Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 M., pemikiran modern dalam Islam
muncul di kalangan para pemikir Islam yang menaruh perhatian pada kebangkitan
Islam setelah mengalami masa kemunduran dalam segala bidang sejak jatuhnya
kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M. akibat serangan Hulagu
yang meluluhlantakan bangunan peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan
mercusuar peradaban dunia.
Islam sebagai Agama Samawi mempunyai konsep universal, konsep ini
meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua
jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang
sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau
kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa
dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan
dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian,
tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk
menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan perkembangan
sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan
semua zaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Universalisme Islam menuntut akan adanya aktualisasi nilai-nilai Islam
dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya
menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman. Hakikat Islam
yang rahmatan li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat
jaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya pencapaian cita-cita kerahmatan dan kesemestaan sangat
tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk
mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan
bahwa keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal

1
justru karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan
etika modernisasi.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau
renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam
Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam
kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip
Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan
hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan
tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu.
Banyak hal menarik dalam kajian pemikiran modern dalam Islam, dan
tidak mungkin semua dibahas dalam makalah ini, untuk itu penyusun hanya akan
membahas hal – hal yang telah penyusun batasi dalam rumusan masalah saja.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian dan latar belakang pemikiran modern Islam
2. Bagaimana profil dari tokoh-tokoh pemikir modern Islam
3. Bagaimana sumber pemikiran dari para pemikir modern Islam
4. Bagaimana pengaruh pemikiran modern Islam
5. Bagaimana kritik-kritik terhadap pemikiran modern Islam

1.3. Tujuan Penulisan


6. Mengetahui pengertian dan latar belakang pemikiran modern Islam
7. Mengidentifikasi profil dari tokoh-tokoh pemikir modern Islam
8. Memahami sumber pemikiran dari para pemikir modern Islam
9. Mengetahui pengaruh pemikiran modern Islam
10. Mengetahui kritik-kritik terhadap pemikiran modern Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemikiran Modern Islam


Kata-kata “modern”, “modernisme”, “modernisasi”, seperti kata lainnya
yang berasal dari Barat, telah dipakai dalam bahasa Inggris. Dalam masyarakat
Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha
untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain
sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan
keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai
warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.
Pikiran dan aliran itu muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M., suatu
masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai “The Age of Reason” atau
“Enlightenment”, yakni masa pemujaan akal.1(Nurcholis Majid :1987)
Istilah modernisasi dalam terminologi Islam sering disebut sebagai ahli
“tajdid” yang secara sederhana berarti “pembaruan” (renewal) atau islah, yakni
“perbaikan” (reform). Terlepas dari perbedaan-perbedaan kecil diantara tajdid dan
islah, keduanya mengandung esensi yang sama, yaitu kajian dan refleksi ulang
atas pemahaman, interpretasi terhadap Islam, dan cara kerja lembaga-lembaga
Islam untuk menemukan pemahaman, interpretasi baru, dan lembaga-lembaga
Islam yang lebih relevan dan kontekstual dengan situasi dan tantangan
kontemporer.2 (Jalaludin Rakhmat : 2001) Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai
“pembaharuan”, dan islah sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara
bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya
menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam
komunitas kaum muslimin. Kemudian juga muncul berbagai istilah yang
dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme,
reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme.

1
Nurcholis Majid. 1987. Islam, Kemoderenan dan keindonesiaan. Bandung: Mizan. Hlm. 172-
173.
2 Jalaludin Rakhmat, et.al, “Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu

sampai Guru Bangsa”, Cet. Ke-I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001), h. 81-82

3
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada
kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid”
(baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya
tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian
Islam kembali.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal
yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa
pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun
merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dogmatis supaya sesuai dengan
selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi
terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta
semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat dipahami bahwa pembaruan
merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial, budaya,
politik, dan ekonomi.3
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan
Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan terknologi modern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan
perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-
paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada
kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan,
situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang
mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin
sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah
menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang
artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap
pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan)
terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
3
M. Yusran Asmuni. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam. Jakarta: Rajawali.

4
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah
mengganti atau mengubah agama, akan tetapi – seperti dijelaskan oleh Abbas
Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan
memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan
hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti
sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh
dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era
kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari
kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah
sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk
menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang
kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala
upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i
dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam
mempunyai 2 bentuk4:
1. Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari
hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu
saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya
mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
2. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan
berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa
“memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau
menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal
itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid
itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah,
akhlak dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah
ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.

