I. PENDAHULUAN
5. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat
menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan
kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired
First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike
Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat. Rumah Sakit harus
dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar
dari penyalahgunaan dan pencurian.
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan atau menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan
atau pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat
menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan. Sistem distribusi di
unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
b. Sistem Resep Perorangan
c. Sistem Unit Dosis
d. Sistem Kombinasi
2. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar atau ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan
14
10. dispensing sediaan steril; dan 11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
(PKOD).
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait
obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter
penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh obat atau sediaan farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data rekam medic atau pencatatan penggunaan obat pasien.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat
(medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit
ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar
dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua
fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter,
keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
16
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait
obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki,
meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit
baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang
biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa
terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak
dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif.
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi
petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan
pemberian obat.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi
hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang
merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker
kepada dokter.
17
5. Pemusnahan
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan system pesanan
atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan
dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurangkurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa,
jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
7. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk
penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan
terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan
pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi
keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya.
Kegiatan pelayanan farmasi klinik di Apotek Kimia Farma merupakan
bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
22
1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi: 1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan
berat badan; 2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor
telepon dan paraf; dan 3. tanggal penulisan resep. Kajian kesesuaian farmasetik
meliputi: 1. bentuk dan kekuatan sediaan; 2. stabilitas; dan 3. kompatibilitas
(ketercampuran obat). Pertimbangan klinis meliputi: 1. ketepatan indikasi dan
dosis obat; 2. aturan, cara dan lama penggunaan obat; 3. duplikasi dan/atau
polifarmasi; 4. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain); 5. kontra indikasi; dan 6. interaksi. Jika ditemukan
adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus
menghubungi dokter penulis resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
1) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep;
mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
obat.
2) Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3) Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
warna putih untuk obat dalam (oral);
warna biru untuk obat luar dan suntik;
menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi
atau emulsi.
4) Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut : (a) Sebelum obat
diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah
obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep); (b) Memanggil nama
dan nomor tunggu pasien; (c) Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien; (d)
Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat; (e) Memberikan
informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan obat antara
lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan
23
efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain; (f) Penyerahan obat kepada
pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam
kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil; (g) Memastikan bahwa yang
menerima obat adalah pasien atau keluarganya; (h) Membuat salinan resep
sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan); (i)
Menyimpan resep pada tempatnya; (j) Apoteker membuat catatan pengobatan
pasien.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan
lain-lain.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien
atau keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apoteker harus melakukan
verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang
digunakan.
24
Obat Racikan
Obat racikan (compounding medicine) adalah obat yang dibentuk dengan
mencampurkan bahan-bahan aktif. Bentuk obat racikan bisa berupa bentuk
padat maupun bentuk cair. Bentuk racikan obat di Indonesia biasanya
terdapat dalam bentuk padat (puyer) dan cair (beberapa obat padat yang
dicampur di dalam sirup) (Anto, 2010). Peracikan obat merupakan salah satu
pekerjaan kefarmasian yang dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang
terdiri dari apoteker, sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan
asisten apoteker (Dewi dan Wiedyaningtyas, 2012). Permintaan peracikan obat
di sarana kesehatan karena terbatasnya sediaan obat yang ada.
