Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya,

sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan

gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi

kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara

terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.1

Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan

pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan

normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat

mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas

terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial

karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.1,2

Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas

hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2

normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg.

Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas

kronik.Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan

neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal

napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penangan yang

cepat dan tepat1,3

1
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi

Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang

terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru.

Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas difusi

CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi dapat

dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal. Hiperkapnia adalah

proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat (hipoventilasi global atau

general) dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia.4

2.2. Etiologi

Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular,

dinding thoraks dan diafragma, paru, serta system kardiovaskuler.

2
1. Otak - Asma
- Neopla - Infeksi
sma paru
- Epileps - Benda
i asing
- Hemato - Pneum
ma othorak
Subdur s,
al hemath
- Keracu oraks
nan - Edema
Morfin Paru
- CVA - ARDS
2. Susunan - Aspiras
Neuro- 5. Kardiovask
muskular uler
- Miaste - Renjata
nia n,
Gravis Gagal
- Polyne jantung
uritis, - Emboli
demyel paru
inisasi 6. Pasca
- Analge Bedah
sia Thoraks
spinal
tinggi
- Pelump
uh otot
3. Dinding
Thoraks
dan
Diafragma
- Luka
tusuk
Thorak
s
- Ruptur
diafrag
ma

4. Paru

3
2.3. Fisiologi Pernafasan

Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan Oksigen (O2)

bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan

dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1) ventilasi paru, yang

berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru; (2) difusi O 2 dan

karbon dioksida antara alveoli dan darah; (3) transport O 2 dan karbon dioksida dalam

darah dan cairan tubuh ke dan dari sel dan (4) pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari

pernapasan.

1. Ventilasi
 Ventilasi Paru

Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh

ke alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-alveoli. Proses ini

terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang

kempiskan melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau

memperkecil rongga dada, dan (2) depresi dan elevasi tulang iga untuk

memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama

inspirasi, kontraksi diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah.

Kemudian selama ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis

daya lenting paru (elastic recoil), dinding dada, dan struktur abdominal akan

menekan paru-paru. Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot

interkostalis eksterna, otot lain yang membantu adalah otot sternokleidomastoideus

yang mengangkat sternum ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian

besar iga, dan otot skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot

yang berperan saat ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot interkostalis

interna. Kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses

4
aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi

terjadi melalui penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa

memerlukan energi.5

 Inspirasi : Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra alveolar) lebih rendah dari

tekanan udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara

-1mmHg sampai dengan -3mmHg. Pada saat inspirasi dalam tekanan intra

alveolar dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonar pada

waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga thorax karena

berkontraksinya otot-otot inspirasi.


Proses inspirasi: Kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna 

Volume thorax membesar  Tekanan Intra pleura menurun  Paru

mengembang  Tekanan intra alveolar menurun  Udara masuk ke dalam

paru
 Ekspirasi : Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan

udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar

meningkat bila volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot

inspirasi berelaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intraalveolar berkisar

antara +1mmHg sampai +3mmHg


Proses ekspirasi: Otot inspirasi relaksasi  volume thorax mengecil 

tekanan intrapleura meningkat volume paru mengecil  tekanan intra

alveolar meningkat  udara bergerak keluar paru.


 Tekanan Intrapleura : Adalah tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura

parietalis dan pleura viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara

dan mempunyai tekanan negatif kurang lebih -4mmHg dibandingkan dengan

tekanan intraalveolar.
 Volume Pernapasan semenit : Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke

dalam saluran pernapasan tiap menit, dan ini sesuai dengan volume alun napas

5
(volume Tidal/VT) dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT normal kira-

kira 500ml dan frekuensi pernapasan normal kira-kira 12 kali permenit. Oleh

karena itu, volume pernapasan semenit rata-rata sekitar 6 liter/menit


 Ventilasi Alveolar (VA)

Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O 2 pada

tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya

ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau

keluar paru, laju napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik.