4 M. Yusran Asmuni. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam. Jakarta: Rajawali.

5
2.2 Landasan Bagi Pembaharuan Islam
Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini bahwa pembaruan Islam
merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam.
Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa
saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan
pembaruan Islam (tajdid). Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan
bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan
landasan historis.
A. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan
pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan
teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan
Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad Jainuri — bahwa landasan
teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan5, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme
Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin,
memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami
sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh
ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah
(hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama
umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan).
Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka
akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam
bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi
secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku
pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab,
maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada
suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain

5
Achmad Jainuri. 1995. Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, No. 3. Vol. VI Hal.38

6
bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam
bentuk apapun.6
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan
dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun
demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan
secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan
upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan
perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua
bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya
rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak
universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk
menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang
universal —shalih li kulli zaman wa makan— menuntut aktualisasi nilai-nilai
Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari
upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman.
Hakikat Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik
dengan semangat jaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan
kesemestaan sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan
metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih
maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan mengandung muatan
kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan ide
dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan
Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang
rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam
adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang
berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan
diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai

6
Lihat, Nurcholis madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Hal 360-362;
Saiful Mizani, (ed), Islam rasional gagasan dan Pemikiran, frop. Drs. Harun Nasution, Bandung:
Mizan, 1996, Hal. 32-33.

7
suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan
mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. 7 Al-Qur’an adalah
kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada
satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama
juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman
(khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi
setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini
sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi
penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan
berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini
mengacu pada ide bahwa setelah fungsi ke-Nabi-an Muhammad selesai,
secara fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara
dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama
adalah pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan
ulama itulah muncul para mujaddid yang secara fungsional memelihara
dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban
risalah terakhir dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk
agama Wahyu dari Nabi Adam hingga Muhammad melalui para Nabi,
sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara
institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan
tajdid.8
B. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat
al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam
karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan
pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu
lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11,

7
Lihat, Maulana Muhammad Ali, The Religion Of Islam, Cairo: The Arab Writer Publisher &
Printers, t.t, Hal. 3
8
Lihat, Jainuri, Ahmad, Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, No. 3 Vol. VI. Tahun 1995, Hal. 39-40.

8
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum
sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari
situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus
berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun
perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam
masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis
yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap
awal abad seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”.
Menurut Achmad Jainuri9, dikalangan para pakar terdapat perbedaan
interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini
berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan
dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi
dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika
arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami
karena sebagian mereka —yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah
Islam— telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka
belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami
dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting
mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari
adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang
jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks
hadis Nabi.
C. Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan
pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya
berkata: “sami’na wa atha’na”.
Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis
9
Lihat, Jainuri, Ahmad, Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, No. 3 Vol. VI. Tahun 1995

9
menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu
mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari
ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya,
terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat
Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil
mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya
di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang
sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non
agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah
bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian
dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak
kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi
statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa
kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk
yang terdalam pada abad ke XVIII10.
Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam
suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke
abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan
pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga
sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi
asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik.
Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di
dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya11.
Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu
Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami

10
Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994, h. 11
11
Lihat, M. Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam Jhon J Donohue dan Jhon L. Esposito (eds),
Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein. Jakarta: Rajawali
Press, 1993, Hal. ix

10
beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan
konteks waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan
pembaruan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan
pembaharuan pra-modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil
bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan
modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon
Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang
rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan
kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan12.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam
dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern
(mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman
bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah
yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan
tersebut mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus
melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan
mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam,
baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad
XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang
sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah
dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII
M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan
tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam”
terhadap amal ibadah.
Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya.
Shah Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama
dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap

12
Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994, h. 14; Julbadri Idris, Pembaharuan Islam pada masa periode Modern, dalam
Jurnal media Dinamika, No. 29 tahun XIV/ 1998, Hal. 56

11
ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan
pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan
sosial politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi yang
menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum petani,
serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah negara teritorial
di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang bersifat
internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an
dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan
pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan
pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang
dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat);
kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali
doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat,
pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa13.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik
yang sama dengan Era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa
yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat
ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh
lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam
baik pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga
bidang atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali
kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya
ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an
yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam
lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan
teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua
landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid

13
Lihat, Ahmad Jainuri. Hal. 25-26.

12
(pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi
kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