Peracikan obat sering dianggap sebagai proses menggabungkan,
mencampur, atau mengubah bahan untuk sediaan steril atau obat non-steril
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Namun sebagai badan pengawasan
obat dan makanan internasional, FDA (Food and Drug Administration) tidak
mensetujui peracikan obat. Dalam beberapa situasi yang penting, seperti ada
pasien yang memiliki alergi dan membutuhkan obat yang harus dibuat tanpa
pewarna tertentu, atau pasien tua maupun anak-anak yang tidak dapat
menelan tablet atau kapsul dan membutuhkan obat dalam sediaan cair namun
sediaan cair tidak tersedia, peracikan untuk melayani kebutuhan pasien dapat
dilakukan. Hal yang menjadi pertimbangan adalah beberapa alat dan petugas
yang terlibat dalam kegiatan peracikan belum sesuai, sehingga belum terjamin
keamanan dan efikasinya. Obat racikan umumnya mengandung minimal dua
komponen obat. Namun FDA tidak menyetujui obat majemuk karena FDA
belum memverifikasi keamanan, efektivitas atau kualitas obat tersebut. FDA
juga mengamati bahwa pelabelan obat racikan sering menghilangkan informasi
penting seperti petunjuk yang membantu memastikan bahwa obat-obatan
digunakan dengan aman, peringatan tentang kemungkinan efek samping dan
interaksi obat yang dapat terjadi. Selain itu, perlu perhatian khusus terhadap
praktik peracikan yang buruk dapat menghasilkan kualitas obat yang serius,
seperti kontaminasi maupun obat-obat tersebut tidak memiliki kekuatan,
kualitas dan kemurnian seperti sediaan awal (FDA, 2017).
25
Farmakokinetik Paracetamol
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan
mencapai kadar serum puncak dalam waktu 30 – 120 menit. Penyerapan
sediaan paracetamol dengan adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat proses absorpsi. Parasetamol terdistribusi dengan cepat hampir
pada seluruh jaringan tubuh. Paracetamol dalam darah sebanyak ± 25% terikat
pada protein plasma. Waktu paruh parasetamol adalah antara 1,25 – 3 jam.
Penderita kerusakan hati dan konsumsi parasetamol dengan dosis toksik dapat
memperpanjang waktu paruh zat ini. Parasetamol diekskresikan melalui urine
sebagai metabolitnya, yaitu asetaminofen glukoronid, asetaminofen sulfat,
merkaptat dan bentuk yang tidak berubah (Anonim, 2010).
Mekanisme Diazepam
Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron
yang menggunakan GABA sebagai mediatornya. GABA (gamma-aminobutyric
acid) merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP),
melalui neuron-neuron modulasi GABA nergik. Reseptor Benzodiazepin
berikatan dengan reseptor subtipe GABAA. Berikatan dengan reseptor agonis
menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan
hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat membuat neuron ini
resisten terhadap rangsangan. Cara demikian dapat membuat obat ini
memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek GABA dan
menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi
kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor benzodiazepin dapat
ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks
serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada medula spinalis
(Sholehah, 2013).
Pemberian Diazepam yang melalui jalur peroral akan melewati saluran
pencernaan, hepar, dan diekskresi melalui ren atau ginjal. Penyerapan atau
absorbs Diazepam terjadi di intestinum kemudian mengalami metabolisme oleh
hepar. Katzung (2002) melaporkan bahwa diazepam mudah diserap oleh
28
Metabolisme Diazepam
injeksi intramuscular dan 10-45 menit secara rektal. Eliminasi terjadi melalui
proses biphasic dan mendistribusikan kembali ke dalam otot dan jaringan
adipose setelah diserap. Memiliki waktu paruh 24-28 jam. Waktu paruh obat
dan fraksi bebas meningkat pada usia lanjut karena penurunan kadar albumin
dalam serum (Calcaterra dan Barrow, 2014).
Diazepam dimetabolisme oleh enzim hati CYP450 dan mengalami
glukoronidasi untuk eliminasi. Metabolisme diazepam pada Gambar 6
menjelaskan bahwa diazepam dimetilasi oleh CYP 2C9, 2C19, 3A4 dan 3A5)
menghasilkan desmethyldiazepam (nordiazepam). Kemudian mengalami
3’hydroxylated oleh CYP3A4, 3A5, dan 2C19 menjadi oxazepam meskipun
temazepam oleh enzim CYP3A4 dan 3A5 juga terdeteksi (Calcaterra dan Barrow.
