Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepar merupakan salah satu organ tubuh yang besar dan merupakan

pusat metabolisme tubuh manusia (Ganong, 2008). Salah satu metabolisme

yang terjadi di hepar adalah metabolisme bilirubin. Bilirubin merupakan

hasil akhir pemecahan hemoglobin yang berasal dari penghancuran eritrosit

yang sudah habis masa hidupnya (Guyton, 2007). Bilirubin dalam darah

ditemukan dalam dua fraksi, yaitu fraksi tidak terkonjugasi (bilirubin

indirect) dan fraksi terkonjugasi (bilirubin direct) (Harrison, et al, 2013).

Bilirubin tak terkonjugasi merupakan bentuk bilirubin yang larut lemak,

tidak larut dalam air, dan tidak dapat dieksresi dalam kandung empedu atau

urine. Selanjutnya, bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin dan

diangkut oleh darah ke sel-sel hepar. Didalam hepar, metabolisme bilirubin

berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama yaitu ambilan oleh sel hati yang

memerlukan protein Y dan Z, kemudian pada fase kedua terjadi konjugasi

bilirubin dengan asam glukoronat dalam retikuloendoplasma yang

menghasilkan bilirubin terkonjugasi. Fase terakhir metabolisme bilirubin

dalam hati yaitu transpor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel

kedalam empedu (Price, 2006).

1
2

Dalam melaksanakan perannya, hepar dapat mengalami kerusakan yang

diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor resiko yang menyebabkan

kerusakan hepar antara lain obat dan dosis yang digunakan, nutrisi, usia,

alkohol, zat toksik, dan stress (Nurzali, 2013). Angka kerusakan hepar

sangat tinggi, baik kerusakan yang tetap maupun tidak tetap (Hikmah,

2014). Menurut Riskedas (2013) prevalensi hepatitis di Indonesia adalah

1,2%, sementara kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat di Amerika

mencapai lebih dari 50% dari 2000 kasus gagal hati (Lucena, et al, 2008).

Obat yang sering digunakan untuk mengobati hepatitis adalah interferon,

analog nukleotida dan nukleosida, lamivudin, adefovir, dan entecavir

(Lyrawati, 2011). Akan tetapi, obat-obat tersebut memiliki efek samping

seperti gangguan pencernaan, gangguan mood, iritabilitas, dan gangguan

pernafasan (Setiabudy, 2012). Oleh karena itu, berkembang isu back to

nature yang menyebabkan penggunaan tanaman sebagai obat tradisional

cenderung meningkat (Firdaus, 2010). Terlebih lagi penggunaan obat herbal

telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia seperti Afrika,

Asia, dan Amerika Latin yang mengunakan obat herbal sebagai pelengkap

pengobatan primer. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi

menggunakan obat tradisional sebagai pengobatan primer (Sari, 2006). Obat

herbal memiliki kelebihan efek samping yang lebih rendah dibanding obat

kimia (Suhita, et al, 2013).

Sirsak merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan

sebagai obat herbal. Daun sirsak mengandung senyawa seperti flavonoid,

steroid/terpenoid, kumarin, alkaloid,tanin, vitamin C, dan lain sebagainya


3

(Adewole dan Ojewole, 2009). Dari berbagai penelitian yang telah

dilakukan, senyawa daun sirsak memiliki banyak potensi, diantaranya

sebagai antikanker, antimikroba, antidiabetes, antioksidan, antiinflamasi,

dan hepatoprotektif (Kedari, 2014). Berdasarkan analisis Gas

chromatography – mass spectrometry (GC-MS) minyak atsiri daun sirsak

teridentifikasi sebagian besar adalah terpenoid. Komponen terbesar

terpenoid daun sirsak adalah sesquiterpene hydrocarbons yang terdiri dari

β-caryophyllene (38,9%), eugenol (30.2%), δ-cadinene (6.0%), α-humulene

(4.3%), dan sesquiterpenoid caryophyllene oxide (5.0%) (Moses, 2013).

Sesquiterpen hydrocarbon berpotensi sebagai prooksidan yang membentuk

radikal baru yang lebih kuat (Anindito, 2013). Penelitian yang dilakukan

oleh Sativa (2016) menyebutkan bahwa minyak atsiri daun sirsak dosis

1,5% dan 6% tidak dapat menurunkan kadar bilirubin indirect tikus wistan

jantan yang diinduksi rifampisin. Oleh karena itu, penggunaan sirsak

sebagai obat herbal perlu memperhatikan ketepatan dosis, cara, waktu

penggunaan, dan pemilihan ramuan yang sesuai dengan indikasi

penggunaannya (Firdaus, 2010) karena obat herbal merupakan salah satu zat

xenobiotik bagi tubuh.

Selama ini, penelitian mengenai uji toksisitas minyak atsiri daun sirsak

belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, peneliti ingin menguji keamanan

dari penggunaaan minyak atsiri subkronik secara peroral terhadap hepar

tikus wistar jantan dan betina melalui pengukuran bilirubin total, bilirubin

direct, dan bilirubin indirect serum.


4

1.2 Rumusan Masalah


Apakah minyak atsiri daun sirsak (Annona muricata Linn.) mempunyai

potensi toksik subkronik terhadap organ hepar melalui pengukuran kadar

bilirubin total, bilirubin direct, dan bilirubin indirect serum tikus wistar

jantan dan betina?

1.3 Tujuan Penelitian Manfaat


Untuk membuktikan minyak atsiri daun sirsak (Annona muricata Linn.)

mempunyai potensi toksik subkronik terhadap organ hepar melalui

pengukuran kadar bilirubin total, bilirubin direct, dan bilirubin indirect

serum tikus wistar jantan dan betina.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

efek toksik subkronik minyak atsiri daun sirsak (Annona muricata

Linn.), dan sebagai landasan pengembangan penelitian selanjutnya

mengenai uji toksisitas minyak atsiri daun sirsak (Annona muricata

Linn..)

1.4.2 Manfaat Praktis


Sebagai landasan ilmiah mengenai keamanan dan pemanfaatan

minyak atsiri daun sirsak atau Annona muricata Linn. oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai