Anda di halaman 1dari 4

7 Pelajaran Taktikal dari Brasil 2014.

November 16, 2014

Proses metamorfosa dari “tidak sadar bahwa dirinya bodoh” menuju ke “sadar bahwa
dirinya bodoh” seringkali terjadi saat kesempatan berbaur dengan keberuntungan. Yakni
kesempatan emas di waktu dan tempat yang tepat. Itulah yang penulis alami saat mengikuti
kursus WFA Expert Meeting (WEM) 2014 di Afrika Selatan yang berbarengan dengan Piala
Dunia 2014 di Brasil.

Materi “World Cup 2014 Tactical Trends” yang disampaikan Nikos Overheul, seorang
blogger dan football freak begitu sensasional. Nikos menyampaikan banyak tren taktik baru
di Piala Dunia begitu mendalam. Tak salah kalau kemudian penulis mendapat
keberuntungan kedua saat mengunduh FIFA WC 2014 Technical Report. Bekal wawasan
dari Nikos membuat pekerjaan membaca laporan teknik FIFA menjadi lebih mengasyikkan
dan menantang.

Pepatah mengatakan, “sepakbola masa lalu-harus kita hormati, sepakbola hari ini-harus
kita pelajari, sepakbola masa depan-harus kita antisipasi." Untuk itu, berdasarkan paduan
referensi Nikos plus laporan teknik FIFA, penulis ingin memaparkan banyak hal penting
yang Brasil 2014 ajarkan untuk dunia kepelatihan. Semua itu disimpulkan dalam 7
Pelajaran Taktikal Piala Dunia 2014 sebagai berikut:

(1) PROACTIVE PLAY.

Brasil 2014 sajikan pertandingan sepakbola yang begitu atraktif. Hal ini dibuktikan dengan
maraknya gol. Tercatat 171 gol atau 2,68 gol per pertandingan yang berhasil ditorehkan.
Laporan teknik FIFA menyabutkan hampir semua tim bermain untuk “mengejar
kemenangan dengan cetak gol” ketimbang “menjaga tidak kalah dengan tidak kebobolan”.
Sebuah etos kerja prima!

Nikos menjelaskan tren menyerang ini dengan dikotomi “REACTIVE PLAY” dan
“PROACTIVE PLAY”. Dimana permainan reaktif adalah menunggu lawan berbuat salah,
lalu kemudian balik menyerang. Sedangkan permainan proaktif adalah dominasi dengan
memaksa lawan membuat kesalahan. Tren proaktif ini diwujudkan di Brasil 2014 dalam
momen menyerang dan bertahan. Yakni dominan atur ritme saat menyerang. Lawan
dipaksa mengikuti cepat lambatnya possession. Saat bertahan, tim lakukan pressing aktif
yang membuat lawan harus mengikuti ritme cepat lambat pressing tim.

Meski Jerman, sang Juara Piala Dunia 2014 dominan dalam possession, tetapi possession
itu sendiri tidak menjadi tren di Brasil. Possession yang dimaksud ini adalah possession
yang berlama-lama kuasai bola ala Spanyol. Pengakhiran simbolis berlangsung saat
Belanda dengan possession hanya 42% sukses gasak Spanyol 5-1.
Nikos menyebut Brasil 2014 sebagai Piala Dunia “Transisi”. Pressing aktif agresif seketika
setelah hilang bola membuat jumlah transisi dalam satu game jadi sangat banyak. Ini
tentunya ikuti tren di UCL. Dimana tim seperti Real Madrid sukses mendominasi
possession, bukan dengan possession itu sendiri. Melainkan kerja trengginas anak asuh
Carlo Ancelotti dalam pressing. Saat tidak menguasai bola, tim tetap “menyerang” dengan
pressing!

(2) THE REBIRTH OF BACK 3.

Brasil 2014 menandai lahirnya kembali tren Back 3, yaitu sistim pertahanan dengan 3
pemain sejajar. Tercatat Belanda, Mexico, Chile dan Kosta Rika sukses mainkan sistim
pertahanan ini. Argentina sempat memainkan sistim 3 bek di penyisihan grup, sebelum
kembali ke patron 4 bek.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi gejala taktikal di sepakbola top level berupa
penumpukan banyak pemain di sektor tengah (Lihat MIDFIELD OVERLOAD) untuk dapat
dominasi possession dan jaga area vital dari gempuran serangan. Hal ini biasa dilakukan
dengan mengurangi jumlah striker. Maka muncullah formasi popular seperti 1-4-2-3-1, 1-4-
1-4-1 atau 1-4-3-2-1 yang kesemuanya menempatkan lima orang gelandang di tengah.

Tren ini bertambah dengan makin banyaknya tim yang melakukan pressing aktif jauh mulai
dari depan. Penggunaan 2 striker tampaknya lebih menguntungkan secara numerical untuk
high pressing. Terutama jika lawan gunakan sistim back 4, dimana bisa terjadi situasi 2v2
antara 2 striker dengan 2 stoper lawan.

