Anda di halaman 1dari 21

6

TINJAUAN PUSTAKA

Metabolisme Vitamin dan Mineral di dalam Tubuh


Metabolisme merupakan semua proses baik fisik maupun kimia yang terjadi
di dalam tubuh dan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Proses-proses
ini berupa pemecahan zat-zat gizi untuk menghasilkan energi atau membentuk
struktur tubuh. Reaksi kimia yang terjadi memungkinkan tubuh mengeluarkan dan
menggunakan energi yang berasal dari makanan, mengubah suatu zat menjadi zat
lain, dan menyiapkan sisa-sisa zat untuk diekskresi. Terdapat sekitar seribu
macam reaksi yang kimia yang terjadi di dalam suatu sel tubuh (Almatsier 2003).
Vitamin, mineral, dan cairan di dalam tubuh diserap secara bersamaan
melalui mukosa usus halus. Beragam faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitas
vitamin dan mineral dalam proses ini. Setiap hari, sekitar 8 hingga 9 liter cairan
dari tubuh mengalir terus menerus melewati membran usus agar zat-zat gizi
berada dalam larutan. Sebagian besar vitamin dan air bergerak dari usus halus
menuju darah dengan difusi pasif.
Sementara itu, penyerapan mineral bersifat lebih kompleks dan berjalan
melalui tiga tahap. Pada tahap pertama, yaitu intraluminal stage, terjadi reaksi
kimia dan interaksi yang terjadi di dalam lambung dan usus halus. Reaksi ini
sebagian besar ditentukan oleh pH dan komposisi makanan yang memasuki
lambung, terutama mempengaruhi kation. Anion yang kecil seperti florida tidak
dipengaruhi baik oleh pH maupun oleh komposisi makanan dan diserap dengan
bebas. Tahap kedua adalah translocation stage, yang melewati membran menuju
sel mukosa usus halus. Transpor anion yang kecil kemungkinan terjadi hanya
melalui difusi. Untuk sebagian besar unsur kation, mekanisme dapat terjadi
melalui difusi fasilitatif atau transpor aktif. Selama tahap ketiga, yaitu
mobilization stage, mineral dapat diangkut melalui permukaan serosal usus
menuju aliran darah atau dipisahkan di dalam sel (Beyer 2004).

Bioavailabilitas Zat Gizi


Istilah bioavailabilitas secara umum didefinisikan sebagai penyerapan dan
pemanfaatan zat gizi (Fairweather-Tait 1997). Secara tidak langsung, penyerapan
dalam definisi tersebut mencakup pula ekskresi dan penyimpanan. Terdapat
7

beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas, yaitu bentuk kimia dari zat
gizi; komposisi zat gizi dalam makanan atau suplemen; interaksi antar zat gizi;
dan faktor dari dalam individu sendiri yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor
fisiologis, dan patologis (Krebs 2001).
Solomon et al. (2001) menambahkan, faktor fisiologis yang dapat
mempengaruhi bioavailabilitas adalah kondisi pencernaan, umur, fungsi ginjal,
jenis kelamin, aktivitas fisik, komposisi tubuh, status gizi, status kesehatan, pola
dan komposisi makan, suplemen makanan, alkohol, suku bangsa, dan tambahan
dari faktor lingkungan seperti polusi, stres, dan penggunaan obat.
Menurut Anderson (2004), berdasarkan bioavailabilitasnya zat gizi dalam
makanan dibagi menjadi tiga kelompok: zat gizi dengan bioavailabilitas rendah
(besi, kromium, mangan); zat gizi dengan bioavailabilitas sedang (kalsium dan
magnesium); dan zat gizi dengan bioavailabilitas tinggi (natrium, kalium, klorida,
iodida, dan flourida).

Interaksi Antar Zat Gizi


Interaksi antar zat gizi, khususnya mikronutrien dapat terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu: (1) satu jenis mikronutrien secara langsung mempengaruhi
absorpsi mikronutrien lainnya, dan (2) defisiensi atau kelebihan satu jenis
mikronutrien dalam organisme mempengaruhi metabolisme mikronutrien lainnya
(Lonnerdal 1988).
Interaksi Antar Mineral
Zat besi (Fe) dan Seng (Zn)
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa konsumsi Fe dalam dosis yang
tinggi akan mengurangi efisiensi absorpsi Zn (Solomons 1988). Kapasitas
absorpsi usus halus dan pengaturannya dalam reaksinya terhadap status Fe
individu paling bagus terlihat ketika seseorang mengkonsumsi Fe dalam dosis
tinggi selama beberapa periode dan tidak mengkonsumsi makanan yang
mengandung Zn. Dalam Almatsier (2003) disebutkan, sebagian Zn menggunakan
alat transpor transferin yang juga merupakan alat transpor Fe. Bila perbandingan
antara Fe dengan Zn lebih dari 2 : 1, transferin yang tersedia untuk Zn berkurang
8

sehingga menghambat absorpsi Zn. Dan sebaliknya, dosis tinggi Zn juga


menghambat absorpsi Fe.
Seng (Zn) dan Tembaga (Cu)
Interaksi antara Zn dan Cu dapat terjadi baik dalam keadaan gizi yang baik
maupun dalam keadaan gizi kurang. Sejumlah penelitian dengan hewan percobaan
menunjukkan bahwa intik Zn yang tinggi dapat mengurangi absorpsi Cu. Hal ini
disebabkan karena intik Zn yang tinggi akan meningkatkan kandungan tionein
dalam mukosa, dimana molekul ini mampu mengikat logam-logam yang serupa
termasuk Zn2+, Cu2+, Hg2+, dan Cd2+ (Solomons 1988).
Interaksi Antara Vitamin dengan Mineral
Asam Askorbat dan Zat Besi (Fe)
Asam askorbat dapat meningkatkan absorpsi besi non-heme. Hal ini
kemungkinan terjadi melalui dua cara, yakni melalui kemampuan mereduksi asam
askorbat sehingga Fe selalu berada dalam bentuk yang lebih mudah diserap, yaitu
Fe2+; dan sifat mengkelat asam askorbat yang membuat Fe selalu dalam bentuk
dapat larut dan dapat diserap. Dengan demikian, pada defisiensi asam askorbat
penyimpanan Fe rusak; demikian pula pada kelebihan asam askorbat, perpindahan
Fe dari pasien hemokromatosis dengan desferioksamin meningkat (Lonnerdal
1988).
Asam Askorbat dan Tembaga (Cu)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intik asam askorbat yang tinggi
memiliki efek negatif terhadap metabolisme Cu. Asam askorbat yang tinggi
diyakini dapat merubah Cu2+ menjadi Cu1+ yang lebih sulit untuk diserap
(Lonnerdal 1988).
Seng (Zn) dan Vitamin E
Mekanisme interaksi antara seng dan vitamin E terjadi pada tingkat
membran. Seng dan vitamin E bekerjasama melindungi integritas membran sel.
Seng berperan dalam sistem enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas
dengan menurunkan konsentrasi peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E
menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk. Dengan demikian,
konsumsi seng dalam jumlah cukup dapat menghemat penggunaan vitamin E
(Lonnerdal 1988; Almatsier 2003). Bunk et al. (1987) melaporkan bahwa absorpsi
9

