Anda di halaman 1dari 39

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Magang merupakan kegiatan akademik dari salah satu mata kuliah
wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Jambi. Kegiatan magang menjadi wadah bagi mahasiswa untuk
menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan ke dalam dunia
kerja. Mata kuliah magang dilakukan untuk memberikan kesempatan
mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapatkan secara teori dan
praktek langsung di lapangan. Selain itu, kegiatan magang juga menjadi tempat
mahasiswa untuk berpikir kritis dan menganalisis permasalahan yang ditemui
sekaligus mampu menawarkan solusi terhadap permasalahan atau kendala
yang ada di lapangan. Kegiatan magang dapat memupuk rasa profesionalisme
dan disiplin kerja yang akan berguna bagi mahasiswa ketika telah
menyelesaikan perkuliahan dan memasuki dunia kerja. Pelaksanaan magang
mahasiswa Farmasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi dilakukan
di Rumah Sakit dan Apotek.
Obat racikan merupakan perpaduan atau campuran yang terdiri dari
sedikitnya dua macam obat atau bahan obat. Racikan dalam bentuk padat
dapat berupa pulvis, pulveres maupun kapsul (Anto, 2010). Permintaan sediaan
racikan dalam bentuk kapsul cukup banyak diterima di depo farmasi rawat
jalan RSUD Raden Mattaher. Permintaan sediaan kapsul ini biasanya berasal
dari peresepan poli saraf. Salah satu racikan kapsul yang diminta adalah
kapsul yang mengandung paracetamol dan diazepam.
Pelaksaanaan magang di Rumah Sakit pada pelayanan resep dengan
jumlah tertinggi ditemukan di depo rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden
Mattaher Jambi. Salah satu contoh resep yang cukup banyak dituliskan adalah
penggunaan obat racikan paracetamol dan diazepam dalam sediaan kapsul dari
poli saraf. Pemberiannya mencapai 60 kapsul dengan pemberian 2x sehari 1
kapsul. Artinya penggunaan obat dilakukan selama satu bulan.
Pembuatan sediaan kapsul paracetamol dan diazepam di depo rawat
jalan menggunakan komponen berupa sediaan tablet jadi yang diproduksi oleh
industri farmasi. Hal ini berarti, kapsul yang dibuat diracik atau dibuat bukan
bahan baku obat murni. Andriani, et al. (2014) menyatakan bahwa perubahan
bentuk dari sediaan obat (tablet, kapsul, atau bentuk lainnya) menjadi kapsul
racikan kemungkinan dapat berpengaruh pada stabilitas, efektifitas, dan
keamanan serta tujuan dari formulasi sediaan obat tersebut.
2

Selain itu, tablet paracetamol dan tablet diazepam dibuat menjadi


serbuk menggunakan blender. Kemudian dimasukkan ke dalam cangkang
kapsul. Pengubahan bentuk sediaan tablet menjadi serbuk untuk dimasukkan
ke dalam kapsul dapat menimbulkan perubahan fisik dan kimia. Hal ini
dikarenakan tablet yang diproduksi industri farmasi tentu sudah melewati
kajian dan evaluasi terhadap tujuan bahan tambahan yang digunakan,
formulasi, dan kualitas tablet. Sediaan tablet tersebut sudah lulus uji evaluasi
sediaan tablet, seperti keseragaman bobot, uji disolusi dan waktu hancur.
Sedangkan jika diracik dan diubah menjadi kapsul, belum ada jaminan bahwa
racikan kapsul tersebut memenuhi evaluasi sediaan yang ditetapkan.
Pembagian serbuk ke dalam kapsul dilakukan secara visual sehingga
kemungkinkan besar terjadi heterogenitas bobot serta tidak seragamnya dosis
obat (Yulisa, et al. 2017). Kemudian, cangkang kapsul yang digunakan juga
tidak diketahui terhadap waktu hancur dan proses disolusinya. Hal seperti ini
perlu dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi farmakokinetik dan
farmakodinamik yang terjadi.
Penelitian oleh Hutagaol dan Irwan (2010) mengenai perbedaan disolusi
kapsul racikan teofilin yang dikombinasikan dengan efedrin hidroklorida yang
berasal dari bahan baku dan dari tablet yang digerus menjadi serbuk. Penelitian
ini dapat diketahui bahwa kapsul yang diracik dari bahan baku serbuk
menghasilkan waktu disolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapsul
yang diracik dari bentuk tablet.
Lee (2017) menyebutkan bahwa paracetamol dapat menyebabkan
keracunan pada 46% gagal hati akut di Amerika Serikat dan 40 sampai 70&
dari kasus di Inggris. Paracetamol dapat menyebabkan kerusakan hepar karena
terbentuknya metabolit reaktif toksik (N-asetil-p-benziquinon) dan radikal bebas
melalui proses biotranformasi oleh enzim sitokrom CYP2EI. Penelitian Adlan dan
Witjaksono (2013) menggunakan tikus Wistar jantan menunjukkan hasil bahwa
terjadi kenaikan signifikan (p<0,05) kadar SGOT antara kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan yang diberi parasetamol dosis analgesic selama 2 hari.
Diazepam tergolong dalam obat hipnotif-sedatif yang memiliki efek yang
kuat pada sistem saraf otonom perifer. Efek diazepam yang menekan sistem
saraf pusat mengakibatkan kerja organ terganggu sehingga mengakibatkan
kerja organ terutama hepar akan terganggu. Andersson, et al. (1994)
menyebutkan bahwa metabolisme utama diazepam terjadi dalam mikrosom
hati. Diazepam termasuk golongan obat psikotropika yang dapat menimbulkan
ketergantungan. Selain itu, diazepam yang bekerja terhadap sistem saraf akan
mempengaruhi kerja seluruh organ di dalam tubuh termasuk hepar. Diazepam
3

juga menimbulkan pengaruh lain seperti terjadinya peningkatan bobot hepar.


Peningkatan bobot hepar terjadi karena proses adaptasi sel. (Price dan Wilson,
1984). Oleh sebab itu, dikarenakan cukup seringnya peresepan racikan obat
tersebut dan digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu selama
satu bulan maka perlu untuk dilakuakan evaluasi kapsul racikan paracetamol
dan diazepam di depo rawat jalan RSUD Raden Mattaher Jambi.
Apotek Kimia Farma 299 merupakan apotek yang melayani pelayanan
obat BPJS untuk Program Rujukan Balik. Pelayanan Program Rujuk Balik
diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan penderita penyakit kronis,
khususnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), epilepsy, stroke, schizophrenia, Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) yang sudah terkontrol atau stabil namun masih
memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan dalam jangka panjang.
Pelayanan resep dengan prevalensi yang tinggi di Apotek Kimia Farma 299
adalah pada pasien diabetes mellitus dan hipertensi. Sedangkan jenis obat yang
banyak dibutuhkan dalam peresepan penggunaan obat metformin. Jumlah
pengadaan obat metformin setiap bulannya mencapai 12.000 tablet.
Metformin banyak digunakan dalam peresepan obat diabetes mellitus.
Dosis yang diberikan bahkan hingga 1-3x sehari tiap tablet, lebih banyak
dibandingkan obat antidiabetik oral golongan lainnya. Penelitian Riwu, et al.
(2015) menemukan keluhan efek samping yang dialami penderita dengan
penggunaan metformin berupa kembung (58,46%) dan mual (41,54%).
Sedangkan penyataan Marshall (2017) mengenai penggunaan Metformin dalam
jangka panjang, dikhawatirkan terjadinya laktat asidosis meskipun
kejadiaannya sangat jarang.
Selain itu, peringatan dan perhatian dalam penggunaan metformin
adalah dianjurkan untuk pemeriksaan kadar B12 pada penggunaa jangka
panjang. Efek samping jangka panjang penggunaan metformin yang
terdokumentasikan adalah terjadinya malabsorbsi vitamin B12. Mahajan dan
Gupta (2010) menyatakan prevalensi pasien yang mengalami malabsorbsi
vitamin B12 disebabkan penggunaan metformin jangka panjang sebesar 30%.
Zalaket, et al. (2018) menemukan bahwa terdapat korelasi inversi yang
signifikan antara dosis dan durasi pengobatan dengan tingkat level serum
vitamin B12. Penelitian yang dilakukan Berchtold, et al. (1969) melaporkan
bahwa penggunaan metformin selama 3 bulan dapat menyebabkan malabsorbsi
vitamin B12. Singh, et al. (2013) menyebutkan bahwa penggunaan metformin
berkaitan dengan defisiensi atau penurunan vitamin B12 dan terjadinya
neuropati. Anemia megaloblastik merupakan jenis anemia makrositik, yaitu
4

bertambah besarnya ukuran sel darah merah dan pertambahan jumlah


hemoglobin tiap sel karena kekurangan B12, asam folat dan gangguan sintesis
DNA (Masrizal, 2007). Malabsorbsi vitamin mempengaruhi terhadap defisiensi
vitamin B12. Efek defisiensi vitamin B12 menyebabkan terjadinya penurunan
sintesis DNA (Rahayuda dan Herawati, 2014). Penyakit diabetes mellitus
membutuhkan terapi jangka panjang maka perlu untuk diketahui potensi efek
samping jangka panjang dari metformin dengan mengetahui gejala atau respon
terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya defisiensi
vitamin B12 yang dapat mengakibatkan berbagai kerugian bagi kualitas hidup
pasien, perlu diprediksi potensi efek samping metformin pada pasien BPJS
Kesehatan di Apotek Kimia Farma 299 Jambi.

