Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

PEREKONOMIAN INDONESIA
“Pembangunan Pertanian”

Mata Kuliah Perekonomian Indonesia


Program Studi S1 Managemen
Dosen Pengampu Rr. Lulus Prapti N.S.S, SE, M.Si

Disusun oleh:
Kelompok 10
1. Izzul Mahya (B.111.16.0016)
2. Ongki Ahmad N (B.111.16.0162)
3. Aulia Muallifatun T (B.111.16.0260)
4. Vitta Audia R (B.111.16.0290)
5. Dignu Akbar (B.111.16.0314)
6. Intan Permatasari (B.111.16.0325)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari


pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan sektor pertanian ini sangat
penting karena menyangkut hajat hidup lebih dari setengah penduduk Indonesia yang
menguntungkan perekonomian keluarga pada sektor ini. Sehingga wajar pemerintah
memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian yang didukung oleh sektor-sektor
lainnya.
Sejalan dengan tujuan utama pembangunan nasional yaitu untuk meningkatkan taraf
hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Maka dalam pembangunan pertanian
kesejahteraan petani perlu mendapat perhatian dan tingkat pendapatan yang meningkat
bisa dijadikan salah satu indikator kesejahteraan petani.
Oleh karena itu, dalam hal pengembangan sector pertanian sebagai sumber utama
kehidupan rakyat Indonesia salah satunya dengan mempelajari sejarah pembangunan
pertanian Indonesia. Dengan adanya kebijaka-kebijakan terdahulu kita dapat mengambil
manfaatnya yang dapat membantu para petani khususnya dalam peningkatan dan
pembangunan pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembangunan Pertanian


Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial.
Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan
petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi
sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun
melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal
dan Sudaryanto, 2008).
Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul
“Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat
pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan
pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang
senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal,
(3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar
dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan
pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan
perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian.
Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah
kebijakan yang disarankan oleh Mosher.
Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak
Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam
strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang
(PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I,
pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan
Lima Tahun) yang semuanya dititikberatkan pada sektor pertanian.

2.2 Pembangunan Ekonomi


Saragih, B (2001), menyampaikan untuk mengatasi masalah ekonomi yang begitu
kompleks diperlukan strategi pembangunan ekonomi yang mampu memberi solusi.
Strategi pembangunan yang dimaksud harus memiliki karakteristik sebagai berikut, 1)
memiliki jangkauan kemampuan memecahkan masalah ekonomi dan ketika strategi ini
diimplementasikan maka persoalan ekonomi akan dapat diatasi, 2) strategi yang dipilih
harus dapat memanfaatkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga pembangunan
sebelumnya tidak menjadi sia-sia, 3) strategi yang dipilih harus mampu membawa
perekonomian Indonesia yang lebih cerah dan menjadi sinergis (interdepency economy)
dengan perekonomian dunia.
Di antara pilihan strategi pembangunan ekonomi yang ada, strategi pembangunan
yang memenuhi karakteristik tersebut adalah Pembangunan Agribisnis (agribusiness led
development) yaitu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan
pertanian berkelanjutan (perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) dengan
pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta sektor-sektor jasa yang terkait di
dalamnya (Saragih, B. 1998).

2.3 Sejarah Pembangunan Pertanian di Indonesia


Sejarah pembangunan pertanian berawal pada masa orde baru. Pada awal masa orde baru
pemerintahan menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-
1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras
untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai
terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai
membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA.

1. REPELITA I (1969-1974)
Repelita I mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Repelita
I ini merupakan landasan awal pembangunan pertanian di orde baru. Tujuan yang ingin
dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan
adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang
pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Titik berat Repelita I ini adalah pembangunan bidang pertanian
sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses
pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari
hasil pertanian.
Banyak program yang dilakukan oleh pemerintah untuk merealisasikan programnya
tersebut, antara lain :
a. Memberikan bibit unggul kepada petani dan melakukan beberapa eksperimen untuk
mendapatkan bibit unggul yang tahan hama tersebut.
b. Memperbaiki infrastuktur yang digunakan oleh sektor pertanian seperti jalan raya,
sarana irigasi sawah dan pasar yang menjadi tempat dijualnya hasil pertanian.
c. Melakukan transmigrasi agar lahan yang berada di kalimantan, sulawesi, maluku dan
papua dapat diolah agar menjadi lahan yang mengahasilkan bagi perekonomian.

