Anda di halaman 1dari 25

8

Gambar 2.4. Bagian Otak dan Fungsi Otak

Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada
anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah.
Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.

2.3. Etiologi (5,7)

Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma


(85%), yakni rupturnya aneurisma salah satu arteri di dasar otak. Dalam banyak kasus PSA
merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat
terbentuk di arteri otak seperti :
1. Aneurisma sakular (berry)

Aneurisma sakular (berry) ditemukan pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Arteri
ini terbentuk pada lesi pada dinding pembuluh darah yang sebelumnya telah ada, baik akibat
kerusakan struktural (biasanya kongenital) maupun cedera akibat hipertensi. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di
fisura sylvii (20%),dinding lateral arteri karotis interna (pada tempatnya berasal nya arteri
oftalmika atau arteri komunikans posterior (30%)) dan basillar tip (10%). Aneurisma pada
lokasi lain, seperti pada tempat berasalnya PICA, segmen P2 arteri serebri posterior, atau
segmen perikalosal arteri serebri anterior, jarang ditemukan. Aneurisma dapat menimbulkan
defisit neurologis dengan menekan struktur di sekitarnya bahkan sebelum ruptur. Misalnya
9

aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervusokulomotorius,


menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia).

Gambar 2.5. aneurisma sakular (Berry)

2. Aneurisma fusiformis

Pembesaran pembuluh darah yang memanjang aneurisma fusiformis. Aneurisma


tersebut umumnya melibatkan segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri
serebri media, dan arteri basilaris. Struktur ini biasanya disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau
hipertensi, dan hanya sedikit yang menjadi sumber perdarahan. Aneurisma fusiformis yangbesar
pada arteri

Gambar 2.6. Aneurisme fusiformis


10

basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalan aneurisma fusiformis dapat
mempercepat pembentukan bekuan intra- aneurismal, terutama pada sisi-sisinya dengan akibat
stroke embolik atau tersumbatnya pembuluh darah perforans olehperluasan trombus secara
langsung. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pembedahan saraf, karena
merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur
patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.
3. Aneurisma mikotik.

Dilatasi aneurisma pembuluh darah intrakranial kadang-kadang disebabkan oleh sepsis


dengan kerusakan yang dimiliki oleh bakteri pada dinding pembuluh darah. Tidak seperti
aneurisma sakular dan fusiformis, aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil
otak.

1. Perdarahan subarachnoid juga dapat terjadi karena adanya malformasi arteriovenosa


(MAV). Malformasi arteriovenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih
fistula. Daerah tersebut tidak mempunyai tipe kapiler spesifik yang merupakan celah antara
arteriola dan venula, mempunyai dinding lebih tipis dibandingkan dinding kapiler normal.
Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi
perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang
langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung
menerima aliran darah tambahan yang berasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah
nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada
aneurisma MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang
didapat terjadi akibat trombosis sinus, trauma, atau kraniotomi. Selanjutnya 10% kasus
dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada
daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan
dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan
11

pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang


2. Perdarahan berbagai jenis tumor.
3. Trauma kepala. PSA karena trauma dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah yang
melintas di ruang subaraknoid karena teregang saat fase akselerasi dan deselerasi.

2.4. Patofisiologi (5,8)

Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding pembuluh darah
menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan otak ke dalam
ruangan di sekitar otak. Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak
atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan subaraknoid timbul spontan pada umumnya dan sekitar
10 % disebabkan karena tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas.

Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama. Hampir
85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior.
Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh
arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang
paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior.

Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan hemodinamik pada
dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk
arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung
faktor adventitia yang membantu pembentukan aneurisma.

Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian
dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran wilis. Selama 25 tahun
John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125 pasien bahwa pecah atau tidaknya
aneurisma dihubungkan dengan hipertensi, cerebral atherosclerosis, bentuk saluran pada
lingkaran wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda
nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk
aneurisma sakular.

Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang subarachnoid. Pia
12

mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid diisi dengan CSF. Trauma
perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan pecahnya pembuluh darah penghubung yang
menembus ruang itu, yang biasanya sama pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah
penyebab utama subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan dengan pecahnya saraf
serebral atau kerusakan arterivenous.

Gambar 2.7. Lokasi Aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa, terutama
pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak dipahami.
Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat
dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil.
Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi
bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen
berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari
dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung jawab atas
stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah. Meskipun masih
terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi
13

ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih
besar daripada aneurisma yang tidak rupture.

Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya
20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada
faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin
sehari-hari, dan aktivitas berat. Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika
dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu
sebelum perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap
ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali rupture
dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi
terkait perdarahan kedua hampir 70%.

2.5. Gambaran Klinis (5,9)

2.5.1. Onset
Onset PSA mendadak, biasanya ketika pasien sedang melakukan aktivitas seperti
mengejan, mengangkat benda berat dan batuk yang paroksismal

2.5.2. Sakit Kepala


Perjalanan penyakit PSA yang khas adalah sakit kepala hebat yang belum pernah
dirasakan sebelumnya. Sakit kepala berdenyut-denyut dan semakin progresif sehingga
menganggu aktivitas yang sedang dilakukan pasien. Sakit kepala segera diikuti oleh nyeri dan
kekakuan pada leher. Mual muntah sering dijumpai.

2.5.3. Kaku Kuduk


Kaku kuduk hampir selalu dijumpai pada PSA. Kaku kuduk terjadi karena iritasi
meningeal oleh perdarahan dalam ruang subarachnoid. Kaku kuduk dapat menetap hingga 2
minggu setelah perdarahan

2.5.4. Gangguan Kesadaran


14

Gangguan kesadaran pada PSA mulai dari letargi, somnolen, sopor, hingga koma.

2.5.5. Defisit Neurologis


Tanda neurologis seperti disfasia, hemiparesis, hemiplegik dan defisit hemisensorik
menunjukan adanya perluasan intraserebral atau infark serebral.

2.5.6. Kejang
Secara klinis terdapat penggolongan PSA menurut Hunt and Hess sebagai berikut:

Derajat I : Asimptomatik atau sakit kepala minimal atau kaku kuduK

Derajat II : Sakit kepala lebih hebat atau kaku kuduk

Derajat III : Mengantuk atau bingung, mungkin disertai hemiparesis

Ringan

Derajat IV : Stupor dalam, mungkin disertai hemiparesis sedang-berat,

reaksi awal deserbrasi

Derajat V : Koma dalam dan deserbrasi

2.6. Diagnosis Banding (10,11)

2.6.1. Stroke Non Hemoragik


Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, gejala-gejala tersebut diantaranya adalah:
- Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan
15

terletak pada sisi dominan.


- Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis
kontralateral)
- Bisa terjadi kejang-kejang.
Hal yang membedakan dengan PSA adalah tidak didapatkannya gejala peningkatan
intrakranial seperti mual dan muntah. tidak didapatkan adanya tanda rangsang meningeal
dan onset kejadian yang mendadak tetapi tidak saat berakrtivitas. Gejala klinis pada stroke
non hemoragik kebanyakn lebih ringan daripada stroke hemoragik seperti PSA.
Penyingkiran diagnosis dapat dilihat dari hasil CT-Scan kepala, dimana pada stroke
non hemoragik akan didapatkan daerah infark dengan gambaran hipodens, sedangkan pada
PSA didapatkan perdarahan dengan gambaran hiperdens pada ruang subarachnoid.

2.6.2. Perdarahan Intraserebral


Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh
darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak
disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma kriptogenik,
diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian
antikoagulan angiomatosa dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis
serebrovaskular. Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak itu
sendiri. Gejala yang membedakan adalah pada perdarahan intraserebral (PIS) tidak terdapat
kaku kuduk, nyeri kepalanya tidak lebih berat daripada PSA, pada lumbal pungsi tidak
didapatkan darah, kecuali apabila PIS meluas ke ruang subaraknoid.

2.6.3. Meningitis
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula
spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Meningitis ditandai dengan
adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
16

2.7. Diagnosis (5,10,11)

Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23% hingga


53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu dievaluasi lebih cermat.
Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk mendiagnosis PSA. Maka dari itu faktor resiko
terjadinya PSA perlu diperhatikan seperti pada tabel berikut.11

Tabel 2.1. Faktor Risiko

Bisa dimodifikasi Tidak bisa dimodifikasi


Hipertensi Riwayat pernah menderita PSA
Perokok (masih atau riwayat) Riwayat keluarga dengan PSA
Konsumsi alcohol Penderita atau riwayat keluarga
Tingkat pendidikan rendah menderita polikistik renal atau
BMI rendah penyakit jaringan ikat (sindrom
Konsumsi kokain dan narkoba jenis EhlersDanlos, sindrom Marfan dan
lainnya pseudoxanthoma elasticum)
Bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam
sebelum onset

2.7.1 Tanda dan Gejala

Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi :

- Nyeri kepala yang hebat dan mendadak, sering digambarkan oleh pasien sebagai

”nyeri kepala yang paling berat dalam kehidupannya”.

