (cytoskeleton) melalui terganggunya proses fosforilase dari
regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis yang akan
menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel
dapat langsung terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total
dari sel karena berhentinya aliran darah. Disamping itu desintegrasi sitoplasma
dan disrupsi membran sel juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat
lebih memperburuk keadaan lingkungan seluler.
31
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan
anamnesis
32
Algoritma Stroke Gadjah Mada
33
3b. Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score
Tabel Siriraj Stroke Score (SSS)
Pemeriksaan Penunjang
Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan
penyebab seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang
disebut CT scan otak sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk
mencari perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang sangat berbeda
dengan stroke yang memerlukan penanganan yang berbeda pula.
CT Scan berguna untuk menentukan:
jenis patologi
lokasi lesi
ukuran lesi
menyingkirkan lesi non vaskuler
MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang
magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh
lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan
garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI
perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan kemudian selama
perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan
keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti,
34
pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek
pada daerah magneti kuat suatu MRI.
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk
secara spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan
pipa atau injeksi), suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance
angiogram). Metode MRI lain disebut dengan diffusion weighted imaging
(DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik ini dapat mendeteksi
area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak yang berhenti,
dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih dari 6
jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat
mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan untuk
mengevaluasi pasien stroke.
Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat
warna yang disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di
otak dapat memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous
malformation. Seperti abnormalitas aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi
dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser angiogram
konvensional.
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-
kadang digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang
dimasukkan ke dalam arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna
diinjeksikan sementara foto sinar-x secara bersamaan diambil. Meskipun
angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang paling detail,
tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika
benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika
sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-
kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika
pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan
untuk dilakukan.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa
injeksi atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk
35
menampakkan penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis
(arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak)
Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering
dilakukan pada pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram
adalah tes dengan gelombang suara yang dilakukan dengan menempatkan
peralatan microphone pada dada atau turun melalui esophagus (transesophageal
achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan
electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada
selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang
abnormal.
Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang
dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk
adanya arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat
meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah juga diukur.
Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi
atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening
mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit
mungkin juga perlu dipertimbangkan.
36
Tabel Karakteristik MRI pada stroke hemoragik dan stroke infark
37
2.1.6 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
Terapi Umum
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
Perbaikan jalan nafas dengan pemasangan pipa orofaring.
Pada pasien hipoksia diberi suplai oksigen
b. Stabilisasi hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari cairan
hipotonik)
Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik < 120mmHg dan cairan sudah
mencukupi, dapat diberikan obat-obat vasopressor.
Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam pertama.
Bila terdapat CHF, konsul ke kardiologi.
c. Pemeriksaan awal fisik umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal
Derajat kesadaran
Pemeriksaaan pupil dan okulomotor
Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian peninggian TIK
Pemantauan ketat terhadap risiko edema serebri harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik
pada hari pertama stroke
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan pasien
yang mengalami penurunan kesadaran
Sasaran terapi TIK < 20 mmHg
Elevasi kepala 20-30º.
Hindari penekanan vena jugulare
Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
Hindari hipertermia
38
Jaga normovolemia
Osmoterapi atas indikasi: manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20
menit, diulangi setiap 4-6 jam, kalau perlu diberikan furosemide
dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV.
Intubasi untuk menjaga normoventilasi.
Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke
iskemik serebelar
e. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti
phenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit.
Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat
antiepilepsi profilaksis, selama 1 bulan dan kemudian diturunkan
dan dihentikan bila kejang tidak ada.
g. Pemeriksaan penunjang
EKG
Laboratorium: kimia darah, fungsi ginjal, hematologi dan faal
hemostasis, KGD, analisa urin, AGDA dan elektrolit.
Bila curiga PSA lakukan punksi lumbal
Pemeriksaan radiologi seperti CT scan dan rontgen dada
39
Kebutuhan cairan 30 ml/kgBB.
Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah pengeluaran cairan yanng tidak dirasakan.
Elektrolit (sodium, potassium, calcium, magnesium) harus selalu
diperiksaa dan diganti bila terjadi kekuranngan.
Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil AGDA.
Hindari cairan hipotonik dan glukosa kecuali hipoglikemia.
2. Nutrisi
Nutrisi enteral paling lambat dalam 48 jam.
Beri makanan lewat pipa orogastrik bila terdapat gangguan menelan atau
kesadaran menurun.
Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari
kuman.
Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas.
4. Penatalaksanaan medik yang lain
Hiperglikemia pada stroke akut harus diobati dan terjaga normoglikemia.
Jika gelisah dapat diberikan benzodiazepin atau obat anti cemas lainnya.
Edukasi keluarga.
Discharge planning.
40
1. Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan
anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant
tissue Plasminogen Activator).
2. Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam.
41
Tidak dioperasi bila :
pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal
pasien dengan GCS < 4. Meskipun pasien dengan GCS <4 dengan
perdarahan serebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk live
saving.