2.3 Tokoh Pemikiran Modern Islam


A. Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab
Latar Belakang dan Biografi Singkat
Semenjak abad ke-13, terutama setelah jatuhnya Baghdad ke tangan
tentara Hulagu, dunia Islam terus-menerus mengalami kemunduran.
Kemunduran tersebut telah mencakup segala bidang, baik bidang intelektual,
sosial, terlebih lagi dalam bidang keagamaan. Pengaruh tarekat berkembang
semakin dalam yang mengakibatkan akidah umat Islam bercampur baur
dengan bid'ah dan khurafat. Tuhan mereka dekati dengan perantaraan syaikh
atau para wali. Umat Islam hidup dalam keadaan jumud, sikap taklid sudah
menyatu dalam kehidupan mereka. Pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
diterima secara umum. Hal ini membuat sebagian umat Islam buta terhadap
ajaran-ajaran Islami yang murni, yakni ajaran-ajaran yang tertera dalam Al-
Qur'an dan Sunnah. Dalam keadaan masyarakat yang seperti ini, pada per
tengahan abad ke-18, di Jazirah Arab muncul satu gerakan yang berusaha
memurnikan ajaran Islam dengan semboyan kembali kepada Islam yang asli
seperti yang dianut dan dipraktikkan di zaman nabi, sahabat serta tabi'in
sampai abad ketiga hijri. Gerakan ini dalam sejarah terkenal dengan nama
"Gerakan al-Wahhab” dan Muhammad ibn Saud wafat, anak-anak mereka
saling berjanji akan meneruskan kerja sama orang tua mereka dan akan bahu
membahu dalam mensukseskan dakwahnya.
Pemikiran dan Dampak
Pemikiran yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd al Wahhab untuk
memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap
suasana politik, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di
kalangan umat Islam di waktu itu.14 Dari pengalamannya berpindah dari satu
kota ke kota lain di dunia Islam, ia melihat bahwa masyarakat sudah jauh
menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kemurnian tauhid mereka sudah

14
Harun Nasution, Op. cit., hlm. 21-22.

13
rusak. Setidaknya ada dua hal yang sudah merusak kemurnian tauhid
masyarakat, yaitu: pengaruh tarekat dan paham animisme.
1. Pengaruh Tarekat
Di kalangan ahli tarekat terdapat keyakinan bahwa guru, syaikh dan
wali adalah pemimpin yang bukan saja mengawasi kehidupan lahir murid-
muridnya, akan tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi.
Ia merupakan perantara ibadah antara murid dengan Tuhan.15 Keyakinan
seperti ini tumbuh semakin kuat dalam masyarakat. Penghormatan kepada
syaikh atau wali menjadi berlebih-lebihan. Syaikh atau wali dipandang
sebagai orang suci yang dapat mendekati Tuhan dan dapat memperoleh
rahmat-Nya. Oleh karena itu, masyarakat pada waktu itu berdoa bukan
langsung kepada Allah, akan tetapi melalui syafa'at syaikh atau wali tersebut.
Kuburan syaikh dianggap keramat. Mereka pergi naik haji dan meminta
pertolongan ke kuburan tersebut. Ada yang meminta diberi anak, diberi
jodoh, disembuhkan dari penyakit dan diberi kekayaan. Pokoknya Tuhan bagi
mereka, sebagaimana dikutip Harun Nasution dari Ahmad Amin, menyerupai
Raja dunia yang zalim yang untuk memperoleh belas kasihan-Nya harus
didekati melalui orang-orang besar dan berkuasa yang ada di sekitarnya.16
2. Paham Animisme
Muhammad ibn Abd al-Wahhab melihat bahwa paham animisme masih
mempengaruhi keyakinan umat Islam. Di setiap tempat yang dikunjunginya,
ia melihat orang Islam menyembah pohon dan benda mati. Di Dira'iyah ada
sebatang pohon korma yang mereka anggap mempunyai kemampuan yang
luar biasa. Orang-orang datang ke pohon tersebut untuk meminta keberkahan.
Di lain tempat ia melihat orang memuja batu besar. Mereka pergi ke tempat
serupa itu untuk meminta pertolongan dalam mengatasi persoalan hidup
mereka.
Oleh karena itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab memusatkan
perhatiannya pada soal tauhid. Tauhid adalah seperti yang telah terpatri dalam

15
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, FA. H.M. Tawi dan Son, Jakarta, 1966, hlm. 59.
16
Harun Nasution, Op. cit. 14 Ahmad Amin, Op. cit., hlm. 40-41; Harun Nasution, Op. Cit. 15
Harun Nasution, Ibid.