usus halus dan atau transpor vitamin E plasma terganggu jika terjadi kekurangan
seng.
Seng (Zn) dan Vitamin A
Kekurangan seng dapat mengganggu metabolisme vitamin A. Pada kondisi
ini, sintesis alat angkut vitamin A yaitu protein pengikat retinol (retinol-binding-
protein/RBP) terganggu dan terjadi penurunan aktivitas retina reduktase.
Menurunnya aktivitas enzim ini menyebabkan terganggunya adaptasi terhadap
gelap (Lonnerdal 1988).
Vitamin A dan Zat Besi (Fe)
Dalam Lonnerdal (1988) disebutkan, kekurangan vitamin A dapat
menyebabkan terganggunya hematopoiesis. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa rendahnya retinol plasma dihubungkan dengan rendahnya hemoglobin,
besi serum, dan nilai kejenuhan transferin. Kekurangan vitamin A dapat
menyebabkan terganggunya transportasi besi dari hati dan atau penggabungan
besi ke dalam eritrosit.
Folat dan Seng (Zn)
Suplementasi folat diketahui dapat mengganggu absorpsi seng. Meskipun
pengaruh suplemen folat terhadap absorpsi seng secara langsung masih belum
pasti, jalur metabolisme yang menghubungkan antara folat dan seng telah
diketahui. Pasien yang menderita anemia megaloblastik (kekurangan folat)
memiliki kadar seng dalam eritrosit yang rendah. Terganggunya absorpsi folat
pada keadaan kekurangan seng juga dapat terjadi karena folate conjugase
(pteroilpoligammaglutamil hidrolase) yang merupakan brush border membran
enzim yang dibutuhkan untuk memecah bagian poligammaglutamat dari folat
adalah zinc-dependent enzyme (Chandler et al. 1986).
Interaksi Antar Vitamin
Vitamin dapat berinteraksi satu dengan lainnya melalui beragam cara. Satu
jenis vitamin dapat dibutuhkan untuk: (a) absorpsi atau metabolisme vitamin
lainnya; (b) melindungi vitamin lainnya dari kerusakan oksidatif; atau (c) menjaga
vitamin lainnya dari katabolisme atau ekskresi yang berlebihan. Akibat interaksi
ini, kekurangan salah satu jenis vitamin, bahkan kekurangan yang kecil dapat
memperburuk kekurangan atau meningkatkan kebutuhan vitamin lainnya.
10

Vitamin A
Vitamin A berinteraksi dengan vitamin larut lemak lainnya (D, E, K) dan
berinteraksi pula dengan vitamin C. Interaksi antar vitamin-vitamin ini adalah
sebagai berikut:
Tabel 1 Interaksi yang melibatkan vitamin A
Jenis vitamin Interaksi Referensi
Vitamin C Pada manusia, hipervitaminosis A Bauernfeind (1980)
menyebabkan menurunnya kadar
vitamin C dalam jaringan, dan
meningkatnya jumlah vitamin C
yang keluar melalui urin
Vitamin D Pada hewan, vitamin A dosis tinggi Morgan et al. (1937);
dapat melindungi dari beberapa gejala Taylor et al. (1968);
toksisitas vitamin D Metz et al. (1984)
Vitamin E Pada anak ayam, kadar vitamin A Sklan and Donoghue
yang tinggi meningkatkan kebutuhan (1982); Frigg and
vitamin E Broz (1984)
Vitamin K Pada manusia, hipervitaminosis A Bauernfeind (1980)
dapat menyebabkan hipoprotrom- Suttie (1984)
binemia yang dapat diobati dengan
suplementasi vitamin K
Sumber: Machlin dan Langseth (1988)

Vitamin E
Intik vitamin E yang tinggi dapat menyebabkan kekurangan vitamin larut
lemak lainnya bila vitamin-vitamin ini terdapat dalam jumlah yang terbatas dalam
makanan. Hal ini disebabkan oleh adanya kompetisi untuk absorpsi pada sel
mukosa usus halus. Interaksi yang terjadi antara vitamin E dengan vitamin lainnya
adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Interaksi yang melibatkan vitamin E
Jenis vitamin Interaksi Referensi
Vitamin A Vitamin E dibutuhkan untuk metabo- Mc Laren (1959);
lisme normal vitamin A, pengganti Ames (1969); Bennett
vitamin A, dan melindungi dari bebe- et al. (1965); Arnrich
rapa gejala toksisitas vitamin A and Arthur (1980)
Vitamin B12 Vitamin E dibutuhkan untuk meng- Barness (1967);
ubah vitamin B12 menjadi bentuk Pappu et al. (1978)
koenzimnya. Pemberian vitamin E
dapat menghentikan ekskresi asam
metilmalonat, yang merupakan salah
satu indikator kekurangan vitamin B12
dari urin
Vitamin K Pada manusia, dosis tinggi vitamin E Corrigan and Marcus
(1200 IU/hari) dapat meningkatkan (1974); Helson (1984)
kebutuhan vitamin K sebagai anti-
koagulan
Sumber: Machlin dan Langseth (1988)
11