1.2 Tujuan Magang


1. Mengetahui prevalensi peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam
pada pasien poli syaraf di depo rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden
Mattaher Jambi
2. Memprediksi potensi efek penggunaan kapsul racikan Paracetamol dan
Diazepam secara teoritis pada pasien poli syaraf di depo rawat jalan Instalasi
Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi
3. Memprediksi potensi efek samping dan persentase pasien yang menggunaan
metformin secara teoritis pada pasien Program Rujukan Balik BPJS
Kesehatan di Apotek Kimia Farma 299 Jambi.

1.3 Manfaat Magang


1. Menambah pengetahuan bagi penulis mengenai potensi efek penggunaan
kapsul racikan paracetamol dan diazepam dan prediksi terjadinya potensi
efek samping penggunaan metformin.
2. Sebagai bahan masukan bagi RSUD Raden Mattaher Jambi untuk
memonitoring efek samping obat sehingga meningkatkan kualitas pelayanan
kefarmasian
3. Sebagai bahan evaluasi pihak RSUD Raden Mattaher Jambi mengkaji
peresepan yang sering dituliskan dokter
4. Sebagai bahan masukan bagi Apotek Kimia Farma 299 Jambi melakukan
monitoring efek samping obat terhadap pelayanan BPJS dengan tenaga
kesehatan terkait untuk memonitoring efek samping obat sehingga
meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian.
5. Sebagai bahan literatur bagi pembaca maupun peneliti selanjutnya dalam
lingkup Universitas Jambi dan kalangan umum.
5

II. METODE PELAKSANAAN

2.1 Pelaksanaan Magang


Pelaksanaan magang di RSUD Raden Mattaher dimulai pada tanggal 4
Juni sampai 7 Juli 2018, berlangsung selama 4 minggu atau 22 hari jam kerja.
Magang dilaksanakan dari hari Senin sampai hari Sabtu. Rincian jam kerja
pada hari Senin sampai Kamis adalah pukul 08.00 – 14.00 WIB. Sedangkan
pada hari Jumat dan Sabtu dimulai pukul 08.00 – 13.00 WIB.
Sedangkan magang di Apotek Kimia Farma 299 Jambi berlangsung
selama 4 minggu dimulai pada tanggal 9 Juli sampai 4 Agustus 2018. Magang
dilaksanakan di Apotek Kimia Farma 299 dengan 7 jam kerja dari hari Senin
sampai hari Sabtu. Rincian pembagian jam kerja dibagi menjadi dua shif yaitu
shif pagi dan shif sore. Shif pagi dimulai pukul 08.00 – 15.00 WIB dan shif sore
dilanjutkan pukul 15.00 – 22.00 WIB.

2.3 Lokasi Magang


Magang dilaksanakan di Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher yang
berada di Jalan Letjen Suprapto No. 31 Telanaipura, Jambi, 36361, Indonesia.
Telp. (0741) 61692 dan di Apotek Kimia Farma 299 yang berada di Jalan Raden
Mattaher No. 40, Orang Kayo Hitam, Pasar Jambi, Kota Jambi, Jambi 36122.

2.3 Bidang Unit Kerja


Kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa S1 Farmasi selama magang di
RSUD Raden Mattaher berkaitan tentang pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) di Instalasi Farmasi RSUD
Raden Mattaher Jambi pada beberapa unit kerja atau depo farmasi. Depo
farmasi sebagai unit kerja sebagai tempat pelaksanaan magang terdiri dari depo
Rawat Jalan, Rawat Inap, ruang perawatan kelas I, ruang perawatan kelas II,
ruang perawatan VIP mayang mangurai dan pinang masak, depo farmasi
jantung, THT, mata dan paru, depo farmasi bedah dan interne, instalasi bedah
sentral, kemoterapi dan kamar operasi emergensi.
Kegiatan yang dilakukan mahasiswa selama magang di Apotek Kimia
Farma 299 Jambi meliputi pelayanan obat BPJS, pelayanan obat dengan resep
dokter, pelayanan obat tanpa resep dokter dan peracikan obat serta pelayanan
kefarmasian.

2. 4 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan teknik
observasi. Penulis mengamati, mencatat dan mendokumentasikan data-data
6

yang diperlukan dan mendukung topik permasalahan yang akan dibahas.


Rumah sakit
Pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan studi retrospektif.
Data didapatkan dari resep-resep penggunaan kapsul racikan paracetamol dan
diazepam di depo farmasi rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher
Jambi pada bulan Juni 2018. Resep yang digunakan adalah resep yang
menuliskan permintaan racikan kapsul paracetamol dan diazepam, sedangkan
resep racikan kapsul paracetamol dan diazepam, namun tidak mengandung
tambahan item atau jenis obat lain seperti fluoxetine, amitriptilin dan tramadol.
Resep yang memenuhi kriteria dicatat nama, nomor medical record (MR)
dan usia pasien yang terdapat pada resep. Kemudian dicatat lama penggunaan
item obat (Paracetamol dan diazepam) yang telah diterima oleh pasien melalui
SIM-RS depo farmasi rawat jalan RSUD Raden Mattaher Jambi.
Apotek
Pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan studi retrospektif.
Data didapatkan dari laporan penggunaan obat Program Rujukan Balik BPJS
Kesehatan di Apotek Kimia Farma 299 Jambi dari bulan September 2017
sampai Maret 2018. Data yang dibutuhkan adalah data pasien yang
mendapatkan resep menggunakan metformin HCl 500 mg.
7

III. GAMBARAN UMUM INSTANSI

3.1 Sejarah RSUD Raden Mattaher

Gambar 1. RSUD Raden Mattaher Jambi

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi pada


Gambar 1 adalah Rumah Sakit milik Pemerintah Provinsi yang secara pasti
wajib menjalankan fungsi sosialnya terutama pelayanan bagi keluarga kurang
mampu atau miskin. Sedangkan pengelolaannya dilakukan dengan prinsip
Badan Layanan Umum Daerah yang sesuai dengan amanat UU No 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi telah terakreditasi menjadi
Rumah Sakit Pendidikan.
Sejarah berdirinya RSUD Provinsi Jambi sampai dengan ditetapkannya
menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi. Kelas B
pendidikan adalah sebagai berikut :
a. RSUD Provinsi Jambi berdiri pada tahun 1948 dengan tipe C dan bergabung
dengan Dinas Kesehatan Tentara (DKT) Jambi. Pada tanggal 19 November
1972 dipindahkan ke Jl. Letjen Suprapto No.31 Telanaipura Jambi. Rumah
Sakit ini dibangun di atas tanah seluas 75.000 m2 dengan luas bangunan +
24.153 m2.
b. Rumah sakit daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi semula namanya
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Jambi dan kemudian pada
bulan November 1999 bertepatan pada hari kesehatan nasional 1999, rumah
sakit ini diberi nama salah seorang Pahlawan Jambi yaitu Raden Mattaher.
c. RSUD Raden Mattaher saat ini sudah meningkat tipenya menjadi rumah
sakit type B pendidikan dengan kapasitas 321 tempat tidur.
d. Berdasarkan Perda Nomor 15 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata kerja
Rumah Sakit Daerah Raden Mattaher Propinsi Jambi, RSUD Raden Mattaher
Jambi mempunyai Tugas: Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya
guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan,
8

pemulihan yang dilakukan secara serasi, terpadu dengan melaksanakan


peningkatan pencegahan dan pelayanan yang bermutu serta melaksanakan
upaya rujukan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang
berlaku serta dapat dipergunakan sebagai tempat pengembangan sumber
daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan bagi tenaga dibidang
kesehatan.
e. Dengan dibukanya program pendidikan dokter Universitas Jambi, maka
untuk menunjang proses pendidikan calon dokter di Universitas Jambi, pada
tahun 2005 ditanda tangani Nota kesepahaman RSUD Raden Mattaher
Provinsi Jambi dengan Universitas Jambi tentang program pendidikan dokter
di Jambi.
f. Untuk diakui menjadi rumah sakit pendidikan, maka RSUD Raden Mattaher
Provinsi Jambi telah lulus Akreditasi Penuh Tingkat Lanjut dan Lulus
Akreditasi Rumah Sakit Pendidikan.
Salah satu yang melatarbelakangi berdirinya rumah sakit daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi (dahulu RSU Provinsi Jambi) adalah untuk
meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Selain itu dengan makin
masyarakat terutama di kabupaten kota, dan dengan melalui peningkatkan
fungsinya maka RSUD Raden Mattaher Jambi menjadi pusat rujukan bagi
rumah sakit kabupaten / kota di Provinsi Jambi. Sebagai rumah sakit rujukan,
RSUD Raden Mattaher harus memiliki tenaga dengan kompetensi tinggi dan
teknologi yang lebih canggih dari rumah sakit lainnya di Provinsi Jambi.
Data Umum Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi
Nama Rumah Sakit : RSUD Mattaher Jambi
Alamat : Jl. Letnan Jenderal Soeprapto, No. 31, Telanai Pura,
Kota Jambi, Provinsi Jambi.
Penanggung Jawab : Jauhari Ilham Putra, S.Farm, Apt
Jabatan : Kepala Instalasi Farmasi
Apoteker : 14 orang
Asisten Apoteker : 48 orang
Honorer : 9 orang
Visi Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi:
Pelayanan farmasi yang cepat, tepat, efisien, terkoordinasi dan memuaskan