- Hilangnya kesadaran. Pasien mungkin akan mengalami penurunan kesadaran setelah


kejadian, baik sesaat karena adanya peningkatan tekanan intrakranial atau ireversibel pada
17

kasus-kasus parah.

- Gejala neurologis akut fokal maupun global, misalnya timbulnya bangkitan, perubahan
memori atau perubahan kemampuan konsentrasi,
- Fotofobia,
- Meningismus,

- Mual dan muntah.

Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak tadi,
sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh perhatian
sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat
muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang
hebat. Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang
dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%),
dan beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar petir”.

Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan
gejala sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri
orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.

Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek medan
penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri
karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan,
penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis internus
didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat
menimbbulkan sindrom sinus kavernosus.

Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan
fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis
okulomotorius.
18

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik cermat pada kasus-kasus nyeri kepala sangat penting untuk
menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, termasuk glaukoma, sinusitis, atau arteritis
temporalis. Kaku kuduk dijumpai pada sekitar 70% kasus.

Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan.
Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan hematom subdural,
intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis dapat bervariasi mulai dari
meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defisit neurologis berat dan koma. Sementara itu,
reflek Babinski positif bilateral.

Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi pada PSA.
Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada
PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya hematom intraserebral.
Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus
frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans
anterior.

Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a) kompresi langsung oleh
aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar dari pembuluh darah, atau c)
meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali terkena akibat PSA. Aneurisma di daerah
persimpangan antara arteri komunikans posterior dan arteri karotis interna dapat menyebabkan
paresis N. III, yaitu gerak bola mata terbatas, dilatasi pupil, dan/atau deviasi inferolateral.
Aneurisma di sinus kavernosus yang luas dapat menyebabkan paresis N. VI. Pemeriksaan
funduskopi dapat memperlihatkan adanya perdarahan retina atau edema papil karena
peningkatan tekanan intrakranial. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat
adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk PSA. Namun adanya
fenomena embolik distal harus dicurigai mengarah ke unruptured intracranial giant aneurysm.

Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar, atau
berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme. Perdarahan dapat
19

meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial.
Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA. Sekitar 5 hari
pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah
akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

1. CT SCAN
Pemeriksaan CT Scan berfungsi untuk mengetahui adanya massa intracranial. Pada
pembesaran ventrikel yang berhubungan dengan darah (densitas tinggi) dalam ventrikel atau
dalam ruang subarachnoid.

Gambar 2.8. CT Scan Perdarahan Subarachnoid

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
20

mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di kepala


pada pemeriksaan CT scan.

Gambar 2.9. CT-Scan SAH

Skala Fisher digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subaraknoid berdasarkan


munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan; penilaian ini hanya berdasarkan
gambaran radiologik (tabel). Pasien dengan skor Skala Fisher 3 atau 4 mempunyai risiko
luaran klinis yang lebih buruk. Skala ini sangat dipengaruhi oleh variabilitas inter-rater, serta
kurang mempertimbangkan keseluruhan kondisi klinis pasien.

2.2.Tabel Skor Fisher


21

Skor Diskripsi adanya darah berdasarkan CT scan kepala


1 Tidak terdeteksi adanya darah
Deposit darah difus atau lapisan vertical terdapat darah ukuran
2
<1 mm, tidak ada jendalan
Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertical terdapat darah tebal dengan
3
ukuran >1 mm
Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus
4
atau tidak ada darah

2. Magnetic resonance imaging (MRI)


Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya terlihat
pada T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai intermediate untuk pengcahayaan sinyal
tinggi dengan proton atau gambar FLAIR. CT pada umunya lebih baik daripada MRI dalam
mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Control perdarahan subarachnoid: hasil tahapan
control perdarahan subarachnoid kadang- kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal rendah

3. Lumbal Pungsi
Bila tidak dapat dilakukan CT Scan atau MRI dapan dilakukan lumbal pungsi untuk
membuktikan adanya perdarahan dalam rongga subaraknoid. Bila dilakukan pungsi lumbal
maka akan dijumpai cairan LCS yang mengandung darah, kadar protein meningkat sekitar 10-
20 mg%. Jumlah darah yang dijumpai pada LCS mempunyai nilai prognostik. Prognosis
biasanya buruk bila kadar hematokrit cairan spinal tinggi misalnya 3-5 %, hal ini sebagai
indikator besarnya perdarahan yang terjadi.