Vitamin C
Vitamin C berinteraksi dengan vitamin A, B6, B12, dan vitamin E. Interaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Interaksi yang melibatkan vitamin C
Jenis vitamin Interaksi Referensi

Vitamin A Pada tikus, asam askorbat kurang dari Mayfield and Roehm
250 mg/kg BB dapat meningkatkan (1956)
perubahan vitamin β-karoten menjadi
vitamin A. Pada jumlah yang lebih
banyak tidak menunjukkan adanya
pengaruh atau dapat menurunkan
pemanfaatannya
Vitamin B6 Pada manusia yang mengalami keku- Shultz and Leklem;
rangan vitamin C dilaporkan terjadi (1982); Baker et al.
peningkatan ekskresi piridoksin (1971)
Vitamin B12 Kelebihan vitamin C baik dalam makanan Herbert and Jacob
atau dalam aliran darah dapat merusak (1974); Marcus et al.
vitamin B12 pada kondisi fisiologis tertentu (1980); Hogenkamp
(1980)
Vitamin E Vitamin C dan vitamin E bekerjasama Leung et al. (1981);
sebagai antioksidan. Vitamin C dapat Lambelet et al. (1985)
mengganti vitamin E dengan mengha- Chen (1981)
silkan kembali tokoferol dari radikal
tokoferoksil. Terdapat beberapa bukti
pula yang menunjukkan bahwa vitamin
E dapat menggantikan vitamin C
Sumber: Machlin dan Langseth (1988)

Vitamin B
Vitamin B memiliki interaksi yang kuat antara satu dengan lainnya. Vitamin
B dalam jumlah yang cukup dibutuhkan untuk fungsi yang optimal. Kekurangan
salah satu vitamin B dapat menyebabkan ketidaknormalan metabolisme vitamin B
lainnya. Beberapa interaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Interaksi yang melibatkan vitamin B
Vitamin yang Vitamin yang Interaksi Referensi
mempengaruhi terpengaruh
Vitamin B6 Vitamin C Kekurangan vit. B6 menurun- Baker et al.
kan kadar vit. C dalam plasma (1964)
Vitamin B6 Vitamin B12 Pada tikus, vit. B6 dibutuhkan Sauberlich
untuk absorpsi vit. B12 (1980)
Asam folat Vitamin B12 Pada manusia, kelebihan asam Herbert (1963)
folat dapat menutupi kekurang- Brody et al.
an vit. B12 dengan mengobati (1984)
gejala hematologi, tetapi tidak
dapat mengobati gejala neuro-
logi. Hal ini telah diamati pada
dosis 5 mg/hari
Sumber: Machlin dan Langseth (1988)
12

Pengaruh Kekurangan dan Kelebihan Vitamin dan Mineral


Vitamin A
Vitamin A memiliki beragam fungsi penting untuk tubuh, diantaranya untuk
fungsi normal pada sistem penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan,
diferensiasi sel epitel, fungsi imun, reproduksi, dan anti kanker. Kekurangan
vitamin A (KVA) terjadi ketika simpanan tubuh habis terpakai sehingga
mengganggu fungsi fisiologis. Kekurangan ini dapat merupakan kekurangan
primer yang disebabkan oleh kurangnya konsumsi vitamin A atau kekurangan
sekunder karena adanya gangguan penyerapan dan penggunaannya di dalam
tubuh, kebutuhan meningkat, dan karena gangguan pada konversi karoten menjadi
vitamin A. Pada tahap awal, terjadi gangguan pada integritas sel epitel dan sistem
imun, kemudian diikuti pada sistem penglihatan. Akibatnya, terjadi peningkatan
keparahan penyakit infeksi dan resiko kematian khususnya pada anak-anak
(ACC/SCN 2000). Wanita usia subur juga rawan menderita KVA selama masa
kehamilan dan menyusui (Bloem et al. 1994).
Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan
jumlah yang berlebihan dalam jangka waktu lama. Kelebihan dapat menyebabkan
kerusakan hati, sakit pada tulang dan sendi, alopecia, sakit kepala, muntah, dan
kulit mengering (FAO/WHO 2001). Konsumsi vitamin A lebih dari 7500 μg
(25.000 IU) setiap hari pada wanita di awal masa kehamilan dapat menyebabkan
kelainan pada janin (Hathcock 1997). Dalam Brody (1999) disebutkan, wanita
hamil yang mengkonsumsi vitamin A 10 kali atau lebih dari kecukupan yang
dianjurkan dapat menyebabkan kerusakan otak pada bayi. Oleh karena itu, wanita
dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin A dalam dosis rendah yakni <10.000
IU/hari atau 25.000 IU/minggu (WHO 1998). Namun, kelebihan ini hanya terjadi
bila dimakan dalam bentuk vitamin A. Karoten tidak dapat menimbulkan gejala
kelebihan karena absorpsi karoten menurun bila konsumsi tinggi. Selain itu
sebagian dari karoten yang diserap tidak diubah menjadi vitamin A, tetapi
disimpan di dalam lemak.
Vitamin D
Vitamin D khususnya kalsitriol (1,25 dihidroksivitamin D3) terutama
berfungsi seperti hormon steroid. Vitamin D menjaga homeostasis kalsium dan
13

