Anda di halaman 1dari 17

Pendidikan Matematika

DOI 10.1007/s10649-015-9597-z

Instruksi Representasi Banyak Dahulu versus Instruksi Algoritma


Tradisional Dahulu: Dampaknya pada kelas matematika sekolah menengah.

Raymond Flores . Esther Koontz . Fethi A. Inan.


Mara Alagic

© Springer Science+Business Media Dordrecht 2015

Abstrak Penelitian ini menguji dampak dari dua pendekatan pengajaran yakni kemampuan
siswa dan perilaku on-task sambil belajar bagaimana mengatasi masalah persen. Dua kelompok
perlakuan dibandingkan. MR pertama menerima instruksi representasi banyak lalu diikuti
dengan instruksi algoritmik tradisional dan TA pertama menerima pendekatan pengajaran ini
dalam urutan terbalik. Pesertanya termasuk 43 siswa kelas tujuh dari sekolah menengah
perkotaan di Midwestern USA. Hasil menunjukan kemajuan pengetahuan dari kedua kelompok
perlakuan; namun, perbedaan antar kelompok tidak signifikan. Perbandingan dari ukuran
efeknya menunjukkan pertumbuhan yang lebih besar dalam kemampuan memecahkan di
antara siswa yang menerima banyak instruksi representasi terlebih dahulu. Selain itu,
perbedaan statistik antara perilaku on-task ditemukan dalam mendukung pendekatan
algoritmik tradisional.

Kata kunci Representasi Banyak. Algoritma. Bilangan Rasional . Sekolah Menengah

1 Perkenalan

Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk memecahkan masalah yang kompleks dan
keterampilan mentransfer menjadi situasi baru berkaitan dengan seberapa baik pengetahuan
prosedural dan konseptual siswa yang telah berkembang (Hiebert & Carpenter, 1992).
Pengetahuan prosedural matematika mengacu pada kemampuan untuk mengerjakan algoritma
dan mecakup pengetahuan tentang prosedur, simbol, dan konvensi domain (Hiebert & Lefevre,
1986). Di sisi lain, pengetahuan konseptual lebih luas, terhubung, dan kaya akan hubungan
antar konsep domain. Untuk matematika dan domain lainnya, kedua jenis pengetahuan tersebut
telah dihipotesiskan untuk berkontribusi dalam fleksibilitas prosedural atau kemampuan untuk
memecahkan berbagai masalah secara fleksibel dan efisien (National Research Council [NRC],
2001). Howe (1999) menyatakan bahwa tidak ada konflik yang serius antara pengetahuan
prosedural dan pengetahuan konseptual. Sebenarnya, banyak pemimpin dalam pendidikan
matematika saat ini mendukung gagasan bahwa siswa harus menyeimbangkan keduanya yakni
pemahaman konseptual dan kefasihan prosedural di semua bidang matematika (National
Council of Teachers of Mathematics [NCTM], 2000). Selain itu, para penulis Common Core
State Standart Of Methematics (CCSSO & NGA, 2010) menunjukkan bahwa pemahaman
konseptual dan kelancaran prosedural sangat penting untuk pembelajaran matematika siswa,
Hiebert dan Lefevre (1986) menambahkan bahwa ada banyak manfaat ketika pengetahuan
konseptual dan prosedural saling dikaitkan.
Ajaran banyak topik matematika di Amerika Serikat, sangat bergantung pada banyak
hal pendekatan algoritmik yang menekankan keterampilan prosedural (Ma, 2010; NRC, 2001;
Van De Walle & Lovin, 2006). Misalnya, intruksi tentang bilangan rasioanal (mis., pecahan,
desimal, dan persen) dan manipulasi mereka secara tradisional berbasis algoritmik dan berbasis
aturan bergantung pada seperangkat prosedur yang bertujuan membuat siswa cepat dan akurat
saat mnyelesaikan masalah (National Research Council, 2001). Instruksi algoritmik
tradisional, bentuk instruksi langsung, sering dimulai dengan guru yang menyatakan
algorotma, (mis., “pembagian pecahan, invert kebalikan, perkalian”), demonstrasi yang
dipimpin oleh guru tentang bagaimana mengerjakan algoritma dengan contoh yang serupa, dan
kemudian siswa mempraktikkan secara mandiri atau berkelompok, dengan latihan yang serupa.
Sementara pendekatan algoritmik telah ditemukan sebagai metode yang efisien untuk
mengajari siswa bagaimana untuk memcahkan masalah (Newton & Sands, 2012), masalah
utama muncul sebagai hasil dari pendekatan ini, siswa mulai memandang matematika sebagai
seperangkat peraturan dan menyerahkan pengertian matematika mereka sendiri sambil
melakukan langkah-langkah algoritma (Fosnot & Dolk, 2012). Dewan Riset Nasional
(National Riset Council/NRC) menemukan bahwa “aturan untuk memanipulasi simbol dimulai
dengan menghafal tetapi siswa tidak dapat menghubungkan peraturan tersebut dengan
pemahaman konseptual mereka dan juga tidak memikirkan peraturan” (National Research
Council [NRC], 2001, hal. 234). Konsekuensi yang secara tidak sengaja adalah bahwa banyak
siswa yang tidak terlibat dalam pembelajaran matematika, melupakan konsep matematika yang
penting dari tahun ke tahun, dan tidak sepenuhnya siap untuk matematika tingkat tinggi
(Rasmussen et al., 2001). Bagi guru, hal ini menyebabkan kekhawatiran karena tanpa adanya
hubungan yang beralasan dan masuk akal akan membuat siklus pengajaran ulang yang tak
berujung dapat terjadi (NCTM, 2009).
Dalam upaya untuk mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang topik
matematika, berbagai metode telah digunakan dan direkomendasikan. Salah satu pendekatan
pengajaran yang berhasil digunakan untuk membantu siswa memperbaiki pengertian
matematika dan mengembangkan pemahaman konseptual yang lebih mendalam menjadi
beberapa representasi (Fosnot & Dolk, 2002, Ng & Lee, 2009, Van Den Heuvel-Panhuizen,
2003). Penelitian menunjukkan bahwa melibatkan siswa dalam matematika melalui berbagia
representasi (MRs) seperti diagram, tampilan grafis, dan ungkapan sinmbolis membantu
mereka melakukannya lebih baik dalam memvisualisasikan, menyederhanakan, dan
memahami topik matematika abstrak, dan menggunakan representasi secara fleksibel adalah
karakteristik kunci pemecah masalah yang terampil (Lamon, 2001; NCTM, 2000; NRC, 2001).
Dengan menggunakan representasi, tidak hanya pada produk atau siswa yang dibuat model,
namun pada proses dan tindakan memperoleh konsep atau hubungan matematis yang
digunakan siswa dalam membuat model (NCTM, 2000). Van den Heuvel-Panhuizen (2003)
menyatakan, “bukanlah model dalam diri mereka yang membuat pertumbuhan dalam
pemahaman matematis yang mungkin terjadi, namun kegiatan pemodelan siswa” (hal 29). Oleh
karena itu, saat menggunakan MRs, penting bagi guru untuk menempatkan penekanan di luar
model dan lebih fokus pada siswa dalam menciptakan rasa dengan menggunakan model,
justifikasi mereka, dan penggunaan beberapa metode untuk menemukan solusinya. Lamon
(2001) menemukan bahwa dengan menggunakan berbagai representasi yang berbeda dari
bilangan rasional siswa mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang bilangan rasional
dan lebih mampu untuk mentransfer pengetahuan mereka dari satu model ke model lainnya.
Oleh karena itu, representasi direkomendasikan sebagai komponen penting dari aktivitas
matematika dan sarana untuk memperoleh konsep matematika (mis., Goldin & Shteingold,
2001).
Sedangkan instruksi algoritma tradisional dan berbagai instruksi representasi, keduanya
berguna untuk membantu siswa dalam mencapai keseimbangan pemahaman konseptual dan
kelancaran prosedural, pertanyaannya masih tetap mengenai bagaimana pendekatan ini harus
diintegrasikan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa. Misalnya, sebaiknya guru memulai
dengan pendekatan pengajaran, hal itu membantu siswa mengembangkan pemahaman
konseptual mereka terlebih dahulu (mis., menggunakan banyak representasi) atau pendekatan
pengajaran yang membantu siswa mengembangkan kelancaran prosedural terlebih dahulu
(mis., menggunakan tradisional algoritma). Selanjutnya, pertanyaan mengenai dampak tatanan
pengajaran ini dengan menggunakan pendekatan mungkin akan terlihat pada hasil belajar
siswa. Pertanyaan dalam penelitian yang dilakukan akan menyelidiki beberapa hal sebagai
berikut :

1. Apakah urutan pendekatan pengajaran (MR pertama versus TA pertama) mempengaruhi


kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang melibatkan pecahan,
persen, dan desimal?
2. Apakah pendekatan pengajaran (MR versus TA) mempengaruhi perilaku on-task siswa?

