PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan kumpulan
gejala klinis yang disebabkan oleh karena adanya kelainan fungsional ataupun
struktural jantung yang akan menyebabkan ketidakmampuan pengisian
ventrikel serta ejeksi darah ke seluruh tubuh (Yancy et al., 2013).
Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh ditandai
dengan tungkai bengkak, saat beraktivitas dan tidur tanpa bantal terjadi sesak
nafas, pernah atau belum pernah didiagnosis menderita gagal jantung oleh
dokter tetapi mengalami gejala atau riwayat tersebut maka didefinisikan
sebagai penyakit gagal jantung (Riskesdas, 2013).
Gagal jantung merupakan salah satu diagnosis kardiovaskular yang sangat
cepat peningkatannya (Lavine & Schilling, 2014). Di negara industri dan
negara – negara berkembang, prevalensi penyakit gagal jantung meningkat
sesuai dengan meningkatnya usia harapan hidup dan sebagai penyakit utama
penyebab kematian (Bararah & Jauhar, 2013). Pasien gagal jantung kongestif
dapat menurunkan kualitas hidup seseorang serta mempengaruhi bidang
ekonomi dan kesehatan (Ramani et al., 2010). Gagal jantung secara signifikan
menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan terutama di bidang fungsi fisik
dan vitalitas. Kurangnya peningkatan kualitas hidup terkait kesehatan setelah
pulang dari rumah sakit adalah prediktor utama dari rehospitalisasi dan
mortalitas (Yancy et al., 2013).
Sekitar 23 juta seluruh penduduk dunia mengalami gagal jantung dan
diperkirakan prevalensi akan terus meningkat hingga 46% pada tahun 2030
yaitu mencapai 8 juta kasus (Mozaffarian et al., 2015). Tercatat lebih kurang
2.300 jiwa meninggal setiap harinya disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.
Atau dapat dikatakan terdapat satu kematian setiap 38 detik di seluruh dunia
akibat penyakit kardiovaskular. Penyakit jantung koroner dan gagal jantung
berkontribusi paling besar terhadap meningkatnya angka kematian akibat
penyakit kardiovaskular (American Heart Association, 2018). Setiap satu dari
sepuluh pasien yang mengalami penyakit jantung koroner seperti sindrom
1
koroner akut, kemudian berkembang menjadi kondisi gagal jantung.
Selanjutnya dijelaskan pasien gagal jantung yang datang dengan keluhan
sindrom koroner akut memiliki morbiditas dan mortalitas 10 kali lebih tinggi
(American Heart Association, 2018).
Di Indonesia kematian akibat penyakit gagal jantung berdasarkan Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2011 menempati peringkat ke 3 setelah
stroke haemoragik dan stroke non haemoragik. Dari 10 besar kematian
penyakit tidak menular di rawat inap rumah sakit seluruh Indonesia menjadikan
penyakit gagal jantung sebagai prioritas pertama program pengendalian di
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementrian Kesehatan
(Pusdatin Kemenkes, 2012). Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara
oleh dokter di Indonesia diperkirakan sebesar 229.696 orang, sedangkan yang
terdiagnosis oleh dokter sebesar 530.068 orang. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan wawancara oleh dokter di Jawa Tengah sebesar 0,18 % atau
diperkirakan sekitar 43.361 orang, sedangkan yang terdiagnosis oleh dokter
sebesar 0,3 % atau diperkirakan sekitar 72.268 orang (Riskedas, 2013).
Beberapa faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah diantaranya
seperti kebiasaan makan makanan asin, kurang sayur dan buah, kurang
aktivitas fisik, perokok setiap hari, dan konsumsi alkohol (Depkes RI, 2009).
Beberapa faktor risiko tersebut dapat menyebabkan hipertensi yang merupakan
salah satu faktor resiko gagal jantung kongestif yang dapat dimodifikasi.
Terapi hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengurangi resiko gagal
jantung sekitar 50% (Koelling, et al., 2005). Hal tersebut menjadikan strategi
pengendalian hipertensi salah satu bagian terpenting dari beberapa upaya
kesehatan masyarakat untuk mencegah gagal jantung (Yancy, et al., 2013).
Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas I Wangon pada bulan
Juli-Oktober 2018, CHF merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam 15
penyakit terbesar di Puskesmas I Wangon, CHF menempati urutan ke 13
dengan jumlah kasus 285. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan
penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan pengendalian factor risiko
CHF untuk mencegah kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis kesehatan komunitas terkait faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya CHF?
2. Apakah terdapat hubungan antara faktor-faktor risiko CHF terhadap
kejadian Congestive Heart Failure?
3. Apakah alternatif pemecahan masalah dari factor risiko CHF?
4. Apakah tatalaksana terhadap penyebab masalah dari faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya CHF?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health
Analysis) mengenai faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit CHF di wilayah kerja Puskesmas I Wangon Kabupaten
Banyumas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit
CHF di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.
b. Mencari alternatif pemecahan masalah dari faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya penyakit CHF di wilayah kerja
Puskesmas I Wangon.
c. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah dari faktor
risiko yang mempengaruhi yang mempengaruhi terjadinya
penyakit CHF di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas I
Wangon.
3
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.
b. Bagi Masyarakat Desa
Memberikan informasi kesehatan (promotif, preventif, dan
rehabilitatif) kepada masyarakat yang ada di wilayah kerja
Puskesmas I Wangon khususnya berkaitan dengan pengendalian
penyakit CHF.
c. Bagi Instansi Terkait
Membantu memberikan bahan pertimbangan menentukan
kebijakan yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah,
terutama program pengelolaan penyakit kronis.
d. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Untuk menambah bahan referensi yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam penelitian selanjutnya.
4
II. ANALISIS SITUASI
A. Gambaran Umum
1. Keadaan Geografi
Puskesmas 1 Wangon adalah salah satu bagian dari wilayah
kabupaten Banyumas, dengan luas wilayah kerja kurang lebih 40 km2.
Wilayah kerja Puskesmas 1 Wangon terdiri atas 7 desa, dengan desa
yang memiliki wilayah paling luas yaitu Randegan dengan luas 10,4
km2, dan yang tersempit adalah Banteran dengan luas 2,5 km2.
5
Tanah Perkebunan Rakyat : 85,00 Ha
Lain-lain : 241,00 Ha
2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0
6
b. Kepadatan Penduduk
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
7
c. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
Klapaga
Klapaga Bantera Randega Rawahe Pengade
Wangon ding
ding n n ng gan
Kulon
Laki-laki 6401 6835 7417 3315 4511 3281 4298
Perempuan 6213 6676 7226 3209 4371 3131 4249
8
d. Kelompok Usia
75+
70 - 74
65 - 69
60 - 64
55 - 59
50 - 54
45 - 49
40 - 44
35 - 39
30 - 34
25 - 29
20 - 24
15 - 19
10 - 14
5-9
0-4
9
1. Mortalitas
Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat
dilihat dari kejadian kematian di masyarakat. Di samping itu kejadian
kematian juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian
keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan
kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung
dengan melakukan berbagai survei dan penelitian. Perkembangan
tingkat kematian dan penyakit-penyakit yang terjadi pada periode
tahun 2017 akan diuraikan di bawah ini.
a. Jumlah Kasus Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi
(0-12 bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu
tahun. AKB dapat menggambarkan tingkat permasalahan
kesehatan masyarakat berkaitan dengan faktor penyebab,
pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan
program KIA dan KB serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi.
25
20
20
14
15
10
10 AKB
0
2015 2016 2017
10
b. Angka Kematian Balita
Angka Kematian Balita (AKBA) adalah jumlah kematian
anak balita (1-5 tahun) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun
waktu satu tahun. AKBA menggambarkan tingkat permasalahan
kesehatan anak balita, tingkat pelayanan KIA, tingkat keberhasilan
program KIA dan kondisi lingkungan.
30
26
25
20
14 14
15
AKBA
10
0
2015 2016 2017
11
1.2
1
1
0.8
0.6
AKI
0.4
0.2
0 0 0
0
2014 2015 2016 2017
12
(Directly Observed Treatment Short Course) yang telah dimulai
sejak tahun 1995.