2. REPELITA II (1974-1979)
Repelita II mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sector
pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan
merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
Selain itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan kerja. Repelita II berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam
hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan
jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

3. REPELITA III (1979-1984)


Repelita III mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1979 – 31 Maret 1984. Repelita III
lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan
nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.

4. REPELITA IV (1984-1989)
Repelita IV mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Repelita IV
adalah peningkatan dari Repelita III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata,
memperluas kesempatan kerja. Prioritasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri sendiri.
Hasil yang dicapai pada Repelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984
Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Kebijakan yang ditempuh pada
saat itu adalah menitikberatkan kepada usaha intensifikasi, dengan menaikkan produksi
terutama produktivitas padi pada areal yang telah ada.
Pada waktu itu rata-rata petani hanya memiliki setengah hektare dan kemampuan
penguasaan teknologi tanam juga belum banyak dikuasai kecuali bercocok tanam secara
tradisional. Pemerintah pun mencetak sejumlah tenaga penyuluh pertanian, membentuk
unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan pupuk kimia dan
juga insektisida untuk membasmi hama.
Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak
sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim
kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan. Lahan-lahan percontohan pun
dibangun, kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti bimbingan dari para
penyuluh pertanian yang disebut Intensifikasi massal (Inmas) dan Bimbingan massal
(Bimas). Bukan hanya lewat tatap muka, tetapi juga disiarkan melalui radio dan televisi
bahkan juga sejumlah media cetak menyediakan halaman khusus untuk koran masuk desa
dengan muatan materi siaran yang khas pedesaan, membimbing petani.
Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan
penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Hal ini
merupakan prestasi besar bagi Indonesia.

5. REPELITA V (1989-1994)
Repelita V mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1989 – 31 Maret 1994. Pada Repelita
V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan
barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap
pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan
Repelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk
memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6. REPELITA VI (1994-1999)
Repelita VI mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1994 – 31 Maret 1999. Pada Repelita
VI titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama
pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang
sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui
pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan
bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi
kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan
kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan
pertanian.
Pemerintahan pada Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program
pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai
manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-
poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai
berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan
investasi dan ekspor.
2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan
menciptakan lapangan kerja baru.
3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan
kemiskinan. Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan
kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui 26
peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak
mengabaikan sektor lain. Revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang
komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola piker
masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk
dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan sumber
kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program,
yaitu:
1. Program peningkatan ketahanan pangan
Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan
produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap
daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan.
2. Program pengembangan agribisnis
Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan
sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan.
3. Program peningkatan kesejahteraan petani.
Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui
pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah,
kebijakan proteksi dan promosi lainnya.
Selama periode 2005-2009 pembangunan pertanian juga terus mencatat berbagai
keberhasilan. Salah satu yang patut disyukuri dan membanggakan adalah Indonesia
berhasil mencapai swasembada beras sejak tahun 2007, serta swasembada jagung dan gula
konsumsi rumah tangga di tahun 2008.