1.1 Perspektif teoretis

Beberapa dekade yang lalu, para periset telah mencoba untuk meneliti bagaimana pengaruh
pengetahuan konseptual dan prosedural dan dampaknya satu sama lain (Byrnes & Wasik, 1991;
Canobi, Reeve, & Pattison, 1998; Rittle- Johnson, Siegler, & Alibali, 2001). Dari badan
penelitian ini, berbagai perspektif teoretis muncul (lihat Rittle-Johnson dkk, 2001; Schneider
& Stern, 2010). Konsep teori pertama berspekulasi bahwa siswa pada awalnya memperoleh
pengetahuan konseptual dan kemudian memperoleh dan mengembangkan pengetahuan
prosedural melalui latihan berulang dengan memecahkan masalah (Halford, 1993). Bukti
empiris mendukung konsep perspektif pertama yang telah ditemukan untuk pengajaran
berbagai konsep matematika termasuk penalaran aritmatika dan proporsional jawaban (Byrnes,
1992; lihat Rittle-Johnson et al., 2001). Konsep teori pertama telah digunakan untuk
membenarkan pengajaran pengetahuan konseptual sebelum pengetahuan prosedural (Putnam,
Heaton, Prewat, & Remillard, 1992). Prosedur teori pertama, di sisi lain, nyatakan sebaliknya
dan menunjukkan bahwa siswa pertama-tama belajar prosedur dan praktek dengan prosedur
tersebut secara bertahap mengembangkan pengetahuan konseptual (Karmiloff-Smith, 1994).
Begitu pula, bukti empiris juga telah ditemukan dalam mendukung prosedur pendekatan
pertama untuk pengajaran berbagai konsep matematika seperti menghitung dan perkalian
pecahan (Briars & Siegler, 1984; Byrnes & Wasik, 1991).
Sementara kedua perspektif ini terus diperdebatkan, pentingnya perspektif ini adalah
implikasi bagaimana pendekatan pengajaran ini harus diurutkan sesuai dengan kebutuhan
siswa. Dalam mendukung konsep teori pertama, peneliti dalam penelitian ini berhipotesis
bahwa kenaikan yang lebih besar pada hasil belajar siswa yang disajikan dengan pendekatan
MR sebelum pendekatan TA.

1.2 Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan membandingkan dampak dari dua
pendekatan pengajaran (misalnya, representasi ganda (MR) dan algoritma tradisional (TA))
pada kemampuan siswa untuk memecahkan masalah matematika yang melibatkan pecahan,
desimal, dan persen. Selain itu, penelitian ini berusaha untuk memeriksa apakah pendekatan
pengajaran (misalnya, MR versus TA) berdampak pada perilaku tugas saat belajar. Agar sukses
dalam aljabar, siswa harus terlebih dahulu fasih dengan angka rasional, operasi, dan
kemampuan untuk mengkonversi antara bentuk yang setara (yaitu, desimal, pecahan, dan
persen) (Bottoms, 2003). Karena pentingnya kemampuan matematika, populasi yang diminati
untuk penelitian ini adalah siswa sekolah menengah pra-aljabar, dan topik matematika yang
diminati adalah persentase masalah yang terlibat desimal dan pecahan.

2 Metode

2.1 Sampel

Penelitian ini dilakukan di sebuah sekolah menengah perkotaan di wilayah Midwestern di


Amerika Serikat. Hampir setengah (44,17%) siswa di sekolah menengah tergolong dalam
ekonomi kurang beruntung; persentase kecil, 3,39%, adalah pelajar bahasa Inggris (ELLs), dan
orang Afrika Orang Amerika menghasilkan persentase terbesar dengan 43,16%, diikuti oleh
orang kulit putih dengan 36,04%.
Peserta untuk penelitian ini mencakup 43 siswa kelas tujuh berketerampilan lanjutan
yang diikuti dengan dua bagian pra-aljabar. Siswa di bagian pra-aljabar yang diberikan
diidentifikasi oleh mantan guru sebagai “maju” dan lebih cepat maju daripada “teman sekelas”.
Klasifikasi ini ditentukan oleh sekolah berdasarkan kombinasi antara kinerja kelas, motivasi,
dan skor pada tes standar. Lebih dari separuhnya adalah laki-laki (56%), dan semua siswa
berusia 12-13 tahun. Siswa berasal dari latar belakang etnis yang sangat beragam termasuk
19% Afrika Amerika, 9% orang Amerika Asia, 5% Hispanik, 37% orang kulit putih, 26%
adalah ras campuran, dan 5% menunjukkan etnis lainnya. Tidak ada peserta yang terlibat dalam
penelitian ini yang memiliki Pendidikan Individu Program (IEP) yang menguraikan akomodasi
yang harus dibuat oleh guru agar lebih sesuai kebutuhan belajar setiap siswa.
Guru yang terlibat dalam penelitian ini mengajar dengan baik di kelas. Pada penelitian,
Guru memiliki pengalaman mengajar selama 6 tahun di sekolah menengah perkotaan.
Selanjutnya, sementara itu instruksinya mencakup pendekatan algoritma tradisional, guru
dikenal karena penekanannya dalam mengajar untuk memahamkan, memberikan pengalaman
yang beragam bagi siswa dengan menggunakan pengalaman matematika di dunia nyata,
menimbulkan masalah yang dapat dipecahkan oleh siswa dengan menggunakan banyak
strategi, dan mendorong siswa untuk menggunakan dan menciptakan banyak representasi
untuk pemecahan masalah. Guru juga terlibat dalam pengembangan profesional dalam
menggunakan banyak representasi dalam pengajarannya dan itu merupakan bagian dari komite
distrik yang mengembangkan rencana pelajaran untuk guru matematika di kecamatan.
Sepanjang tahun ajaran, murid-muridnya telah terbuka dengan kedua pendekatan pengajaran
(yaitu, penggunaan pendekatan algoritmik dan berbagai representasi) di kelasnya bersama
dengan konsep matematika lainnya.

2.2 Konten

Konten dalam penelitian ini termasuk dalam kelas tujuh unit pra aljabar dalam masalah present
melibatkan pecahan dan desimal. Jenis masalah termasuk (1) menemukan bagian yang tidak
diketahui dari nomor yang ditunjukkan oleh persen dari keseluruhan angka, (2) menemukan
bilangan bulat yang tidak diketahui ketika persen dan bagian itu diketahui, (3) menemukan
persen yang tidak diketahui saat bagian dan bilangan bulat diketahui, dan (4) kombinasi dari
ketiga tipe tersebut.

2.2.1 Pendekatan Pengajaran


Untuk tujuan penelitian, dua pendekatan pengajaran juga membimbing desain instruksional
kegiatan pelajaran dengan modul. Kedua pendekatan ini dijelaskan di bawah ini.