Banyaknya udara masuk atau keluar paru dalam setiap kali bernapas disebut

sebagai Volume Tidal (VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT

normal pada orang dewasa berkisar 500 – 700 ml. Volume napas yang berada di

jalan napas dan tidak ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead Space (VD)

atau Ruang Rugi dengan nilai normal sekitar 150 – 180 ml yang terbagi atas tiga

yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2) Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead

Space.5

Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut,

hidung dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar Dead

Space yaitu volume napas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi

pertukaran gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai

darah. Dan atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada

aliran darah pada alveoli tersebut.5

Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang masuk dalam

alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan lainnya) setiap menit. Ini sama

dengan frekuensi napas dikalikan dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli

setiap kali bernapas:

6
VA = (VT – VD) x RR
VA: Ventilasi Alveolar
VT: Volume Tidal
VD: Volume dead space/ ruang rugi
RR: Respiration Rate
Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan kurang
lebih 40mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi ventilasi.
Hiperventilasi alveolar adalah VA yang diperlukan untuk kebutuhan
metabolisme tubuh dan direfleksikan dengan PaCO2 kurang dari 40mmHg,
sedangkan hipoventilasi alveolar adalah VA yang diperlukan untuk metabolism
tubuh dengan PaCO2 lebih dari 40mmHg.

2. Difusi (Pertukaran Gas Paru)

Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya dalam

proses pernapasan adalah difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi

karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membrane tipis antara alveolus dan

kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga udara pernapasan sampai di

alveoli untuk mengadakan pertukaran gas. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh 4

faktor utama:

1) Karakteristik gas, perbedaan tekanan parsial antar gas di alveoli dan di dalam

plasma.
2) Jarak yang harus dilalui proses difusi
-
Variable membrane dinding alveolar dan kapiler
-
Ketebalan jaringan
-
Permukaan area
-
Sifat membrane dan koefisien difusi gas, kelarutan gas, sifat fisikokimia
3) Konsentrasi eritrosit di kapiler bed dan volume rata-rata di dalam kapiler.
4) Kecepatan uptake gas oleh kapiler darah normal atau rata-rata eritrosit atau

volume kapiler/mmHg

7
Gambar 1. Proses pertukaran gas di alveolus Terjadinya

difusi O2 dan CO2 ini karena adanya perbedaan tekan parsial. Tekanan udara luar

sebesar 1 atm (760 mmHg), sedangkan tekanan parsial O2 di paru-paru ±760

mmHg. Tekanan parsial pada kapiler darah arteri ±100 mmHg, dan di vena ±

40mmHg. Hal ini menyebabkan O2 berdifusi dari udara ke dalam darah.

Sementara itu, tekanan parsial CO2 dalam vena ±47 mmHg, tekan parsial CO2

dalam arteri ±41 mmHg dan tekan parsial dalam alveolus ±40mmHg. Oleh

karena itu CO2 berdifusi dari darah ke alveolus.

Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian

antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta oleh

pemakian terus menerus O2 oleh sel-sel dan pemasukan teru-menerus O 2 segar

melalui ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-

tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibat

gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta oleh produksi terus-menerus CO2 oleh

sel dan pengeluaran terus-menerus CO2 alveolus oleh proses ventilasi.


3. Transport O2 dan Karbondioksida

Bila O2 telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, O 2 terutama

ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan, dimana

8
O2 dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah

merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah O 2 yang dapat

ditranspor dalam bentuk O2 terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel

jaringan, O2 bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah

besar karbondioksida (CO2). CO2 masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor

kembali ke paru-paru

Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1) secara

fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi berikatan

dengan hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira sebesar 97% O2

ditranspor melalui cara ini. Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible,

dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai

hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang

ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah.
Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan

langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga

bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transport seperti ini tidak

memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat

sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah

merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya keracunan karbon monoksida atau

hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan

hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O2

bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).


Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma

dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan

jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi,

9
namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O 2 pada waktu Hb kembali ke

paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O 2 dalam darah

arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O 2

pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan

menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna

merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.


Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga

cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2,

CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino

pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70%

diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air

dalam reaksi berikut ini :

CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-

Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-

karbonat. Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi

paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus

dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis

(peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO 2 berlebihan

dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi

kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru.

Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan

reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+

(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan,

menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH).

10
 Kurva Dissosiasi Oksi-Hemoglobin

Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus diketahui

afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2

oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika darah lengkap

dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase kejenuhan Hb

diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran

tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi

oksihemoglobin yang menyatakan afinitas Hb terhadap O2 pada berbagai tekanan

parsial. Pada kurva ini, bagian atasnya mendatar dan dikenal sebagai arteri, dan

bagian yang lebih ke bawah berbentuk curam dan dikenal sebagai bagian vena.