Pembangunan pertanian pada periode 2010-2014, Kementerian Pertanian mencanangkan


4 (empat) target utama, yaitu sebagai berikut:
1. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan.
Dalam rangka peningkatan produksi pertanian pada periode lima tahun ke depan (2010-
2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada peningkatan 39 komoditas unggulan
nasional. Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari 7 komoditas tanaman pangan,
10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan, dan 7 komoditas peternakan.
2. Peningkatan Diversifikasi Pangan.
Diversifikasi pangan atau keragaman konsumsi pangan merupakan salah satu strategi
mencapai ketahanan pangan. Sasaran percepatan keragaman konsumsi pangan adalah
tercapainya pola konsumsi pangan yang aman, bermutu, dan bergizi seimbang yang
dicerminkan oleh tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH) sekurang-kurangnya 93,3
pada tahun 2014. Konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, pangan hewani
ditingkatkan dengan mengutamakan produksi lokal, sehingga konsumsi beras diharapkan
turun sekitar 3% per tahun.
3. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor.
Peningkatan nilai tambah akan difokuskan pada dua hal yakni peningkatan kualitas dan
jumlah olahan produk pertanian untuk mendukung peningkatan daya saing dan ekspor.
Peningkatan kualitas produk pertanian (segar dan olahan) diukur dari peningkatan jumlah
produk pertanian yang mendapatkan sertifikasi jaminan mutu (SNI, Organik, Good
Agricultural Practices, Good HandlingPractices, Good Manucfacturing Practices).
Peningkatan daya saing akan difokuskan pada pengembangan produk berbasis
sumberdaya local yang bisa meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi dalam
negeri dan bisa mengurangi ketergantungan impor (substitusi impor).
Peningkatan ekspor akan difokuskan pada pengembangan produk yang punya daya saing
di pasar internasional, baik segar maupun olahan, yang kebutuhan di pasar dalam negeri
sudah tercukupi. Indikatornya adalah pertumbuhan volume ekspor. Sedangkan indicator
utama, strategi, dan rencana aksi dalam rangka peningkatan nilai tambah, daya saing, dan
ekspor produk pertanian pada periode lima tahun ke depan (2010-2014).
4. Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Unsur penting yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat
pendapatan petani. Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani
secara otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan
petani juga tergantung pada nilai pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga petani
serta faktor-faktor non-finansial seperti factor sosial budaya. Walaupun demikian, sisi
pendapatan petani merupakan sisi yang terkait secara langsung dengan tugas pokok dan
fungsi Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, dalam kerangka peningkatan kesejahteraan
petani, prioritas utama Kementerian Pertanian adalah upaya meningkatkan pendapatan
petani.

2.4 Aspek Aspek Pembangunan Pertanian

Sektor pertanian di Indonesia merupakan tulang punggung dari perekonomian dan


pembangunan nasional, hal tersebut dapat dilihat dalam pembentukan PDB, penerimaan
devisa, penyerapan tenaga kerja, penyediaan pangan, dan penyediaan bahan baku industri.
Sektor pertanian juga berperan dalam memeratakan pembangunan melalui upaya
pengentasan kemiskinan dan perbaikan pendapatan masyarakat. Selain itu, sektor pertanian
juga telah menjadi salah satu pembentuk budaya bangsa dan penyeimbang ekosistem.
Dengan memperhatikan aspek kehidupan bangsa (astagatra), maka terdapat banyak sekali
peluang dan kendala didalam meningkatkan pembangunan sektor pertanian antara lain ;

1) Geografi.

Ditinjau dari segi geografi Indonesia, pertanian merupakan sistem keruangan yang terdiri
dari aspek fisik dan aspek manusia. Aspek fisik antara lain meliputi lahan, iklim, air, dan
udara. Adapun aspek manusia meliputi tenaga kerja, tradisi kehidupan, teknologi, dan
ekonomi masyarakat. Analisis hubungan antara aspek fisik dan manusia tersebut dalam
studi geografi sangat bermanfaat untuk menyusun diversifikasi tanaman pada lahan
pertanian. Namun disisi lain perbedaan kondisi geografi tiap daerah merupakan kendala
untuk memeratakan pembangunan sektor pertanian.

2) Demografi

Kurang lebih 240 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini, yang disertai dengan pertumbuhan
penduduk yang begitu pesat tentunya hal tersebut akan memperberat tekanan pada lahan,
pengangguran, dan ketersediaan pangan serta akan memicu kemiskinan. Jika pertumbuhan
penduduk tidak terkontrol, Indonesia akan menghadapi masalah penyediaan pangan dan
pemeliharaan gizi masyarakat. Karena semakin tahun pertumbuhan penduduk meningkat
maka akan berdampak pula pada permintaan pangan yang juga akan semakin meningkat.
Selama ini sektor pertanian memang telah banyak menyerap tenaga kerja yang begitu besar,
namun disisi lain apabila pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tersebut tidak di
kontrol dan diawasi hal tersebut juga akan menyebabkan masalah yang serius bagi
pemenuhan kebutuhan pangan.

