Anda di halaman 1dari 4

Nama : Novasari Ayu Pertiwi Putri

Tugas

1. Mengapa pada kasus ini pasien dalam teknik SAB digunakan spinokain

27, apakah ada alasan khusus ?

Jawab :

Pada kasus ini digunakan spinocain no.27, pada dasarnya pemilihan

jarum spinal tergantung usia pasien,resiko komplikasi, kebiasaan ahli

anestesiologi dan biaya. Pada umumnya ahli anestesiologi akan

menggunakan jarum spinal dengan ukuran sekecil mungkin misalnya

ukuran 25,27,29. Hal ini untuk menghindari kebocoran LCS yang lebih

luas pada durameter jika menggunakan jarum yang besar seperti ukuran

20-22. Semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin tinggi

kemungkinan terjadi komplikasi yaitu sakit kepala pascaspinal anestesi.

2. Apakah pada kasus ini bisa digunakan teknik regional anestesi blok saraf

perifer ?

Jawab :

Blok saraf perifer merupakan teknik anestesi yang cocok untuk operasi

superfi sial pada ekstremitas. Keuntungan blok saraf perifer adalah tidak

menganggu kesadaran dan refl eks saluran napas atas. Teknik ini

menguntungkan bagi pasien penyakit pulmoner kronik, gangguan jantung

berat, atau gangguan fungsi ginjal. Akan tetapi pencapaian efek anestetik

yang adekuat pada teknik ini kurang dapat diprediksi sehingga dapat

mempengaruhi jalannya operasi. Keberhasilan teknik blok ini sangat


dipengaruhi oleh keterampilan petugas/dokternya. Pasien juga harus

kooperatif untuk mendapatkan hasil blok saraf perifer yang efektif.

Pada kasus ini bisa dilakukan regional anestesi blok saraf perifer, namun

pemilihan teknik anestesi kita lihat dari kondisi dan kenyamanan pasien .

Apabila pasien kooperatif untuk tindakan blok saraf perifer maka kita

dapat menggunakan teknik ini.

3. Apa alasan yang menyebabkan pada kasus ini menjadi PS ASA II selain

obesitas ?

Jawab :

status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).

 PS ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

 PS ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

 PS ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas.

 PS ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman kehidupan setiap saat.

 PS ASA V : Pasien sekarat yg diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pada kasus ini pasien termasuk kategori obesitas. Dimana pada obesitas

terdapat beberapa resiko saat pembedahan seperti peningkatan resiko

↑aspirasi lambung, ↑ konsentrasi Gula darah, infark miokard pada periode

iskemia miokard, dan Kegagalan napas yang dapat berbahaya bagi pasien.

Oleh karena itu pada kasus ini digolongkan menjadi PS ASA II.
4. Bagaimana cara mencegah terjadinya sindrom kompartemen pada kasus

ini ?

Jawab :

Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi

peningkatan tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan

penekanan terhadap saraf, pembuluh darah dan otot di dalam kompartemen

osteofasial yang tertutup.Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan

interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti

dengan kematian jaringan.

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan

lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan

aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.

Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan

menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan

tekanan terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah

meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler,

menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam

kompartemen semakin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya

akan menimbulkan nyeri hebat. Bila terjadi peningkatan intrakompartemen,

tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan

berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti,

Sehingga terjadi hipoksia jaringan ( pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka
terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan

ireversibel komponen tersebut.

Pada kasus ini dengan penggunaan SAB yang memiliki efek hipotensi

pada pasien yang dapat menyebabkan penurunan aliran darah yang juga

akan mengganggu suplai oksigen keseluruh tubuh yang ditakutkan akan

menyebabkan hipoksia dan dapat terjadi kompartemen sindrom. Untuk itu

selama operasi dilakukan pemantauan dan pemberian obat anestesi untuk

menaikkan tekanan darah menajdi normotensi. Ada beberapa cara untuk

mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal anestesi adalah dengan

pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL) dan atau obat

vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin merupakan

vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat

yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin

adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang

menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan

melepaskan nor-epinefrin endogen.

Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut

jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran

darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan

otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus

intravena, dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin

diberikan secara bolus IV 5-10mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi

spinal.

Anda mungkin juga menyukai