4. Angiografi

Digital-subtraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi


22

aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta
sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah
harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang
negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vaskular di
otak maupun batang otak.

2.8 Tatalaksana (7,9,11)

2.8.1 Perawatan pra-rumah sakit


 Menilai prosedur ABC

 Triase dan pindahkan pasien dengan tingkat kesadaran berubah atau pemeriksaan
neurologis abnormal ke pusat medis terdekat yang memiliki CT scan dan bedah saraf.
 Idealnya, diarahkan untuk mencegah sedasi pada pasien ini.
2.8.2 Perawatan departemen emergensi

 Pada pasien yang diduga dengan PSA grade I atau II, perawatan departemen emergensi
dibatasi pada diagnosa dan terapi suportif.
 Identifikasi awal nyeri kepala sentinel merupakan kunci untuk mengurangi angka
mortalitas dan morbiditas.
 Penggunaan sedasi dengan bijaksana.
 Amankan akses intravena selama menetap di departemen emergensi dan pantau status
neurologis pasien.
 Pada pasien dengan PSA grade III, IV, atau V (misal, pemeriksaan neurologis berubah),
perawatan departemen emergensi lebih luas.
o Menilai prosedur ABC

o Intubasi endotrakeal pada pasien melindungi dari aspirasi yang disebabkan oleh refleks
proteksi saluran nafas yang tertekan.
o Intubasi untuk hiperventilasi pasien dengan tanda-tanda herniasi:
23

 Thiopental dan etomidate adalah agen induksi optimal pada PSA selama intubasi.
Thiopental bekerja singkat dan memiliki efek sitoprotektif barbiturat. Thiopental
harusnya hanya digunakan pada pasien hipertensi karena kecenderungannya
menurunkan tekanan darah sistolik, yang merupakan penyebab cedera otak sekunder.
Pada pasien hipotensi dan normotensi, gunakanlah etomidate.
 Gunakan rangkaian intubasi cepat jika memungkinkan. Pada prosesnya, untuk
mengurangi peningkatan TIK, idealnya gunakanlah sedasi, defasikulasi, blok
neuromuskular kerja-singkat, dan agen lain dengan kemampuan mengurangi-TIK
(seperti lidokain intravena).
o Hindari hiperventilasi berlebihan atau hiperventilasi yang tidak mencukupi. Target
pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk mengurangi peningkatan TIK. Hiperventilasi
berlebihan mungkin membahayakan daerah yang mengalami vasospasme.
o Cegah sedasi berlebihan, yang menyebabkan pemeriksaan neurologis serial menjadi
lebih sulit dan telah dilaporkan meningkatkan TIK secara langsung.
o Awasi aktivitas jantung, oksimetri, tekanan darah otomatis, dan CO2 tidal- akhir, ketika
diaplikasikan. Pengawasan CO2 tidal-akhir pada pasien yang diintubasi memungkinkan
klinisi menghindari hiperventilasi berlebihan atau tidak mencukupi. Target pCO 2 adalah
30-35 mmHg untuk mengurangi peningkatan TIK.
o Pengawasan lini arteri invasif ketika berurusan dengan tekanan darah yang labil (sering
pada PSA tingkat tinggi). Agen anti hipertensi sebelumnya telah dianjurkan untuk
tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg. Jaga
tekanan darah sistolik dalam rentang 90-140 mmHg sebelum pengobatan aneurisma,
kemudian biarkan hipertensi untuk mempertahankan tekanan darah sistolik < 200
mmHg.
o Sediakan oksigen tambahan untuk semua pasien dengan cacat SSP.

o Tinggikan kepala setinggi 30° untuk memudahkan drainase vena-vena intrakranial.

o Cairan dan hidrasi

 Pertahankan euvolemia (CVP, 5-8 mmHg); jika ada vasosapsme serebral,


24

pertahankan hipervolemia (CVP 8-12 mmHg, atau PCWP 12- 16 mmHg)


 Jangan sampai pasien over hidrasi karena dapat meningkatkan resiko
hidrosefalus
 Pasien dengan PSA juga mengalami hiponatremia dari terbuangnya garam dari otak
o Suhu tubuh pusat: jaga agar tetap 37,2°C; berikan asetaminofen (325-650 mg per oral
setiap 4-6 jam) dan gunakan alat pendingin jika dibutuhkan
2.8.3 Medikasi

1. Agen Osmotik.
Gunakan agen osmotik, seperti mannitol, yang mengurangi TIK sebesar 50% dalam 30
menit, puncaknya setelah 90 menir, dan berakhir dalam 4 jam.