Misi Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi:


1. Memberikan pelayanan farmasi yang sesuai dengan standar manajemen dan
klinis
2. Memberikan pelayanan farmasi yang berorientasi pada keselamatan dan
kepuasan pasien
9

3. Memberikan pelayanan farmasi yang cepat dengan memperhatikan


ketepatan
4. Memberikan pelayanan farmasi terintegrasi dengan membangunan
koordinasi yang baik sesama petugas farmasi dan atau petugas kesehatan
lainnya
5. Meningkatkan pelayanan farmasi secara berkesinambungan melalui
peningkatan sumber daya manusia.

3.2 Struktur organisasi Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher


Berdasarkan struktur organisasi pada Gambar 2, Instalasi Farmasi
RSUD Mattaher Jambi tahun 2018 dipimpin oleh Jauhari Ilham Putra, S.Farm,
Apt selaku Kepala Instalasi Farmasi. Instalasi Farmasi mencakup 14 apoteker
penanggung jawab dalam bidang pengadaan, manajemen, mutu, dan
administrasi, perbekalan farmasi, farmasi klinis, depo rawat jalan, depo rawat
inap kelas I dan II, depo farmasi Pinang Masak dan Mayang Mangurai, depo
farmasi paru, jantung dan syaraf, depo farmasi bedah dan penyakit dalam, depo
farmasi anak dan kebidanan, cathlab, OK sentral dan OK emergency.
10
11

3.3 Kegiatan Umum Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi


Kegiatan umum pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi RSUD
Raden Mattaher Jambi meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Menurut Permenkes
Nomor 72 tahun 2016, pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian dan administrasi.
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin
seluruh rangkaian kegiatan perbekalan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta
memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Sistem satu pintu adalah
satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium, pengadaan, dan
pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi
Farmasi. Dengan demikian semua sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab
Instalasi Farmasi, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan
selain oleh Instalasi Farmasi. Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi:
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis Pakai ini berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan atau pedoman diagnosa dan terapi; b.
standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
telah ditetapkan; c. pola penyakit; d. efektifitas dan keamanan; e. pengobatan
berbasis bukti; f. mutu; g. harga; dan h. ketersediaan di pasaran.
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
12

perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,


kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan: a.
anggaran yang tersedia; b. penetapan prioritas; c. sisa persediaan; d. data
pemakaian periode yang lalu; e. waktu tunggu pemesanan; dan f. rencana
pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus
menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang
terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang
berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang
dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode
pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika
proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus
melibatkan tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai antara lain:
a. Bahan baku obat harus disertai Sertifikat Analisa.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
c. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar.
d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tertentu
(vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
b. Produksi Sediaan Farmasi
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
13

5. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat
menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan
kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired
First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike
Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat. Rumah Sakit harus
dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar
dari penyalahgunaan dan pencurian.
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan atau menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan
atau pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat
menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan. Sistem distribusi di
unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
b. Sistem Resep Perorangan
c. Sistem Unit Dosis
d. Sistem Kombinasi
2. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar atau ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan
14

perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi


sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan
laporan kepada Kepala BPOM. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
3. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan
untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan
administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang meliputi
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian,
pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Pelaporan dibuat secara
periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu
(bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi harus mengelola keuangan maka perlu
menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan merupakan
pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi
keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan
semua kegiatan pelayanan kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam
periode bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak
terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan
cara membuat usulan penghapusan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Sedangkan kegiatan pelayanan farmasi klinik di RSUD Raden Mattaher
Jambi merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient
safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan
farmasi klinik yang dilakukan meliputi: 1. pengkajian dan pelayanan Resep; 2.
penelusuran riwayat penggunaan obat; 3. rekonsiliasi obat; 4. Pelayanan
Informasi Obat (PIO); 5. konseling; 6. visite; 7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); 9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
15

10. dispensing sediaan steril; dan 11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
(PKOD).
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait
obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter
penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh obat atau sediaan farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data rekam medic atau pencatatan penggunaan obat pasien.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat
(medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit
ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar
dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua
fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter,
keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
16

6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait
obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki,
meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit
baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang
biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa
terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak
dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif.
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi
petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan
pemberian obat.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi
hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang
merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker
kepada dokter.
17

3.4 Sejarah Kimia Farma


Kimia Farma adalah perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia
yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817. Nama perusahaan
ini pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. Berdasarkan
kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda di masa awal
kemerdekaan, pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia melakukan
peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF (Perusahaan Negara
Farmasi) Bhinneka Kimia Farma. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971,
bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas, sehingga nama
perusahaan berubah menjadi PT Kimia Farma (Persero).
PT Kimia Farma Apotek (KFA) adalah anak perusahaan Perseroan yang
didirikan berdasarkan akta pendirian tanggal 4 Januari 2003. Sejak tahun
2011, KFA menyediakan layanan kesehatan yang terintegrasi meliputi layanan
farmasi (apotek), klinik kesehatan, laboratorium klinik dan optik, dengan
konsep One Stop Health Care Solution (OSHcS) sehingga semakin memudahkan
masyarakat mendapatkan layanan kesehatan berkualitas. Komposisi pemegang
saham PT Kimia Farma (Persero) Tbk yaitu 99.99% dan Yayasan Kesejahteraan
Keluarga Kimia Farma (YKKKF) 0.01%.
Sejarah PT Kimia Farma Apotek dimulai hampir dua abad yang lalu
yaitu tahun 1817 yang kala itu merupakan perusahaan farmasi pertama
didirikan Hindia Belanda di Indonesia bernama NV Chemicalien Handle
Rathkamp & Co. Kemudian pada awal kemerdekaan dinasionalisasi oleh
pemerintah Republik Indonesia dan seterusnya pada tanggal 16 Agustus 1971
menjadi PT (Persero) Kimia Farma, sebuah perusahaan farmasi negara yang
bergerak dalam bidang industri farmasi, distribusi, dan apotek. Sampai dengan
tahun 2002, apotek merupakan salah satu kegiatan usaha PT Kimia Farma
(Persero) Tbk, yang selanjutnya pada awal tahun 2003 di-spin-off menjadi PT
Kimia Farma Apotek.
PT Kimia Farma Apotek menjadi anak perusahaan PT Kimia Farma
(Persero) Tbk sejak tanggal 4 Januari 2003 berdasarkan akta pendirian No. 6
tahun 2003 yang dibuat di hadapan Notaris Ny. Imas Fatimah, S.H di Jakarta
dan telah diubah dengan akta No.42 tanggal 22 April 2003 yang dibuat di
hadapan Notaris Nila Noordjasmani Soeyasa Besar, S.H. Akta ini telah
mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia dengan surat keputusan No: C-09648 HT.01.01 TH 2003
tanggal 1 Mei 2003.
Pada tahun 2010 dibentuk PT Kimia Farma Diagnostika dan merupakan
anak perusahaan PT Kimia Farma Apotek yang melaksanakan pengelolaan
18