Pendekatan algoritmik tradisional (TA) Pendekatan pengajaran TA sangat bergantung pada


penggunaan algoritma yang umum digunakan dan perangkat mnemonik untuk memecahkan
masalah persen di buku teks matematika AS (Bennett et al., 2007). Misalnya, siswa diberi
perangkat mnemonik, “lebih dari, persen lebih dari 100” dan instruksi / latihan dengan
mengatur proporsi untuk berbagai jenis masalah (lihat Tabel 1).
Selama pendekatan TA, siswa diberi instruksi langsung tentang bagaimana
menyelesaikannya masalah menggunakan algoritma. Langkah-langkah yang biasanya diikuti
selama pendekatan algoritmik adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi jenis masalah, (2)
menetapkan proporsi untuk merepresentasikan masalah, (3) memecahkan masalah, dan (4)
memeriksa dan memverifikasi solusi. Selama pelajaran TA, para siswa disediakan langkah-
langkah untuk memecahkan masalah ini dengan dipandu, independen, dan praktek kelompok.
Pada pendekatan TA, penekanan ditempatkan pada penggunaan algoritma set-up proporsi
(lihat Persamaan 1). Dengan menggunakan perangkat mnemonik, siswa membuat proporsi
untuk masalah di mana kata pembilang, penyebut, dan persen adalah kata-kata isyarat untuk
membimbing mereka dalam menempatkan nilai yang diketahui dan untuk nilai yang tidak
diketahui.
𝑝𝑒𝑚𝑏𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 %
= (1)
𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡 100
Contoh masalah yang bisa diatasi oleh siswa dengan algoritma ini adalah, “Berapa 20%
dari 4000?” Siswa akan menggunakan pembilang untuk menempatkan variabel yang tidak
diketahui (𝑥) pada pembilang pertama. Mereka akan menggunakan “penyebut” untuk
menempatkan 4000 di denominator. Akhirnya, mereka akan menempatkan 20 (%) lebih dari
100 (lihat Persamaan 2). Untuk mengatasi nilai yang tidak diketahui dalam proporsinya, siswa
sudah menggunakannya “banyak cara mengalikan dan membagi” algoritma dari unit
sebelumnya. Pada dasarnya, siswa akan kalikan 20 kali 4000 dan 100 kali 𝑥. Hasilnya adalah
persamaan 100𝑥 = 8000. Siswa kemudian akan membagi 8000 dengan 100 untuk menemukan
solusinya.
𝑥 20
= (2)
4000 100

Pendekatan representasi banyak (MR) Pendekatan MR mencakup peluang untuk


mengeksplorasi beberapa representasi dan beberapa metode solusi dan komunikasi matematis.
Dalam pendekatan MR, siswa belajar dan diharapkan menyelesaikan masalah dengan
menggunakan berbagai representasi dan model, menjelaskan metode mereka secara tertulis,
membahas penyelesaian dengan teman sebaya mereka dalam kelompok, dan metode
rasionalisasi secara verbal dengan guru dan teman sebayanya. Contoh representasi dan model
yang digunakan oleh siswa termasuk bongkahan, garis bilangan, garis angka ganda, batang
persen, tabel rasio, dan persamaan penulisan. Saat siswa dikenalkan dengan pendekatan MR
ini, mereka didorong untuk mengeksplorasi, menciptakan model mereka sendiri, dan diberi
pilihan representasi mana yang ingin mereka gunakan untuk memecahkan masalah. Aspek
utama pendekatan MR bahwa siswa membenarkan representasi yang mereka gunakan. Aspek
tambahan dari pendekatan MR adalah bahwa siswa didorong untuk memperkirakan dan
mengevaluasi sendiri apakah jawaban mereka masuk akal secara matematis. Sebagai contoh,
satu metode MR, “bongkahan”, digunakan untuk menghitung atau memperkirakan persentase
dengan menggunakan tolok ukur, 10 dan 1%. Untuk menghitung 32% dari 200, siswa dapat
menambahkan tiga kali 10% dari 200 (atau 20) ditambah dua kali 1% dari 200 (atau 2) untuk
mendapatkan jawaban yang benar 64.
Tabel 1 Penyusunan algoritma proporsional dengan tipe masalah utama
Tipe masalah Contoh masalah Algoritma untuk
mengatur
proporsinya
15 𝑛
Menemukan persen dari sebuah angka 15% dari 240 = n =
100 100
𝑝 18
Menemukan persen dari bilangan yang lain P% dari 240=18 =
100 100
15 18
Menemukan angka saat persen diketahui 15% dari n = 18 =
100 𝑛

2.3 Desain

Penelitian ini melibatkan desain kuasi eksperimental dengan menggunakan dua kelompok
utuh, yaitu dua kelas siswa pra aljabar yang telah sudah ditugaskan berdasarkan kebutuhan
penjadwalan masing-masing individu mereka. Siswa dari kedua kelompok menerima setiap
pendekatan pengajaran (yaitu, MR dan TA); namun, mereka diterapkan dalam urutan yang
berbeda tergantung pada kelompok perlakuan mana para siswa ditempatkan di dalamnya.
Kelompok pertama MR (N = 22), menerapkan pelajaran MR pertama di modul 1 dan kemudian
pelajaran TA di modul 2. Kelompok TA pertama (N = 21), menerima pelajaran TA dimodul 1
dan kemudian pelajaran MR di modul 2 (lihat Tabel 2). Desain penyeimbang ini sangat ideal
untuk siswa dalam lingkungan akademik dimana guru ingin memastikan bahwa semua siswa
memiliki kesempatan optimal untuk berinteraksi dengan bidang studi (Best & Kahn, 2006).

Pelajaran MR versus pelajaran TA Pelajaran dalam dua pendekatan berbeda dalam jenis
instruksi yang diberikan dan jenis kegiatan yang diminta untuk melibatkan siswa. Misalnya,
satu topik pelajaran menemukan persentase angka (misalnya, berapa 20% dari 20?). Dalam
perlakuan TA, guru memberikan instruksi langkah demi langkah kepada para siswa termasuk
beberapa contoh bagaimana mengatur proporsi dan persamaan untuk menemukan solusinya.
Misalnya, dalam perlakuan TA, untuk menemukan 20% dari 20, siswa diajari bagaimana
mengatur proporsi 20/100 = n/20 dan kemudian menunjukkan bagaimana menyelesaikan
proporsinya. Dalam perlakuan MR, di sisi lain, dapat mengerti melalui penggunaan banyak
representasi ditekankan. Dalam pelajaran MR, guru memberikan instruksi, contoh, dan
panduan kepada siswa tentang bagaimana menggunakan visual batang persen untuk
menemukan 20% dari 20 (lihat Gambar 1).
Menggunakan batang persen memungkinkan siswa untuk memahami arti 20% dari 20
dan juga membantu mereka menghubungkan persentase dengan pecahan. Dengan kata lain,
menemukan 20% dari jumlah sama dengan menemukan 1/5 dari sebuah angka.
Terlepas dari apakah pelajaran TA terpadu atau pendekatan MR, semua pelajaran
memiliki pengenalan dimana guru memperkenalkan topik dan memberikan instruksi yang
dipimpin oleh guru, waktu kerja dimana siswa menerima praktik terpandu dan kemudian
praktik mandiri, dan penutupan dimana guru dan siswa meninjau kembali tujuan pelajaran dan
mendiskusikan hal-hal yang mereka pelajari selama pelajaran berlangsung. Singkatnya,
sementara pendekatan TA mengikuti struktur buku teks kursus, pendekatan MR adalah
kumpulan teknik yang bertujuan menciptakan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk
memahami matematika karena mereka dapat memecahkan masalah.
Tabel 2 Desain Studi
Pra-koleksi data Modul 1 Modul 2 Pasca-koleksi
data
Hari 1 Hari 2-6 Hari 7-10 Hari 11
MR pertama Tes pra pengetahuan Pelajaran MR Pelajaran TA Tes pasca
Pengamatan (hari ke 3) Pengamatan (hari 9) pengetahuan
TA pertama Pelajaran TA Pelajaran MR
Pengamatan (hari ke 3) Pengamatan (hari 9)

Daripada mengandalkan algoritma, siswa MR menciptakan representasi atau model visual dari
pecahan, persen, dan desimal apa yang akan terlihat. Rencana pelajaran untuk kedua kelompok
perlakuan disiapkan dan ditinjau oleh tim yang terdiri dari guru dan dua pendidik matematika
sebelum diimplementasikan.