Dilakukan operasi bila :
pasien dengan perdarahan serebral > 3 cm dengan perburukan klinis atau
kompresi btang otak dan hidrosefalus harus segera dibedah.
PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma, malformasi AV dibedah jika
mempunyai harapan outcome yangt baik dan lesi strukturalnya terjangkau
Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang sampai dengan besar
yang memburuk.
-Pengelolaan Operatif
Tujuan pengelolaan operatif adalah : Pengeluaran bekuan darah, Penyaluran
cairan serebrospinal & Pembedahan mikro pada pembuluh darah.
Yang penting diperhatikan selain hasil CT Scan dan arteriografi
adalah keadaan/kondisi pasien itu sendiri.
2.1.7. Komplikasi
Komplikasi pada stroke sering terjadi dan menyebabkan gejala
klinik stroke menjadi semakin memburuk. Tanda-tanda komplikasi harus
dikenali sejak dini sehingga dapat dicegah agar tidak semakin buruk dan
dapat menentukan terapi yang sesuai. Komplikasi pada stroke yaitu:
1. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama):
1. Edema serebri:
2. Abnormalitas jantung
3. KejangNyeri kepala
4. Gangguan fungsi menelan dan asprasi
42
2. Emboli paru
3. Perdarahan gastrointestinal:
4. Stroke rekuren
5. Abnormalitas jantung
6. Deep vein Thrombosis (DVT)
7. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin
43
— -Berdasarkan gambaran histopatologi,klasifikasi tumor otak yang penting
dari segi klinis, dapat dilihat pada Tabel-1 (dikutip dari Black 199)
44
2. Muntah
—-Terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala.
Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah
bersifat proyektif dan tak disertai dengan mual.
3. Kejang
—-Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada
25% kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan
2% penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak. Perlu dicurigai
penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak bila:
45
Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra
lateral, kejang fokal
Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster
kennedy
Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia
2. Lobus parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi
homonym
Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus
angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s
3. Lobus temporal
Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang
didahului dengan aura atau halusinasi
Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese
Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala
choreoathetosis, parkinsonism.
4. Lobus oksipital
Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan
penglihatan
Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia
berkembang menjadi hemianopsia, objeckagnosia
5. Tumor di ventrikel ke III
Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala
menimbulkan obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian
tekanan intrakranial mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan
kabur, dan penurunan kesadaran
6. Tumor di cerebello pontin angel
Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma
Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa
gangguan fungsi pendengaran
46
Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah
pontin angel
7. Tumor Hipotalamus
Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan
perkembangan seksuil pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism,
gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
8. Tumor di cerebelum
Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat erjadi
disertai dengan papil udem
Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme
dari otot-otot servikal
9. Tumor fosa posterior
Diketemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai
dengan nystacmus, biasanya merupakan gejala awal dari
medulloblastoma.
2.2.5 Diagnosis
—-Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita
tumor otak yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang
teliti, adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu yaitu CT-Scan dan
MRI. Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh
penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di
atas. Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan
melalui pemeriksaan fisik neurologik mungkin ditemukan adanya gejala
seperti edema papil dan defisit lapangan pandang.
47
Arteriografi
Computerized Tomografi (CT Scan)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
2.2.7 Terapi
Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor,
antara lain : kondisi umum penderita
tersedianya alat yang lengkap
pengertian penderita dan keluarganya
luasnya metastasis.
Adapun terapi yang dilakukan, meliputi Terapi Steroid, pembedahan,
radioterapi dan kemoterapi.
Terapi Steroid
—-Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial,
namun tidak berefek langsung terhadap tumor.
Pembedahan
—-Pembedahan dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis histologik dan untuk
mengurangi efek akibat massa tumor. Kecuali pada tipe-tipe tumor tertentu yang
tidak dapat direseksi.
—-Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pembedahan tumor
otak yakni: diagnosis yang tepat, rinci dan seksama, perencanaan dan persiapan
pra bedah yang lengkap, teknik neuroanastesi yang baik, kecermatan dan
keterampilan dalam pengangkatan tumor, serta perawatan pasca bedah yang
baik, Berbagai cara dan teknik operasi dengan menggunakan kemajuan
teknologi seperti mikroskop, sinar laser, ultrasound aspirator, bipolar coagulator,
realtime ultrasound yang membantu ahli bedah saraf mengeluarkan massa tumor
otak dengan aman.
Radioterapi
—-Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar
5000-6000 cGy tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi
hiperfraksi ini didasarkan pada alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu
memperbaiki kerusakan subletal dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis
48
tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika dikombinasikan dengan kemoterapi
intensif.