kegiatan usaha Perseroan di bidang laboratorium klinik. Saat ini PT Kimia


Farma Apotek bertrasnformasi menjadi healthcare provider company, suatu
perusahaan jaringan layanan kesehatan terintegrasi dan terbesar di Indonesia,
yang pada akhir tahun 2015 memiliki 725 apotek, 300 klinik dan praktek
dokter bersama, 42 laboratorium klinik, dan 10 optik, dengan visi menjadi
perusahaan jaringan layanan kesehatan yang terkemuka dan mampu
memberikan solusi kesehatan masyarakat di Indonesia.
Saat ini PT Kimia Farma Apotek memiliki lebih dari 725 Apotek yang
beroperasi di 34 Provinsi di Indonesia dengan lebih dari 800 tenaga Apoteker
professional yang berpraktek melayani kebutuhan kesehatan masyarakat
Indonesia. Kegiatan usaha Apotek meliputi pelayanan obat resep, non resep,
serta alat kesehatan dengan kelengkapan produk untuk upaya kesehatan
paripurna, baik preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif, serta produk
lainnya yang terkait dengan jumlah SKU lebih dari 20 ribu jenis.
Apotek dikembangkan sebagai ritel modern dan dioperasikan dengan
standar Good Pharmacy Practice (GPP) sesuai standar internasional
dari International Pharmaceutical Federation. Pelayanan apotek terintegrasi
secara sistem dengan klinik, laboratorium klinik, optik dan layanan kesehatan
Perseroan lainnya, dan sebagian juga terintegrasi secara fisik atau dalam satu
atap.
Visi Kimia Farma:
Menjadi perusahaan jaringan layanan kesehatan yang terkemuka dan
mampu memberikan solusi kesehatan masyarakat di Indonesia.
Misi Kimia Farma:
Menghasilkan pertumbuhan nilai perusahaan yang berkelanjutan berbasis
tekonologi, informasi, komunikasi, melalui:
1. Pengembangan layanan kesehatan yang terintegrasi meliputi apotek, klinik,
laboratorium klinik, optik, alat kesehatan dan layanan kesehatan lainnya,
2. Saluran distribusi utama produk sendiri dan pilihan utama saluran
distribusi produk prinsipal,
3. SDM yang memiliki kompetensi, komitmen dan integritas tinggi,
4. Pengembangan bisnis baru,
5. Peningkatan pendapatan lainnya (fee base income).
19

Gambar 3. Apotek Kimia Farma 299

Apotek Kimia Farma 299, seperti yang terlihat pada Gambar 3,


merupakan salah satu Apotek Kimia Farma cabang di Jambi. Apotek Kimia
Farma 299 mulai beroperasi sejak tanggal 2 Oktober 2015 dengan Surat Izin
Apotek No. 442/042. BPMPPT/2015. Apotek Kimia Farma 299 merupakan satu-
satunya Apotek Kimia Farma yang berada di daerah Jambi dengan pelayanan
BPJS Kesehatan. Apotek Kimia Farma 299 melakukan perjanjian kerja sama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentang
penyediaan dan pelayanan obat Program Rujukan Balik (PRB) bagi peserta BPJS
Kesehatan. Perjanjian kerja sama dengan nomor 167/KTR/II-70617 ini dibuat
dan ditandatangani di Jambi, pada hari Senin tanggal 12 Juni 2017.

3.5 Struktur Organisasi Apotek Kimia Farma

Gambar 4. Struktur Organisasi Kimia Farma Apotek (KFA) Jambi


20

Berdasarkan Gambar 4, Apotek Kimia Farma 299 berada dalam naungan


Bussininess managaer daerah Jambi dengan Apoteker Penanggung jawab
Apotek Banu Aji Wijayanto, Apt. Apoteker Penanggung jawab Apotek Kimia
Farma 299 memimpin 5 asisten apoteker.

3.6 Kegiatan Umum Apotek Kimia Farma


Kegiatan umum yang dilakukan di Apotek Kimia Farma adalah
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
serta pelayanan farmasi klinik. Menurut Permenkes Nomor 35 tahun 2014,
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
1. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola
konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
2. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
4. Penyimpanan
1) Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurangkurangnya memuat
nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
2) Semua obat atau bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
4) Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO
(First In First Out)
21

5. Pemusnahan
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan system pesanan
atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan
dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurangkurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa,
jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
7. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk
penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan
terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan
pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi
keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya.
Kegiatan pelayanan farmasi klinik di Apotek Kimia Farma merupakan
bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
22

1. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi: 1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan
berat badan; 2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor
telepon dan paraf; dan 3. tanggal penulisan resep. Kajian kesesuaian farmasetik
meliputi: 1. bentuk dan kekuatan sediaan; 2. stabilitas; dan 3. kompatibilitas
(ketercampuran obat). Pertimbangan klinis meliputi: 1. ketepatan indikasi dan
dosis obat; 2. aturan, cara dan lama penggunaan obat; 3. duplikasi dan/atau
polifarmasi; 4. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain); 5. kontra indikasi; dan 6. interaksi. Jika ditemukan
adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus
menghubungi dokter penulis resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
1) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
 menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep;
 mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
obat.
2) Melakukan peracikan obat bila diperlukan
3) Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
 warna putih untuk obat dalam (oral);
 warna biru untuk obat luar dan suntik;
 menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi
atau emulsi.
4) Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut : (a) Sebelum obat
diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah
obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep); (b) Memanggil nama
dan nomor tunggu pasien; (c) Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien; (d)
Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat; (e) Memberikan
informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan obat antara
lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan
23

efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain; (f) Penyerahan obat kepada
pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam
kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil; (g) Memastikan bahwa yang
menerima obat adalah pasien atau keluarganya; (h) Membuat salinan resep
sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan); (i)
Menyimpan resep pada tempatnya; (j) Apoteker membuat catatan pengobatan
pasien.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan
lain-lain.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien
atau keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apoteker harus melakukan
verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang
digunakan.
24

IV. PELAKSANAAN MAGANG

4.1 Topik Magang Rumah Sakit


Topik magang yang dibahas adalah memprediksi potensi efek
penggunaan kapsul racikan paracetamol dan diazepam pada pasien poli syaraf
di depo rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi

Obat Racikan
Obat racikan (compounding medicine) adalah obat yang dibentuk dengan
mencampurkan bahan-bahan aktif. Bentuk obat racikan bisa berupa bentuk
padat maupun bentuk cair. Bentuk racikan obat di Indonesia biasanya
terdapat dalam bentuk padat (puyer) dan cair (beberapa obat padat yang
dicampur di dalam sirup) (Anto, 2010). Peracikan obat merupakan salah satu
pekerjaan kefarmasian yang dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang
terdiri dari apoteker, sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan
asisten apoteker (Dewi dan Wiedyaningtyas, 2012). Permintaan peracikan obat
di sarana kesehatan karena terbatasnya sediaan obat yang ada.
Peracikan obat sering dianggap sebagai proses menggabungkan,
mencampur, atau mengubah bahan untuk sediaan steril atau obat non-steril
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Namun sebagai badan pengawasan
obat dan makanan internasional, FDA (Food and Drug Administration) tidak
mensetujui peracikan obat. Dalam beberapa situasi yang penting, seperti ada
pasien yang memiliki alergi dan membutuhkan obat yang harus dibuat tanpa
pewarna tertentu, atau pasien tua maupun anak-anak yang tidak dapat
menelan tablet atau kapsul dan membutuhkan obat dalam sediaan cair namun
sediaan cair tidak tersedia, peracikan untuk melayani kebutuhan pasien dapat
dilakukan. Hal yang menjadi pertimbangan adalah beberapa alat dan petugas
yang terlibat dalam kegiatan peracikan belum sesuai, sehingga belum terjamin
keamanan dan efikasinya. Obat racikan umumnya mengandung minimal dua
komponen obat. Namun FDA tidak menyetujui obat majemuk karena FDA
belum memverifikasi keamanan, efektivitas atau kualitas obat tersebut. FDA
juga mengamati bahwa pelabelan obat racikan sering menghilangkan informasi
penting seperti petunjuk yang membantu memastikan bahwa obat-obatan
digunakan dengan aman, peringatan tentang kemungkinan efek samping dan
interaksi obat yang dapat terjadi. Selain itu, perlu perhatian khusus terhadap
praktik peracikan yang buruk dapat menghasilkan kualitas obat yang serius,
seperti kontaminasi maupun obat-obat tersebut tidak memiliki kekuatan,
kualitas dan kemurnian seperti sediaan awal (FDA, 2017).
25

Mekanisme Kerja Paracetamol


Paracetamol adalah obat analgesik atau pereda nyeri yang banyak
digunakan. Mekanisme aksi paracetamol sebagai analgesic dan antipiretik
adalah dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX). Paracetamol memiliki
mekanisme aksi yang sedikit berbeda dibandingkan dengan obat golongan
analgetik lain karena selain adanya enzim siklooksigenasi COX-1 dan COX-2
yang mengkatalisis prostaglandin di jaringan, ada pula COX-3 yang berada di
otak dan sistem saraf pusat. Paracetamol bekerja lebih spesifik menghambat
COX-3 di otak yang mampu menghambat produksi prostaglandin sehingga
mengganggu thermostat di hipotalamus yang menghasilkan efek menurunkan
demam, memberikan efek anti nyeri atau analgesik. Penghambatan yang
spesifik pada COX-3 dan tidak menghambat COX-2, menyebabkan efek
Paracetamol sebagai anti radang di jaringan juga kecil. Di sisi lain, karena tidak
menghambat COX-1, maka efek gangguan lambung juga kecil karena tidak
mempengaruhi produksi prostaglandin jaringan yang dibutuhkan untuk
melindungi mukosa lambung serta tidak memiliki efek mengencerkan darah
(Ikawati, 2010).

