PENDAHULUAN
A. Lata Belakang
Niat adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang
dilakukan oleh manusia. Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar
(ibadah) menghadirkan niat hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak
hadis yang mencantumkan seberapa penting arti menghadirkan niat dalam setiap
perbuatan. Niat juga mengan dung makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita
kerjakan.
Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan
sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” Jadi pada
intinya setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula dan
sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula.
Tetapi pada salah satu ibadah fardhu, yaitu salat. Masalah menghadirkan niat
menjadi suatu objek pertentangan di antara beberapa mahzab. Hal yang menjadi
titik pusat permasalahan bukanlah harus atau tidaknya niat itu dihadirkan. Karena
memang niat itu harus dihadirkan pada setiap perbuata. Tapi masalahnya terletak
pada cara menghadirkan niat dalam salat. Apakah cukup dalam hati saja? Atau
harus diucapkan? Dan masih banyak masalah lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atsa, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Apakah Definisi dan hakikat niat?
2. Apakah Hadits Tentang Niat dan Terjemahannya?
3. Bagaimanakah Pendapat Para Ulama tentang Niat?
1
4. Apakah Makna Kata dalam Hadits (mufrodat) tentang Niat?
5. Bagaimanakah Asbabul Wurud Hadits tentang Niat?
6. Apakah Kedudukan Hadits tentang Niat?
7. Apakah Penjelasan (syarah) Hadits tentang Niat?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah, ijma’ ini berdasar kepada
hadis yang disampaikan oleh Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku
mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah
mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya
karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi
maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan”.
B. Hadits Niat
Arti Hadist :
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata:
”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabdaSesungguhnya
seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan
4
sesuai niatnya:. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya,
maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena
(untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu
kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’”
(Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim
bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin
Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab
paling shahih diantara kitab-kitab hadits).
5
Tentang sabda Rasulullah, "semua amal itu tergantung niatnya" ada perbedaan pendapat
para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat
sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai
penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Kedua : Kalimat "Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya" oleh
Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari
sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh
Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga
seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a'lam
Ketiga : Kalimat "Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rosul-Nya" menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat
dan jawabnya, begitu pula mubtada' (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda,
sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik
secara bahasa atau syari'at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan
Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke
Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk
mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.
D. Makna Kata dalam Hadits (mufrodat)
1. أَبِ ْي َح ْفص:Bermakna Al-Asad (singa), sedang Abu Hafsh adalah julukan bagi ‘Umar bin
Khathab.
2. ِإنَّ َما: (hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan
hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat
Syarh An-Nawawy (13/54) dan Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin (1/168).
3. اْأل َ ْع َما ُل:Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).
ِ لنِِّيَّا:Merupakan jama’ dari kata niyat. Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak
4.ت ا
5. ام ِرئ:Artinya
ْ adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan
6
6. ُهِجْ َرتُه:Secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya.
Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut
fitnah dan untuk menegakkan agama. Adapun hijrah dalam hadits ini adalah Hijrah dari
Mekkah ke Madinah.
7. ِ ِإلَى للا:Maksudnya adalah menuju keridhaan Allah, baik dalam niat atupun tujuan.
ِ ِلد ُ ْن َيا ي:Artinya adalah demi tujuan duniawi yang ingin dicapainya.
8. ُص ْي ُب َها
اج ُر أُم
ِ َف َكانَ يُقَا ُل ُم َه, هَا َج َر َر ُجلٌُُ ِليَت َزَ َّو َج ْام َرأَة يُقَا ُل لَ َها أُم قَيْس, َشيْئا فَإِنَّ َما لَهُ ذَلِك
َ َم ْن هَا َج َر يَ ْبت َ ِغي
قَيْس
”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia
hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama
Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”.
(HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al Mizzy dalam Tahdzibul Kam al
(16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata
:”Sanadnya shohih”.Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan
Muslim”).
7
F. Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689
dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari
Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul
Khoththob radhiallahu ‘anhu.
Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau
lebih tepatnyaghorib karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang
meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada yang meriwayatkan hadits
ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini
darinya kecuali Yahya.
G. Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah
berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah,
dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam
Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf
bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan
diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar),
dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).
8
ساد ُ ِل ْل َع َم ِل
َ َصالَ ُح َو ْالف
َّ سا ِئ ِر ْال َع َم ِل ِف ْي َها ال ٌ اَل ِنِّ َيةُ ش َْر
َ ط ِل
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.
1. Fungsi Niat
Niat memiliki 3 fungsi:
a. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi
untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
b. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk
membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
c. Niat Merupakan pembeda antara ibadah dengan adat. Sebagai contoh mandi dapat
dilakukan untuk menghilangkan hadats, tetapi mandi juga dapat dilakukan sebagai
kebiasaan.
Menurut Hasbi AS-Shidiqi, niat itu terbagi 3 (tiga), yaitu :
a. Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara sangat sempurna, untuk menyatakan
ketundukan serta kehinaan.
b. Niat ta’at, yaitu melaksanakan apa yang Allah kehendaki.
c. Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.
2. Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
a. Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.
b. Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan
berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:
a. Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.
b. Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal
tambahannya batal.
9
c. Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal. Allah Swt.
Menggambarkan keikhlasan dalam beramal ini seperti dimuat keikhlasan dalam beramal ini
seperti dimuat dalam Al-Qur an Surat Al-Baqarah (2) ayat 265 sebagai berikut :
10
c. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua
amal shaleh dan ibadah.
d. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
e. Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena
mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
f. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
g. Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia
merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah
adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan
perbuatan.
11
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi
seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut,
apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di
dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan
yang disyariatkan. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin
(ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya
shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar,
dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa
qadha atau yang lainnya.
Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau
maksiat. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat
niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf
(kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.
12
DAFTAR PUSTAKA
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh. 2000. cetakan pertama.
Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama
Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi
Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-'Utsaimin.
Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais
Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani
Hadis Shahih Bukhari-Muslim.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu
Ibnul Mundzir dalam kitabnya al-Asyraf dan kitab al-Ijma’
Syarh Arbain
Alqur’an Terjemah
13