Gambar 1 Menggunakan batang persen untuk menemukan 20% dari 20

2.3.1 Instrumen dan Pengukuran

Data diperoleh melalui tes kinerja, skala, dan pengamatan selama semester musim semi 2013.
Instrumen ini dijelaskan di bawah ini:

Tes pra/pasca-pengetahuan Untuk mengukur kemampuan siswa dalam memecahkan masalah


melibatkan pecahan, desimal, dan persen; menunjukkan pekerjaan mereka; dan menjelaskan
proses berpikir mereka, penilaian paralel yang dikembangkan secara lokal untuk penilaian pra
dan pasca pengetahuan digunakan (lihat Lampiran). Setiap tes terdiri dari sepuluh item respon
terbuka. Ini termasuk dua masalah berbasis dekontekstual dan delapan masalah berbasis
kontekstual.
Contoh dari masalah berbasis dekontekstual termasuk: berapa 25% dari 32? dan
4
urutkan bilangan di bawah dari yang terbesar ke terkecil: 0.43, 297%, 5 , 17%. Contoh dari
masalah berbasis kontekstual termasuk: Jenna sedang makan di Red Robin. Tagihan totalnya
yaitu $28. Jika dia memutuskan untuk memberikan tip sebesar 15% dari total bill, berapa
banyak yang harus dia berikan sebagai tip? dan 40 siswi kelas 7 sedang mencoba masuk tim
basket, tapi hanya 15 yang diterima oleh tim. Berapa persen dari keseluruhan gadis yang akan
menjadi anggota tim?
Untuk membedakan kemampuan siswa untuk memecahkan dan menunjukkan proses
matematika dan proses penalaran, siswa diminta untuk memecahkan masalah dan
menunjukkan proses pemecahan masalahnya; namun, pendekatan yang digunakan tidak
ditetapkan (yaitu, siswa dapat menggunakan pendekatan TA atau pendekatan MR). Untuk
setiap item pada tes pra/pasca-pengetahuan, respon siswa diberi skor dengan skala 0 sampai 2
poin berdasarkan ketepatan strategi mereka dalam memecahkan solusi dan kebenaran solusi
yang didapat dari strategi tersebut. Pada item individual : 0 poin diberikan untuk strategi yang
tidak benar (atau tidak ada hasil yang ditunjukkan) dan solusi yang tidak benar; 1 poin
penghargaan parsial diberikan untuk strategi yang benar tetapi solusi yang tidak benar dengan
alasan kesalahan kecil aritmetika, atau solusi benar tetapi tak ada hasil kerja yang ditunjukkan;
dan 2 poin full penghargaan diberikan untuk kedua strategi dan solusi yang benar. Skor
maksimum dari masing-masing tes pra/pasca-pengetahuan adalah 20 poin. Format respon
terbuka dari item dan skor yang terkait memungkinkan peneliti mengumpulkan lebih banyak
informasi tentang penalaran dan pengertian siswa yang berbeda dengan item pilihan ganda
yang dikotomotkan dengan dikotomis umum yang sering menyembunyikan detail tersebut. Tes
pra dan pasca pengetahuan diberikan sebelum dan sesudah perlakuan. Tujuan dari intrumen ini
adalah untuk menguji dampak dari kondisi perlakuan terhadap kemampuan siswa untuk
menyelesaikan dan mengintvestigasi apakah perlakuan kondisi mempunyai dampak yang
berbeda-beda pada siswa.

Form pengamatan perilaku on-task Dari versi adaptasi dari Basic 5 Observation Form (Sprick,
Knight, Reinke, & McKale, 2006) digunakan untuk mengukur perilaku on-task siswa.
Pengamatan perilaku on-task meliputi tulisan siswa atau menulis catatan, mengikuti guru
dengan penglihatan mata mereka, berbicara dengan partner mereka mengenai topik yang
relevan, mengajukan pertanyaan, menggambarkan model MR, dan/atau mengikuti arahan.
Contoh dari perilaku off-task yang dapat diamati meliputi percakapan yang keluar topik, siswa
berada di luar tempat duduk mereka, siswa tidak mengikuti guru atau melihat ke arah langit,
dan/atau tidak mengikuti arahan. Selama pengamatan, selama 5 menit, pengamat terlatih fokus
kepada perilaku siswa yang dapat diamati selama pelajaran berlangsung. Setelah 5 s
pengamatan, pengamat akan mencatat tanda untuk perilaku siswa tersebut dan berlanjut ke
siswa selanjutnya dalam baris. Jika perilaku siswa on-task pengamat akan memberi tanda “+”
pada form. Alternatifnya, tanda “-” diberikan jika perilaku off-task yang diamati. Total 60
tanda pada sesi pengamatan ini. Persentase perilaku on-task dihitung dengan cara membagi
jumlah tanda on-task dengan jumlah keseluruhan tanda (60 tanda) dan mengalikannya degan
100. Untuk setiap modul, MR pertama dan TA pertama menerim total persen dari perilaku on-
task. Form ini digunakan untuk mengukur dan menilai perilaku on-task siswa dengan perlakuan
grup mereka selama belajar dengan pendekatan pengajaran yang berbeda (contohnya, MR atau
TA).

Catatan Refleksi Guru Setiap hari setelah kelas selesai, guru menuliskan refleksinya mengenai
bagaimana pelajaran berlangsung dan reaksi siswa terhadap pelajaran tersebut. Untuk
mengatur catatan ini, guru menggunakan templat catatan refleksi yang terdiri dari tabel kosong
dengan 3 kolom; modul harian, catatan MR pertama, dan catatan TA pertama; dan baris untuk
setiap modul harian. Tujuan dari catatan refleksi adalah untuk mengumpulkan data tambahan
untuk menunjang dan penjelasan lebih lanjut perilaku on-task siswa dalam kelompok perlakuan
mereka sambil belajar dengan masing-masing pendekatan pengajaran yang khas (contohnya.,
MR atau TA).

2.4. Prosedur

Untuk kedua grup perlakuan, instruksi mengenai persen, pecahan, dan desimal dipecah menjadi
2 modul. Sebelum modul 1, siswa menyelesaikan tes pra-pengetahuan. Selama modul 1, siswa
mengalami pelajaran MR atau TA tergantung dari grup manakah mereka. Pada hari ketiga
modul 1, seorang pengamat luar (yaitu, pelatih instruksional terlatih dari distrik sekolah)
menyelesaikan Form Pengamatan Perilaku On-Task untuk setiap grup. Di hari ketujuh, siswa
memulai modul 2. Selama modul 2, grup diberikan pendekatan pengajaran yang lain (yaitu,
MR pertama mengalami pelajaran TA dan TA pertama mengalami pelajaran MR). Di hari ke
9, seorang pengamat terlatih menyelesaikan kembali Form Pengamatan Perilaku On-Task
untuk setiap grup. Setelah menyelesaikan modul 2, siswa mengisi tes pasca-pengetahuan pada
hari 11 (Lihat Tabel 2). Untuk setiap modul harian, siswa berada di kelas selama kurang lebih
50 menit.
2.5. Analisis Data

Skor dari semua instrumen dimasukkan dan dianalisa menggunakan SPSS v21. Statistik
inferensial kemudian digunakan untuk mengamati dampak dari pendekatan urutan pengajaran
terhadap hasil belajar siswa (yaitu, kemampuan untuk memecahkan masalah), dan dampak dari
pendekatan pengajaran terhadap keikutsertaan siswa. Analisis data termasuk ANCOVA, tes
kotak chi, dan analisis data kualitatif. Hal ini dijelaskan pada Tabel 3 di bawah.