Farmakokinetik Paracetamol
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan
mencapai kadar serum puncak dalam waktu 30 – 120 menit. Penyerapan
sediaan paracetamol dengan adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat proses absorpsi. Parasetamol terdistribusi dengan cepat hampir
pada seluruh jaringan tubuh. Paracetamol dalam darah sebanyak ± 25% terikat
pada protein plasma. Waktu paruh parasetamol adalah antara 1,25 – 3 jam.
Penderita kerusakan hati dan konsumsi parasetamol dengan dosis toksik dapat
memperpanjang waktu paruh zat ini. Parasetamol diekskresikan melalui urine
sebagai metabolitnya, yaitu asetaminofen glukoronid, asetaminofen sulfat,
merkaptat dan bentuk yang tidak berubah (Anonim, 2010).

Mekanisme Paracetamol Menyebabkan Hepatotoksik


Paracetamol memiliki efek samping yang bersifat toksik di hati jika
digunakan dalam dosis besar. Pada dosis terapi (500 mg-2 gram) 5-15% obat
umumnya dikonversi oleh enzim sitokrom P450 (Ikawati, 2010) Menurut
Indahsari (2017) penggunaan parasetamol secara berlebihan atau melebihi dosis
dapat mengakibatkan kerusakan hati. Paracetamol dapat menyebabkan
kerusakan hepar karena terbentuknya metabolit reaktif toksik (N-asetil-p-
benziquinon) dan radikal bebas melalui proses biotranformasi oleh enzim
sitokrom CYP2EI seperti ilustrasi pada Gambar 5.
26

Jurnalis, et al. (2015) pada Gambar 6 menjelaskan mekanisme


acetaminophen atau paracetamol menyebabkan kelainan hati adalah akibat
metabolitnya NAPQI (N-acetyl-pbenzoquinoneimine) yang sangat reaktif.
Keadaan normal produk reaktif ini dengan cepat berikatan dengan kadar
gluthation di hati, sehingga menjadi bahan yang tidak toksik. Akan tetapi pada
keadaan kelebihan dosis, atau pemakaian terus menerus yang menyebabkan
produksi NAPQI terus bertambah, dan tidak sebanding dengan kadar
gluthathion, maka NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan sel hati
yang mengakibatkan nekrosis sel hati.

Gambar 5. Mekanisme biokimia metabolisme paracetamol

Gambar 6. Mekanisme metabolisme dan hepatotoksik paracetamol

Gluthation merupakan senyawa endogen lain yang sering ditemukan


didalam konjugat obat. Glutation merupaka tripeptida (y-GluCysGly) yang
ditemukan di dalam hati. Gugus tiol pada glutation dapat bereaksi dengan obat-
obat elektrofilik untuk melindungi sel-sel nukleofil lain dari serangan. Hal ini
merupakan mekanisme detoksifikasi seperti N-asetilkuinonimina yang dibentuk
27

pada paracetamol dan epoksida yang terbentuk sebagai hasil metabolisme


ikatan rangkap CYP450 (Cairns, 2008)
Keracunan parasetamol (Anonim, 2010) biasanya terbagi dalam 4 fase,
yaitu:
Fase 1 : Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu
pada tubuh yang tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan
keringat.
Fase 2 : Pembesaran liver, peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim
hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi
bertambah lama dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin.
Fase 3 : Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah
munculnya gejala awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti
pasien tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen
empedu di kulit, membran mukosa dan sklera (jaundice),
hipoglikemia, kelainan pembekuan darah, dan penyakit degeneratif
pada otak (encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal
ginjal dan berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung
(cardiomyopathy)
Fase 4 : Penyembuhan atau berkembang menuju gagal hati yang fatal.

Mekanisme Diazepam
Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron
yang menggunakan GABA sebagai mediatornya. GABA (gamma-aminobutyric
acid) merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP),
melalui neuron-neuron modulasi GABA nergik. Reseptor Benzodiazepin
berikatan dengan reseptor subtipe GABAA. Berikatan dengan reseptor agonis
menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan
hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat membuat neuron ini
resisten terhadap rangsangan. Cara demikian dapat membuat obat ini
memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek GABA dan
menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi
kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor benzodiazepin dapat
ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks
serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada medula spinalis
(Sholehah, 2013).
Pemberian Diazepam yang melalui jalur peroral akan melewati saluran
pencernaan, hepar, dan diekskresi melalui ren atau ginjal. Penyerapan atau
absorbs Diazepam terjadi di intestinum kemudian mengalami metabolisme oleh
hepar. Katzung (2002) melaporkan bahwa diazepam mudah diserap oleh
28

intestinum karena sifat kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga


memudahkan senyawa tersebut menembus membran sel, lalu didistribusikan
menuju hepar melalui peredaran darah.

Farmakokinetik Golongan Obat Diazepam


Diazepam termasuk golongan obat benzodiazepine. Dalam
penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah efek hipnotik-sedatif.
Sifat yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-sedatif antara lain adalah
perbaikan anxietas, euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai
pilihan utama untuk insomnia. Obat-obatan yang lazim digunakan untuk
penatalaksanaan gangguan tidur adalah obat golongan benzodiazepin (kerja
pendek atau masa paruh obat <10 jam: misalnya triazolam; kerja menengah
atau masa paruh obat 10-20 jam: misalnya alprazolam, lorazepam, estazolam;
kerja panjang atau masa paruh obat >20 jam: misalnya diazepam, clonazepam).
Long acting benzodiazepin dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi
menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang kemudian
dirombak kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida
tak aktif. Metabolit aktif desmetil biasanya bersifat anxiolitas (Sholehah, 2013).

Metabolisme Diazepam

Gambar 7. Mekanisme metabolism diazepam

Diazepam didistribusikan secara luas (Vd 0,95-2,0 l/kg). Diazepam


merupakan senyawa yang larut lipid dan berpenetrasi ke system saraf pusat
(CNS). Bioavailabilitas berkisar 93-100% secara oral, dan 90% secara rektal
dengan tingkat pengikatan protein plasma yang tinggi yaitu 96-99%. Kadar
plasma puncak tercapai setelah 30-90 menit secara oral, 30-60 menit secara
29

injeksi intramuscular dan 10-45 menit secara rektal. Eliminasi terjadi melalui
proses biphasic dan mendistribusikan kembali ke dalam otot dan jaringan
adipose setelah diserap. Memiliki waktu paruh 24-28 jam. Waktu paruh obat
dan fraksi bebas meningkat pada usia lanjut karena penurunan kadar albumin
dalam serum (Calcaterra dan Barrow, 2014).
Diazepam dimetabolisme oleh enzim hati CYP450 dan mengalami
glukoronidasi untuk eliminasi. Metabolisme diazepam pada Gambar 6
menjelaskan bahwa diazepam dimetilasi oleh CYP 2C9, 2C19, 3A4 dan 3A5)
menghasilkan desmethyldiazepam (nordiazepam). Kemudian mengalami
3’hydroxylated oleh CYP3A4, 3A5, dan 2C19 menjadi oxazepam meskipun
temazepam oleh enzim CYP3A4 dan 3A5 juga terdeteksi (Calcaterra dan Barrow.
2014). Desmetildiazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam yang
memiliki efek farmakologis terhadap sistem saraf yaitu pada sistem saraf pusat.
Oxazepam merupakan metabolit tidak aktif dari diazepam yang selanjutnya
akan mengalami glukoronidasi. Hasil proses glukoronidasi tersebut bersifat
lebih hidrofil atau polar sehingga mudah untuk diekskresi oleh ren (Niendya, et
al., 2011).

4.2 Permasalahan di Rumah Sakit


Berdasarkan pengamatan dan pelaksaan kegiatan disertai telaah
literatur, beberapa permasalahan yang dihadapi diantaranya:
1. Penggunaan paracetamol 500 mg dalam racikan kapsul 2 kali sehari
digunakan setiap hari selama 30 hari dan berlanjut memungkinkan
terjadinya hepatotoksik.
2. Penggunaan diazepam dalam racikan kapsul selama 30 hari diprediksi
dapat menyebabkan pasien mengalami withdrawal.
3. Penggunaan diazepam diprediksi dapat menyebabkan terjadinya
ketergantungan fisik dan psikis sehingga membutuhkan tapering-off.
4. Racikan kapsul terdiri dari sedian tablet paracetamol 500 mg dan kapsul
diazepam 5 mg, saat diracik menjadi serbuk memungkinkan terjadinya
interaksi komponen zat aktf maupun zat tambahan dari masing-masing
sediaan yang mempengaruhi efek obat.