3) Sumber Kekayaan Alam

Sumber kekayaan alam yang berlimpah khususnya yang terkait dengan sektor pertanian
seperti; lahan, pengairan, iklim dan aneka ragam tanaman pertanian apabila dimanfaatkan
secara baik dan maksimal maka merupakan potensi yang sangat besar didalam
pembangunan sektor pertanian. Namun disisi lain eksplorasi yang berlebihan tanpa
memperhatikan kearifan lokal dan lingkungan hal tersebut akan menyebabkan berkurang
dan rusaknya sumber kekayaan alam yang dimiliki sehingga akan menghambat
pembangunan sektor pertanian.
4) Ideologi

Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila yang
merupakan sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asas Pancasila yang utuh serta memadukan ke-5 sila
Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan
pertanian rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada
kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program pembangunan pertanian dan
peningkatan kesejahteraan petani.

5) Politik

Dalam bidang politik tampak sekali kebijakan politik pemerintah terhadap sektor pertanian
belum sepenuhnya memihak kepada petani dan masyarakat, sehingga masih banyak petani
yang hidup dalam kemiskinan. Sebagai contoh belum adanya undang-undang Perlindungan
Petani serta impor produk pertanian dan pangan yang terus melaju hal tersebut tentunya
akan menjadi permasalahan didalam mewujudkan ketahanan pangan.

6) Ekonomi

Tantangan perekonomian di era globalisasi ini adalah mensejahterakan penduduk


Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar yang saat ini mencapai kurang lebih
240 juta jiwa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentunya hal ini menjadi
pertimbangan utama pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga arah perekonomian
Indonesia masa saat ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan
rakyatnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sektor pertanian menjadi sektor
penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Namun seiring dengan dicanangkannya
masa depan Indonesia menuju era industrialisasi maka tentunya hal tersebut harus tetap
mempertimbangkan sektor pertanian agar tidak berdampak pada kerawanan pangan.

7) Sosial Budaya

Dalam bidang sosial budaya, peralihan teknologi pertanian tradisional ke teknologi


pertanian modern tentunya akan berkaitan erat dengan perubahan antara hubungan manusia
(petani) dengan alam, khususnya dalam peningkatan eksploitasi lahan. Apabila sistem
pertanian yang diterapkan tidak/ kurang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian
lingkungan maka hal tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya
alam dan lingkungan serta hasil pertanian. Oleh karena itu norma-norma sosial dan budaya
harus diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia biasanya
jarak antara perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan yang didukung
dengan tingginya nilai sosial pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha
pertanian.

8) Pertahanan Keamanan

Dewasa ini sistem pertahanan keamanan terhadap sektor pertanian di Indonesia sudah
semakin menurun, hal ini dikarenakan berbagai pengaruh teknologi yang modern serta
banyaknya pengaruh-pengaruh asing dari luar. Pertanian yang mulanya menjadi faktor
utama mata pencarian rakyat Indonesia pada masa dahulu, kini seakan telah digantikan
dengan iming-iming gaji yang besar dari sektor lainnya. Belum lagi impor pangan yang
dilakukan setiap tahunnya oleh pemerintah untuk memenuhi ketercukupan pangan
menjadikan ketergantungan pemerintah terhadap pihak asing. Dengan demikian system
pertahanan dan keamanan perlu ditingkatkan untuk mengawasi usaha pemenuhan
kebutuhan pangan nasional termasuk dari sektor pertanian.

Faktor lain yang berpengaruh pada pembangunan sektor pertanian Indonesia adalah
permasalahan sosial-ekonomi dan pengembangan investasi yang diikuti penggunaan
teknologi dalam proses produksi pertanian. Dengan kondisi demikian pada masa pemulihan
perekonomian yang masih berjalan maka kembali harus dilihat potensi sumber daya alam
yang dimiliki serta keahlian masyarakat lokal terhadap bidang pertanian. Atau dengan kata
lain, perlu disusun suatu konsep pembangunan yang menempatkan pembangunan pertanian
dan pemanfaatan sumber daya alam sebagai mesin penggerak utama perekonomian
nasional sehingga kebutuhan pangan terpenuhi sehingga ketahanan pangan nasional dapat
terwujud.

