Anda di halaman 1dari 10

Tanggal : 20 Februari 2019

Dosen Pembimbing : Drh. Andriyanto M.Si

Laporan Praktikum Farmakologi II


Stimulansia SSP

Kelompok 3
Ilham Maulidandi Rahmandika B04160065 ……….
Intan Pradika Putri B04160069 ……….
Nurannisa Wijayanti KD B04160070 ……….
Umi Hasanah B04160072 ……….
Ariqoh Amjady Anis B04160073 ……….

Bagian Farmakologi dan Toksikologi


Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2019
PENDAHULUAN
Stimulansia merupakan zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP).
Efek perangsangan SSP baik oleh obat yang berasal dari alam maupun sintetik dapat
diperlihatkan pada manusia maupun hewan percobaan. Pada hewan percobaan, obat
stimulansia SSP dapat meningkatkan aktivitas motorik dan kesadaran (Ganiswara
1995). Daya kerja stimulansia SSP dapat dibedakan berdasarkan lokasi dan titik
tangkap kerjanya yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Stimulansia cortex cerebri, obat golongan ini mampu meningkatkan
persepsi, respon, tremor, gelisah, dan delerium. Konvulsi yang ditimbulkan
bersifat aspontan, simetris, dan klonis. Konvulsi spontan terjadi bila ada
rangsangan terlebih dahulu. Simetris ditandai dengan tremor yang terjadi
bersamaan pada anggota tubuh kanan dan kiri, sedangkan klonis terjadi
apabila kontraksiada fase istirahatnya. Contohnya caffein.
2) Stimulansia medulla oblongata, obat golongan ini dapat menyebabkan
hiperaktivitas, peningkatan frekuensi pernapasan dan jantung serta tremor.
Konvulsi yang ditimbulkan adalah spontan (tanpa rangsangan), asimteris,
dan klonis. Contohnya cardiazol.
3) Stimulansia medulla spinalis, obat golongan ini dapat merangsang medulla
spinalis dan bagian lain SSP. Obat ini biasanya juga mempengaruhi reflek.
Sifat konvulsinya adalah aspontan, simetris, dan tetanis. Contohnya
striknin.

Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip kerja dari obat
stimulansia SSP dan gejala klinis yang menyertainya.

Tinjauan Pustaka
Stimulansia adalah obat-obatan yang bekerja dengan cara merangsang saraf.
Saat saraf pusat dirangsang, akan terjadi peningkatan aktivitas, peningkatan suhu
tubuh, pupil melebar, tekanan darah naik dan aktivitas pencernaan menurun.
Pemberian stimulansia secara berlebihan dapat menyebabkan kegelisahan, panic,
sakit kepala, kejang perut dan paranoid.
Caffein adalah stimulansia yang bersifat psikoaktif. Caffeine dapat menembus
sawar otak dan mempengaruhi otak sehingga tidak tidur, melepaskan adrenalin ke
tubuh dan membuatnya selalu terjaga. Obat ini juga membuat perasaan tenang dengan
cara melepaskan dopamine di otak. Overdosis caffeine dapat menyebabkan
rhabdomyolisis atau kerusakan jaringan otot (Spruil dan Wade 2005).
Amfetamin merupakan stimulant SSP yang sangat potensial, digunakan sebagai
pengobatan ADHD dan nakrolepsi. Amfetamin merupakan salah satu jenis narkoba
yang dibuat secara sintetis. Amfetamin meningkatkan pelepasan katekolamin yang
mengakibatkan jumlah neurotransmitter monoamine meningkat. Amfetamin juga
dapat meningkatkan aktivitas, konsentrasi, menekan nafsu makan, dan menurunkan
keinginan untuk tidur (Kasper 2005).
Cardiazole dapat menstimulasi bagian pusat pernafasan dan pusat vasomotor
dalam medulla oblongata. Dosis tinggi dari cardiazole dapat menyebabkan spasmus
otot. Tingkat kematian 50% dari caridazole dapat ditemukan pada pemberian
cardiazole 1% dengan dosis 200 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB. Dosis rendah hanya
akan menunjukkan konvulsi.
Striknin merupakan stimulant medulla spinalis. Striknin didapatkan dari
tanaman Nux vomica, yang menyebabkan keracunan. Striknin menyebabkan konvulsi
dengan gejala yang khas. Hewan akan mengalami konvulsi berupa ekstensif tonik
dari badan dan semua anggota gerak. Terdapat pula kontraksi ekstensor yang simetris
yang diperkuat oleh rangsangan sensorik. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi
yang terkoordinasi dan akhirnya terjadi konvulsi tetani (Ganiswara 1995).