4.3 Solusi dan Pembahasan Magang Rumah Sakit


1. Mengetahui prevalensi peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam
pada pasien poli syaraf di depo rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden
Mattaher Jambi
Jumlah peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam pada
pasien poli syaraf di depo rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher
30

Jambi pada bulan Juni 2018 yang terdapat permintaan obat kombinasi
paracetamol dan diazepam sebanyak 98 resep, namun beberapa terdapat
tambahan item obat lain seperti fluoxetine, amitriptilin dan tramadol sehingga
resep yang digunakan dan dibahas dalam penulisan ini adalah racikan jenis
obat paracetamol dan diazepam saja sebanyak 12 resep seperti pada Lampiran
4.
Pasien yang menerima peresepan racikan kapsul paracetamol dan
diazepam dari usia 29 tahun hingga 78 tahun. Berdasarkan data pada
Lampiran 5 dapat diketahui jumlah kategori pasien lanjut usia. Menurut
Kemenkes RI (2017) lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Jumlah pasien yang diketahui termasuk usia lansia ada 5 orang.
Berdasarkan prosedur tetap RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi No.
SPO/792/RSUD/XII/2015 mengenai penerimaan, pengerjaan dan penyerahan
resep pasien rawat jalan, (Lampiran 1) pelaksaan pelayanan resep di depo
farmasi rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi sudah
sesuai dengan ketentuan. Menurut prosedur operasional pembuatan obat dalam
bentuk kapsul No. SPO.804/RSUD/XII/2015, (Lampiran 2) proses peracikan
kapsul di depo rawat jalan sesuai dengan ketetapan meskipun, bagi petugas
yang melalukan peracikan belum disiplin menggunakan masker, jas lab dan
sarung tangan (Lampiran 3).
2. Memprediksi potensi efek penggunaan kapsul racikan Paracetamol dan
Diazepam pada pasien poli syaraf di depo rawat jalan Instalasi Farmasi
RSUD Raden Mattaher Jambi
a. Penggunaan paracetamol 500 mg dalam racikan kapsul 2 kali sehari
digunakan setiap hari selama 30 hari dan berlanjut memungkinkan
terjadinya hepatotoksik
Racikan kapsul paracetamol dan diazepam biasanya digunakan untuk
penanganan gangguan tidur (insomnia), anti ansietas maupun relaksasi otot.
Beberapa pasien yang mendapatkan peresepan racikan kapsul ini termasuk
pasien lanjut usia. Penggunakan paracetamol dan diazepam yang memiliki
mekanisme dan proses metabolism di hati, dapat meningkatkan potensi
terjadinya hepatotoksik. Paracetamol diketahui mengalami metabolisme obat di
hati menjadi metabolitnya NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinoneimine). Hal yang
sama dengan diazepam juga mengalami metabolism di hati untuk menjadi
oxazepam. Penggunaan obat racikan selama 2 kali sehari dalam jangka waktu
satu bulan dan berlanjut, dapat meningkatkan resiko hepatotoksik terutama
bagi pasien yang telah lanjut usia. Hal ini dikarenakan pada pasien lanjut usia
sudah mengalami penurunan fungsi organ. Selain itu, penggunaan terus
31

menerus setiap hari dapat meningkatkan jumlah metabolit obat di hati, namun
protein hati yang berperan dalam pengeluaran obat jauh lebih rendah dan
jumlahnya terbatas.
Gejala pasien yang mengalami hepatotoksik dapat dilihat dari gambaran
klinis berupa malaise, ikterik, mual, muntah dan terjadi gagal hati akut
(Susanti, 2012). Gejala fisik yang terlihat pada pasien gagal hati adalah pasien
tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen empedu di kulit. Alasan
peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam ini terus berulang adalah
hingga saat ini belum ada keluhan pasien yang mengalami gejala di atas dan
tidak ditemukan pasien yang menerima peresepan ini yang tampak kuning.
Oleh karena itu, untuk pasien yang menerima peresepan racikan kapsul
paracetamol dan diazepam, sebaiknya dilakukan pemeriksaan serum hati
secara berkala selama menerima pengobatan ini. Selain itu, dapat pula
dipertimbangkan penggantian diazepam dengan obat lain yang memiliki efek
sama namun efek samping yang lebih rendah, misalnya oxazepam. Calcaterra
dan Barrow (2014) menyebutkan bahwa oxazepam merupakan salah satu
metabolit utama dari diazepam yang telah dikembangkan dan dipasarkan
sebagai obat. Oxazepam memiliki onset yang lebih lambat dan tidak
memerlukan oksidasi hati untuk pembersihan sehingga menjadi pilihan yang
lebih baik untuk orang lanjut usia maupun pasien yang mengalami gangguan
hepatik.
b. Penggunaan diazepam dalam racikan kapsul selama 30 hari diprediksi
dapat menyebabkan pasien mengalami withdrawal
Diazepam merupakan golongan benzodiazepine dengan lama kerja long
acting. Penggunaan benzodiazepine dalam jangka lama mencapai 4-6 minggu
membutuhkan perhatian khusus (Anonim, 2016). Sholehah (2013) menyatakan
bahwa penggunaan benzodiazepine sebagai hipnotik-sedatif adalah perbaikan
anxietas, euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama
untuk insomnia. Namun, jika keadaan ini terjadi terus menerus , maka pola
penggunaanya akan menjadi kompulsif sehingga terjadi ketergantungan fisik.
Pasien dapat mengalami gejalan abstinensi, yaitu gejala yang timbul merupakan
gejala yang mirip bahkan lebih parah dibandingkan gejala sebelum dipakainya
benzodiazepin. Contoh gejalanya seperti timbulnya mimpi buruk, perasaan
takut, cemas, dan ketegangan yang hebat serta lebih sukar tidur dibanding
sebelum penggunaan obat- obatan hipnotik-sedatif. Gejala abstinensi timbul
karena penggunaan diazepam dapat menekan zat endogen. Jika penggunaannya
dihentikan secara mendadak, zat endogen tersebut tidak dapat kembali ke
32

tingkat semula sebelum ditekan oleh konsumsi benzodiazepin. Akibat yang


terjadi efek penarikan atau yang biasa dikenal dengan withdrawal effects.
Sholehah (2013) mengatakan efek samping lain adalah seperti hang over
yaitu efek sisa yang disebabkan adanya akumulasi dari sisa metabolit aktif.
Kebanyakan terjadi pada hasil metabolit benzodiazepin golongan long acting
seperti diazepam karena dalam bentuk aktif mempunyai waktu paruh yang
lebih lama dari induknya. Toleransi efek ini dapat terjadi setelah 1-2 minggu
pemakaian. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap pasien
yang menerima peresepan ini dalam jangka waktu lebih dari 2 minggu.
c. Penggunaan diazepam diprediksi dapat menyebabkan terjadinya
ketergantungan fisik dan psikis sehingga membutuhkan tapering-off
Diazepam dapat menimbulkan ketergantungan, namun penghentian
penggunaan obat tidak dapat langsung dihentikan karena dapat menyebabkan
terjadinya efek withdrawal. Efek withdrawal merupakan efek penarikan karena
penggunaan benzodiazepine dihentikan secara mendadak, sehingga zat endogen
yang mirip benzodiazepine tidak dapat kembali ke tingkat semula, sedangkan
efek zat eksogen benzodiazepine sudah tidak ada sehingga timbul efek yang
mirip sebelum obat diberikan (Sholehah, 2013). Oleh karena itu, penghentian
obat harus dengan penurunan dosis (tapering off). Tapering off dilakukan agar
tubuh tidak mengalami gangguan karena penghentian obat yang tiba-tiba.
Beberapa pasien yang sudah menggunakan paracetamol dan diazepam,
hingga Juni 2018 masih mendapatkan peresepan penggunaan paracetamol 500
mg dan 0,5 mg diazepam. Terdapat 11 pasien yang lebih dari sekali
mendapatkan peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam. Bahkan,
terdapat pasien yang sudah mendapatkan peresepan rutin selama 56 bulan.
Meskipun sudah digunakan dalam jangka waktu lama, belum ditemukan
peresepan yang menuliskan dosis dibawah 0,5 mg diazepam dalam penanganan
penurunan dosis. Meskipun dosis diazepam kecil, yaitu 0,5 mg atau satu per
empat bagian dari sediaan, namun penghentian obat perlu didiskusikan dengan
apoteker maupun dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya ketergantungan pada pasien. Didukung
pula bahwa selama ini tidak dilakukannya monitoring terhadap pasien yang
menerima pengobatan ini.
Langkah yang dapat dilakukan seperti menuliskan resep dengan
penurunan dosis diazepam maupun paracetamol hingga pemberian placebo
terhadap pasien. Cara ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa
penurunan dosis dilakukan secara bertahap supaya zat endogen dalam tubuh
dalam menyesuaikan dan kembali seperti semula serta memberikan efek
33