fosfor, dan bersama vitamin C, A, hormon-hormon paratiroid dan kalsitonin,


protein, dan beberapa mineral membantu pembentukan dan pemeliharaan tulang
(Almatsier 2003). Gallagher (2004) menambahkan, kalsitriol memegang peranan
penting dalam diferensiasi sel, proliferasi sel, dan pertumbuhan banyak jaringan
tubuh termasuk kulit, tulang, pankreas, sel saraf, kelenjar paratiroid, dan sistem
imun.
Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan kelainan tulang, yang pada
anak-anak dinamakan ricketsia dan pada orang dewasa disebut osteomalasia.
Selain itu, kekurangan vitamin D pada orang dewasa dapat pula menyebabkan
osteoporosis. Sedangkan konsumsi vitamin D dalam jumlah berlebihan mencapai
5 kali AKG akan menyebabkan keracunan dengan gejala kelebihan absorpsi
vitamin D yang akhirnya menyebabkan kalsifikasi berlebihan pada tulang dan
jaringan tubuh seperti ginjal, paru-paru, dan organ tubuh lain (Almatsier 2003;
Gallagher 2004).
Vitamin E
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang melindungi
kerusakan membran sel dan asam lemak jenuh ganda dari oksidasi radikal bebas.
Selain itu, vitamin E berperan dalam memelihara integritas membran sel, sintesis
DNA, sistem imun, mencegah penyakit jantung koroner, mencegah keguguran
dan sterilisasi, serta mencegah gangguan menstruasi. Namun, fungsi-fungsi ini
masih perlu membutuhkan penelitian lebih lanjut (Almatsier 2003).
Kekurangan vitamin E jarang terjadi karena terdapat secara luas dalam
bahan makanan. Bila terjadi, kekurangan vitamin E umumnya menyerang sistem
saraf dan otot, pembuluh darah, dan sistem reproduksi. Kekurangan biasanya
terjadi karena adanya gangguan absorpsi lemak dan gangguan transpor lipida
(Gallagher 2004; Almatsier 2003). Vitamin E adalah salah satu vitamin yang tidak
toksik. Manusia masih mampu untuk mengkonsumsi vitamin E dalam dosis tinggi
hingga 100 kali dari kebutuhan. Namun, pada dosis yang sangat tinggi vitamin E
dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk menggunakan vitamin larut lemak
lainnya (A, D, dan K). Pada penelitian yang dilakukan Meydani et al. (1998)
dilaporkan bahwa konsumsi vitamin E sebanyak 60-800 IU/hari selama 4 bulan
tidak menimbulkan efek merugikan.
14

Vitamin B6
Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi karena biasanya kekurangan vitamin
B6 terjadi secara bersamaan dengan kekurangan vitamin B kompleks lainnya.
Hipovitaminosis B6 sering bersamaan dengan kekurangan riboflavin karena
riboflavin dibutuhkan untuk membentuk koenzim PLP. Ketidakcukupan vitamin
B6 juga dapat menyebabkan menurunnya metabolisme glutamat di otak sehingga
terjadi ketidakberfungsian sistem saraf. Selain itu, kekurangan vitamin B 6 juga
menyebabkan kerusakan sistem imun (FAO/WHO 2001). Dalam Almatsier
(2003) disebutkan, kekurangan dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti
isoniazida dan penisillamin, kecanduan alkohol, kelainan kongenital, penyakit
kronik tertentu, dan gangguan absorpsi.
Kelebihan vitamin B6 umumnya juga jarang terjadi. Vitamin B6 bersifat
toksik pada dosis 1000 kali RDA (Brody 1999). Jika dikonsumsi dalam jumlah
berlebihan selama berbulan-bulan maka akan terjadi kerusakan saraf yang tidak
dapat diperbaiki, dimulai dengan kesemutan pada kaki, kemudian mati rasa pada
tangan dan akhirnya tubuh tidak mampu bekerja (Brody 1999; Almatsier 2003).
Vitamin B12
Vitamin B12 berfungsi pada dua bentuk koenzim, yaitu adenosilkobalamin
dengan metilkalonil-CoA mutase yang berperan penting dalam metabolisme
propionat, adenosilkobalamin dengan leusin mutase yang berperan dalam
metabolisme asam amino, dan metilkobalamin dengan dengan metionin sintetase
yang berperan dalam metabolisme karbon tunggal. Kekurangan vitamin B 12 dapat
menyebabkan kerusakan pembelahan sel, khususnya sumsum tulang dan mukosa
usus halus (Gallagher 2004). Dalam Almatsier (2003) ditambahkan, kekurangan
vitamin B12 jarang terjadi karena kekurangan dalam makanan, namun sebagian
besar disebabkan oleh penyakit saluran cerna atau gangguan absorpsi dan
transportasi. Karena dibutuhkan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktifnya,
salah satu gejala kekurangan vitamin B12 adalah anemia karena kekurangan folat.
Tidak diketahui adanya gangguan karena kelebihan vitamin B12. Dosis1000
μg dilaporkan tidak menimbulkan efek samping, namun tidak pula menunjukkan
kegunaan jika tidak terjadi malabsorpsi (Institute of Medicine 1998). Oleh karena
itu, suplementasi dengan dosis tinggi sebaiknya dihindari.
15

Vitamin C
Kekurangan vitamin C akut dapat menyebabkan skorbut. Namun, skorbut
berat saat ini jarang terjadi karena telah diketahui cara pencegahan dan
pengobatannya. Kelebihan vitamin C dari makanan jarang terjadi, dan akan terjadi
jika mengkonsumsi suplemen secara berlebihan, dimana dapat menimbulkan
hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi terhadap batu ginjal (Almatsier 2003).
Dalam Gallagher (2004) ditambahkan, efek merugikan yang dapat timbul oleh
dosis tinggi vitamin C adalah mengganggu saluran pencernaan dan diare. Pada
penelitian yang dilakukan Johnston dan Cox (2001) dengan dosis vitamin C 75-
2000 mg/hari selama 70 hari dilaporkan terdapat sampel yang mengalami diare
(Hathcock 2005).
Asam Folat
Kekurangan folat dapat menyebabkan gangguan metabolisme DNA dan
RNA sehingga merubah morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat
membelah. Sel-sel ini diantaranya sel darah merah, sel darah putih, sel epitel
lambung, usus, vagina, dan serviks rahim. Di dalam darah, keadaan ini dicirikan
dengan terjadinya anemia megaloblastik dan makrositik dengan eritrosit yang
membesar, tidak matang, dan berlebihnya jumlah hemoglobin. Kekurangan folat
pada wanita hamil dapat menyebabkan cacat pada janin yang disebut neural tube
defect (NTD). Sementara itu, dilaporkan bahwa belum ditemukan adanya
pengaruh merugikan dari pemberian folat dosis tinggi pada hewan poercobaan
(Gallagher 2004).
Zat Besi (Fe)
Fungsi zat besi berhubungan dengan kemampuannya dalam reaksi oksidasi
dan reduksi. Secara kimia, zat besi merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga
mampu berinteraksi dengan oksigen. Dalam keadaan tereduksi, besi kehilangan
dua elektron sehingga memiliki dua sisa muatan positif (Fe2+/fero). Sedangkan
dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron sehingga memiliki tiga
sisa muatan positif (Fe3+/feri). Karena dapat berada dalam dua bentuk ion ini, besi
berperan dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang
terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi.
16