2.5 Peluang Agribisnis Sekaligus Ancaman Pembangunan


Produksi massal biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak merupakan satu solusi
yang dipercaya dapat meredakan krisis energi dunia. Negara yang paling gencar
mengembangkan biofuel adalah Amerika Serikat dan Brasil yang menguasai produksi
bioetanol dunia dengan proporsi 46 dan 42 persen. Sumber bahan baku produksi etanol di
Brasil utamanya berasal dari tebu dan jagung yang dikembangkan di kawasan Amazon.
AS memilih mengonversi jagungnya menjadi bahan baku etanol.
Di sisi yang lain ada indikasi dampak negatif dan kemungkinan ancaman kelangkaan dan
kenaikan harga pangan jika bahan-bahan pangan diekplorasi sebagai bahan baku biofuel.
Sejak setahun terakhir, mulai muncul perdebatan sengit para ilmuwan dunia tentang sisi
positif dan negatif eksplorasi sumber daya untuk memasok biofuel. Penggunaan bahan
baku yang juga merupakan bahan pangan dipandang sangat membahayakan ketahanan
pangan. Selain itu, ekspansi lahan-lahan kawasan hutan sebagaimana yang dikembangkan
di Brasil untuk tebu dan kelapa sawit di Indonesia diindikasikan justru berdampak pada
pemanasan global karena emisi gas buang jauh lebih besar. Sebagaimana dilansir oleh
National Post, di Amerika Serikat sekitar 16 persen lahan pertanian yang awalnya
ditanami kedelai dan gandum diubah menjadi lahan jagung untuk memasok pabrik biofuel.
Beberapa pihak menengarai perlunya kehati-hatian dalam implementasi program
pengembangan biofuel di Indonesia. Implikasi yang ditimbulkan bisa sangat fatal apabila
tidak dilaksanakan dengan pertimbangan yang komprehensif. Penggunaan tetes tebu
secara besar-besaran berpotensi mengurangi bahan baku gula sehingga pada gilirannya
akan mengancam stok dan membahayakan produksi gula nasional. Kalau terjadi krisis,
kelangkaan gula di pasaran juga akan muncul kembali. Selain itu penggunaan kelapa sawit
sebagai bahan baku biofuel jika tidak terkendali akan mengancam produksi minyak goreng
sebagai salah satu produk tradisionalnya.

Ketidaktepatan strategi dan implementasinya bisa menyulut krisis minyak goreng nasional
seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Beberapa ahli internasional telah
menengarai bahwa efektivitas dan efisiensi biofuel masih dipertanyakan, selain karena
membahayakan persediaan bahan pangan.

Pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan pesisir dan daerah tandus yang kurang
sesuai untuk produksi pangan dengan introduksi komoditas sumber energi yang tahan
lingkungan kritis bisa menjadi alternatif. Di antaranya tanaman jarak atau pemanfaatan
limbah industri pertanian, seperti limbah pabrik pengolahan crude palm oil/CPO. Selain
itu pemanfaatan biomassa yang tersedia melimpah akan menjadi strategi alternatif bagi
pengembangan biofuel nasional di masa depan. Pemilihan bahan baku yang bukan
merupakan sumber pangan perlu mendapat prioritas yang tinggi.
2.6 Peningkatan Kapasitas SDM Pertanian Dan Pedesaan Dalam Pembangunan
Persoalan pembangunan pertanian sangat erat kaitannya dengan peningkatan kapasitas SDM
pelaku pembangunan. Subejo (2009) mencatat bahwa bagi negara-negara berkembang
pembangunan pertanian abad 21 selain untuk mengembangkan sistim pertanian berkelanjutan
juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang menunjang
sistim tersebut. Peningkatan kapasitas SDM tidak hanya dibatasi peningkatan produktivitas
petani, namun juga peningkatan kemampuan petani untuk lebih berperan dalam proses
pembangunan.