sugesti kepada pasien yang ketergantungan dengan penggunaan obat racikan


ini.
Ketika pasien kembali datang berkunjung dan berobat pada dokter
untuk mendapatkan peresepan berisi racikan kapsul ini, dapat diamati potensi
jika pasien sudah mengalami ketergantungan obat baik sacara fisik maupun
psikis. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di lapangan, ada beberapa pasien
yang meminta dan memaksa untuk diberikan racikan kapsul ini. Hal ini terjadi
karena efek sugesti pasien yang merasa kondisi membaik jika mendapatkan
pengobatan racikan kapsul. Dokter sebaiknya menuliskan resep dengan dosis
yang sedikit demi sedikit diturunkan. Bulan lalu diberikan dosis diazepam 0,5
mg, maka bulan ini diberikan dosis diazepam 0,25 mg. Bulan berikutnya
diberikan dosis diazepam 0,125 mg hingga dihentikan pemberian diazepam
dalam racikan. Saat dosis diazepam diturunkan, dapat pula hal ini
diberlakukan untuk paracetamol, seperti penurunan dosis dari 500 mg menjadi
300 mg lalu 200 mg. Tapering off atau penurunan dosis dapat dilakukan hingga
racikan kapsul hanya berisi placebo. Tujuannya adalah untuk mencegah
ketergantungan dan timbulnya hepatotoksik pada pasien. Pertimbangan
peresepan racikan paracetamol dan diazepam ini masih terus diberikan adalah
hingga saat ini belum ditemukan keluhan pasien yang menunjukkan tanda-
tanda hepatotoksik secara fisik, seperti jaundice atau tubuh menguning. Potensi
ini perlu diwaspadai, karena efek hepatotoksik dapat ditandai dari peningkatan
serum ALT dan AST meskipun belum terlihat secara fisik. Pasien yang sudah
mengalami jaundice, artinya hepatotoksik sudah berada di fase 3 dan
meningkatkan potensi terjadinya gagal hati yang fatal sehingga perlu
dilakukannya pemantauan dan monitoring terhadap racikan kapsul
paracetamol dan diazepam ini.
d. Racikan kapsul terdiri dari sedian tablet paracetamol 500 mg dan kapsul
diazepam 5 mg, saat diracik menjadi serbuk memungkinkan terjadinya
interaksi komponen zat aktf maupun zat tambahan dari masing-masing
sediaan yang mempengaruhi efek obat
Racikan kapsul terdiri dari sedian tablet paracetamol 500 mg dan
sediaan tablet diazepam 2 mg atau 5 mg. Saat diracik menjadi serbuk
memungkinkan terjadinya interaksi komponen zat aktif maupun zat tambahan
dari masing-masing sediaan yang mempengaruhi efek obat, seperti dalam
proses absorbs maupun disolusi. FDA tidak menyetujui peracikan obat karena
belum ada verifikasi dan jaminan tentang keamanan, efektivitas atau kualitas
obat, kemungkinan terjadinya efek samping dan interaksi obat serta standar
proses praktik peracikan dalam menghasilkan kualitas obat yang baik, seperti
34

kemungkinan mengalami kontaminasi maupun obat-obat tersebut tidak


memiliki kekuatan, kualitas dan kemurnian seperti sediaan awal.
Namun, peracikan kapsul yang terdiri dari sediaan tablet paracetamol
dan diazepam tetap dilakukan. Pertimbangan dilakukannya peracikan tablet
paracetamol dan diazepam menjadi kapsul oleh pihak Rumah Sakit diantaranya
tablet yang diracikan adalah tablet biasa yang tujuan dibuat tablet hanya
dikempa untuk mempermudah pasien dalam menelan obat. Tablet paracetamol
dan diazepam bukan sediaan salut enterik, bukal dan sublingual, sehingga
diperbolehkan untuk digerus. Selain itu, kapsul racikan dibuat untuk
meningkatkan kepatuhan pasien serta menyesuaikan dengan keperluan pasien.
Karena akan lebih mudah bagi pasien untuk mengonsumsi 0,5 mg diazepam
dalam bentuk kapsul, dibandingkan mengonsumsi diazepam 0,5 mg dalam
sediaan 2 mg atau 5 mg.
Namun, dikarenakan hingga saat ini pun FDA belum menyetujui dan
memverifikasi peracikan obat dengan berbagai pertimbangan. Oleh karena itu,
sebaiknya pihak Rumah Sakit dapat mengajukan usulan untuk pengadaan
beberapa serbuk zat aktif murni, terutaman untuk zat aktif-zat aktif yang sering
diresepkan dalam bentuk racikan. Selain itu, para tenaga kefarmasian yang
berperan dalam proses peracikan juga sebaiknya mematuhi dan meningkatkan
disiplin terhadap standar yang telah ditetapkan, kebersihan maupun tingkat
ketelitian untuk tetap menjaga kualitas sediaan yang dihasilkan. Pihak rumah
sakit terutama instalasi farmasi juga dapat bekerja sama dengan lembaga
penelitian dan pendidikan mengingat RSUD Raden Mattaher Jambi merupakan
RS Pendidikan. Pihak rumah sakit dapat memberikan dan mempermudah akses
dilakukannya penelitian mengenai kendala maupun permasalahan yang
dihadapi selama ini, terutama untuk peresepan dengan prevalensi yang cukup
tinggi diberikan kepada pasien.

4.4 Topik Magang Apotek


Topik magang yang dibahas di apotek adalah memprediksi potensi efek
samping penggunaan metformin pada pasien Program Rujukan Balik BPJS
Kesehatan di Apotek Kimia Farma 299 Jambi

Mekanisme Metformin
Metformin merupakan obat diabetes golongan biguanide yang dapat
digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dalam pelayanan resep PRB
BPJS Kesehatan untuk diagnosis penyakit diabetes mellitus tipe 2. Diabetes
mellitus adalah kategori penyakit kronis yang membutuhkan asuhan perawatan
dan pengobatan jangka panjang. Tandiawan (2017) menyebutkan bahwa
35

mekanisme Metformin dapat menurunkan kadar gula darah adalah dengan


beberapa cara. Cara kerja utamanya yaitu menekan produksi glukosa hepar
(glukoneogenesis) dan memperbaiki resistensi insulin di sel otot dan hepar.
Selain itu, metformin mengurangi absorpsi glukosa di usus dan menstimulasi
sekresi insulin dari sel B pancreas. Metformin dapat mengontrol hemoglobin
A1c, berat badan, dan mortalitas kardiovaskular, mengurangi berat badan dan
proteksi terhadap keganasan.
Biguanid bekerja dengan menurunkan produksi glukosa di hati dan
sedikit memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Selain itu, obat ini juga
menurunkan kadar glukosa saat puasa dan kadar insulin, memperbaiki profil
lipid dan membantu penurunan berat badan sehingga diberikan pada penderita
diabetes mellitus yang gemuk. Efek samping berupa diare, mual, nafsu makan
turun, rasa logam pada lidah. Golongan obat ini tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan hati, ginjal dan peminum berat alcohol (Junaidi,
2012).
Penelitian Riwu, et al. (2015) menemukan keluhan efek samping yang
dialami penderita dengan penggunaan metformin berupa kembung (58,46%)
dan mual (41,54%), sedangkan penyataan Marshall (2017) mengenai
penggunaan Metformin dalam jangka panjang, dikhawatirkan terjadinya laktat
asidosis meskipun kejadiaannya sangat jarang. Efek samping jangka panjang
penggunaan metformin yang terdokumentasikan adalah terjadinya malabsorbsi
vitamin B12. Mahajan dan Gupta (2010) menemukan prevalensi pasien yang
mengalami malabsorbsi vitamin B12 disebabkan penggunaan metformin jangka
panjang sebesar 30%. Penelitian Singh, et al. (2013) juga menunjukkan bahwa
penggunaan metformin berkaitan dengan defisiensi atau penurunan vitamin
B12 dan terjadinya neuropati. Kekurangan vitamin B12 dapat mengakibatkan
terjadinya anemia megaloblastik. Selain itu, dilaporkan pula terjadinya
thrombosis vena dan neuropati perifer.