14
lafadz la ilaha illallah, yang mengandung arti Allah itu Esa, Dia Pencipta,
dan kita menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Inilah
yang membedakan antara Islam dan bukan Islam.17 Dalam karyanya Kasyf al-
Syubhar, ia mengatakan bahwa tauhid adalah pembenaran di dalam hati,
diucapkan dengan lidah dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang saja
dari tiga unsur di atas, maka seseorang tidaklah termasuk orang Islam. Bila
seseorang mengetahui tauhid, tetapi tidak mengerjakannya dalam
perbuatannya, maka ia termasuk orang kafir dan pembangkang sama seperti
Fir'aun dan Iblis.
Tauhid menurut Muhammad ibn Abd al-Wahhab ada dua macam yaitu
tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah.18 Tauhid rububiyah artinya
mempercayai bahwa Allah sendirian dalam menciptakan alam ini serta tidak
ada yang membantu-Nya dalam mengatur alam, karena Allah tidak
memerlukan bantuan sckalipun dari orang-orang yang dekat dengan-Nya.
Tauhid uluhivah yaitu mempercayai bahwa tidak ada yang disembah kecuali
Allah. Berkaitan dengan paham tauhidnya ini, Muhammad ibn Abd al-
Wahhab mengelompokkan perbuatan umat Islam pada waktu itu kepada dua
kelompok, yaitu perbuatan yang termasuk syirik dan perbuatan yang
termasuk bid'ah. Termasuk kelompok perbuatan syirik ialah:
1. Menyembah selain Tuhan
2. Meminta pertolongan kepada wali, syaikh dan kekuatan gaib
3. Bertawassul dalam berdoa dengan menyebut nama nabi, syaikh atau
malaikat
4. Meminta syafa'at selain dari kepada Tuhan
5. Bernazar kepada selain Tuhan
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur'an dan Sunnah serta qiyas
7. Tidak percaya kepada qada dan qadar
8. Menafsirkan Al-Qur'an dengan takwil...
Adapun hal-hal yang dianggap bid'ah antara lain: ziarah kubur,
membangun, menembok dan memegahkan, serta menutupinya dengan kain

17
Ahmad Amin, Op. Cic., hlm. 10.
18
Ali al-Hafidzah, Al-Ittijahat al-Fikriyah "Inda al-Arab, fi Ashr al-Nahda, Beirur 1798-1914,
hlm. 41

15
sutera dan hiasan lainnya; wanita mengiringi jenazah; mengusap-usap keranda
untuk diambil berkahnya, demikian pula perkumpulan maulid nabi.19
Termasuk juga ke dalam bid'ah adalah berzikir dengan menggunakan tasbih
atau buku-buku jari. Di samping itu merokok dan memakai pakaian dari kain
sutera bagi laki-laki juga termasuk bid'ah, sementara itu mencukur jenggot
merupakan hal yang makruh.20 Perbuatan syirik seperti yang disebutkan di
atas adalah dosa terbesar dan tidak dapat diampuni. Oleh karena itu, orang
syirik boleh dibunuh. Sedangkan bid'ah merusak akhlak seseorang, maka oleh
karena itu semua yang berbau bid'ah harus dihancurkan.
Dalam bidang hukum Muhammad ibn Abd al-Wahhab berpendapat
bahwa hanya Allah sendirilah yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.
Pendapat para fuqaha dalam bidang fikih, dan mutakallimin dalam bidang
akidah, tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama sebab pendapat mereka itu
adalah hasil ijtihad mereka sesuai dengan pemahamannya terhadap nash Al-
Qur'an dan Sunnah.21
Seperti Ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abd al-Wahhab juga
menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup sebagaimana diyakini
masyarakat pada waktu itu. Pintu ijtihad terbuka bagi umat Islam. Taklid dan
patuh kepada pendapat ulama sesudah abad ketiga tidak dibenarkan. Taklid
mengakibatkan masyarakat menjadi statis. Oleh karena itu, siapa saja yang
mampu melakukan ijtihad dapat melakukannya asalkan kembali kepada Al-
Qur'an dan Sunnah.
Pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab mempunyai pengaruh yang
besar pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas.
Pemikirannya yang berpengaruh tersebut adalah:
1. Hanya Al-Qur'an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-
ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.22

19
Harun Nasution, Op. cit., hlm. 23: HAR Gibb dan Kraemers. Op. cit.
20
Ahmad Amin, Op.cit., hlm. 15-16. "H.A.R. Gibb dan Kraemers, Op. cit., hlm. 619.
21
Harun Nasution, Op. cit., hlm. 24; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1789-
1939, (New York: Cambridge University Press, 1991), hlm. 37.
22
Ahmad Amin, Op.cit., hlm. 14-15