Nah, lalu pemain lini mana yang harus dikurangi? Umumnya pelatih memilih solusi
menambah striker dengan mengurangi bek. Digunakanlah sistim pertahanan back 3. Pada
tim dengan komposisi pemain tertentu, sistim back 3 memberikan keseimbangan dan
fleksibilitas yang tinggi. Belanda, Kosta Rika dan Mexico adalah tim yang fasih melakukan
penyesuaian dari back 3, back 4 dan back 5.

Hal ini terlihat jelas saat Belanda taklukkan Spanyol. Sistim back 3 Belanda tampak seperti
back 5. Bila Costa drop deep untuk minta bola, Vlaar akan marking. Sedang Indi dan De
Vrij cover. Hal serupa dilakukan Indi pada Silva dan De Vrij pada Iniesta. Dukungan Blind
dan Janmaat sebagai wingback untuk melakukan support lagi-lagi ciptakan jumlah orang
lebih di belakang.

Saat menyerang, sistim back 3 juga fleksibel bergantung pada jumlah striker lawan. Hadapi
lawan dengan 3 striker tak menjadi kendala berarti. Selain, mengaktifkan kiper untuk
ciptakan 4v3, tim biasa turunkan satu gelandang tengah atau wingback. Chile turunkan
gelandang Marcelo Diaz untuk ciptakan 5v3. Sedang Mexico turunkan salah satu dari
wingback Layun atau Aquilar untuk bikin 5v3.

(3) MIDFIELD OVERLOAD.

Tren menumpuk banyak pemain di sector tengah tetap menghiasi Brasil 2014. Hal ini malah
terjadi makin ekstrim. Selain, menempatkan minimal 3 gelandang murni di tengah, banyak
pelatih meminta pemain di posisi lain untuk secara konstan masuk ke tengah. Sudah pasti
ini dilakukan untuk ciptakan superioritas jumlah di tengah.

Satu cara yang makin popular digunakan adalah meminta striker untuk turun ke tengah
atau yang dikenal dengan istilah “False 9”. Tren ini jelas paling fasih dimainkan oleh Messi
dalam formasi 1-4-4-2 Argentina. Juga Jerman saat Miroslav Klose tidak bermain. Peran
false 9 ini dimainkan begitu brilian oleh Thomas Muller.
Inovasi midfield overload ini makin menjadi di Brasil 2014. Kini banyak tim bukan saja
turunkan strikernya untuk jadi extra midfield, tetapi juga meminta sayap, bahkan stopper
atau fullback untuk bergabung ke tengah menjadi extra midfield. Ozil, Muller atau Lavezzi
adalah sayap yang justru banyak beroperasi masuk ke tengah. Lalu Boateng atau Zuniga
adalah bek yang juga sering jadi extra midfield di tengah.

(4) FLANK OVERLOAD.

Tren menciptakan superioritas jumlah juga terjadi di pinggir. Sedikit berbeda dengan di
tengah yang formasinya sudah menempatkan banyak pemain. Di pinggir, justru banyak tim
hanya menempatkan satu pemain untuk jaga kelebaran. Umumnya pemain tersebut adalah
fullback (Lihat ATTACKING FULLBACK). Begitu fullback telah berada di titik ideal
mendekati attacking third, banyak pemain akan bergerak melebar untuk ciptakan menang
jumlah di pinggir.

Bisa striker, bisa gelandang serang, bahkan gelandang bertahan yang lakukan underlap.
Benzema adalah contoh striker yang rajin lakukan bantuan untuk flank overload.
Sedangkan gelandang serang yang paling fenomenal lakukan peran ini adalah James
Rodriquez yang gemar ke kanan. Pandit Eropa memberi terminologi “central winger” atau
“false 10” untuk gelandang serang yang gemar melebar ciptakan superioritas jumlah di
pinggir.

(5) ATTACKING FULLBACK.

Konsekuensi dari midfield overload adalah semakin pentingnya peran fullback dalam
menjaga kelebaran tim saat menyerang. Boleh dibilang pemain sayap murni modern adalah
seorang fullback. Pemain yang aslinya berposisi sayap justru kini jarang menyisir di pinggir.
Mereka cenderung masuk ke kotak penalty untuk isi ruang yang ditinggalkan striker false 9
atau masuk ke tengah jadi extra midfield.

Untuk itu, attacking fullback menjadi sebuah keharusan. Peran menjaga kelebaran,
dribbling menyisir garis diakhiri crossing atau cutback menjadi tugas utama fullback. Lahm,
Debuchy atau Rojo jalankan fungsi attacking fullback dengan baik.