Vitamin B12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks
(cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini
ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 tersimpan di dalam
hati binatang ditemukan dalam bentuk metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan
hidroksikobalamin. Absorbsi intestinal vitamin B12 terjadi dengan perantaraan
tempat-tempat reseptor dalam ileum yang memerlukan pengikatan vitamin B12,
suatu glikoprotein yang sangat spesifik yaitu faktor intrinsik yang disekresi sel-
sel parietal pada mukosa lambung. Vitamin B12 Setelah diserap terikat dengan
protein plasma, transkobalamin II untuk pengangkutan ke dalam jaringan.
36

Vitamin B12 disimpan dalam hati terikat dengan transkobalamin I. Koenzim


vitamin B12 yang aktif adalah metilkobalamin dan deoksiadenosilkobalamin.
Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi Homosistein menjadi
metionin dan juga konversi Metiltetrahidrofolat menjadi tetrafidrofolat.
Deoksiadenosilkobalamin adalah koenzim untuk konversi metilmalonil Ko A
menjadi suksinil Ko A (Triana, 2006).

Anemia Megaloblastik
Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia
megaloblastik (Triana, 2006). Mazrizal (2007) mengatakan bahwa anemia adalah
suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal.
Sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi
esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel
darah merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit
malaria, infeksi cacing tambang. Secara morfologis, anemia dapat
diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandungnya.

1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan
jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik
yaitu :
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi
besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme
besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini
disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara
berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.

4.5 Permasalahan di Apotek


1. Metformin yang digunakan jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya
malabsorbsi vitamin B12, namun tidak ada pemeriksaan kadar vitamin B12
secara berkala
2. Peresepan vitamin B12 tidak ada meskipun vitamin B12 termasuk obat
dalam program rujukan balik
37

4.6 Solusi dan Pembahasan Magang Apotek

1. Memprediksi dan mengetahui persentase potensi efek samping pasien


pengguna metformin secara teoritis
Data pelaporan BPJS Kesehatan yang diterima Apotek Kimia Farma 299
Jambi sejak September 2017 hingga Maret 2018 terdapat 4940 resep. Pasien
yang menerima peresepan metformin HCl 500 mg ada 392 pasien. Frekuensi
penggunaan metformin HCl 500 mg pada Lampiran 12 yaitu untuk 1 kali sehari
sebanyak 29 pasien, 2 kali sehari sebanyak 196 pasien dan 3 kali sehari
sebanyak 167 pasien. Jumlah pasien yang memperoleh regimentasi metformin
500 mg sehari 1 kali (500 mg per hari), 2 kali (1000 mg per hari), dan 3 kali
(1500 mg per hari) berturut-turut adalah 7,4%, 50%, dan 42,6%. Penggunaan
metformin HCl dilakukan sesudah makan, berdasarkan petunjuk yang
dituliskan pada etiket. Hal ini sesuai dengan Riwu, et al. (2015) bahwa
penggunaan metformin disarankan sesudah makan untuk meminimalkan dan
menghindari terjadinya efek samping gangguan gastrointestinal.
Beberapa studi plasebo-terkontrol prospektif telah dilakukan untuk
menentukan resiko kekurangan vitamin B12 pada individu yang diobati dengan
metformin. Pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki masalah defisiensi vitamin
B12 terjadi pada durasi kurang 6 bulan (Vanita, et al. 2016). Sedangkan
Berchtold, et al. (1969) melaporkan bukti malabsorbsi vitamin B12. Oleh karena
itu berdasarkan data yang ada, pasien yang mendapatkan pengobatan
metformin dikategorikan menjadi pasien yang telah lebih dari 3 bulan menerima
metformin secara berturut-turut dan pasien yang menerima metformin kurang
dari 3 bulan atau tidak teratur dalam menerima peresepan metformin, dapat
dilihat pada Lampiran 9.
Ting, et al. (2006) menemukan hubungan yang signifikan secara klinis
dan signifikan secara statistik bahwa peningkatan 1g/hari dosis metformin
dapat memberi rasio odds 2,88 (95% interval kepercayaan, 2,15-3,87) untuk
menyebabkan defisiensi vitamin B12. Sedangkan di apotek Kimia Farma 299,
ada 6 pasien yang menggunakan metformin 1 kali sehari (500 mg), 69 pasien
yang menggunakan metformin 2 kali sehari (1000 mg) dan 54 pasien yang
menggunakan metformin 1 kali sehari (1500 mg) selama lebih dari 3 bulan
berturut-turut. Jumlah seluruh pasien yang mendapat pengobatan metformin
selama lebih dari 3 bulan adalah 129 pasien. Penelitian Zalaket, et al. (2018)
menyebutkan bahwa ada hubungan korelasi yang tinggi antara durasi
penggunaan metformin, takaran atau dosis dan defisiensi vitamin B12.
Berdasarkan Lampiran 10 mengenai lama penggunaan yang lebih dari 3 bulan
dan dosis metformin per hari sebesar 500 mg, 1000 mg dan 1500 mg berturut-
38

turut adalah 1.53%, 17.60% dan 13.78%. Total pasien yang diprediksi
mengalami malabsorbsi dan defisiensi vitamin B12 karena telah menggunakan
metformin lebih dari 3 bulan sebesar 32.91%.
Namun, kenyataannya selama pelayanan program rujukan balik BPJS
Kesehatan dengan Apotek Kimia Farma sejak September 2017, belum
dilakukannya pemantauan kadar vitamin B12 pada pasien. Berdasarkan
peresepan metformin yang diberikan untuk pasien pun, tidak mencantumkan
pemberian suplemen vitamin B12. Padahal, suplemen vitamin B12 termasuk
obat dalam daftar obat yang ditanggung BPJS Kesehatan (Lampiran 7).
Menurut Triana (2006), kekurangan atau defisiensi vitamin B12
menyebabkan anemia megaloblastik. Defisiensi vitamin B12 akan mengganggu
reaksi metionin sintase yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada
eritrosit yang baru . Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan
pirimidin yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat. Homosistinuria dan
metilmalonat asiduria juga terjadi. Anemia yang terjadi terutama anemia
megaloblastik tidak hanya dipicu oleh defisiensi vitamin B12, namun untuk
menjaga pelayanan kefarmasian klinis dan meningkatkan kualitas hidup pasien
perlu dilakukan penerapannya monitoring efek samping obat (MESO) oleh
Apotek Kimia Farma 299 maupun fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
dilayani Apotek Kimia Farma 299 (Lampiran 6). Selain itu, tenaga kefarmasian
maupun tenaga kesehatan lain yang terkait dapat merekomendasikan
penggunaan suplemen vitamin B12 kepada pasien atau merekomendasikan
penambahan vitamin B12 sebagai item obat dalam peresepan BPJS Kesehatan
untuk pasien yang lebih dari 6 bulan mendapatkan pengobatan metformin.
Pemberian suplemen vitamin B12 ditujukan untuk mencegah defisiensi
vitamin B12 yang disebabkan malabsorbsi oleh metformin yang dapat memicu
terjadinya anemia megaloblastik. Menurut Anonim (2017) gejala dan dampak
anemia megaloblatik dapat berupa rasa lemas atau kurang bertenaga. Gejala
bervariasi bagi setiap pasien dapat berupa sesak nafas, diare, mual, kulit
terlihat pucat, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara
signifikan, jantung berdebar serta tangan dan kaki bergetar. Anemia yang
berkepanjangan dapat menyebabkan produktivitas menurun. Oleh karena itu,
efek anemia megaloblastik karena malabsorbsi yang disebabkan penggunaan
metformin perlu mendapatkan perhatian demi meningkatkan kualitas
kesehatan pasien.
39

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Prevalensi peresepan racikan kapsul paracetamol dan diazepam yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada pasien poli syaraf di depo
rawat jalan Instalasi Farmasi RSUD Raden Mattaher Jambi pada Juni 2018
sebanyak 12,24%.
2. Evaluasi efek penggunaan kapsul racikan Paracetamol dan Diazepam
diprediksi beresiko hepatotoksik dan Diazepam juga diprediksi berisiko
menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikis.
3. Prediksi terjadinya potensi efek samping penggunaan metformin pada pasien
Program Rujukan Balik BPJS Kesehatan di Apotek Kimia Farma 299 Jambi
adalah malabsorbsi dan defisiensi vitamin B12 dengan persentase pasien
sebesar 32.91%.

5.2 Saran
Perlu dilakukan kajian terhadap penggunaan racikan kapsul
paracetamol diazepam ini terhadap penambahan item obat lain seperti
fluoxetine, amitriptilin maupun tramadol. Selain itu, perlu pula interaksi obat
antara obat racikan dengan sediaan obat lain yang dituliskan dalam satu resep.
Dapat dilakukan kajian terhadap penggunaan obat-obat hipoglikemik
oral lain dengan penggunaan jangka panjang bagi pasien diabetes mellitus
maupun pasien panyakit kronis lain dalam program rujukan balik BPJS
Kesehatan. Selain itu, perlu pula interaksi obat yang dapat terjadi antara obat
lain yang dituliskan dalam satu resep.

Anda mungkin juga menyukai