16
B. Jamaluddin Al-Afgani
Latar Belakang dan Biografi Singkat
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul,
Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 189723. Tetapi
penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang
bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini
menyebabkan banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut
pemikir pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun
dunia telah terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang
bersangkutan sendiri, dengan sebutan Al-Afghani24. Ia mempunyai pertalian darah
dengan Husein bin Ali melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya
mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di
Mesir. Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia25.
Tahun 1894 ia diangkat menjadi anggota Majelis Tinggi al-Azhar.
Kesempatan yang baik ini dipergunakannya untuk mengadakan perubahan dan
perbaikan yang mendasar dalam lembaga pendidikan tinggi yang dianggapnya
kolot. Lima tahun kemudian (1899) ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan
terhormat ini dijabatnya sampai akhir hayatnya tahun 1905.
Semasa hidupnya banyak menulis buku, majalah, surat kabar, dan brosur-
brosur. Buku-buku yang ditulisnya antara lain: Al-Islam Din al-Ilm wa al-
Madaniah, Al-radd Badi' al-Dahriyah, Risalah al-tawhid, Magamat Badi'i al-
zaman al-Hamdani, Nahj al-Balaghah, Hasyiah 'ala Sharh al-dawani li al-Aqaid
al-Adudiah.
Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara
lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran
qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat
menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam
sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi

23
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), cet ke-2, h. 155, lihat
juga Harus Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 51.
24
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 56.
25
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : Grafindo Persada,
1994), h. 280

17
semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus kembali
kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban
untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis,
dan persatuan umat Islam harus diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai
dengan tuntutan zaman. Ia juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan
pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam
secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia berpendapat tidak ada
sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau
dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan26.
Pemikiran dan Dampak
1. Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan
adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala
negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar27. Pendapat seperti ini baru
dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk
khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi
oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik,
meskipun pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran
Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran
atau pendapat ersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu
bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat
dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa
apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang
dinamis.Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu
sebab kemunduran politis yaitu pemerintah absulot28.
2. Sistem Demokrasi
Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan
berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara untuk bertindak yan

26
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), cet ke-2, h. 155
27
J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 281
28
Ibid, h. 287

18
tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak
pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi29.
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas
dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan
pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh
Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam
pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura
dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman karena
pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan30.
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung
meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat
menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi harus diganti dengan
pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.
Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi menghendaki adanya majelis
perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas memberikan usul dan pendapat kepada
pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk
menghindari agar tidak muncul pemerintahan yang absulot. Ide atau usul para
wakil rakyat yan berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi
pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus yang berpengetahuan dan
berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat yang demikian
membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan melahirkan undang-
undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling
taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan
suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh
melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang
terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu31.

29
Harun Nasution, op. cit., h. 56
30
J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 285
31
John J. Dnohu dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Eksiklopedi Masalah-Masalah
(Terjemahan Machnun Husein), (Jakarta : Rajawali, 1984) h. 25

19
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut Al-Afghani
adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan
rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
3. Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah
merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme.
Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam
dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu
menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat
Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama
dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam32.
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia
menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan
permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan
kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan
kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama.
Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah,
dapat dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan
supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah
bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi
umum dari kedua sekte tersebut.
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat
Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang
dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas.
Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat
Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang
atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara
persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui adanya kepala
negara di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-
Islamismenya Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan
umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para

32
J. Suyuthi Pulungan, op. cit., h. 294

20
pengusaha muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme barat
serta mewujudkan keadilan33.
Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama,
bukan ikatan teknik atau rasial. Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana
datangnya, walau pada mulanya kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku
dan bangsa lain seagama selagi ia masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu
hendaknya dipilih dari orang-orang yang paling taat dalam agamanya, bukan
karena pewarisan, kehebatan sukunya atau kekayaan materialnya, dan disepakati
oleh anggota masyarakatnya34.
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal
dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat
Islam sedunia. Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya ini tidak
berhasil.

C. Muhammad Abduh
Latar Belakang dan Biografi Singkat
Abduh lahir di Mesir pada tahun 1849 M, ayahnya bernama Abdul Hasan
Khoirullah yang berasal dari Turki, dan ibunya seorang Arab yang silsilahnya
sampai kepada suku Umar Bin Khatab. Abduh termasuk anak yang cerdas,
meskipun ia bersal dari keluarga petani miskin di Mesir. Sejak kecil ia tekun
belajar dan melanjutkan studinya di al Azhar.
Sebagai rektor al-Azhar, ia memasukkan kurikulum filsafat dalam pendidikan
di al-Azhar, upaya ini dilakukan untuk mengubah cara berpikir orang-orang al-
Azhar. Akan tetapi usahanya ini mendapat tantangan keras dari para syekh al
Azhar lainnya yang masih berpikiran kolot. Oleh karena itu, usaha pembaharuan
yang dilakukan lewat pendidikan di al-Azhar tidak berhasil.
Meskipun begitu, ide-ide pembaharuan yang dibawa Abduh, memberikan
dampak positif bagi perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Selain sektor
pendidikan, proyek pembaharuan Abduh menurut professor sejarah Islam di
University of Massachuussets adalah politik dan ranah social keluarga yaitu peran
wanita. Disamping itu, Murodi dalam tulisannnya menambahkan analisisnya
33
Ibid.
34
Ali Mufrodi, op.cit, h. 159

21
bahwa ide-ide pemikiran Abduh diantaranya adalah: pembukaan pintu ijtihad /
penghargaan terhadap 'akal' (Rasionalitas), kekuasaan Negara harus dibatasi oleh
konstitusi dalam pengelolaan negara, memodernisasikan sistem pendidikan Islam
di al Azhar.
Menurut Muhammad Abduh, penyebab kemunduran umat Islam pada akhir
abad pertengahan adalah sikap jumud. Dalam sikap ini mengandung arti keadaan
membeku, statis, berpegang teguh pada adat. Karena dipengaruhi sikap jumud
umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan.
Timbulnya sikap jumud berawal dari tradisi orang-orang non Islam yang
kemudian masuk Islam dengan tetap membawa adat istiadat dan paham-paham
animistis. Kelompok ini besar pengaruhnya terhadap umat Islam yang mereka
perintah. Di samping itu, raja-raja dari Dinasti Mamluk menghindari ilmu
pengetahuan.
Pemikiran dan Dampak
Sebelum merinci ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad
Abduh, perlu diketahui dulu pokok yang mendasari pemikiran pembaharuannya,
pokok pemikirannya sangat berkaitan dengan corak teologi yang dianutnya.
Mengetahui corak teologinya yang pasti penting untuk mengetahui relevansi
pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan zaman kemajuan ilmu pengetahuan
pada masanya.
Para penulis terdahulu berbeda pendapat dalam menilai corak teologi mana
yang dianut Muhammad Abduh. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Harun
Nasution, menunjukkan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional,
dekat kepada teologi Mu'tazilah yang mempercayai hukum alam. Sedangkan
dalam menempatkan fungsi dan kemampuan akal orang khawis lebih tinggi
ketimbang Mu'tazilah. Kecenderungan Muhammad Abduh kepada teologi
Mu'tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Hasyiah Ala
Syarh al-Aqaid al-Dawanili al-Adudiah yang diterbitkan oleh Al-Matba'ah al-
Khairiyah di Kairo tahun 1905. Buku tersebut dicetak ulang tahun 1958 dengan
kata pengantar dari Sulaiman Dunya dari al-Azhar dengan judul Pengantar
Muhammad Abduh bain al-Falsafah wa al-Kalamiah. Dalam buku tersebut
terdapat komentar terhadap paham-paham al Asy'ari, komentar itu

22
menggambarkan pemikiran Mu'tazilah.
Dengan teologi rasional itulah ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh
mempunyai ruang gerak yang lebih luas. di bawah sikap rasional dan paham
kebebasan manusia ide pembaharuannya bercorak dinamis, dan mempunyai arti
penting bagi kemajuan umat Islam pada zaman modern. Dengan kata lain,
gagasan utama pembaharuannya berangkat dari asumsi dasar bahwa semangat
rasional harus mewarnai sikap pikir masyarakat dalam memahami ajaran Islam.
Jika semangat ini telah dapat ditumbuhkan, kecenderungan taklid dan menutup
pintu ijtihad dapat dikikis.

D. Muhammad Rasyid Rida


Latar Belakang dan Biografi Singkat
Rasyid Ridho dilahirkan di al Qalamun, di pesisir laut Tengah, pada tanggal
23 September 1865 M. Pendidikan bermula di madrasah al Kitab al Qalamun,
kemudian di madrasah ar Rasyidiah di Tropoli. Selanjutnya beliau melanjutkan
pendidikan tingginya di al Azhar 1898 M dan berguru pada Muhammad Abduh.
Diantara pembaharuannya adalah: pembaharuan dalam bidang agama, social,
ekonomi, memberantas khurafat dan bid'ah. Serta paham-paham yang dibawa
tarekat.
Adapun ide-ide pembaharuannya adalah: menumbuhkan sikap aktif dan
dinamis di kalangan umat, mengajak untuk meninggalkan sikap fatalisme
(jabariyah), rasionalitas dalam penafsiran al Qur'an dan Hadis, penguasaan sains
dan tekhnologi, pemberantasan khurafat dan bid'ah, serta pemerintahan yang
bersistem khalifah.
Pemikiran dan Dampak
Rasyid Rida berpendapat bahwa bid'ah itu hanya bisa tumbuh subur pada
lahan taklid yang pengikutnya senantiasa mematuhi setiap seruan, dan ia tidak
bisa tumbuh di lahan kemerdekaan berpikir dan penuntutan dalil atau bukti. Dari
pintu taklid itu akan masuk berbagai macam khurafat dan tahayul kepada kaum
muslimin. Bid'ah yang paling berbahaya menurutnya ajakan untuk mengikuti
imam yang bersifat ma'sum. Yang sama sekali tidak boleh ditanya tentang dalil
dan bukti dari apa yang diucapkannya. Bid'ah semacam ini bertentangan dengan