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan beragam masalah, diantaranya


anemia, menurunnya produktivitas kerja, menurunnya fungsi kognitif,
terganggunya kemampuan pengaturan tubuh pada lingkungan yang dingin,
menurunnya imunitas dan ketahanan terhadap penyakit infeksi, keracunan, dan
beragam masalah pada bayi baru lahir seperti bayi lahir prematur, bayi berat lahir
rendah, dan kematian janin (Yip 2001).
Masalah kurang gizi besi dan anemia gizi besi merupakan masalah zat gizi
mikro terbesar dan tersulit diatasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Masalah
ini terutama terjadi pada bayi, anak pra sekolah, dan wanita usia subur (Soekirman
2000). Pada wanita usia subur, dua faktor yang menyebabkan terjadinya anemia
adalah menorrhagia (berlebihnya kehilangan darah selama menstruasi) dan
kehamilan. Pada kehamilan, anemia disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan ibu
akan zat besi dan meningkat tajamnya pertumbuhan fetus dan plasenta (Yip
2001).
Sementara itu, masalah kelebihan zat besi jarang terjadi. Salah satu penyakit
yang dapat terjadi pada kelebihan zat besi adalah hemokromatosis, yaitu
berlebihnya simpanan zat besi dalam hepatosit dan di sel-sel hati, pankreas, dan
tulang sendi. Simpanan ini dapat berasal dari konsumsi zat besi yang berlebihan,
transfusi darah berulang kali, atau penyakit keturunan hematokromatosis (Brody
1999; Anderson 2004).
Seng (Zn)
Seng memiliki beragam peran penting dalam fungsi tubuh. Seng merupakan
bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari 300 enzim yang
berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan asam nukleat (Anderson
2004). Peran penting seng lainnya adalah dalam sintesis DNA dan RNA, sintesis
dan degradasi kolagen, pengembangan fungsi reproduksi laki-laki, dan
pembentukan sperma. Selain itu, seng juga berperan dalam fungsi kekebalan.
Karena perannya yang sangat luas dalam beragam reaksi tubuh, kekurangan seng
akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama pada saat
pertumbuhan (Almatsier 2003).
Kekurangan seng pada manusia pertama kali ditemukan pada anak laki-laki
di Iran dan Mesir pada tahun 1963. Keadaan ini disebabkan oleh makanan utama
17

penduduk yang berupa serealia tumbuk dan kacang-kacangan, dimana makanan


ini tinggi serat dan fitat yang dapat menghambat penyerapan seng. Gejala-gejala
kekurangan seng diantaranya menurunnya ketajaman indera perasa, melambatnya
penyembuhan luka, gangguan pertumbuhan, menurunnya kematangan seksual,
terganggunya sistem imun, terganggunya fungsi kelenjar tiroid dan laju
metabolisme (Anderson 2004). Sementara itu, kelebihan seng telah lama
dilaporkan dapat mengganggu penyerapan tembaga. Fosmire (1990) melaporkan
bahwa suplementasi seng dalam waktu yang lama dan dengan dosis tinggi (300
mg/hari) dapat menurunkan sistem imun dan kadar HDL (high density
lipoprotein).
Selenium (Se)
Kekurangan selenium karena makanan yang dikonsumsi belum banyak
diketahui. Pada manusia, kekurangan selenium dikenal sebagai penyakit Keshan.
Penyakit ini pernah terjadi di Cina pada daerah berbukit dan pegunungan dengan
kandungan selenium yang rendah pada tanahnya, dimana terjadi kardiomiopati
atau degenerasi otot jantung yang menyerang anak-anak dan wanita. Penyakit ini
berhasil diatasi dengan suplementasi selenium (Sunde 2001). Indikator kelebihan
selenium adalah selenosis, termasuk perubahan kulit dan kuku, kerusakan gigi,
gangguan sistem pencernaan dan sistem saraf (Anderson 2004).
Tembaga (Cu)
Tembaga adalah komponen dari banyak enzim. Enzim-enzim yang
mengandung tembaga memiliki berbagai peran dalam reaksi yang menggunakan
oksigen atau radikal oksigen. Tembaga merupakan bagian dari enzim
metaloprotein yang terlibat dalam fungsi rantai sitokrom dalam oksidasi di
mitokondria, sintesis protein-protein kompleks jaringan kolagen di dalam
kerangka tubuh dan pembuluh darah, serta dalam sintesis pembawa rangsangan
saraf. Di dalam sel darah merah, sebagian besar tembaga terdapat sebagai
metaloenzim superoksida dismutase yang terlibat sebagai antioksidan dalam
memusnahkan radikal bebas. Selain itu, tembaga memegang peranan penting
dalam mencegah anemia melalui membantu penyerapan besi, merangsang sintesis
hemoglobin, dan melepas simpanan besi dari feritin dalam hati (Almatsier 2003;
Anderson 2004).
18