Menariknya, tim yang menggunakan sistim back 3, juga dapat fungsikan stopper kiri dan
kanannya sebagai attacking fullback. Chile lewat Jara dan Silva melakukan hal ini dengan
baik. Jorge Sampaoli dengan 1-3-4-3 nya gemar menciptakan flank overload dengan
tempatkan 3-4 orang di pinggir. Belanda juga lakukannya kontra Kostarika dengan dorong
Indi dan De Vrij bermitra dengan Kuyt dan Blind ciptakan 2v1 kontra Bolanos atau Ruiz.

(6) SWEEPER GOALKEEPER.

Tren agresifitas pressing yang dilakukan jauh di depan (high pressing) meninggalkan
lubang space amat besar di belakang garis akhir pertahanan. Dalam momen defensive,
kiper masa kini adalah kiper sweeper yang cekatan cepat keluar dari sarangnya untuk
antisipasi bola daerah serangan balik lawan. Semua sepakat Manuel Neuer adalah yang
terbaik dalam bisnis mengawal space ini.

High pressing juga berikan kiper konsekuensi riskan pada momen attack. Yakni, banyaknya
pemain lawan yang berada di defensive third untuk pressing bek. Bila kiper hanya dapat
lakukan tendangan direct jauh ke depan, maka itu menjadi keuntungan lawan. Umumnya
tujuan dari high press adalah memaksa tim kita lakukan tendangan bola udara yang
berujung pada situasi 50-50 dalam adu heading.

Dalam kondisi ini jelas kiper masa kini dituntut memiliki kemampuan passing, receiving dan
supporting prima agar tim dapat lakukan build up from the back. Juga sesekali jika situasi
memungkinkan melakukan tendangan direct jauh ke depan. Lagi-lagi, untuk urusan
kemampuan sepakbola komplet ini Neuer tetaplah juaranya. Meski begitu, kompetensi
prima Cillessen dan Bravo tak boleh dilupakan.

(7) TACTICAL COMPENSATION.

Brasil 2014 sajikan duel taktik sepakbola terbaik abad ini. Faktor taktikal menjadi prioritas
tertinggi area pengembangan. Taktik sering menjadi pembeda, bahkan penentu sukses tim
dalam suatu laga. Tim semenjana seperti Kolombia, Chile, Kostarika dan (maaf) Belanda
buktikan bahwa taktik prima dapat tutupi kurangnya kualitas individu yang mereka miliki.

Di Brasil 2014, secara umum kemampuan 32 tim nyaris merata. Tantangan terbesar adalah
mempersiapkan fisik tim untuk dapat bermain sepakbola baik tempo tinggi selama 90 menit.
Di tengah kendala cuaca ekstrim dan jauhnya jarak antar stadion. Nah, fisik sepakbola
adalah konsekuensi dari taktik. Tim yang mampu mendominasi permainan dengan atur
ritme saat menyerang dan bertahan cenderung unggul.

Itu sebabnya solusi taktikal untuk ciptakan superioritas jumlah (midfield overload/flank
overload) amat penting. Kalah jumlah di suatu sector berarti aksi lebih berat dan aksi lebih
sering. Posisi yang lebih baik dan jumlah kawan yang lebih banyak akan mengurangi
frekuensi dan jarak berlari. Yes, taktik yang lebih baik akan membuat teknik dan fisik
pemain jadi lebih baik.

Latihan Top Level = Pertandingan Top Level

Sudah barang tentu, tujuh pelajaran taktikal dari Brasil 2014 memberi konsekuensi dan PR
berat bagi pembinaan sepakbola usia muda. Terlebih lagi untuk Indonesia yang sepakbola
nya telah tertinggal beberapa decade. Tren taktikal sepakbola top level dunia merupakan
referensi tepat untuk mengantisipasi sepakbola masa depan. Juga sebagai gambaran
pemain masa depan ideal yang harus dicetak.

Belajar dari Brasil 2014, hal terpenting adalah mencetak pemain yang mampu bermain
sepakbola (bertahan-menyerang-transisi) dengan baik, tempo tinggi selama 90 menit.
Jelas, satu level di bawah bermain sepakbola adalah berpikir sepakbola. Sebab sebelum
lakukan aksi, pemain selalu berpikir dan ambil keputusan. Diperlukan pemain yang mampu
berpikir sepakbola dengan baik (wawasan taktik) selama 90 menit.

Jika itu golnya, maka latihan harus mengarah kesana. Pertama, latihan terbaik adalah
latihan sepakbola, bukan yang lain. Kedua, latihan sepakbola dengan tempo dan tekanan
tinggi. Ketiga, pemain harus senantiasa berpikir saat berlatih. Bukan intuitif atau sekedar
ikuti teriakan pelatih. Memang mewujudkan tiga hal ini tak mudah, tetapi harus dilakukan.
Kalau kita mau cetak pemain top level dunia, kita harus berlatih dengan kompleksitas
taktikal, tempo dan tekanan yang sama seperti Piala Dunia. Tak ada cara lain!! Harga mati!!

@ganeshaputera

Co-Founder KickOff!

www.kickoffindonesia.com

Anda mungkin juga menyukai