2.6. Batasan-Batasan

Keterbatasan metodologis untuk studi ini termasuk ukuran sampel kecil, durasi kondisi
perlakuan yang pendek, dan ketepatan implementasi pendekatan perlakuan. Karena itu, jika
hasil menyediakan wawasan yang berharga, mereka juga sugestif dan mungkin tidak berlaku
umum untuk semua populasi siswa kelas menengah. Lebih spesifiknya lagi, penggunaaan
sampel yang tepat dapat membatasi studi terhadap siswa pra-aljabar kelas menengah. Lebih
jauh, karena durasi perlakuan grup pendek (yaitu, 11 hari), siswa mungkin belum terekspos
lama dengan perlakuan sehingga belum memberi dampak pada hasil belajar mereka. Akhirnya,
meskipun usaha yang dilakukan untuk memastikan ketepatan implementasi dari kedua
pendekatan perlakuan dengan perencanaan yang hati—hati, dokumentasi, dan peninjauan
kembali, pengamat tidak mengobservasi sang guru dan perilaku dalam kelas mereka dan
kegiatan selama pelajaran ini.

Instruksi M pertama versus Instruksi TA pertama


Tabel 3 Penyusunan algoritma proporsional dengan tipe masalah utama
Apakah urutan pendekatan pengajaran (MR pertama versus TA pertama) mempengaruhi hasil belajar siswa
(SLO1) saat mengerjakan masalah matematika yang melibatkan pecahan, persen, dan desimal?
SLO1. Kemampuan untuk tes Pra-/ pasca-pengetahuan ANCOVA dengan pra-pengetahuan
memecahkan sebagai kovariat

Apakah pendekatan pengajaran (MR versus TA) mempengaruhi perilaku on-task siswa (SLO2)?
SLO2. Perilaku on-task sambil perilaku On-task Kotak chi McNemar
belajar Form pengamatan Analisis data kualitatif
Catatan refleksi guru

3 Hasil

3.1 Urutan pendekatan pengajaran: Dampaknya pada kemampuan siswa untuk menyelesaikan
(SLO1)

Menggunakan skor pra-pengetahuan sebagai kovariat, sebuah ANCOVA digunakan dengan


grup (misalnya, MR pertama vs TA pertama) sebagai faktor subjek-antara dan kemampuan
untuk memecahkan sebagai pengukuran mandiri. Meskipun MR pertama memiliki tes pasca-
pengetahuan (M=15.41, SD=4.47) yang lebih tinggi dari tes pasca-pengetahuan TA pertama
(M=14.71, SD=3.69), tidak ada perbedaan signifikan pada kemampuan untuk memecahkan
yang ditemukan di antara dua grup (F(1,40)=.931, p=0.34). Kovariatif, pra-pengetahuan,
signifikan (p=0.05), mengindikasikan bahwa perlakuan grup berbeda-beda pada pengetahuan
sebelumnya (lihat Tabel 4).
Untuk memeriksa perbedaan antara skor tes pra-pengetahuan (PraK) dan skor tes pasca-
pengetahuan (PascaK) untuk kedua perlakuan grup tersebut, dua tes sample t berpasangan
dilaksanakan. Kedua tes sampel t berpasangan tersebut signifikan secara statistik bagi kedua
grup, mengindikasikan bahwa MR pertama (PraK-M=9.68, PraK-SD=2.95; PascaK-M=15.41,
PascaK-SD=4.47), t(21)=-6.048, p<0.001) dan TA pertama (Pra-M=11.05, PraK-SD=3.89;
PascaK-M=14.71, Pasca-SD=3.69), t(20)=3.708, p=0.002) menunjukkan peningkatan pada
kemampuan untuk memecahkan skor dari tes pra-pengetahuan ke tes pasca-pengetahuan.
Meskipun kedua grup meningkat secara signifikan pada kemampuan mereka untuk
memecahkan, siswa MR pertama menunjukkan perkembangan lebih besar. Perbandingan pada
ukuran efek, dihitung menggunakan kalkulator subjek-dalam untuk rata-rata dan metode
standar deviasi dipersembahkan oleh Morris dan DeShon (2002), mengindikasikan bahwa
ukuran efek untuk MR pertama (d=1.51) lebih tinggi dari TA pertama (d=0.965).

Tabel 4 Hasil ANCOVA untuk Urutan Pendekatan Pengajaran pada Kemampuan Memecahkan
Sumber SS df MS F p
Pra-pengetahuan 63.881 1 63.881 4.071 0.050
Grup 14.615 1 14.615 .931 0.340
Kesalahan 627.723 40 15.693
Total 696.791 42
* Kovariat signifikat di p=0.05

Level Item lebih lanjut pemeriksaan dari skor tes mengungkapkan bahwa semua
permasalahan pada pasca-tes dijawab benar oleh lebih dari 50% siswa kecuali untuk item 8 dan
9 pada grup TA. Pada item-item ini, meskipun kadar kesuksesan siswa grup MR rendah pada
pra-tes, mereka memiliki kesuksesan lebih besar daripada siswa pada grup TA pada pasca-tes.
Analisis dari karakteristik masalah menunjukkan bahwa item-item ini berbeda dari item tes lain
yang membutuhkan proses dua-langkah yang melibatkan operasi penambahan setelah
perkalian untuk menemukan jawaban yang benar. Contohnya, untuk menyelesaikan item 9
menggunakan algoritma tradisional, seseorang harus menemukan 20% dari 250, kemudian
mengurangkan hasil tersebut dengan 250 untuk menemukan harga yang diturunkan. Lebih
sama lagi, untuk menyelesaikan item 8 menggunakan algoritma tradisional, seseorang harus
menemukan berapa 16% dari 80 kemudian menambahkannya ke 80 (lihat Tabel 5 dan 6 di
Lampiran)

3.2 Pendekatan Pengajaran : Dampak bagi perilaku on-task siswa (SLO2)

Dalam hal untuk mengeksplorasi apakah ada hubungan antara keikutsertaan siswa dan setiap
pendekatan pengajaran berbeda yang digunakan (yaitu, pendekatan MR versus pendekatan
TA), dilaksanakan tes kotak chi McNemar. Hasilnya mengindikasikan sebuah hubungan
signifikan ditemukan, mengindikasikan bahwa siswa menunjukkan engagement lebih tinggi
jika pendekatan TA digunakan (MR pertama 78%; TA pertama 80%) dibandingkan dengan
jika pendekatan MR digunakan (MR pertama 55%; TA pertama 57%) (X2 (1,N=240)=11.358,
p=0.001)
Berdasarkan perspektif guru, terdapat pula perbedaan pada perilaku siswa yang dapat
diamati yang ditunjukkan mereka selma dua pendekatan perlakuan. Pada catatan refleksinya,
sang guru berpendapat dan mendokumentasi lebih banyak perilaku on-task saat pendekatan TA
digunakan. Lebih spesifiknya lagi, sang guru menyatakan bahwa dengan pendekatan TA siswa
lebih ikut serta dengan tugas yang diberikan, menulis atau mengambil catatan, mengikuti guru
dengan mata mereka, ikut serta dalam diskusi dengan pasangan mereka berhubungan dengan
topik pelajaran, menanyakan lebih banyak pertanyaan yang berhubungan dengan tugas, dan
mengikuti arahan. Sebaliknya, guru berpendapat dan mendokumentasi lebih banyak perilaku
off-task saat pendekatan MR digunakan. Sang guru menyatakan bahwa siswa memiliki lebih
banyak contoh dari percakapan keluar topik yang tidak berkaitan dengan materi, terjatuh dari
kursi mereka dan tertawa, tidak mengikuti guru saat memberikan arahan, siswa melihat ke arah
langit, dan siswa tidak mengikuti instruksi.
Persepsi siswa terhadap instruksi TA juga lebih disukai dibandingkan dengan
pendekatan MR. Contohnya, refleksi tertulis guru menunjukkan bahwa grup pertama MR
kesulitan dengan representasi bertaut pada awalnya tetapi setelah mereka dikenalkan dengan
algoritma pada modul kedua, mereka sangat bersyukur dan membuat komentar seperti:
“Seharusnya ini ditunjukkan pada kami sebelumnya!” Siswa merasa bahwa algoritma tersebut
membantu menautkan konsep yang telah mereka pelajari atau konsep yang mereka rasakan
sulit selama perlakuan MR. Lebih jauh lagi, sang guru mengambil catatan bahwa sangat sulit
memotivasi grup pertama TA untuk ikut serta menggunakan representasi banyak setelah diajari
algoritmanya. Selama perlakuan kedua (perlakuan MR) siswa di grup pertama TA membuat
pernyataan seperti: “Tidak bisakah kami melakukannya dengan lebih dari [algoritma
proporsi]?” Catatan refleksi juga menyarankan sang guru melihat bahwa siswa merasa bahwa
algoritmanya lebih mudah daripada daripada penggunaan representasi banyak. Lebih jauh,
sang guru mengindikasikan bahwa ia juga mengalami kesulitan dengan memotivasi murid TA
pertama (TA pertama) untuk ikut serta dalam aktivitas modeling (MR) karena sudah menerima
instruksi dengan algoritma. Sang guru menyataka bahwa siswa di TA pertama “sudah
mengetahui sebuah metode untuk memecahkan masalahnya, dan selama modul 2 mereka
bertanya apakah mereka bisa mengunakan algoritma proporsi.” Preferensi ini mungkin
disebabkan oleh kebaruan pendekatan MR karena guru tersebut mencatat bahwa siswa
"mengeluhkan pendekatan pemodelan yang baru [MR] dan secara vokal menyatakan bahwa
mereka "mengalami kesulitan dengan mencoba sesuatu yang baru"