23
ketetapan para imam ahlussunnah sendiri yang melarang sama sekali mengikuti
salah seorang imam dalam urusan agama lantaran pribadi sang imam itu sendiri
dan anggapan ia ma'sum. Kaum muslimin generasi salaf, sebelum mazhab-
mazhab dilembagakan, terdiri dari golongan awam dan golongan yang cemerlang
akalnya, tapi kedua golongan ini berpedoman kepada Al-Qur'an dan Hadis.
Rasyid Rida dengan tegas menolak semua aliran yang merusak agama, aliran
keagamaan Bahaiyyah, gadyaniyyah, aliran pemuja kuburan dan seluruh pencipta
bid'ah; akan tetapi dia tidak meninggalkan mazhab, tidak menyalahi ijma' para
ulama, dan tidak membeda bedakannya.
Taklid yang menjadi lahan subur pertumbuhan bid'ah itu merupakan akibat
dari sikap jumud dalam mengikuti jejak dan kebiasaan orang lain termasuk nenek
moyang, sikap ini bukanlah sikap orang yang hidup dan berakal, sebab yang
namanya hidup mesti tumbuh dan berkembang, sedangkan akal menurut
tambahan ilmu dan pembaharuan. Di samping itu, taklid menunjukkan pelakunya
(muqallid) sudah kehilangan ciri-cirinya yang istimewa sebagai manusia, yaitu
kemampuan membedakan antara yang hag dan batil, antara baik dan buruk,
berdasarkan akal dan ilmu tentang petunjuk dalam beramal.
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran yang sebenar nya, bersih dari
segala bid'ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadah dan
muamalah. Ibadah kelihatan berat karena telah bertambah padanya hal-hal yang
bukan wajib, tapi sebenarnya hanya sunnat. Mengenai hal-hal yang sunnat itu
terdapat perbedaan pendapat. Dalam soal muamalat, hanya dasar dasar yang
diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan
pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukan.
Hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan
pada Al Qur'an dan Sunnah, tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah.
Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul. Di
sinilah letaknya tuntutan adanya sikap dinamika yang berupa ijtihad bagi yang
mampu, bagi yang tidak mampu diharapkan ittiba'.
Rasyid Rida berpendirian bahwa anggapan orang-orang yang mengatakan
bahwa para Nabi dan orang-orang shalih bisa bertindak pada alam dengan
menyalahi sunnatullah adalah anggapan ngawur tanpa dasar ilmu, membawa-

24
bawa nama Allah, mengatasnamakan firman-Nya, membuat syariat atau hukum
baru yang sama sekali tidak diizinkan Allah. Kepercayaan seperti ini adalah
bentuk kufur yang paling hebat dan berat, sebab dapat menjalar, yaitu
menyesatkan manusia dengan kepercayaan yang salah yang akan diikuti sebagai
tindak lanjutnya dengan ibadah yang salah pula, yakni ibadah yang tidak
disyariatkan Allah.” Rasyid Rida berpendapat tentang cara menyembuhkan orang
orang musyrik dalam beribadah kepada Allah karena tidak tahu akan ayat-ayat-
Nya dan karena taklid buta mengikuti orang orang bodoh sehingga mempercayai
khurafat, tidak lain harus dengan mengajarkan tauhidullah yang murni, baik
tauhid rububiyah maupun tauhid 'ubudiyah. Mengajar tauhid langsung dengan
ayat-ayat Al-Qur'an, bukan dengan teori dari kitab-kitab ilmu kalam. Di samping
itu, mereka harus diajari tentang tugas para rasul, mengerti bahwa para rasul itu
manusia biasa, yang oleh Allah secara khusus diberi wahyu, yakni agama yang
diridhai-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, baik melalui ucapan
maupun melalui perbuatan. Dalam mengajar dan membimbing manusia, para rasul
dibatasi dengan hanya menyampaikan khabar gembira, memperingatkan dengan
ancaman dan melaksanakan hukum-hukum agama-Nya di antara manusia dengan
cara yang adil dan sama. Allah sama sekali tidak memberikan kuasa kepada para
rasul untuk dapat bertindak memerintah makhluk lain, mereka tidak kuasa
memberi hidayah sekalipun kepada manusia yang paling dekat dan yang paling
dicintai, seperti orang tuanya, anaknya, istri dan kerabatnya.
Dari kenyataan di atas, nampaknya Rasyid Rida menginginkan pemurnian
akidah dari berbagai macam khurafat dan bid'ah; sedangkan dalam hal syari'at ia
berkeinginan implikasi pelak sanaan ibadah dari macam-macam amalan sunnat
yang seakan menjadi wajib. Juga berkeinginan agar umat Islam kembali kepada
sumber aslinya. Al-Qur'an dan Sunnah Nabi dan tidak hanya mengikut buta
kepada ulama, terutama bagi yang mampu dan punya persyaratan.
Ide Kesatuan Kemanusiaan
Rasyid Rida menginginkan perbaikan umat manusia di bidang sosial,
politik dan kebangsaan dengan delapan macam kesatuan, yaitu; Kesatuan Umat,
Bangsa, undang-undang, Persaudaraan dan Persamaan Ibadah, Kewarganegaraan,
Pengadilan dan Kesatuan Bahasa. Tatkala Islam datang, umat manusia telah