2. Obat hemostatik
Obat ini merupakan penghambat poten fibrinolisis dan dapat membalik keadaan yang
dihubungkan dengan fibrinolisis luas. Penggunaannya masih kontroversial; dihimbau untuk
berkonsultasi dengan dokter sebelum menggunakannya.

3. Antihipertensi
Manajemen pasien stroke hemoragik disertai hipertensi masih kontroversi. Penurunan
tekanan darah pada stroke akut dapat mencegah terjadinya perdarahan ulangan, namun dilain
pihak hal ini dapat mencetuskan iskemik perihematomal. Beberapa peneliti menyarankan
penurunan tekanan darah menuju tekanan darah rata-rata harus dilakukan perlahan hingga , 130
mmHg namun penurunan tekanan darah lebih darah 20% harus dicegah dan tekanan darah tidak
boleh turun lebih dari 84 mmHg.

4. Diuretik
Diuretik loop, seperti furosemid, juga menurunkan TIK tanpa meningkatkan serum
osmolalitas.

5. Vasopressor
25

Vasopresor dapat diindikasikan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik melebihi


120 mmHg; hal ini mencegah kerusakan SSP pada penumbra iskemik dari vasospasme reaktif
yang terlihat pada PSA.

6. Antiemetik
Memberikan antiemetik untuk mual atau muntah.

7. Antikonvulsan
Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis tidak dengan segera mencegah kejang
setelah PSA, tapi gunakanlah anti konvulsan pada pasien yang memang kejang atau jika praktek
lokal menginginkan penggunaan rutin. Mulailah dengan anti konvulsan yang tidak merubah
tingkat kesadaran (misal, awalnya fenitoin, barbiturat atau benzodiazepin hanya untuk
menghentikan kejang aktif)

2.8.4. Pembedahan

Pembedahan dapat dilakukan untuk:

- Menghilangkan kumpulan besar darah atau mengurangi tekanan pada otak jika perdarahan
tersebut karena cedera. Perbaikan aneurisma jika perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya
aneurisma. Jika pasien kritis, pembedahan mungkin harus menunggu sampai orang yang lebih
stabil. Pembedahan termasuk:

- Kraniotomi (membuka tengkorak) dan kliping aneurisma - untuk menutup aneurisma


- Endovascular coiling - kumparan ditempatkan dalam aneurisma untuk mengurangi risiko
perdarahan lebih lanjut
Jika aneurisma tidak ditemukan, orang tersebut harus diawasi ketat oleh tim perawatan
kesehatan dan mungkin perlu tes pencitraan.

2.9 Komplikasi (12)


26

- Hidrosefalus dapat terbentuk dalam 24 jam pertama karena obstruksi aliran CSS dalam sistem
ventrikular oleh gumpalan darah.

- Perdarahan ulang pada PSA muncul pada 20% pasien dalam 2 minggu pertama.
Puncak insidennya muncul sehari setelah PSA. Ini mungkin berasal dari lisis gumpalan
aneurisma.

- Vasospasme dari kontraksi otot polos arteri merupakan simtomatis pada 36% pasien.
- Defisit neurologis dari puncak iskemik serebral pada hari 4-12.
- Disfungsi hipotalamus menyebabkan stimulasi simpatetik berlebihan, yang dapat
menyebabkan iskemik miokard atau menurunkan tekanan darah labil.
- Hiponatremia dapat muncul sebagai hasil pembuangan garam serebral.
- Aspirasi pneumonia dan komplikasi lainnya dapat muncul.
- Disfungsi sistole ventrikel kiri: disfungsi sistole ventrikel kiri pada orang dengan
PSA dihubungkan dengan perfusi miokard normal dan inervasi/persarafan simpatetik
abnormal. Temuan ini dijelaskan oleh pelepasan berlebihan norepinefrin dari nervus simpatetik
miokard, yang dapat merusak miosit dan ujung saraf.

2.10 Prognosis (11)

 Munculnya defisit kognitif, bahkan pada kebanyakan pasien yang dianggap memiliki hasil
akhir yang baik.
 Lebih dari 1/3 yang selamat dari PSA memiliki defisit neurologis mayor.