4 Diskusi dan Implikasi untuk Penelitian Mendatang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hipotesis bahwa siswa diajarkan dengan
pendekatan multiple representation (MR) terlebih dahulu sebelum pendekatan algoritmik
tradisional (TA) akan memperbaiki pembelajaran mereka dan ketika siswa diajar dengan
pendekatan MR, mereka akan lebih terlibat dalam belajar. Untuk menguji hipotesis ini, kami
menggunakan dua kelompok perlakuan: MR pertama menerima pendekatan MR pertama dan
TA pertama menerima pendekatan TA pertama. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
tidak menguji pendekatan pengajaran mana yang lebih baik, melainkan untuk menyelidiki
bagaimana guru dapat mengatur kedua pendekatan ini dengan lebih baik untuk memenuhi
kebutuhan belajar siswa dan mendapatkan hasil belajar siswa yang paling efektif.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan (MR pertama
versus TA pertama) dalam hal kemampuan untuk memecahkan pasca tes; tetapi, hasil dari tes
follow-up sampel t berpasangan menyebutkan pencapaian yang lebih besar dalam kemampuan
untuk memecahkan untuk siswa yang diperkenalkan pada pendekatan MR sebelum pendekatan
MR. Dalam studi ini, siswa pada MR pertama memulai dengan kemampuan memecahkan lebih
rendah (contohnya, pra-pengetahuan) daripada TA pertama dan menghasilkan kemampuan
memecahkan lebih tinggi pada pasca-test jika dibandingkan dengan TA pertama. Lebih lanjut
lagi, hasilnya mengatakan bahwa MR pertama dapat meiliki efek yang dapat diamati pada
kemampuan menalar siswa ketika mereka diminta untuk memecahkan masalah yang
memerlukan langkah banyak dan penalaran lebih dalam sebagai solusi tidak semudah itu
ditemukan dengan cara memberikan dan memecahkan algoritma. Hasil ii konsisten dengan
penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa pendekatan MR membantu siswa memahami
lebih baik tentang matematika (Fosnot & Dolk, 2002; Ng & Lee, 2009; Van den Heuvel-
Panhuizen, 2003). Teuan ini juga mengatakan bahwa siswa dapat mengembangkan
pembelajaran mereka jika mereka lebih dahulu dikenalkan pada pendekatan MR yang didesain
untuk menekankan penalaran dan justifikasi matematika. Setelah diberikan beberapa varian
representasi MR, siswa bisa saja menjadi lebih siap untuk menambah masalah awal
kemampuan pemecahan dengan algoritma yang lebih efisien. (Donovan & Bransford, 2005;
Van de Walle & Lovin, 2006).
Urutan dari MR pertama juga selaras dengan beberapa studi empirikal yang mendukung
Teori Bruner (Bruner, 1966) yang merekomendasikan instruksi untuk diurutkan dari
representasi dasar ke representasi abstrak dengan angka-angka dan simbol-simbol (Goldstone
& Son, 2005; Nathan & Koedinger, 2000). Sementara hasil penelitian ini menyarankan
dukungan untuk pendekatan MR pertama, penting untuk menyoroti bahwa banyak dukungan
empiris juga telah ditemukan pada pendekatan prosedur-pertama (Briars & Siegler, 1984;
Byrnes & Wasik, 1991). Selain itu, Ma (2010) menjelaskan pengembangan "pemahaman
mendalam tentang matematika fundamental" sebagai paket mental yang terorganisasi dengan
baik tentang konsep dan prosedur yang berhubungan erat. Ini menunjukkan bahwa mungkin
pendekatan pengajaran integratif di mana pengetahuan prosedural dan konseptual diajarkan
bersama mungkin lebih disukai. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya, harus terus
menyelidiki bagaimana pendekatan pengajaran TA dan MR dapat diintegrasikan untuk
mendukung hasil belajar siswa dengan sebaik-baiknya dan dengan konten matematika lainnya.
Hasil lebih lanjut menunjukkan bahwa, dalam hal pengajaran, menggunakan
pendekatan MR sebelum pendekatan TA mungkin juga bermanfaat bagi guru. Dalam penelitian
ini, guru mencatat bahwa walaupun sebagian besar siswa berjuang dan ditantang oleh
pendekatan MR, sangat sulit untuk melibatkan siswa TA pertama yang telah diberi pendekatan
algoritmik tradisional tentang bagaimana memecahkan masalah yang ada. Lebih lanjut lagi,
guru mencatat bahwa siswa TA pertama menyatakan bahwa mereka tidak menemukan banyak
nilai untuk mengeksplorasi metode alternatif untuk memecahkan masalah yang telah
diperkenalkan pada algoritma efisien yang dapat digunakan. Hal ini juga menyebabkan guru
menemui beberapa tantangan.
Meskipun kedua pendekatan disajikan dalam urutan yang berbeda, perilaku siswa yang
diamati sama dengan siswa MR pertama. Selama modul 2 dimana siswa MR pertama disajikan
dengan pendekatan TA, siswa diamati lebih pada tugas. Refleksi guru juga mencatat bahwa
siswa bahkan menyatakan preferensi untuk pendekatan algoritmik selangkah demi selangkah.
Sebagai contoh, refleksi tertulis guru menunjukkan bahwa kelompok pertama MR mengalami
kesulitan dengan banyak representasi pada awalnya namun ketika diperkenalkan ke algoritma
pada modul kedua, mereka sangat bersyukur. Meskipun mungkin ada banyak alasan untuk hasil
ini, hal ini mungkin disebabkan oleh kemudahan penggunaan algoritma. Lebih lanjut lagi,
preferensi siswa mungkin karena keakraban siswa dengan pendekatan pengajaran jenis ini yang
sering ditekankan di kelas dan buku teks matematika Amerika (Ma, 2010; National Research
Council [NRC], 2001; Van de Walle & Lovin, 2006). Sementara guru dalam penelitian ini
dikenal karena pengajaran dengan banyak representasi dan siswa di kelasnya terbiasa dengan
kedua pendekatan tersebut, pengalaman bertahun-tahun di kursus sebelumnya mungkin
berdampak pada pembelajaran dan preferensi mereka terkait dengan topik pecahan, persen, dan
desimal. Lebih jauh lagi, asumsi utama penggunaan pendekatan MR adalah bahwa hal itu akan
menyebabkan meningkatnya perilaku on-task siswa karena siswa diminta untuk memahami
berbagai representasi dan model mereka, menjelaskan metode mereka secara tertulis,
mendiskusikan strategi dengan teman sebaya mereka dalam kelompok, dan merasionalkan
metode mereka secara verbal dengan guru dan rekan mereka. Sayangnya, seperti yang
disarankan oleh studi ini, ini mungkin tidak selalu demikian. Penelitian selanjutnya harus terus
menyelidiki perilaku on-task siswa, tetapi juga preferensi siswa untuk berbagai strategi dan alat
pemecahan masalah. Lebih jauh lagi, penting untuk menyoroti pentingnya pengetahuan dan
preferensi guru. Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa siswa sering menggunakan
alat dan model yang sama seperti yang digunakan guru mereka (Cai, 2004; Cai & Lester, 2005).
Jika guru menekankan pendekatan TA daripada pendekatan MR, ini mungkin menjelaskan
preferensi dan kenyamanan siswa dengan pendekatan TA. Ini juga memiliki kaitan dengan
bagaimana guru dilatih. Sayangnya, jika guru telah diajarkan, dipersiapkan, dan dilatih hanya
dengan pendekatan TA (Wu, 2011), mereka sering hanya menggunakan metode ini untuk
mengajar matematika.
Saat siswa menyadari pendekatan MR menantang, penelitian menemukan bahwa guru
juga mungkin tidak memiliki pemahaman dan kemampuan matematika yang mendalam untuk
menggunakan pendekatan MR (Ma, 2010). Penelitian di masa depan harus terus menyelidiki
tidak hanya bagaimana siswa dapat didukung, tetapi juga bagaimana guru mereka dapat
dipersiapkan dengan lebih baik untuk mendukung dan membantu siswa mereka. Selain itu,
penelitian harus melibatkan pengumpulan pengamatan perilaku guru selama pelaksanaan
pendekatan TA dan MR. Karena kemungkinan keberhasilan siswa dengan pendekatan
keduanya bergantung pada guru, mereka harus dapat berhasil menerapkan dan memfasilitasi
pembelajaran siswa dengan kedua pendekatan tersebut. Bagi guru yang tidak terbiasa dengan
metode MR dan lebih terbiasa dengan pengajaran tradisional, panduan tentang bagaimana
menata ulang pembelajaran siswa dengan pendekatan MR harus diberikan untuk memandu
pelaksanaannya. Penelitian masa depan mungkin juga menyelidiki keyakinan dan nilai guru
tentang pengajaran dan pembelajaran karena hal ini dapat mempengaruhi penerapan strategi
pengajaran (Clark & Peterson, 1986). Thompson (1992) menemukan bahwa guru yang
memiliki kepercayaan tradisional tentang apa artinya "mengenal matematika" cenderung
mengajar secara tradisional dengan mengenalkan algoritme baru, memberikan petunjuk kepada
siswa langkah demi langkah, dan kemudian menugaskan mereka untuk mempraktikkan
algoritme dan prosedur ini. Sebagai alternatif, guru yang memiliki kepercayaan lebih
berorientasi pada penyelidikan melibatkan siswa dalam kegiatan membangun konsep
matematika, menggunakan penalaran, dan mengkomunikasikan gagasan (Ball, 1993; Stipek,
Givvin, Salmon, & MacGyvers, 2001).