25
berkelompok kelompok dalam beraneka ras, golongan, warna kulit, bahasa,
bangsa dan suku bangsa, aliran, agama, undang-undang dan politik. Antara satu
kelompok dengan kelompok yang lainnya saling bermusuhan bahkan sampai
saling bunuh lantaran perbedaan latar belakang dan tiada kesamaan ikatan
kemanusiaan, meskipun ada sedikit persamaan dalam hal-hal tertentu. Di waktu
itulah muncul Islam dengan seruan lantang yang ditunjukkan kepada seluruh umat
manusia, seruan yang mengajak mereka ke dalam "Kesatuan Kemanusiaan" yang
menyeluruh dan terpadu, bahkan dia mewajibkan persatuan itu dan melarang
berpecah belah, bermusuhan." Islam melarang permusuhan dan perpecahan di
kalangan kaum muslimin, baik yang timbul lantaran adanya perasaan terikat
dengan kelompok, negara atau wilayah tempat tinggalnya, yang bertentangan
dengan persaudaraan atas dasar keagamaan, ukhuwah diniyah, kecuali mereka
yang menentang yang harus diperangi. Islam melarang bekerja sama dalam
perbuatan dosa, untuk mencari teman, pengikut atau tanah air. Di sini jelas bahwa
Rasyid Rida tidak sejalan dengan konsep nasionalisme bahkan
mengharamkannya, dan dia sejalan dengan konsep Pan Islamisme.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan
gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern
berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk
selanjutnya dibawa pada kemajuan. Akan tetapi di sebagian umat Islam
tradisional hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa
yang di maksud dengan pembaharuan Islam.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan mengubah
Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut selera orang yang
memahaminya atau mencocokan-mencocokan makna Al-Quran dan Hadits
dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga Al-
Quran dan Hadits semacam setempel yang melegitimasi segala perbuatan yang
dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan
dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak
orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan
Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh
sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau dikusi dengan
para tokoh Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan
kaum tradisional. Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir
serta bertindak dengan tuntutan zaman.Sedangkan modernisasi adalah pergeseran
sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan
tuntutan hidup masa kini.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan
umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah. Hal ini
perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Quran
dengan kenyataan yamg terjadi di masyarakat. Al-Quran misalnya mendorong
umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta

27
teknologi secara seimbang; hidup bersatu, rukun, dan damai sebagai suatu
keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka,
menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan
lain sebagainya. Namun kenyatan umatnya menunjukan keadan yang berbeda.
Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama
sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup
dalam keadan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling
bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehandak untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang
menghargai waktu, kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan
hidup umat demikian jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan
hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran
Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung
maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan
petunjuk Al-Quran dan Sunnah.

3.2 Saran
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena
itu kritik dan saran sangat diharapkan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.

28
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat, FA. H.M. Tawi dan Son, Jakarta,
1966,

Al-Hafidzah, Ali. Al-Ittijahat al-Fikriyah "Inda al-Arab, fi Ashr al-Nahda, Beirur


1798-1914

Amin, Ahmad. 1999. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin Dan Peradaban- Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan,dan Kemodernan. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.

Muhammad, Mahmoud. 1999. Pemikiran Islam. Jakarta: Erlangga.

Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran.


Bandung:Mizan.

Rusli, Ris’an. 2013. Pembaharuan Pemikiran Modern Islam. Palembang: Raja


Grafindo Persada.

Website:
https://tahdits.wordpress.com/2015/01/06/pembaharuan-dalam-islam/
http://peradaban-pemikiran.blogspot.com/2016/10/pemikiran-modern-dalam-
islam.html
https://melapurnamamediabki.wordpress.com/2017/05/30/pemikiran-modern-
dalam-islam-makalah-modern-modernisasi-dan-modernisme/#_ftnref1

29

Anda mungkin juga menyukai