Suplemen Multivitamin Mineral


Dewasa ini, penggunaan suplemen semakin meningkat di seluruh dunia.
Konsumen suplemen terbesar adalah wanita dan anaknya, orang tua, masyarakat
dengan pendidikan dan pendapatan tinggi, masyarakat dengan gaya hidup dan
makanan sehat, dan penderita penyakit berat seperti kanker. Banyak dari mereka
merasa lebih baik setelah mengkonsumsi suplemen. Namun sayangnya, populasi
yang beresiko tinggi mengalami ketidakcukupan intik zat gizi yang kemungkinan
akan memperoleh lebih banyak manfaat dari konsumsi suplemen multivitamin
mineral sangat sedikit mengkonsumsi suplemen (NIH State of the Science Panel
2007).
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (saat ini
Badan Pengawas Obat dan Makanan) tentang Suplemen Makanan Nomor
HK.00.063.02360 Tahun 1996 mendefinisikan suplemen makanan sebagai produk
yang digunakan untuk melengkapi makanan, yang mengandung satu atau
kombinasi bahan, yaitu vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari
tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka
kecukupan gizi (AKG), konsentrat, metabolit, konstituen, dan ekstrak. Definisi ini
direvisi dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suplemen makanan
adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan,
mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau
bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai
gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. Sementara itu, The
European Commission mengusulkan definisi suplemen sebagai sumber zat gizi
padat (terutama vitamin dan mineral) yang dipasarkan dalam bentuk obat (seperti
kapsul, tablet, serbuk, dan lain-lain) untuk menambah intik zat gizi pada makanan
normal (Official Journal of the European Communities 2002).
Meskipun telah banyak digunakan, suplemen multivitamin mineral belum
memiliki standar atau definisi dan masih merujuk kepada produk-produk dengan
beragam komposisi dan karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu, belum ada
juga aturan yang dibuat untuk multivitamin mineral (Yetley 2007). Di Amerika,
suplemen makanan dapat mengandung beragam bahan, termasuk vitamin,
19

mineral, tumbuhan obat atau tumbuh-tumbuhan lainnya, dan asam amino; bahan
makanan yang digunakan untuk menambahkan makanan dengan meningkatkan
jumlah intik makanan; konsentrat, metabolit, dan ekstrak; atau kombinasi dari satu
atau lebih bahan-bahan ini (US Food and Drug Administration 2001). Pada Tabel
5 dapat dilihat beberapa contoh kategori suplemen multivitamin mineral yang
digunakan dalam beberapa survey (Yetley 2007).

Kecukupan Gizi yang Dianjurkan


dan Tolerable Upper Intake Level (UL)
Istilah yang dipakai untuk angka kecukupan gizi berbeda-beda antar negara.
Indonesia menggunakan istilah angka kecukupan gizi yang dianjurkan sebagai
terjemahan dari Recommended Dietary Allowance (RDA). RDA adalah nilai yang
menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari
bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi
fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui (Muhilal & Hardinsyah 2004).
Sementara itu, di Filipina digunakan istilah Recommended Energy and
Nutrient Intakes (RENI). Sedangkan di Amerika Serikat sejak Tahun 2000
digunakan istilah Dietary Reference Intake (DRI). Pertimbangan penting dalam
aplikasi DRI meliputi dua hal yaitu: 1) kebutuhan zat gizi didefinisikan sebagai
level intik terendah yang akan mempertahankan taraf gizi tertentu pada seseorang,
dan 2) kriteria kecukupan gizi untuk menetapkan kebutuhan zat gizi tersebut
berbeda antar zat gizi dan juga dapat berbeda pada suatu zat gizi tertentu antar
kelompok umur.
20

Tabel 5 Kategori suplemen multivitamin mineral dalam beberapa survey


Kategori Definisi Survey
Multivitamin mineral
Gabungan beberapa vitamin Tidak didefinisikan NHANES I, II; NHIS
dan mineral; multivitamin- 1987, 1992, 2000,
multimineral 2002; CSFII
≥ 3 vitamin dengan NHANES 1999-2000
atau tanpa mineral
(tidak merujuk pada
vitamin dan mineral
tertentu
Minimal mengandung NHANES III
vit. B1, B2, niasin, vit. A,
B12, B6, C, dan D; Ca,
Fe, tanpa flourida
Mengandung vit. A, D, NHIS 1986
E, C, B6, B12, B1, B2,
niasin, asam folat, Ca,
P, I, Fe, dan Mg
Kombinasi antara beberapa Tidak didefinisikan NHANES 1999-2000,
vitamin dan mineral dengan NHANES 2001-2002
produk lain Minimal mengandung NHIS 1986
1 vitamin dan 1 mineral
ditambah bahan lain

Multivitamin
Multivitamin, gabungan Tidak didefinisikan NHANES I, II, III;
beberapa vitamin NHIS 1987, 1992,
2000; CSFII
≥ 2 vitamin NHANES 1999-2000
Tanpa mineral, NHIS 1986
dengan vit. A, D, E, C,
B6, B12, B1, B2, asam
folat, dan niasin
Multivitamin dengan vit. C Harus mengandung NHANES III
vit. C, B1, B2, niasin,
vit. A, dan vit. D

Multimineral
Multimineral Tidak didefinisikan NHANES III,
NHANES 2001-2002
≥ 2 mineral tanpa NHANES 1999-2000
vitamin
Tidak mengandung NHIS 1986
vitamin dan Ca, P, I,
Fe, dan Mg
Kombinasi mineral Tidak mengandung NHIS 1986
vitamin, Ca, P, I, Fe, Mg,
mengandung ≥ 2 mineral
Sumber: Yetley (2007) dari beragam sumber
Ket.: CSFII, Continuing Survey of Food Intakes by Individuals; NHANES, National Health and
Nutrition Examination Survey; NHIS, National Health Interview Survey
21

DRI terdiri atas empat komponen, yaitu (Institute of Medicine 2000):


1. Estimated Average Requirement (EAR)
EAR adalah rata-rata level intik zat gizi harian yang diduga memenuhi
kebutuhan zat gizi dari setengah populasi sehat pada kelompok umur dan jenis
kelamin tertentu
2. Recommended Dietary Intake (RDA)
RDA (di Indonesia disebut angka kecukupan gizi yang dianjurkan/AKG)
adalah level intik zat gizi harian yang cukup (sufficient) untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi bagi hampir semua (97-98%) penduduk sehat pada
kelompok umur dan jenis kelamin tertentu
3. Adequate Intake (AI)
AI adalah rekomendasi intik zat gizi harian yang didasarkan pada berbagai
pendekatan atau pendugaan yang diperoleh melalui pengamatan atau
eksperimen tentang intik zat gizi kelompok penduduk sehat tertentu yang
diasumsikan telah mencukupi kebutuhan gizinya
4. Tolerable Upper Intake Level (UL)
UL adalah suatu angka paling tinggi dari suatu zat gizi yang bila dikonsumsi
dalam jumlah tersebut setiap hari tidak menimbulkan efek yang
membahayakan kesehatan. Namun, UL bukan level intik zat gizi yang
dianjurkan karena tidak ditemukan manfaat yang dapat diperoleh seseorang
yang tampak sehat jika mengkonsumsi zat gizi melebihi RDA atau AI. Jika
intik meningkat di atas UL, maka potensi resiko efek negatif terhadap
kesehatan akan meningkat.
Kecukupan gizi (AKG dan RDA) serta UL zat gizi dalam suplemen yang
digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
22