120 100
95.24
100
80
60 46.51
40
20
0
2015 2016 2017
2.5
2
1.5
1 HIV/AIDS
0.5
HIV
0
2015 2016 2017 AIDS
HIV/AIDS 0 0 0
HIV 0 1 2
AIDS 0 0 2
13
d. AFP/ Acute Flaccid Paralysis
Selama tahun 2017 tidak didapatkan kasus AFP di wilayah
Puskesmas I Wangon.
e. Demam Berdarah Dengue
25
20
15
10
0
2015 2016 2017
CFR 0 0 0
IR 15 21 0
14
f. Angka Kasus Diare
50
40
30
16.2
20
10
0
2015 2016 2017
0
2015 2016 2017
15
C. Status Gizi
1. Angka Balita Bawah Garis Merah (BGM)
0.7 0.6
0.6
0.5
0.4
0.3 0.2 0.2
0.2
0.1
0
2015 2016 2017
Gambar 2.14 Angka Kasus Balita Bawah Garis Merah di Wilayah Kerja
Puskesmas 1 Wangon
25
20
20
15
10
4
5
1
0
2015 2016 2017
Gambar 2.15 Angka Kasus Balita Gizi Buruk yang ditemukan di Wilayah
Kerja Puskesmas 1 Wangon
Berdasarkan Gambar 3.9 Angka Kasus Balita Gizi Buruk yang ditemukan
di Wilayah Kerja Puskesmas 1 Wangon Tahun 2017 sebesar 20 balita
meningkat dari tahun sebelumnya di Tahun 2016 yaitu 4 balita dan Tahun
2015 yaitu 1 balita.
16
3. Cakupan Asi Eksklusif
80
67.6
70
60
46.8
50
40 33.1
30
20
10
0
2015 2016 2017
9 8.3
8 7
6.6
7
6
5
4
3
2
1
0
2015 2016 2017
17
III. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH
18
B. Penentuan Prioritas Masalah
Penentuan prioritas masalah yang dilakukan di Puskesmas I
Wangon dengan menggunakan metode Hanlon, dimana prioritas
masalah didasarkan pada empat kriteria yaitu:
1. Komponen A (Besarnya Masalah)
Besarnya masalah didasarkan pada ukuran besarnya populasi
yang mengalami masalah tersebut. Bisa diartikan sebagai angka
kejadian penyakit. Angka kejadian terbesar diberikan skor lebih
besar.
2. Komponen B (Keseriusan Masalah)
a. Urgensi (urgency)
Apakah masalah tersebut menuntut penyelesaian segera
dan menjadi perhatian publik.
b. Keparahan (severity)
Memberikan mortalitas atau fatalitas yang tinggi.
c. Ekonomi (cost)
Besarnya dampak ekonomi kepada masyarakat.
Masing-masing aspek di berikan nilai skor. Aspek paling
penting diberikan aspek yang paling tinggi kemudian di
rata- rata.
3. Komponen C (Ketersediaan Solusi)
Ketersedaiaan solusi yang efektif menyelesaikan masalah. Semakin
tersedia solusi efektif diberikan skor yang semakin tinggi.
4. Komponen D (Kriteria PEARL)
P : Propiety : Kesesuaian program dengan masalah
E : Economic : Apakah secara ekonomi bermanfaat
A : Acceptability : Apakah bisa diterima masyarakat
R : Resources :Adakah sumber daya untuk menyelesaikan
masalah
L: Legality : tidak bertentangan dengan aturan hukum
yang ada
Berupa jawaban ya dan tidak, ya diberikan skor 1, tidak diberikan skor.