Alat dan bahan


Alat yang digunakan adalah spuid 1 mL, jam, dan kandang hewan. Bahan yang
digunakan yaitu katak, mencit, caffein, striknin, cardiazol, dan amphetamin.
Metodologi
1. Stimulansia cortex cerebri
Mula-mula dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal, yang terdiri dari
posisi tubuh, reflek, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung. Kemudian
menyuntikkan caffein secara subcutan pada daerah abdominal melalui saccus
limphaticus femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0.05 mL, 0.1 mL, 0.2 mL
dan seterusnya. Mengamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pada
setiap dosis penyuntikkan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah
terjadi konvulsi pada katak. Selanjutnya merusak bagian otak dari katak satu
per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata dan medulla spinalis
untuk mengetahui titik tangkap kerja dari obat tersebut.
2. Stimulansia cortex cerebri
Mula-mula dilakukan pemeriksaan fisiologis mencit normal, yang terdiri dari
aktivias motorik tubuh, reflek, salivasi, defekasi ,tonus otot, frekuensi napas
dan jantung. Kemudian menyuntikkan amphetamin secara subcutan pada
daerah punggung dengan dosis bertingkat mulai 0.05 mL, 0.1 mL, 0.2 mL dan
seterusnya, dan mengamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pada
setiap dosis penyuntikkan.
3. Stimulansia medulla oblongata
Mula-mula dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal, yang terdiri dari
posisi tubuh, reflek, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung. Kemudian
menyuntikkan cardiazol secara subcutan pada daerah abdominal melalui
saccus limphaticus femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0.05 mL, 0.1 mL,
0.2 mL dan seterusnya. Mengamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit
pada setiap dosis penyuntikkan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan
setelah terjadi konvulsi pada katak. Selanjutnya merusak bagian otak dari
katak satu per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata dan medulla
spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja dari obat tersebut.
4. Stimulansia medulla spinalis
Mula-mula dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal, yang terdiri dari
posisi tubuh, reflek, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung. Kemudian
menyuntikkan strighnin secara subcutan pada daerah abdominal melalui
saccus limphaticus femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0.05 mL, 0.1 mL,
0.2 mL dan seterusnya. Mengamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit
pada setiap dosis penyuntikkan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan
setelah terjadi konvulsi pada katak. Selanjutnya merusak bagian otak dari
katak satu per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata dan medulla
spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja dari obat tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Stimulansia Cortex Cerebri (Caffein)
Men Dosi Posisi Refle Nyeri Ton Frekuen Frekuen Konvul
it s Tubuh ks us si nafas si si
(mL otot ( kali/ jantung
) menit) ( kali/
menit)