Tabel 6 Kecukupan gizi, UL, dan batas maksimum BPOM vitamin dan mineral
yang digunakan dalam suplemen penelitian
Zat gizi Satuan AKG* RDA* UL* Batas maks.
19-29 th 30-49 th 19-30 th 31-50 th 19-30 th 31-50 th BPOM*
Vitamin
C mg 75 75 75 75 2000 2000 1000
E mg 15 15 15 15 1000 1000 400 UI
A g RE 500 500 700 700 3000 3000 1500
B6 mg - - 1,3 1,3 100 100 100
Asam folat g 400 400 400 400 1000 1000 800
B12 g 2,4 2,4 2,4 2,4 ND ND 200
D g 5 5 5+ 5+ 50 50 400 UI
Mineral
Zn mg 9,3 9,8 8 8 40 40 30
Se g 30 30 55 55 400 400 200
Cu g - - 900 900 10000 10000 3000
Fe mg 26 26 18 18 45 45 30
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004); Institute of Medicine (1997, 1998, 2000,
2001); Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2004)
Ket.: *AKG: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan, RDA: Recommended Dietary Allowance,
UL: Tolerable Upper Intake Levels, BPOM: Badan Pengawas Obat dan Makanan, ND: not
determined
+
AI: Adequate Intake

Dalam Hathcock et al. (2005), menurut Food and Nutrition Board (2000)
safety (aman) didefinisikan sebagai tidak adanya resiko kesakitan atau kepastian
tidak adanya bahaya. Batas aman intik tidak sama pada semua kelompok umur.
Zat gizi yang pada batas tertentu masih aman dikonsumsi oleh suatu kelompok
umur belum tentu aman bagi kelompok lainnya. Selain itu, adanya kemungkinan
bahaya dari mengkonsumsi suplemen multivitamin-mineral yang telah sesuai
dengan AKG bergantung pada keseluruhan konsumsi makanan (Mulholland &
Benford 2007).

Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan
(utilization) zat gizi makanan (Riyadi 2001). Metode penilaian status gizi
dibedakan menjadi dua pengukuran, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak
langsung. Pengukuran secara langsung meliputi antropometri, biokimia, klinik,
dan fisik. Sedangkan pengukuran secara tidak langsung meliputi survei konsumsi,
statistik vital, dan faktor ekologi (Jelliffe DB & Jelliffe EFP 1989).
23

Supariasa et al. (2002) menyatakan, pengukuran status gizi yang paling


sering digunakan dalam masyarakat adalah antropometri. Gibson (2005)
menambahkan, pengukuran antropometri sering digunakan dalam penilaian status
gizi terutama bila terjadi ketidakseimbangan kronik antara asupan energi dan
protein.
Pengukuran antropometri semakin banyak digunakan karena memiliki
beberapa keunggulan yaitu: prosedurnya sederhana, aman, dapat digunakan pada
ukuran sampel yang besar; alat yang digunakan tidak mahal, dapat dibawa
kemanapun dengan mudah, dan tahan lama; pengukuran dapat dilakukan oleh
petugas yang relatif tidak ahli; ketepatan data yang diperoleh cukup tinggi (jika
prosedur pengukuran sesuai dan diukur oleh tenaga terlatih); dapat memberikan
informasi riwayat gizi pada masa lalu; dapat digunakan untuk mengidentifikasi
semua tingkatan kurang gizi; dapat dipakai untuk mengevaluasi perubahan status
gizi dari waktu ke waktu atau dari satu generasi ke generasi berikutnya; dan dapat
digunakan untuk tes screening pada seseorang yang beresiko tinggi menderita gizi
kurang ataupun gizi lebih (Gibson 2005).
Pada orang dewasa, penilaian status gizi dengan antropometri dapat
ditentukan menggunakan indeks massa tubuh (IMT). Penggunaan metode ini
didasarkan karena tinggi badan orang dewasa relatif tetap, tidak terpengaruh oleh
keadaan kesehatan dan relatif tidak berpengaruh pada kebutuhan energi dan
protein (FAO/WHO/UNU 1985).

Status Kesehatan
Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang.
Salah satu pengukuran yang dapat digunakan untuk menilai situasi kesehatan
seseorang adalah dengan pengukuran tekanan darah. Tekanan darah dibedakan
menjadi dua, yaitu sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik menunjukkan
besarnya tekanan pada dinding pembuluh darah pada saat jantung berkontraksi
(berdenyut), atau besarnya tekanan tertinggi pembuluh darah pada satu waktu
tertentu. Sedangkan tekanan darah diastolik menunjukkan besarnya tekanan pada
dinding pembuluh darah pada saat otot jantung rileks diantara dua denyutan.
24

Tekanan darah diastolik merupakan tekanan terkecil dalam pembuluh darah pada
satu waktu tertentu (Purwati et al. 2002).
Budiman (1999) menyatakan, tinggi rendahnya tekanan darah ditentukan
oleh dua faktor, yaitu curah jantung dan tekanan resistensi pembuluh darah.
Tingginya tekanan sistolik dihubungkan dengan besarnya curahan jantung,
sedangkan tingginya tekanan diastolik berhubungan dengan besarnya resistensi
perifer. Tekanan darah selalu berubah tergantung waktu dan keadaan seseorang.
Tekanan darah dapat meningkat secara tiba-tiba ketika seseorang berada dalam
keadaan emosi atau sakit, gelisah, temperatur dingin, dan tertekan mental.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi secara luas didefinisikan dalam dua
kategori, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Sejauh ini, hipertensi
primer merupakan jenis hipertensi yang paling umum ditemukan. Hipertensi
primer merupakan kecenderungan genetik yang dicirikan oleh rendahnya
pengaturan tekanan darah, sedangkan hipertensi sekunder merupakan keadaan
yang diakibatkan oleh adanya penyakit tertentu yang menyebabkan meningkatnya
tekanan darah sebagai gejala penyakit atau efek samping. Penyebab utama
hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal yang menyebabkan ketidakberfungsian
ginjal dan mengakibatkan rendahnya pengaturan tekanan darah. Faktor lain yang
mempengaruhi hipertensi primer ataupun sekunder adalah merokok, makanan,
tingkah laku yang menetap, dan obesitas (Wildman & Medeiros 2000).