 Faktor yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas adalah sebagai berikut:
o Beratnya perdarahan

o Derajat vasospasme serebral

o Muculnya perdarahan ulang

o Lokasi perdarahan

o Usia dan kesehatan keseluruhan pasien


27

 Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%.
Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%. Apabila tidak ada
intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50%
dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2 bulan pertama.

 Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi luaran (outcome) dapat dijadikan


panduan intervensi maupun untuk menjelaskan prognosis, misalnya skala Hunt dan Hess;
skala ini mudah dan paling banyak digunakan dalam praktik klinis (tabel). Nilai tinggi pada
skala Hunt dan Hess merupakan indikasi perburukan luaran. Skala ini juga mempunyai
beberapa keterbatasan, seperti beberapa gambaran klinis teridentifikasi samar, sehingga
sulit menentukan nilai gradasi, dan tidak mempertimbangkan kondisi komorbiditas pasien.

Tabel 2.3. Skala Hunt dan Hess

Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis pasien juga dapat dilihat pada tabel
Sistem Ogilvy dan Carter berikut ini.
28

Tabel 2.4. Sistem Ogilvy dan Carter

Skor Keteranga
n
1 Nilai Hunt dan Hess > III
1 Skor skala Fisher > 2
1 Ukurn aneurisma > 10 mm
1 Usia pasien > 50 tahun
1 Lesi pada sirkulasi posterior berukuran besar (≥ 25mm)

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter, yaitu skor 5
mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis lebih baik.
29

BAB 3
KESIMPULAN

Perdarahan Subaraknoid (PSA) merupakan keadaan di mana terdapatnya perdarahan


di subarachnoid space akibat suatu proses patologi. Hal ini umumnya berkaitan dengan
perdarahan non traumatik, biasanya akibat ruptur berry aneurysm atau malformasi arteriovenous
(Arteriovenous malformation). Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi
darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah
(arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).
Onset perdarahan subaraknoid mendadak, biasanya ketika pasien sedang melakukan
aktivitas seperti mengejan, mengangkat benda berat dan batuk yang paroksismal. Perjalanan
penyakit PSA yang khas adalah sakit kepala hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya..
Sakit kepala segera diikuti oleh nyeri dan kekakuan pada leher. Mual muntah sering dijumpai.
Pada pasien yang diduga dengan PSA grade I atau II, perawatan departemen emergensi dibatasi
pada diagnosa dan terapi suportif. Sedangkan pada pasien dengan PSA grade III, IV, atau V
(misal, pemeriksaan neurologis berubah), penatalaksanaan yang lebih luas diperlukan. Adapun
prognosis PSA yaitu lebih dari 1/3 pasien yang selamat dari PSA memiliki defisit neurologis
mayor dan sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa
sempat membaik sejak awitan gejala.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Broderick JP, Brott T, Tomsick T. The risk of subarachnoid and intracerebral hemorrhages in
blacks as compared with whites. N Engl J Med. Mar 12 1992;326(11):733-6.

2. Perry JJ, Stiell IG, Sivilotti ML, Bullard MJ, Lee JS, Eisenhauer M, et al. High risk clinical
characteristics for subarachnoid haemorrhage in patients with acute headache: prospective
cohort study. BMJ. Oct 28 2010;341:c5204.

3. Rami C Zebian, MD, Fellow, Department of Pulmonary, Critical Care and Sleep Medicine,
University of Texas Health Science Center, Houston

4. Harsono.1997, Buku Ajar Neurology Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis saraf


Indonesia. Gajah Mada University Press. Bandung.

5. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing Medical Education.


2012;39.

6. Sitorus, Sari Mega. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Bagian Anatomi, Fakultas
Kedokteran, 2005 Universitas Sumatera Utara. Medan.

7. Tibor Becske, MD. Subarachnoid Hemorrhage. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1164341-overview.Accessed January,5th 2013

8. Copstead,Lee-Ellen.C.Phd,RN dan Banasik, Jacquelyn.L.PhD,ANRP. 2005,


Pathophysiology Third Edition, Elsevier Inc. Saunders.

9. Hadinoto S, Setiawan, Soetedjo. Stroke Pengelolaan Mutakhir. 1992. Badan Penerbit


Universitas Diponegoro.

10. Burgerner,A.Francis.,dkk . 1996. Differential Diagnosis in Computed Tomography. George


Thieme Verlag. Thieme Medical Publishers, Inc. NewYork.
31

11. Hemorrhagic Stroke in Emergency Medicine Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview Acessed at January 5th, 2013
12. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres; 2011.
32

Anda mungkin juga menyukai