Normal 45ᵒ +++ +++ ++ 95 68 -

0 0,05 45ᵒ +++ +++ ++ 90 78 -

5 0,1 45ᵒ +++ +++ ++ 82 86 -

10 0,2 45ᵒ +++ ++ ++ 70 72 -

15 0,4 30ᵒ ++ ++ +++ 56 60 -

20 0,8 0ᵒ - + - 28 20 +

Caffein adalah suatu obat stimulasi yang bersifat psikoaktif dari golongan
xanthine-alkaloid yang berwarna putih. Caffeine dimetabolisme di hati oleh sitokrom
P450 oksidase menjadi tiga metabolit, yaitu paraxanthine, theobrominedan
theophyline. Obat ini dapat menembus sawar otak dan mempengaruhi pembuluh
darah di otak, sehingga badan dan otak “tidak bisa tidur”, menyebabkan pelepasan
adrenalin ke tubuh dan membuat sel-sel selalu aktif dan terjaga. Obat ini juga
memanipulasi pelepasan dopamine di otak dan membuat perasaan menjadi tenang
dan melayang. Terlalu banyak kafein dapat menyebabkan intoksikasi kafein (yaitu
mabuk akibat kafein). Gejala-gejala ini bisa terjadi jika penggunaan dosis berlebih
menimbulkan gejala seperti kejangan otot (muscle twitching), kekusutan pikiran dan
perkataan, aritmia kardium (gangguan pada denyutan jantung) dan bergejolaknya
psikomotor (psychomotor agitation) bisa terjadi. Selain itu dapat juga terjadi
keresahan, kerap kencing serta masalah gastrointestinal. Intoksikasi kafein juga bisa
mengakibatkan kepanikan dan penyakit kerisauan (Spruil dan Wade 2005).
Caffein yang disuntikkan secara SC pada daerah abdominal melalui
saccuslimphaticus femoralis dengan dosis bertingkat setiap 5 menit sekali, bekerja
dengan menstimulasi pada daerah cortex cerebri. Dari hasil praktikum maka dapat
dilihat bahwa pemberian kafein mulai memberikan pengaruh yaitu pada dosis 0,4 ml.
hal ini ditandai dengan menunduknya posisi katak, tonus otot yang meningkat, serta
frekuensi jantung dan nafas yang mengalami kenaikan dan unanpenu, seharusnya
pernafasan mengalami peningkatan, hal ini dapat terjadi karena kesalahan praktikan
yang tidak teliti dalam penghitungan. Katak mengalami konvulsi dengan ciri-ciri kaki
katak mengalami kekejangan secara simetris pada dosis 0,8 mL. Konvulsi yang
terjadi pada pemberian kafein bersifat aspontan, asimetris dan klonik. Setelah kejang,
maka dimulailah pengrusakan otak katak pada bagian cerebrum dan didapatkan
hasil bahwa kaki katak tidak mengalami kekejangan lagi dan hal ini membuktikan
bahwa caffein bekerja dengan menstimulasi bagian cortex cerebri katak yang
menyebabkan konvulsi. Bila konvulsi diteruskan tanpa penanggulangan, maka katak
tersebut akan mengalami sesak nafas yang mengakibatkan kifosis pada punggung
katak.
Amphetamin adalah senyawa yang termasuk psikostimulansia, yang dapat
menghilangkan rasa, serta meningkatkan daya konsentrasi dan kapasitas yang
bersangkutan. Senyawa ini tidak memiliki khasiat antipsikotik. Amfetamin
merupakan obat stimulan sintetik yang sangat kuat karena dapat meningkatkan
aktivitas tubuh dan otak melalui peningkatan frekuensi denyut jantung dan frekuensi
nafas secara abnormal (Carter 2017). Pemberian amphetamine akan menimbulkan
efek samping yaitu stimulansia berlebihan SSP, kegelisahan, pusing, insomnia,
meningkatnya tekanan darah, aritmia, anoreksia, apisode psikotik. Dengan
mekanisme kerja tersebut maka obat ini digolongkan sebagai obat stimulansia cortex
cerebri yang menimbulkan konvulsi yang bersifat aspontan, simetris dan klonis. Yang
dimaksud dengan aspontan adalah konvulsi terjadi jika ada rangsangan terlebih
dahulu. Simetris ditandai dengan tremor yang terjadi baik tubuh bagian kanan
maupun kiri. Sedangkan klonik terjadi jika ada fase istirahatnya.

Tabel 2. Stimulansia Cortex Cerebri (Amphetamin)


Menit Dosis Aktivit Refle Salivasi Tonus Frekuens Frekuens Konvul
(mL) as ks / otot i nafas ( i jantung si
tubuh ( defekas kali/ ( kali/
kotak/ i/ menit) menit)
menit) urinasi

Normal ++ +++ Urinasi ++ 160 120 -

Defeka
si

0 0,05 ++ +++ - ++ 128 128 -

5 0,1 ++ +++ - ++ 172 144 -

10 0,2 +++ +++ - ++ 188 168 -

15 0,4 +++ +++ - +++ 196 180 -

20 0,8 ++ ++ hipersal ++ 132 120 -


ivasi

25 1,6 - - + - - - +

Frekuensi nafas terus meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang


diberikan sampai pada akhirnya tikus terkulai lemas dan mati pada 25 menit setelah
pemberian amfetamin 2% dengan dosis 1,6 ml. Konvulsi terjadi paa pemberian dosis
0,8 ml. Ciri konvulsi pada saat itu terjadi loncat-loncat pada hewan coba dan
hypersalivasi. Dosis tinggi menyebabkan seseorang merinding, pucat, gemetar,
kehilangan koordinasi, dan pingsan. Suntikan amphetamin dapat menyebabkan
naiknya tekanan darah secara mendadak sehingga mengakibatkan stroke, demam
tinggi, atau jantung lemah (Kasper 2005).
Tabel 3. Stimulansia Medulla Oblongata (Cardiazol)
Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi
(mL) tubuh nyeri otot nafas ( jantung (
kali/ kali/
menit) menit)