5 Kesimpulan

Banyak pemimpin dalam pendidikan matematika saat ini mendukung gagasan bahwa siswa
harus memiliki keseimbangan antara pemahaman konseptual dan kelancaran prosedural di
semua bidang matematika (NCTM, 2000, 2009). Sementara pengetahuan konseptual tidak
boleh ditinggikan di atas pengetahuan prosedural (Howe, 1999), pendekatan pengajaran yang
membantu siswa dengan pemahaman konseptual sangat penting terutama dengan standar
matematika yang lebih baru yang memerlukan perhatian lebih besar untuk diberikan pada
pemahaman konseptual mengenai kelancaran prosedural (NRC, 2001 ). Dengan standar baru
ini, guru dan siswa dapat didorong untuk mengambil bagian dalam pendekatan pengajaran yang
tidak biasa, seperti penggunaan banyak representasi dan model matematis. Dengan demikian,
seperti yang terlihat dalam penelitian ini, diperlukan lebih banyak penelitian mengenai
bagaimana mendukung siswa dengan pendekatan baru ini dan bagaimana mengatur instruksi
mereka sesuai dengan praktik pembelajaran tradisional yang telah terbiasa dengan siswa.
Lampiran

Tabel 5 Item pra-tes dan tingkat keberhasilan (strategi yang benar dan solusi yang benar) dengan
perlakuan
Item NA pertama TA pertama
(N=22) (N=21)
1.) Berapa 25% dari 32? 68.2 % 85.7 %
2.) Urutkan bilangan berikut dari yang terbesar ke yang terkeicil: 0,43, 50.0 % 52.4 %
297%, 4/5, 17%.
3.) Tiga kandidat berpartisipasi dalam pemilihan sekolah. Bianca menerima 72.7 % 71. 4 %
¼ suara, Chelsea menerima 0,30 suara, dan Francisco menerima sisa
suara. Berapa persen suara yang diterima Francisco?
4.) Jena sedang makan di Red Robin. Total tagihannya sampai $ 28. Jika dia 45.5 % 47.6 %
memutuskan untuk memberikan tip yaitu 15% dari total tagihan, berapa
banyak yang harus dia beri untuk tip itu?
5.) 40 siswi kelas 7 sedang mencoba masuk tim basket, tapi hanya 15 yang 45.5 % 14.3 %
diterima oleh tim. Berapa persen dari keseluruhan gadis yang akan
menjadi anggota tim?
6.) Seorang karyawan memperoleh $ 40.000 dalam setahun dan memiliki $ 50.0 % 23.8 %
8000 dari penghasilannya yang dipotong untuk pajak penghasilan
federal. Berapa persen yang tidak diberikan?
7.) Mike dan anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun ikut serta dalam lomba 36.4 % 42.9 %
5-K. Mike cepat berlari balapan di 28 menit. Anaknya, yang kadang
berjalan dan kaddang berlari, menyelesaikan balapan di 175% dari
waktu yang dibutuhkan Mike. Berapa menit waktu yang dibutuhkan
putra Mike untuk menyelesaikan balapan?
8.) Perusahaan sampo memasukkan sampo 16% lebih banyak ke dalam 4.5 % 42.9 %
masing-masing botol baru mereka. Jika botol asli mengandung 80 ons
cairan, berapa ons yang dipakai botol baru?
9.) Lu pergi belanja keyboard. Di toko, keyboard yang awalnya dijual 22.7 % 42.9 %
seharga $ 250, memiliki penurunan harga 20%. Berapa harga baru
setelah dikurangi?
10.) Hiu perontok dapat tumbuh hingga panjang 18 kaki Ini adalah 30% 22.7 % 28.6 %
dari panjang maksimum paus biru. Temukan panjang maksimum paus
biru.
Tabel 6 Item pasca-tes dan tingkat keberhasilan (strategi yang benar dan solusi yang benar) dengan
perlakuan
Item NA pertama TA pertama
(N=22) (N=21)
1.) Berapa 25% dari 36? 95.5 % 85.7 %
2.) Urutkan bilangan berikut dari yang terbesar ke yang terkeicil: 3/5, 0.16, 68.2 % 66.7 %
119 %, 65 %.
3.) Tiga supir pengangkut mengangkut banyak orang di pameran. Blaine 77.3 % 85.7 %
mengangkut ¼ dari beban sebelum traktornya rusak. Marcos hanya
mengangkut 0,15 dari seluruh muatan karena terlambat tiba. Berapa
persen apakah Jennifer mengangkut jika dia mengangkut sisa beban?
4.) Kurt mengajak pacarnya keluar makan untuk Hari Valentine. 63.6 % 71.4 %
Tagihannya mencapai $ 42 dolar dan dia ingin meninggalkan tip 15%.
Berapa banyak tip yang harus dia tinggalkan?
5.) Tim Courtney memenangkan 15 pertandingan tahun ini. Jika timnya 77.3 % 81.0 %
bermain total 25 pertandingan musim ini, berapa persen permainan
mereka yang tim Courtney menangkan?
6.) Creighton menonton TV selama 20.000 menit dari televisi setahun. Saat 77.3 % 85.7 %
ini, 17.000 menit dikhususkan untuk olahraga. Berapa persen waktu TV
Creighton yang dihabiskan untuk menonton olahraga?
7.) Simon tingginya 50 inci. Kakaknya, John, 130% setinggi Simon. Berapa 68.2 % 66.7 %
tinggi John?
8.) Sebuah paket spaghetti mengiklankan 11% lebih untuk harga yang sama. 54.5 % 33.3 %
Jika ukuran aslinya 12 oz, berapa ons ada dalam paket spaghetti yang
baru dan lebih besar?
9.) Cassidy pergi berbelanja MP3 player. Di toko, MP3 player awalnya 68.2 % 33.3 %
dijual dengan harga $ 180, lalu mengalami penurunan harga sebesar
30%. Berapa harga baru setelah dikurangi?
10.) 210 siswa datang ke pertandingan basket rumah Stucky yang terakhir. 63.6 % 52.4 %
Ms Ellis terkesan karena ini mewakili 30% dari keseluruhan seluruh
tubuh siswa Stucky.
Jika ini benar, berapa banyak siswa yang membentuk siswa tubuh di
Stucky?