2014). Desmetildiazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam yang
memiliki efek farmakologis terhadap sistem saraf yaitu pada sistem saraf pusat.
Oxazepam merupakan metabolit tidak aktif dari diazepam yang selanjutnya
akan mengalami glukoronidasi. Hasil proses glukoronidasi tersebut bersifat
lebih hidrofil atau polar sehingga mudah untuk diekskresi oleh ren (Niendya, et
al., 2011).
Jambi pada bulan Juni 2018 yang terdapat permintaan obat kombinasi
paracetamol dan diazepam sebanyak 98 resep, namun beberapa terdapat
tambahan item obat lain seperti fluoxetine, amitriptilin dan tramadol sehingga
resep yang digunakan dan dibahas dalam penulisan ini adalah racikan jenis
obat paracetamol dan diazepam saja sebanyak 12 resep seperti pada Lampiran
4.
Pasien yang menerima peresepan racikan kapsul paracetamol dan
diazepam dari usia 29 tahun hingga 78 tahun. Berdasarkan data pada
Lampiran 5 dapat diketahui jumlah kategori pasien lanjut usia. Menurut
Kemenkes RI (2017) lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Jumlah pasien yang diketahui termasuk usia lansia ada 5 orang.
Berdasarkan prosedur tetap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi No.
SPO/792/RSUD/XII/2015 mengenai penerimaan, pengerjaan dan penyerahan
resep pasien rawat jalan, (Lampiran 1) pelaksaan pelayanan resep di depo
farmasi rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi sudah
sesuai dengan ketentuan. Menurut prosedur operasional pembuatan obat dalam
bentuk kapsul No. SPO.804/RSUD/XII/2015, (Lampiran 2) proses peracikan
kapsul di depo rawat jalan sesuai dengan ketetapan meskipun, bagi petugas
yang melalukan peracikan belum disiplin menggunakan masker, jas lab dan
sarung tangan (Lampiran 3).
2. Memprediksi potensi efek penggunaan kapsul racikan Paracetamol dan
Diazepam pada pasien poli syaraf di depo rawat jalan Instalasi Farmasi
RSUD Raden Mattaher Jambi
a. Penggunaan paracetamol 500 mg dalam racikan kapsul 2 kali sehari
digunakan setiap hari selama 30 hari dan berlanjut memungkinkan
terjadinya hepatotoksik
Racikan kapsul paracetamol dan diazepam biasanya digunakan untuk
penanganan gangguan tidur (insomnia), anti ansietas maupun relaksasi otot.
Beberapa pasien yang mendapatkan peresepan racikan kapsul ini termasuk
pasien lanjut usia. Penggunakan paracetamol dan diazepam yang memiliki
mekanisme dan proses metabolism di hati, dapat meningkatkan potensi
terjadinya hepatotoksik. Paracetamol diketahui mengalami metabolisme obat di
hati menjadi metabolitnya NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinoneimine). Hal yang
sama dengan diazepam juga mengalami metabolism di hati untuk menjadi
oxazepam. Penggunaan obat racikan selama 2 kali sehari dalam jangka waktu
satu bulan dan berlanjut, dapat meningkatkan resiko hepatotoksik terutama
bagi pasien yang telah lanjut usia. Hal ini dikarenakan pada pasien lanjut usia
sudah mengalami penurunan fungsi organ. Selain itu, penggunaan terus
31
menerus setiap hari dapat meningkatkan jumlah metabolit obat di hati, namun
protein hati yang berperan dalam pengeluaran obat jauh lebih rendah dan
jumlahnya terbatas.
Gejala pasien yang mengalami hepatotoksik dapat dilihat dari gambaran
klinis berupa malaise, ikterik, mual, muntah dan terjadi gagal hati akut
(Susanti, 2012). Gejala fisik yang terlihat pada pasien gagal hati adalah pasien
tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen empedu di kulit. Alasan
peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam ini terus berulang adalah
hingga saat ini belum ada keluhan pasien yang mengalami gejala di atas dan
tidak ditemukan pasien yang menerima peresepan ini yang tampak kuning.