Kurva ini menunjukkan saturasi O2 akan mencapai 100% saat tekanan parsial O2

(PO2) 100 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan oksigen sangat penting

untuk tercapainya saturasi oksigen yang baik.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi afinitas

oksihemoglobin dan akan menggeser kurva dissosiasi oksihemoglobin ke kanan

dan ke kiri, faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)

Kurva disosiasi HbO2


Pergeseran ke kiri Pergeseran ke kanan

(P50 menurun) (P50 meningkat)


pH ↑ pH ↓
PCO2 ↓ PCO2 ↑
Suhu ↓ Suhu ↑
2,3 DPG ↓ 2,3 DPG ↑
P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%
5,6
4. Pengaturan Ventilasi

11
Tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga homeostasis tekanan parsial

oksigen dan karbondioksida arterial (PaO2 dan PaCO2) serta PH. Tiga unsur dasar

pengaturan ventilasi adalah:

1. Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan mengirimkan

melalui serabut saraf afferent ke pusat kontrol di otak


2. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke effektor
3. Effektor (otot-otot pernapasan) sehingga timbul ventilasi.

Tidak seperti peacemaker jantung, peacemaker pernapasan tidak

dijumpai di paru tetapi terletak di medulla batang otak, yang terdiri dari beberapa

komponen dan subsentral yang berinteraksi sehingga menghasilkan napas yang

ritmik. Output dari central pernapasan ini ditransmisikan melalui nn.phrenicus ke

diafragma dan melalui saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central

ini dipengaruhi oleh sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik

maupun kemis. 5

Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari batang

otak. Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan (kontrol

volunteer). Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada kondisi tertentu.

1. Pusat Pernapasan

Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak yaitu:

a. Medullary Respiratory Centre


Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla, terdiri dari dua bagian,

yaitu:
-
Inspiratory area: sel-sel neuron terletak di region dorsalis medulla yaitu

nucleus ductus solitaries, bertanggung jawab pada pengaturan ritme

ventilasi.

12
-
Expiratory area: sel-sel neuron terletak di region anterior medulla (nucleus

ambiguous dan nucleus retroambiguous). Nuclei ini tidak aktif pada

pernapasan normal, karena ventilasi dicapai dengan kontraksi otot-otot

inspirasi (terutama diafragma) diikuti relaksasi pasif sampai terjadi

keseimbangan. Pada k ponsondisi tertentu (misalnya olah raga) ekspirasi

akan aktif sebagai aktifitas sel-sel ekspirasi.


-
Apneustic centre: terletak di bagian bawah pons. Akibat aktifitas impuls dari

bagian ini, akan berakibat perpanjangan waktu inspirasi. Pada kondisis

normal kerja apneustic centre pada manusia tidak diketahui, namun pada

trauma otak yang berat tipe pernapasan ini akan tampak.


-
Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para brachialis.

Aktifitas sentra ini mengatur volume inspirasi dan rate inspirasi. Beberapa

peneliti mengemukakan bahwa kerja bagian ini adalah sebagai “fine tuning”

dari irama pernapasan.6

Gambar 2. Area pusat pernapasan

b. Cortical Center
Input kortikal pada sentra

respirasi akan menghasilkan respirasi

yang bersifat kontrol voluntary.


c. Bagian Lain Otak

13
Bagian lain dari otak seperti sistim limbic dan hipotalamus dapat

merubah pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan

ketakutan.6
2. Efektor
Otot-otot efektor respirasi termasuk di dalamnya adalah diafragma,

mm.intercostalis, mm.Abdominalis, dan m.sternokleidomastoideus, berada

dalam kendali setara pernapasan. Bayi baru lahir, terutama premature, otot-

otot respirasi belum terkoordinasi, terutama selama tidur.