Kemoterapi
—-Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan,
kemoterapi tetap diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang
beragam. Pada tumor-tumor tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma
stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi tambahan berupa kemoterapi
dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif
2.2.8 Prognosis
—-Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-
negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui
pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5
years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun (10 years
survival) berkisar 30-40%.—-
49
2.3.2 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak
ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat
menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan
beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen
selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik
walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam
jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer
seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu
pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala.
Primernya Di Paru-Paru
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi
radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang
menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis
tuberkulosis:
1) Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan
adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami
50
organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun
saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga
akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial
II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan
kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila
mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran
yang sifatnya permanen.
2) Vaskulitis
Dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark
serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila
pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri
media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan
apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan
histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi,
dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada
tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan
kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa
infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan
perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior
serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak
dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan
menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme
terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat
menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.
3) Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis.
51
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe,
yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering
menyebabkan meningitis yang difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon
pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor
yang mempengaruhi.
Gejala:
demam (tidak terlalu tinggi) sakit kepala
rasa lemah tidur terganggu
anorexia mual, muntah
nyeri perut konstipasi
52
apatis irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang
bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas
lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak " menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan
fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak
yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun.
Gejala:
Akibat rangsang meningen " sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama)
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
disorientasi kejang
bingung tremor
53
hemibalismus / hemikorea penurunankesadara
hemiparesis / quadriparesis
Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
ptosis - reaksi pupil lambat
gangguan penglihatan kabur
Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
Gangguan fungsi otak semakin jelas.
Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala:
Nadi dan pernapasan irregular
demam tinggi (hiperpireksia)
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma.
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,opistotonus.
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.akhirnya, pasien dapat
meninggal
54
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum
pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1
minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
55
Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal
sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor
cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat
ditemukan kuman
Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography)
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging)
2.3.5 Terapi
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang
digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari
dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor
cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling
sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
56
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan
baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam
sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB
/ hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid
10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin
ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak
yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek
samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping
lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi
baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis.
Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan
diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB
/ hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg
/ ml tercapai dalam waktu 2 jam.. Efek samping pirazinamid adalah
hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang
pada anak-anak).
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap
kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak
efektif untuk membunuh kuman intraselular. Streptomisin diberikan
57
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1
gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus
kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan
gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg /
kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar
serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik
oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau
dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol
adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali
penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya.. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai
pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis
tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti
inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati
edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg /
kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
58
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya
pemberian regimen.
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis
adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis
spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor
dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada
koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik
dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh
obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi
pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai
kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap
seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh
mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi
prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon
pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.
59
pertama menunjukkan Todd’s Paralysis yang biasa terjadi pada pasien pasca
konvulsi. Terapi dengan antiepilepsi dan suportif untuk kelemahan seluruh tubuh
yang dialami.
Todd paralisis dapat mempengaaruhi kemampuan berbicara dan
penglihatan. Penyebab paralisis todd tidak diketahui. Teori lain menyebutkan
kelainan dari korteks motorik primer. Pemeriksaan dari seorang individu yang
mengalani atau yang baru saja mengalami kondisi ini dapat membantu dokter
mengidentifikasi asal kejang. Hal ini penting untuk membedakan kondisi dari suatu
stroke yang membutuhkan perawatan berbeda.
Todd paralisis adalah kelemahan pada anggota gerak yang disebabkan
karena proses kejang sebelumnya, dimana proses kejang merupakan lesi iritatif
yang berlebihan pada kortex, khususnya bagian area motorik. Lesi iritatif ini dapat
berupa sikatriks, infeksi, trauma, perlukaan, tumor dan gangguan sirkulasi darah.
Pada kejadian Todd Paralisis terdapat 2 hipotesa sebagai penyebabnya, yaitu karena
teori deplesi dimana pada kortex motorik telah terjadi prolong hiperpolarisasi pada
saat kejang, dan hipotesa kedua adalah karena adanya inaktivasi sesaat pada serat
motorik yang disebabkan karena aktivasi reseptor NMDA (N-Methil D-Aspartat)
yaitu reseptor glutamat yang meningkat pada kejadian kejang sebagai
neurotransmitter yang bersifat eksitasi.
DAFTAR PUSTAKA
60
Frotscher, Michael and Mathias Baehr. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology.
2005. 4th completely revised edition. Stuttgart · New York
Lionel Ginsberg. Neurologi edisi ke delapan. Jakarta : Erlangga Medical Series.
Lumbantobing.Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental.FKUI.Jakarta.2008.
Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke -11. PT.Dian Rakyat.
Jakarta.2006
Ratna Mardiati. Buku Kuliah Susunan Saraf Otak Manusia. Sagung Seto. Jakarta.
1996.
Rowland LP. Syndromes caused by weak muscles. In: Merritt’s neurology. Ed:
Rowland LP. 11th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
Snell RS.Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-
59.
Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology. 4th ed. Massachusetts: Blackwell
Publishing; 2005: 86-7.
61