Referensi-Referensi

Ball, D. (1993). With an eye toward the mathematical horizon: Dilemmas of teaching
elementary school mathematics. Elementary School Journal, 93, 373–397.
Bennett, J. M., Burger, E. B., Chard, D. J., Jackson, A. L., Kennedy, P. A., Renfro, F. L., et al.
(2007). Holt mathematics: Course 3. Orlando: Holt, Rinehart, and Winston.
Best, J. W., & Kahn, J. V. (2006). Research in education. Boston: Pearson.
Bottoms, G. (2003). Getting students ready for algebra I: What middle grades students need
to know and be able to do. Atlanta: Southern Regional Education Board.
Briars, D., & Siegler, R.S. (1984). A featural analysis of preschoolers' counting knowledge.
Developmental Psychology, 20, 607-618.
Bruner, J. (1966). Toward a theory of instruction. Cambridge: Harvard University Press.
Byrnes, J. (1992). The conceptual basis of procedural learning. Cognitive Development, 7,
235–257.
Byrnes, J. P., & Wasik, B. A. (1991). Role of conceptual knowledge in mathematical procedural
learning. Developmental Psychology, 27, 777–786.
Cai, J. (2004). Why do U.S. and Chinese students think differently in mathematical problem
solving? Impact of early algebra learning and teachers’ beliefs. Journal of Mathematical
Behavior, 23(2), 135– 167.
Cai, J., & Lester, F. K. (2005). Solution representations and pedagogical representations in
Chinese and U.S. classrooms. Journal of Mathematical Behavior, 24(3–4), 221–237.
Canobi, K. H., Reeve, R. A., & Pattison, P. E. (1998). The role of conceptual understanding in
children’s addition problem solving. Developmental Psychology, 34, 882–891.
Clark, C. M., & Peterson, P. L. (1986). Teachers’ thought processes. In M. Wittrock (Ed.),
Handbook of research in teaching (3rd ed., pp. 255–296). New York: Macmillan.
Council of Chief State School Officers & National Governors Association. (2010). Common
Core State Standards-Mathematics. Retrieved July 1, 2013, from
http://www.corestandards.org/Math
Donovan, M. S., & Bransford, J. D. (Eds.). (2005). How students learn: Mathematics in the
classroom. Washington D. C.: The National Academies Press.
Fosnot, C. T., & Dolk, M. (2002). Young mathematicians at work: Constructing fractions,
decimals, and percents. Portsmouth: Heinemann.
Goldin, G. A., & Shteingold, N. (2001). Systems of representations and the development of
mathematical concepts. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.), The roles of representation
in school mathematics (pp. 1–23). Reston: NCTM.
Goldstone, R. L., & Son, J. Y. (2005). The transfer of scientific principles using concrete and
idealized simulations. The Journal of the Learning Sciences, 14, 69–110.
Halford, G. S. (1993). Children’s understanding: The development of mental models.
Hillsdale: Erlbaum.
Hiebert, J., & Carpenter, T. P. (1992). Learning and teaching with understanding. In D. A.
Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 65–97).
New York: Mcmillan.
Hiebert, J., & Lefevre, P. (1986). Conceptual and procedural knowledge in mathematics: An
introductory analysis. In J. Hiebert (Ed.), Conceptual and procedural knowledge: The case
of mathematics (pp. 1–27). Hillsdale: Lawrence Erlbaum Associates.
Howe, R. (1999). Knowing and teaching elementary mathematics [Review of the book
Knowing and teaching elementary mathematics , by L. Ma]. Notices of the AMS, 46, 881–
887.
Karmiloff-Smith, A. (1994). Self-organization and cognitive change. In M. H. Johnson (Ed.),
Brain development and cognition (pp. 592–618). Cambridge: Basil Blackwell.
Lamon, S. J. (2001). Presenting and representing: From fractions to rational numbers. In A. A.
Cuoco & F. R. Curcio (Eds.), The roles of representation in school mathematics (pp. 146–
165). Reston: National Council of Teachers of Mathematics.
Ma, L. (2010). Knowing and teaching mathematics: Teachers’ understanding of fundamental
mathematics in China and the United States. New York: Routledge.
Morris, S. B., & DeShon, R. P. (2002). Combining effect size estimates in meta-analysis with
repeated measures and independent-groups designs. Psychological Methods, 7(1), 105–125.
Nathan, M. J., & Koedinger, K. R. (2000). Teachers’ and researchers’ beliefs of early algebra
development. Journal for Research in Mathematics Education, 31(2), 168–190.
National Research Council. (2001). Adding it up: Helping children learn mathematics. In J.
Kilpatrick, J. Swafford, & B. Findell (Eds.), Mathematics Learning Study Committee,
Center for Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education.
Washington: National Academy Press.
National Council of Teachers of Mathematics. (2009). Focus in high school mathematics:
Reasoning and sense making. Reston: National Council of Teachers of Mathematics.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and standards for school
mathematics. Reston: National Council of Teachers of Mathematics.
Newton, K. J., & Sands, J. (2012). Why don’t we just divide across? Mathematics Teaching in
the Middle School, 17(6), 340–345.
Ng, S.F., & Lee, K. (2009). The model method: Singapore children's tool for representing and
solving algebraic word problems. Journal for Research in Mathematics Education, 40(3),
282-313.
Putnam, R. T., Heaton, R. M., Prewat, R. S., & Remillard, I. (1992). Teaching mathematics for
understanding. Elementary School Journal, 93, 213–228.
Rasmussen, C., Heck, D. J., Tarr, J. E., Knuth, E., White, D. Y., Lambdin, D. V., et al. (2011).
Trends and issues in high school mathematics: Research insights and needs.
JournalforResearchinMathematicsEducation,42(3), 204–219.
Rittle-Johnson, B., Siegler, R. S., & Alibali, M. W. (2001). Developing conceptual
understanding and procedural skill in mathematics: An iterative process. Journal of
Educational Psychology, 93, 346–362.
Schneider, M., & Stern, E. (2010). The developmental relations between conceptual and
procedural knowledge: A multimethod approach. Developmental Psychology, 46(1), 178–
192.
Sprick, R., Knight, J., Reinke, W., & McKale, T. (2006). Coaching classroom management:
Strategies and tools for administrators and coaches. Eugene: Pacific Northwest Publishing.
Stipek, D. J., Givvin, K. B., Salmon, J. M., & MacGyvers, V. L. (2001). Teachers’ beliefs and
practices related to mathematics instruction. Teaching and Teacher Education, 17(2), 213–
226.
Thompson, A. G. (1992). Teachers’ beliefs and conceptions: A synthesis of the research. In D.
A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 127–
146). New York: Macmillan.
Van den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The didactical use of models in realistic mathematics
education: An example from a longitudinal trajectory on percentage. Educational Studies in
Mathematics, 54, 9–35.
Van de Walle, J. A., & Lovin, L. H. (2006). The Van de Walle Professional Mathematics
Series: Vol. 3. Teaching student-centered mathematics: Grades 5–8. Boston: Pearson.
Wu, H. (2011). The mis-education of mathematics teachers. Notices of the American
Mathematical Society, 58, 372–383.

Anda mungkin juga menyukai