Oleh karena itu, untuk pasien yang menerima peresepan racikan kapsul
paracetamol dan diazepam, sebaiknya dilakukan pemeriksaan serum hati
secara berkala selama menerima pengobatan ini. Selain itu, dapat pula
dipertimbangkan penggantian diazepam dengan obat lain yang memiliki efek
sama namun efek samping yang lebih rendah, misalnya oxazepam. Calcaterra
dan Barrow (2014) menyebutkan bahwa oxazepam merupakan salah satu
metabolit utama dari diazepam yang telah dikembangkan dan dipasarkan
sebagai obat. Oxazepam memiliki onset yang lebih lambat dan tidak
memerlukan oksidasi hati untuk pembersihan sehingga menjadi pilihan yang
lebih baik untuk orang lanjut usia maupun pasien yang mengalami gangguan
hepatik.
b. Penggunaan diazepam dalam racikan kapsul selama 30 hari diprediksi
dapat menyebabkan pasien mengalami withdrawal
Diazepam merupakan golongan benzodiazepine dengan lama kerja long
acting. Penggunaan benzodiazepine dalam jangka lama mencapai 4-6 minggu
membutuhkan perhatian khusus (Anonim, 2016). Sholehah (2013) menyatakan
bahwa penggunaan benzodiazepine sebagai hipnotik-sedatif adalah perbaikan
anxietas, euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama
untuk insomnia. Namun, jika keadaan ini terjadi terus menerus , maka pola
penggunaanya akan menjadi kompulsif sehingga terjadi ketergantungan fisik.
Pasien dapat mengalami gejalan abstinensi, yaitu gejala yang timbul merupakan
gejala yang mirip bahkan lebih parah dibandingkan gejala sebelum dipakainya
benzodiazepin. Contoh gejalanya seperti timbulnya mimpi buruk, perasaan
takut, cemas, dan ketegangan yang hebat serta lebih sukar tidur dibanding
sebelum penggunaan obat- obatan hipnotik-sedatif. Gejala abstinensi timbul
karena penggunaan diazepam dapat menekan zat endogen. Jika penggunaannya
dihentikan secara mendadak, zat endogen tersebut tidak dapat kembali ke
32
Mekanisme Metformin
Metformin merupakan obat diabetes golongan biguanide yang dapat
digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dalam pelayanan resep PRB
BPJS Kesehatan untuk diagnosis penyakit diabetes mellitus tipe 2. Diabetes
mellitus adalah kategori penyakit kronis yang membutuhkan asuhan perawatan
dan pengobatan jangka panjang. Tandiawan (2017) menyebutkan bahwa
35
Vitamin B12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks
(cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini
ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 tersimpan di dalam
hati binatang ditemukan dalam bentuk metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan
hidroksikobalamin. Absorbsi intestinal vitamin B12 terjadi dengan perantaraan
tempat-tempat reseptor dalam ileum yang memerlukan pengikatan vitamin B12,
suatu glikoprotein yang sangat spesifik yaitu faktor intrinsik yang disekresi sel-
sel parietal pada mukosa lambung. Vitamin B12 Setelah diserap terikat dengan
protein plasma, transkobalamin II untuk pengangkutan ke dalam jaringan.
36
Anemia Megaloblastik
Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia
megaloblastik (Triana, 2006). Mazrizal (2007) mengatakan bahwa anemia adalah
suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal.
Sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi
esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel
darah merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit
malaria, infeksi cacing tambang. Secara morfologis, anemia dapat
diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandungnya.
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan
jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik
yaitu :
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi
besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme
besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini
disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara
berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
turut adalah 1.53%, 17.60% dan 13.78%. Total pasien yang diprediksi
mengalami malabsorbsi dan defisiensi vitamin B12 karena telah menggunakan
metformin lebih dari 3 bulan sebesar 32.91%.