Persoalan krusial dalam peningkatan kapasitas SDM adalah rendahnya partisipasi petani
dalam pengambilan keputusan pembangunan pertanian. Hal ini antara lain disebabkan
oleh tidak adanya suatu organisasi yang memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan
kepentingan petani di forum nasional di negara berkembang. Peningkatan SDM selain
berkaitan dengan peningkatan produktifitas petani juga diarahkan pada peningkatan
partisipasi politik petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka melalui organisasi petani mandiri. Peran aktif pemerintah dalam
peningkatan SDM petani antara lain melalui reorientasi sistim penyediaan layanan dan
pendanaan sistim informasi pertanian.

Pemberian ruang partisipasi dan kebebasan petani untuk mengekpresikan kepentingannya


juga sangat urgen. Masih menjadi mimpi panjang sebagaimana petani melalui koperasi
menjadi kekuatan yang hebat yang mampu menyuarakan dan membela kepentingan
warganya seperti di Jepang dan negara-negara Eropa.

Perkembangan koperasi di pedesaan terutama Koperasi Unit Desa (KUD) juga cenderung
malambat bahkan mengalami kemunduran. Hal ini dapat dlihat dari data perkembangan
jumlah koperasi di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh Suradisatra (2007) seperti
tersaji dalam Koperasi pedesaan mestinya merepresentasikan kepentingan dan dapat
memberikan manfaat bagi petani baik terhadap akses sumber daya maupun akses
informasi terkait dengan kegiatan bisnis petani. Indikasi penurunan jumlah KUD menjadi
pekerjaan rumah berbagai pihak. Perlu adanya strategi yang tepat yang dapat merangsang
petani untuk berpartisipasi aktif dalam koperasi pedesaan sehingga institusi tersebut dapat
mejadi pengikat kepentingan dan aspirasi para petani di masa-masa mendatang.
2.7 Pertanian Dan Krisis Global Dalam Pembangunan
Krisis ekonomi global juga memiliki implikasi pada pembangunan dan revitalisasi
pertanian dan agribisnis. Ada catatan menarik seperti yang dilaporkan oleh Subejo (2009c)
yaitu dengan menengok tragedi krisis ekonomi global yang saat ini tengah berlangsung di
belahan dunia, nampaknya pertanian sebagai akar awal profesi kehidupan di banyak
Negara menemukan kembali momentumnya untuk menjadi penggerak pekonomian
bangsa.

Banyak tenaga muda produktif yang kehilangan pekerjaan di sektor industri dan jasa diberi
kesempatan untuk mengikuti pelatihan berbagai proses produksi pertanian. Kemudian
mereka (2.400 orang) dipekerjakan di berbagai sektor pertanian. Baik perusahaan
pertanian, koperasi pertanian, maupun rumah tangga pertanian skala besar. Mereka
mendapat upah yang layak yang tidak kalah dengan upah bekerja di industri.
Situasi ini merupakan momen yang tepat di tengah semakin berkurangnya dan menuanya
para pekerja pertanian di seluruh wilayah Jepang. Selain sebagai jarring pengaman
sosial/social safety net, program ini juga diarahkan untuk menjamin kedaulatan pangan
dan merevitalisasi pembangunan pertanian. Belajar dari strategi Jepang sebagai negara
industri terkemuka yang masih memiliki perhatian besar pada pertanian, semestinya
Indonesia yang masih memproklamirkan diri sebagai negara agraris harus melakukan
perhatian dan tindakan yang jauh lebih serius dari yang dilakukan Jepang. Dengan
kontribusi pertanian sekitar 17 persen pada GDP nasional dan kemampuan menampung
angkatan kerja lebih dari 40 persen, nampaknya tidak ada alasan yang kuat dan logis untuk
mengabaikan pembangunan pertanian Indonesia. Selain itu pertanian juga merupakan
penyumbang devisa negera yang cukup signifikan. Dengan semakin kokohnya dominasi
produk perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao di pasar dunia potensi devisa yang
dapat diraup semakin terbuka lebar.