Ginjal dan Fungsinya di Dalam Tubuh


Manusia memiliki sepasang ginjal yang berwarna kemerah-merahan dan
bentuknya menyerupai kacang merah. Sepasang ginjal ini terletak di atas
pinggang, diantara parietal peritonium dan dinding posterior abdomen. Rata-rata
ginjal orang dewasa memiliki panjang 10-12 cm, lebar 5-7,5 cm, dan tebal 2,5 cm
(Tortora & Anagnostakos 2002). Ginjal memiliki beragam fungsi penting, dimana
fungsi yang terpenting adalah mengatur konsentrasi air dan keseimbangan ion-ion
anorganik dalam tubuh. Fungsi lainnya adalah mengeluarkan produk sisa
metabolisme serta zat-zat kimia asing dari darah dan mengekskresikannya melalui
urin. Selain itu, ginjal juga berperan dalam glukoneogenesis yang terjadi selama
periode puasa yang panjang, dimana ginjal mensintesis glukosa dari asam amino
25

dan prekursor lainnya. Ginjal juga mensekresikan beberapa hormon, diantaranya


eritropoietin yang mengatur produksi eritrosit, renin yang mengatur pembentukan
angiotensin (mempengaruhi tekanan darah dan keseimbangan natrium), dan 1,25-
dihidroksivitamin D3 yang mempengaruhi keseimbangan kalsium (Vander et al.
2001).
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron, dimana kedua ginjal
bersama-sama mengandung sekitar 2.400.000 nefron. Pada dasarnya, nefron
terdiri dari dua bagian, yaitu (1) suatu glomerulus, tempat cairan difiltrasikan; dan
(2) suatu tubulus panjang, tempat cairan yang difiltrasikan tersebut diubah
menjadi urina dalam perjalanannya ke pelvis ginjal. Fungsi dasar nefron adalah
untuk membersihkan atau menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak
dikehendaki ketika mengalir melalui ginjal. Zat-zat yang harus dikeluarkan
terutama adalah produk akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
Selain itu, banyak zat lain seperti ion natrium, ion kalium, ion klorida, dan ion
hidrogen yang terdapat dalam jumlah berlebihan di dalam tubuh yang harus
dikeluarkan; nefron inilah yang juga berfungsi untuk membersihkan plasma dari
kelebihan zat-zat tersebut (Guyton 1995).
Mekanisme utama nefron membersihkan plasma dari zat-zat yang tidak
dikehendaki adalah: (1) menyaring sebagian besar plasma yang biasanya kira-kira
seperlima dari jumlah plasma melalui membran glomerolus ke dalam tubulus
nefron; (2) ketika cairan yang difiltrasi ini mengalir melalui tubulus tersebut, zat-
zat yang tidak dikehendaki tidak direabsorpsi, sedangkan zat yang dikehendaki
terutama air dan banyak elektrolit direabsorpsi kembali ke dalam plasma kapiler
peritubulus. Jadi, bagian yang dikehendaki dari cairan tubulus dikembalikan ke
dalam darah, sedangkan bagian yang tidak dikehendaki keluar ke dalam urina
(Guyton 1995). Pada Tabel 7 dapat dilihat kandungan zat-zat kimia di dalam
plasma, filtrat, dan urin dalam periode 24 jam.
26

Tabel 7 Kandungan zat-zat kimia dalam plasma, filtrat, dan urin dalam periode
24 jama
Zat kimia Plasmab Filtrat (segera Diserap kembali Urin
setelah melalui dari filtratd
kapsul glomerular c
Air 180.000 ml 180.000 ml 178.500 ml 1.500 ml
Protein 7.000-9.000 10-20 10-20 0e
Klorida (Cl-) 630 630 625 5
Sodium (Na+) 540 540 537 3
Bikarbonat 300 300 299,7 0,3
Glukosa 180 180 180 0
Urea 53 53 28 25
Potassium (K+) 28 28 24 4
Asam urat 8,5 8,5 7,7 0,8
Kreatinin 1,5 1,5 0 1,5
Sumber: Tortora dan Anagnostakos (2002)
Ket.: aSemua nilai, kecuali air dinyatakan dalam gram. Zat-zat kimia disusun secara berurutan dari
konsentrasi tertinggi ke konsentrasi terendah dalam plasma
b
Zat-zat ini sebelum difiltrasi terdapat dalam glomerular plasma darah
c
Zat-zat ini meninggalkan plasma darah glomerular melalui membran endotelial capsular
sebelum direabsorpsi
d
Zat-zat ini telah difiltrasi
e
Meskipun protein dalam jumlah sedikit (170-250 g) terdapat di dalam urin, dianggap
semuanya direabsorpsi dari filtrat

Fungsi ginjal dapat terganggu oleh adanya penyakit atau keadaan patologis.
Untuk melihat kenormalan fungsi ginjal, salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah dengan melihat kadar urea dan kreatinin dalam darah. Urea merupakan zat
sisa dari katabolisme protein. Di dalam darah, kadar urea bervariasi tergantung
pada beberapa faktor, seperti intik protein dalam diet, katabolisme protein, dan
kemampuan hati mensintesa urea. Sedangkan kreatinin adalah salah satu produk
akhir metabolisme kreatin otot. Kadar kreatinin darah lebih tetap bila
dibandingkan dengan kadar urea karena sedikit sekali dipengaruhi oleh intik
protein dalam diet. Kadar kreatinin hanya dipengaruhi oleh faktor endogen, yaitu
pemecahan kreatin di otot (Suryaatmadja & Sosro 1990).

Anda mungkin juga menyukai