Namun, kenyataannya selama pelayanan program rujukan balik BPJS
Kesehatan dengan Apotek Kimia Farma sejak September 2017, belum
dilakukannya pemantauan kadar vitamin B12 pada pasien. Berdasarkan
peresepan metformin yang diberikan untuk pasien pun, tidak mencantumkan
pemberian suplemen vitamin B12. Padahal, suplemen vitamin B12 termasuk
obat dalam daftar obat yang ditanggung BPJS Kesehatan (Lampiran 7).
Menurut Triana (2006), kekurangan atau defisiensi vitamin B12
menyebabkan anemia megaloblastik. Defisiensi vitamin B12 akan mengganggu
reaksi metionin sintase yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada
eritrosit yang baru . Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan
pirimidin yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat. Homosistinuria dan
metilmalonat asiduria juga terjadi. Anemia yang terjadi terutama anemia
megaloblastik tidak hanya dipicu oleh defisiensi vitamin B12, namun untuk
menjaga pelayanan kefarmasian klinis dan meningkatkan kualitas hidup pasien
perlu dilakukan penerapannya monitoring efek samping obat (MESO) oleh
Apotek Kimia Farma 299 maupun fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
dilayani Apotek Kimia Farma 299 (Lampiran 6). Selain itu, tenaga kefarmasian
maupun tenaga kesehatan lain yang terkait dapat merekomendasikan
penggunaan suplemen vitamin B12 kepada pasien atau merekomendasikan
penambahan vitamin B12 sebagai item obat dalam peresepan BPJS Kesehatan
untuk pasien yang lebih dari 6 bulan mendapatkan pengobatan metformin.
Pemberian suplemen vitamin B12 ditujukan untuk mencegah defisiensi
vitamin B12 yang disebabkan malabsorbsi oleh metformin yang dapat memicu
terjadinya anemia megaloblastik. Menurut Anonim (2017) gejala dan dampak
anemia megaloblatik dapat berupa rasa lemas atau kurang bertenaga. Gejala
bervariasi bagi setiap pasien dapat berupa sesak nafas, diare, mual, kulit
terlihat pucat, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara
signifikan, jantung berdebar serta tangan dan kaki bergetar. Anemia yang
berkepanjangan dapat menyebabkan produktivitas menurun. Oleh karena itu,
efek anemia megaloblastik karena malabsorbsi yang disebabkan penggunaan
metformin perlu mendapatkan perhatian demi meningkatkan kualitas
kesehatan pasien.
39
5.1 Kesimpulan
1. Prevalensi peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada pasien poli syaraf di depo
rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi pada Juni 2018
sebanyak 12,24%.
2. Evaluasi efek penggunaan kapsul racikan Paracetamol dan Diazepam
diprediksi beresiko hepatotoksik dan Diazepam juga diprediksi berisiko
menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikis.
3. Prediksi terjadinya potensi efek samping penggunaan metformin pada pasien
Program Rujukan Balik BPJS Kesehatan di Apotek Kimia Farma 299 Jambi
adalah malabsorbsi dan defisiensi vitamin B12 dengan persentase pasien
sebesar 32.91%.
5.2 Saran
Perlu dilakukan kajian terhadap penggunaan racikan kapsul
paracetamol diazepam ini terhadap penambahan item obat lain seperti
fluoxetine, amitriptilin maupun tramadol. Selain itu, perlu pula interaksi obat
antara obat racikan dengan sediaan obat lain yang dituliskan dalam satu resep.
Dapat dilakukan kajian terhadap penggunaan obat-obat hipoglikemik
oral lain dengan penggunaan jangka panjang bagi pasien diabetes mellitus
maupun pasien panyakit kronis lain dalam program rujukan balik BPJS
Kesehatan. Selain itu, perlu pula interaksi obat yang dapat terjadi antara obat
lain yang dituliskan dalam satu resep.