Fungsi lain yang kadang terlupakan adalah fungsi konservasi dan kemampuan pertanian
untuk memberikan ruang hidup yang nyaman, segar, dan udara yang bersih memiliki nilai
yang sangat strategis. Masih banyak persoalan substansial yang belum terpecahkan.

Bukan hanya persoalan klasik peningkatan produktivitas lahan dan teknologi saja.
Persoalan mendasar utamanya akses petani terhadap unsur utama pertanian juga belum
terselesaikan. Paling tidak akses terhadap lahan, benih dan air. Jika akses dasar pertanian
sudah terpenuhi akses-akses sekunder dan tersier yang muaranya peningkatan
kesejahteraan petani perlu terus didorong.
Akses terhadap pembiayaan, pasar, dan pengolahan hasil juga sangat penting. Prioritas
pembangunan pertanian yang hampir selalu berada di bawah baik di level nasional
maupun daerah masih menjadi hal biasa selama beberapa tahun terakhir. Apalagi di era
otonomi daerah di mana otoritas kepala daerah dan DPR daerah dalam penentuan prioritas
pembangunan yang kadang masih melihat pertanian sebagai sektor yang hasilnya lama
sehingga menjadi kurang menarik bagi mereka.Potensi, daya tahan akan goncangan dan
multi fungsi pertanian mestinya menjadi catatan penting bagi birokrasi dan legislatif di
berbagai level agar dapat dipertimbangkan menjadi salah satu prioritas utama dalam
pembangunan. Pendidikan politik akan arti penting pembangunan pertanian dan advokasi
akan hal tersebut nampaknya memang perlu terus menerus dilakukan sehingga dapat
menggugah kesadaran pihak yang berkompeten.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan tetap memberi penghargaan tinggi pada pelaku pembangunan di masa lalu,
pembangunan ekonomi di masa lalu dirasakan lebih diarahkan untuk mencapai
pertumbuhan yang tinggi, dengan harapan bahwa hasil pertumbuhan ekonomi tersebut
akan secara otomatis mengalir pada lapisan masyarakat di bawahnya sehingga seluruh
lapisan masyarakat secara bertahap akan meningkat kesejahteraannya.

Pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana


Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai
berikut:
1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian.
2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah
bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.

Manfaat bagi bagi pembangunan ekonomi Indonesia adalah dalam hal pembentukan
pendapatan nasional dan menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis perekonomian
nasional. Sektor pertanian adalah sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis
dan paling berjasa dalam menampung pengangguran atau penyerap tenaga kerja sebagai
akibat krisis ekonomi. Manfaat lain dari pembangunan pertanian yaitu sebagai penghasil
devisa negara dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah melalui pendayagunaan
berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2008. Soeharto dan Swasembada Pangan.


http://klipingut.wordpress.com/2008/01/27/soeharto-dan-swasembada-pangan/ (online).
Gie, Kwik Kian. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional: Sektor Pertanian
Sebagai “Prime Mover” Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta
Iqbal dan Sudaryanto, 2008. dan Arthur Mosher dalam Hotden Leonardo. 2012.
Pengembangan Sistem Agribisnis Dalam Rangka Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan. Medan: HKBP Nommensen Medan
Maruli, Wendi. 2011. Repelita 1 (1969-1974).
http://wendimaruli.blogspot.com/2011/02/repelita-1-1969-1974.html (online).
Mutowal. 2011. Sejarah Singkat Pertanian di Indonesia. http://grobogan.go.id/info-
daerah/artikel/361-sejarah-singkat-pertanian-di-indonesia.html (online).
Saragih, B. 1998. Kumpulan Pemikiran Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi
Berbasis Pertanian. Yayasan Persada Mulia Indonesia.
Saragih, B. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis di Indonesia dan Peranan Public Relation.
Makalah Seminar Peranan Public Relation dalam Pembangunan Pertanian. Program
Pascasarjana PS. KMP-IPB. Bogor.
Siregar, Muhammad Hanafi. 2013. Sejarah Perkembangan Pembangunan Pertanian di
Indonesia. http://muhammadhanafisrg.wordpress.com/tag/sejarah-perkembangan-
pertanian-di-indonesia/ (online).

Anda mungkin juga menyukai