Normal 75ᵒ +++ +++ +++ 88 48 -

0 0,05 75ᵒ +++ +++ +++ 104 52 -

5 0,1 70ᵒ +++ +++ +++ 108 62 -

10 0,2 60ᵒ +++ ++ +++ 114 64 -

15 0,4 45ᵒ ++ + ++ 92 60 -

20 0,8 - + + + 60 40 +

Cardiazol sebagai stimulansia medulla oblongata yang menyebabkan


hiperaktifitas, peningkatan frekuensi nafas dan jantung serta tremor. Hal ini dapat kita
lihat mulai pemberian dosis 0,05 ml kardiazol, terjadi peningkatan frekuensi denyut
jantung serta tonus otot yang meningkat. Pemberian kardiazol ini baru menimbulkan
konvulsi pada dosis 0,8 ml. adapun sifat konvulsinya adalah spontan ( tanpa
rangsangan), asimetris dan klonis, dan pada menit ke – 20 sikap tubuh hewan
emprich (kepala keatas), dengan abdomen membesar, hal ini terjadi karena inspirasi
lebih besar dari ekspirasi. Hal ini berbeda dengan sifat konvulsi dari amphetamine
maupun kafein disebabkan karena berbeda lokasi dan titik tangkap kerjanya.
Pada penyuntikan dengan dosis 0,8 mL, katak mengalami konvulsi dan segera
dilakukan perusakan daerah otak dari cortek cerebri tetapi masih menunjukkan gejala
konvulsi, lalu dilakukan perusakan kembali pada daerah medulla oblongata dan gejala
konvulasi hilang. Hal ini membuktikan bahwan cardiazol memiliki titik tangkap
kerjanya di medulla oblongata. Cardiazol termasuk dalam obat analeptika yang
mampu menstimulasi bagian sistem saraf tertentu, terutama pusat pernapasandan
pusat vasomotor dalam medulla oblongata. Oleh sebab itu, saat terjadi konvulsi dan
bagian otak di rusak satu per satu, konvulsi berhenti saat bagian medulla oblongata
katak dihilangkan.

Tabel 4. Stimulansia Medulla Spinalis (Striknin)

Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi


(mL) tubuh nyeri otot nafas ( jantung (
kali/ kali/
menit) menit)

Normal 45ᵒ +++ +++ ++ 80 100 -

0 0,05 45ᵒ +++ +++ +++ 104 124 -

5 0,1 45ᵒ ++ ++ ++ 108 124 -

10 0,2 15ᵒ - - - 12 48 +

Adapun striknin yang tergolong sebagai obat yang merangsang medulla


spinalis dan bagian lain dari susunan syaraf pusat (Sunardi 2006). Obat ini sangat
mempengaruhi reflek. Striknin merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang
khas. Padahewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua
anggotagerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh
obatyang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang
strikninialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan
sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga
terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis secara langsung. Atas
dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis
dankonvulsinya disebut konvulsi spinal.
Hai ini dapat dilihat ketika katak mulai diberi dosis 0,05 ml striknin. Terjadi
peningkatan refleks tubuh dan tonus otot. Pada pemberian dosis striknin 0,2 ml,
langsung terjadi konvulsi. Sifat konvulsi dari obat ini adalah aspontan, simetris dan
tetani. Hal ini dapat menunjukkan kepada kita bahwa striknin bekerja sangat cepat
dalam menimbulkan konvulsi yang mungkin juga sangat dipengaruhi oleh lokasi dan
titik tangkap dari kerja obat.Untuk menguji titik tangkap kerjadari striknin dilakukan
perusakan cortex cerebri pada awalnya namun katak masih mengalami konvulsi
begitu juga ketika medulla oblongatanya yang dirusak. Ketika medulla spinalisnya
yang dirusak katak tidak mengalami konvulsi lagi,yang menunjukkan titik tangkap
kerja dari striknin adalah medulla spinalis.

SIMPULAN

Stimulansia merupakan obat yang dapat merangsang sistem saraf pusat.


Caffein dan amphetamine dapat merangsang cortex cerebri. Cardiazol bekerja pada
medulla oblongata. Striknin menstimulasi medulla spinalis. Masing-masing obat
menunjukkan gejala yang berbeda pada keadaan overdosis, khususnya striknin yang
menunjukkan keadaan konvulsi aspontan, simetris dan tetani.

DAFTAR PUSTAKA

Carter A. 2017. Uses and risks of amphetamine. [artikel]. Brighton (UK): Medical
News Today, Healthline Media.
Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta.
Kasper, D.L. 2005. Harrison’s Manual of Medicine. Mc Graw Hill Medical
Publishing Division, New York
Spruil, W.J. and Wade,W.E. 2005. Pharmacotherapy:A Pathophysiologic Approach,
6th Edition. Mc Graw Hill Medical Publishing Division, New York
Sunardi. 2006. Obat-obatan yang Berkaitan dengan Stimulassi Sistem Syaraf Pusat.
[terhubung berkala]. (22 maret 2013).

Anda mungkin juga menyukai