3. Sensor
a. Central Chemoreceptor : Sel yang berada pada sentrum ventilasi, yang

mana sensitive terhadap perubahan PH cairan ekstraseluler. Perubahan cairan

ekstraseluler diperngaruhi oleh PaCO2, karena CO2 akan diubah menjadi

HCO3. Aktivitas ventilasi akan meningkat yang merupakan akibat dari

kenaikan CO2 atau sebaliknya. Karbondioksida akan dengan mudah melintasi

sawar darah otak, sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO 2 (2-3 mmHg)

akan dengan cepat merubah ventilasi permenit.


b. Peripheral Chemoreceptor : Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang

arcus aorta. Kecepatan aliran darah pada badan carotis berhubungan dengan

diameter pembuluh darah, yang akan diikuti respon ventilasi pada perubahan

PaO2 dan kurang tanggap terhadap perubahan PaCO2. 6

2.4. Klasifikasi Gagal Nafas

Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal

napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan

gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, PH

darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih

lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi

bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun sedikit.7

14
2.4.1. Gagal Nafas Hipoksemia/ Gagal Nafas Tipe I/ Gagal Oksigenasi
Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas

hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO 2 yang rendah tetapi PaCO2 normal

atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang

masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak

biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada

ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia

menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru.

Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah

pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS. 7

 Patofisiologi gagal napas hipoksemia

Hipoksemia dan hipoksia

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan

dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah

tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya

saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian

(delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat

penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septic

atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.

Mekanisme hipoksemia

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu 1)

berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh campuran darah vena

(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak

mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang

15
keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang

sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas

bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan

mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2

alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara

PVO2 dan PAO2. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO 2 alveolar,

atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah

kapiler pulmonal (campuran vena)7,8

Penurunan PO2Alveolar

Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO 2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila
PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan
menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2,
yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di
ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan
antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric,

dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO2

memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan

sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat.

Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2). 7

Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi

jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO 2 rendah

(seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan

gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO 2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya

16
karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia

karena hipoventilasi.

Pencampuran Vena (Venous Admixture)

Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang

mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO 2

alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan

pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2 alveolar

arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek

berada pada posisi tegak. 7,8,9

Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran

vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena

sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru,

akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru

dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1).

Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah

dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana

dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga

terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.

Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam

pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO 2 jika diberikan tambahan

oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 <

550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2

100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

17
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion mismatching = V/Q
mismatching)

Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasi-

perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah

paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya

beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran

darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain

mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.

Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang

mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan

hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara

kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah

distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma

dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas

cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti

tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan adanya

ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara

mudah dengan pemberian oksigen tambahan. 7,8

Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)

Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar

mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang

lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan

keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru

mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO 2 kapiler paru untuk

18
mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan

hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane

alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek.

Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai

penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary alveolar

proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid.

 Gambaran Klinis

Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran

hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan

ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea,

hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan

mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada

pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi

terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal,

tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir.

Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan

yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme

ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di

darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat

menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir

abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang

lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.

Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi,

19
diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat

lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan

iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung.

Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan

hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang

berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia

jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien

syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia

arterial ringan.8

2.4.2. Gagal Nafas Hiperkapnia / Gagal Nafas Tipe II/ Gagal Ventilasi

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar

PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di

alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan

hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru

mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika

penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot

pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering

mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru

stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat

menunjukkan gagal napas hiperkapnia.8

 Patofisiologi gagal napas hiperkapnia

Hipoventilasi alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO 2 dari proses metabolic

setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari kedua paru setiap

menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas di

20
kedua paru, sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama

semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__


863
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA

menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan terbalik. Jadi

hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim

dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan

ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PaCO 2 rumus diatas.

Ventilasi Semenit

Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2

meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total udara yang

bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini

didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep

fisiologis menganggap bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang

berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spce ventilation, VD)

VE = VA + VD  VA = VE - VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)
863

VD/VT menunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang

normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi

dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut

pertukaran udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga.

Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat: 7

1. nilai VE dibawah normal.

21
2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat.
3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.

Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari dan

ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran

udara dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi

anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui

udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan

penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi

fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran

darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun V/Q mismatching

umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori

V/Q mismatching juga akan menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam

hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia

merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q

mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan

peningkatan VE.7

 Gambaran Klinis

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan

PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui

turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO 2. Karena

CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara

cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.7

Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga

bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap

22
asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan

status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak.

Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.

Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia

mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada

penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea,

bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan

mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit

paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan

hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai

menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu

dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular

(sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan

pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering menunjukkan

peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami kelumpuhan

otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat

menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema,

atau trauma kepala.7,8

2.5. Diagnosis Gagal Nafas

Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan

mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada

23
setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari

sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi

perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas

adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan

PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui

apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat

dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang

mendasarinya).6

2.6. Penatalaksanaan Gagal Nafas

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,

penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di

rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala

perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan

penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri

adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying

disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.6

 Dasar-dasar fisiologis terapi

Gagal napas hiperkapnea

Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif

bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi

penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan

mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan

sekret, stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial

dengan selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan

24
untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah

primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki

ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus

hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal

pada kasus tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa

karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.6,8

Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang

didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan.

Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya

bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau

botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan

berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang

membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru

obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.

Gagal Napas Hipoksemia

Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik.

Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive end-

expiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak

didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan

menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk

diperhatikan, jika ada anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat

harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus

diatasi.8

25
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua

bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area

paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat

meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan

hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat

terjadi aspirasi darah atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS

dengan edema paru nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap),

paru akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit

area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen.6,8

Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan yang

spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah

tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan

pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.

 Pengobatan nonspesifik

Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala

yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil

menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.

Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:6,,7,8

1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen


2. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan napas

26
b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and

mask), IPPB
3. Ventilasi kendali
4. Fisioterapi dada

Terapi Oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan

PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit kronik yang

menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga

pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap

hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.

Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO 2),

menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34°C atau pemberian obat

pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian

oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe

venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali

dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.8

Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi

O2 Inspirasi.6

Alat Aliran O2 (L/men) Konsentrasi O2 (%)

Kateter nasal 2-6 30-50


Sungkup muka 4-12 35-65
Sungkup muka tipe 4-8 24, 28, 35, 40
venturi

27
Ventilator Bervariasi 21-100
Inkubator 3-8 30-40

Atasi Hiperkapnia, perbaiki Ventilasi

Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara sederhana

hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan gangguan

PH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan

ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru

kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik

dengan PH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau

dikenal sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.

Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah

meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat

menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia,

gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan

CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.6,7

a. Perbaiki jalan napas (Air Way)

Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi

kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum

menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway

maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas.

Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi

apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-

28
lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring

atau pipa trakea.6

b. Ventilasi Bantu

Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat

dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).

Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi

menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent

Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece

atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien

melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan

ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur.6

c. Ventilasi Kendali

Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.

Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-

obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak

dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.6

Fisioterapi Dada

Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini

selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan

bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan

menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang

baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian

29
perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan

seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator.

 Pengobatan Spesifik

Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan

untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan

yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam

pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel.6

Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut


Etiologi Pengobatan Spesifik
7. Otak
- Neoplasma - Rawat Operasi
- Epilepsi - Antikonvulsi
- Hematoma Subdural - Operasi
- Keracunan Morfin - Nalokson
- CVA - Rawat Intensif

8. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis - Prostigmin, Piridostigmin
- Polyneuritis, - Rawat dan bantuan napas
demyelinisasi ventilasi terkendali

- Analgesia spinal tinggi

- Pelumpuh otot
9. Dinding Thoraks dan
Diafragma - Operasi
- Luka tusuk Thoraks - Operasi
- Ruptur diafragma
10. Paru
- Asma - Steroid, Bronkodilator
- Infeksi paru - Antibiotik
- Benda asing - Bronkhoskopi
- Pneumothoraks, - Drainase paru
hemathoraks
- Edema Paru - Diuretika, Ventilasi kendali
- ARDS
- Aspirasi

11. Kardiovaskuler

30
- Renjatan, Gagal jantung - Obat-obatan
- Emboli paru - Terapi cairan

12. Pasca bedah Thoraks - Bantuan napas

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 9 Agustus 2011 dari
http://www.faqs.org/health/topics
2. Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 9 Agustus
2011 dari http://www.healthnewsflash.com

31
3. Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI.
4. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal
10 Agustus 2011 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
5. Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders (Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA et al). 3rd edition. 2002
6. Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
7. JF Palilingan, Gagal Nafas Dan Udem Paru, Available at : www.
Scribd.com/pdf/download/ Diakses 11 Agustus 2011
8. Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

32

Anda mungkin juga menyukai