0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
15 tayangan7 halaman
Model pembelajaran berbasis pemrosesan informasi didasarkan pada teori belajar kognitif yang menjelaskan proses internal belajar meliputi encoding, stroge, dan retrieval informasi. Teori ini menguraikan delapan fase belajar menurut Gagne dan asumsi utama tentang komponen sistem memori seperti sensory receptor, working memory, dan long term memory.
Model pembelajaran berbasis pemrosesan informasi didasarkan pada teori belajar kognitif yang menjelaskan proses internal belajar meliputi encoding, stroge, dan retrieval informasi. Teori ini menguraikan delapan fase belajar menurut Gagne dan asumsi utama tentang komponen sistem memori seperti sensory receptor, working memory, dan long term memory.
Model pembelajaran berbasis pemrosesan informasi didasarkan pada teori belajar kognitif yang menjelaskan proses internal belajar meliputi encoding, stroge, dan retrieval informasi. Teori ini menguraikan delapan fase belajar menurut Gagne dan asumsi utama tentang komponen sistem memori seperti sensory receptor, working memory, dan long term memory.
Teori pembelajaran pemrosesan informasi adalah bagian dari teori belajar sibernetik. Secara sederhana pengertian belajar menurut teori belajar sibernetik adalah pengolahan informasi. Dalam teori ini, seperti psikologi kognitif mengkaji proses belajar penting dari hasil belajar namun yang lebih penting dari kajian proses belajar itu sendiri adalah sistem informasi, sistem informasi inilah yang pada akhirnya akan menentukan proses belajar. Penjelasan lebih lanjut dari Bambang Warsita, bahwa berdasarkan kondisi internal dan eksternal ini, Gagne menjelaskan bagaimana proses belajar itu terjadi. Model proses belajar yang dikembangkan oleh Gagne didasarkan pada teori pemrosesan informasi, yaitu sebagai berikut : 1. Rangsangan yang diterima panca indera akan disalurkan ke pusat syaraf dan diproses sebagai informasi. 2. Informasi dipilih secara selektif, ada yang dibuang, ada yang disimpan dalam memori jangka pendek, dan ada yang disimpan dalam memori jangka panjang. 3. Memori-memori ini tercampur dengan memori yang telah ada sebelumnya, dan dapat diungkap kembali setelah dilakukan pengolahan. Seperangkat proses yang bersifat internal yang dimaksud oleh Gagne adalah kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan terjadinya proses kognitif dalam diri individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Teori pemrosesan informasi bermula dari asumsi bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan salah satu hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut teori ini, belajar merupakan proses mengelola informasi, namun teori ini menganggap sisitem informasi yang diproses yang nantinya akan dipelajari siswa adalah yang lebih penting. Karena informasi inilah yang akan menentukan proses dan bagaimana proses belajar akan berlangsung akan sangat oleh sistem informasi yang dipelajari. Gagne mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar. Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru. Setiap fase dipasangkan dengan suatu proses yang terjadi dalam pikiran siswa. Kejadian-kejadian belajar itu akan diuraikan dibawah ini, yaitu: 1. Fase motivasi Siswa yang belajar harus diberi motivasi untuk memanggil informasi yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Fase pengenalan Siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi. 3. Fase perolehan Apabila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima pelajaran. 4. Fase retensi Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui penggulangan kembali. 5. Fase pemanggilan Pemanggilan dapat ditolong dengan memperhatikan kaitan-kaitan antara konsep khususnya antara pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya. 6. Fase generalisasi Biasanya informasi itu kurang nilainya, jika tidak dapat diterapkan diluar konteks di mana informasi itu dipelajari. 7. Fase penampilan Tingkah laku yang dapat diamati. Belajar terjadi apabila stimulus mempengaruhi individu sedemikan rupa sehingga performancenya berubah dari situasi sebelum belajar kepada situasi sesudah belajar. 8. Fase umpan balik Para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan. Penerapan teori yang salah dalam situasi pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung dalam satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari para tokoh behavioristik dianggap metode paling efektif untuk menertibkan siswa. Asumsi yang mendasari teori-teori pemrosesan informasi menjelaskan tentang (1) hakekat sistem memori manusia, dan (2) cara bagaimana pengetahuan digambarkan dan disimpan dalam memori. Konsepsi lama mengenai memori manusia adalah bahwa memori itu semata-mata hanya tempat penyimpanan untuk menyimpan informasi dalam waktu yang lama, sehingga memori diartikan sebagai koleksi potongan-potongan kecil informasi yang terlepas-lepas atau saling tidak ada kaitannya. Akan tetapi pada tahun 1960-an memori manusia mulai dipandang sebagai suatu struktur yang rumit yang mengolah dan mengorganisasi semua pengetahuan manusia Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
1. Model Pemrosesan Informasi
Pada hakikatnya model pembelajaran dengan pemerosesan informasi didasarkan pada teori belajar kognitif. Model pembelajaran tersebut berorientasi pada kemampuan siswa memproses informasi dan sistem yang dapat memperbaiki kemampuan belajar siswa. Pemrosesan informasi menunjuk kepada cara-cara mengumpulkan atau menerima stimulus dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep-konsep dan pemecahan masalah serta menggunakan simbol-simbol verbal dan non-verbal. Proses informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (stroge) dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informas-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrival). Teori belajar pemerosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Encoding adalah proses memasukkan informasi ke dalam memori. Sistem syaraf menggunakan kode internal yang merepresentasikan stimulus eksternal. Dengan cara ini representasi objek/kejadian eksternal dikodekan menjadi informasi internal dan siap disimpan. Stroge adalah informasi yang diambilkan dari memori jangka pendek kemudian diteruskan untuk diproses dan digabungkan ke dalam memori jangka panjang. Namun tidak semua informasi dari memori jangka pendek dapat disimpan. Kunci penting dalam penyimpanan di memori jangka panjang adalah adanya motivasi yang cukup untuk mendorong adanya latihan berulang hal-hal dari memori jangka pendek. Retrieval adalah hasil akhir dari proses memori. Mengacu pada pemanfaatan informasi yang disimpan. Agar dapat diambil kembali, informasi yang disimpan tidak hanya tersedia tetapi juga dapat diperoleh karena meskipun secara teoritis informasi yang disimpan tersedia tetapi tidak selalu mudah untuk menggunakan dan menempatkannya. Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya diamksudkan untuk menemukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks. Teori pemrosesan informasi umumnya berpijak pada tiga asumsi berikut : 1. Antara stimulus dan respon berpijak pada asumsi, yaitu pemrosesan informasi ketika pada masing-masing tahapan dibutuhkan sejumlah waktu tertentu. 2. Stimulus yang diproses melalui tahap-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk ataupun isinya. 3. Salah satu tahapan mempunyai kapasitas yang terbatas. Dari ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen, yaitu komponen struktur dan pengatur alur pemrosesan informasi (proses kontrol). Komponen-komponen pemrosesan informasi dipilih berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas bentuk informasi, serta proses terjadinya ”lupa”. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut : a. Sensory Receptor (SR) Sensory Receptor adalah sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informasi hanya bertahan dalam waktu yang sangat singkat dan mudah tergangu atau berganti. b. Working Memory (WM) Working Memory diasumsikan mampu menangkap informasi yang mendapat perhatian individu, perhatian dipengaruhi oleh persepsi. Karekateristik Working Memory adalah memiliki kapasitas terbatas (informasi hanya mampu bertahan 15 detik jika tidak diadakan pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Artinya agar informasi dapat bertahan dalam WM, upayakan jumlah informasi tidak melebihi kapasitas disamping melakukan pengulangan. c. Long Term Memory (LTM) Long Term Memory diasumsikan: 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan 3) bahwa sekali informasi disimpan di dalam LTM, ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Sedangkan lupa adalah proses gagalnya memunculkan kembali informasi yang diperlukan. Tennyson mengemukakan proses penyimpanan informasi merupakan proses mengasimilisasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang telah dimiliki, yang selanjutnya berfungsi sebagai dadar pengetahuan. Pada taraf aplikasi, teori sibernetik dalam pembelajaran telah banyak dikembangkan, diantarannya adalah pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi. Berdasarkan pendekatan ini Reigeluth, Bunderson, dan Merril mengembangkan strategi penataan isi atau materi pembelajaran berdasarkan empat hal, yakni pemilihan, penataan urutan, rangkuman dan sintesis. Teori pemrosesan informasi memiliki keunggulan dalam strategi pembelajaran, yaitu sebagai berikut : 1. Cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol 2. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek ekonomis 3. Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap 4. Adanya keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai 5. Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya 6. Kontrol belajar memungkinkan belajaar sesuai irama masing-masing individu 7. Balikan informatif memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
2. Manfaat Teori Pemrosesan Informasi
Manfaat teori pemrosesan informasi antara lain: 1. Membantu terjadinya proses pembelajaran sehingga individu mampu beradaptasi pada lingkungan yang selalu berubah. 2. Menjadikan strategi pembelajaran dengan menggunakan cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol. 3. Kapabilitas belajar dapat disajikan secara lengkap. 4. Prinsip perbedaan individual terlayani.
3. Hambatan Terhadap Implementasi Teori Pemrosesan Informasi
Hambatan-hambatan terhadap implementasi teori pemrosesan informasi antara lain: 1. Tidak semua individu mampu melatih memori secara maksimal. 2. Proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. 3. Tingkat kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan. 4. Tidak menyediakan deskripsi yang memadai mengenai perubahan perkembangan dalam kognisi. 5. Kemampuan otak tiap individu tidak sama. Kemampuan berpikir/ daya otak manusia terbatas. Individu hanya dapat memerhatikan sejumlah informasi yang terbatas pada satu waktu, dan kecepatan untuk memproses informasi juga terbatas. 6. Anak membutuhkan waktu dan usaha untuk melatih encoding (penyandian), agar dapat menyandi secara otomatis.
B. Hirarki Berpikir Bloom
C. Pembelajaran Bermakna Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna terjadi apabila seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996:116) faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna adalah struktur kognitif yang telah ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam sutu bidang studi dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul pada waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Ausubel menolak pendapat bahwa semua kegiatan belajar dengan menemukan adalah bermakna, sedangkan kegiatan dengan ceramah adalah kurang bermakna. Belajar ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah ia ketahui.
1. Tipe Belajar Menurut Ausubel
Ada beberapa tipe belajar menurut Ausubel, yaitu: a. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada. b. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan. c. Belajar menerima ekspositori yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
2. Kebaikan Belajar Bermakna
Menurut Ausubel dan Novak (Burhanuddin, 1996 : 115) ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu : a. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat. b. Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip. c. Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah lupa. Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu: 1. Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna, 2. Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. 3. Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.
3. Hubungan Teori Belajar Bermakna dan Konstruktivisme
Teori Belajar Bermakna Ausubel sangat dekat dengan Konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif. Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.