19
Perincian penentuan prioritas masalah menggunakan metode Hanlon
Kuantitatif dari masing – masing kriteria adalah sebagai berikut:
1. Kriteria A
Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari banyaknya
penderita per populasi penduduk:
a. 25 % atau lebih : 10
b. 10% - 24,9% :8
c. 1% - 9,99 % :6
d. 0,1% - 0,99% :4
e. 0,01 – 0,09 % :2
f. Kurang dari 0,01 :0
2. Kriteria B
Kegawatan (Severity): (Paling cepat mengakibatkan kematiaan)
Skor : 2 = Tidak gawat (None)
4 = Kurang gawat (Minimal)
6 = Cukup gawat (Moderate)
8 = Gawat (Severe)
10 = Sangat gawat (Very Severe)
20
Urgensi (Urgency): (harus segera ditangani, apabila tidak menyebabkan
kematian)
Skor : 2 = Tidak urgen (No urgency)
4 = Kurang urgen (Little urgency)
6 = Cukup urgen (Some urgency)
8 = Urgen (Urgent)
10 = Sangat urgen (Very urgency)
Biaya (Cost): (biaya penanggulangan)
Skor : 2 = Sangat murah (No cost)
4 = Murah (Minimal cost)
6 = Cukup mahal (Moderate cost)
8 = Mahal (Costly)
10 = Sangat mahal (Very costly)
3. Kriteria C
21
Skor : 0 = Ineffective
2 = Relative Ineffective
4 = Moderate Effective
6 = Effective
8 = Relative Effective
10 = Very Effective
4. D (Faktor PEARL)
22
Tabel 3.5. Nilai Kriteria D metode Hanlon Kuantitatif
Masalah Kesehatan P E A R L Hasil
Perkalian
ISPA 1 1 1 1 1 1
Hipertensi 1 1 1 1 1 1
Dispepsia 1 1 1 1 1 1
Faringitis Akut 1 1 1 1 1 1
Myalgia 1 1 1 1 1 1
Diare 1 1 1 1 1 1
Diabetes Mellitus Tipe 2 1 1 1 1 1 1
TTH 1 1 1 1 1 1
Low Back Pain 1 1 1 1 1 1
Dermatitis Alergi Kontak 1 1 1 1 1 1
Konjungtivitis 1 1 1 1 1 1
Bronkhitis 1 1 1 1 1 1
Congestive Heart Failure 1 1 1 1 1 1
Asma 1 1 1 1 1 1
Tuberculosis 1 1 1 1 1 1
5. Penetapan Nilai
Setelah kriteria kriteria A, B, C dan D didapatkan kemudian nilai tersebut
dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :
Nilai Prioritas Dasar (NPD) = (A + B) C
Nilai Prioritas Total (NPT) = (A + B) C x D
23
Tabel 3.6. Nilai Prioritas Dasar (NPD) dan Nilai Prioritas Total (NPT)
Masalah Kesehatan A B C NPD D NPT Prioritas
ISPA 6 6 2 24 1 24 8
Hipertensi 6 8,67 8 117,36 1 117,36 1
Dispepsia 6 7,33 6 79.98 1 79.98 3
Faringitis Akut 6 6 2 24 1 24 8
Myalgia 6 2,67 2 17,34 1 17,34 10
Diare 4 6 6 60 1 60 5
Diabetes Mellitus Tipe 2 4 5,3 8 74,4 1 74,44 4
TTH 4 2,67 2 13,34 1 13,34 13
Low Back Pain 4 3,33 2 14,66 1 14,66 12
Dermatitis Alergi Kontak 4 4 2 16 1 16 11
Konjungtivitis 4 2,67 2 13,34 1 13,34 13
Bronkhitis 4 6 2 20 1 20 9
Congestive Heart Failure 4 7,33 8 90,64 1 90,64 2
Asma 4 3,33 6 43,98 1 43,98 7
Tuberculosis 4 4,67 6 52,02 1 52,02 6
24
IV. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi CHF
CHF/ Gagal jantung merupakan sindrom kompleks dengan tampilan gejala
khas: sesak saat istirahat atau saat aktivitas, kelelahan, serta tanda retensi
cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki, tanda khas:
takikardi, takipnea, ronki, efusi pleura, peningkatan JVP, edema perifer,
hepatomegali serta bukti objektif kelainan struktural atau fungsional jantung
saat istirahat: kardiomegali, bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada
ekokardiografi, peningkatan natriuretic peptide. Pada gagal jantung, jantung
tidak dapat menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh (Dickstein, et al., 2008).
B. Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada seluruh populasi berkisar antara 2 sampai
30% dan yang asimtomatik sebesar 4% dari seluruh populasi. Angka ini
cenderung mengikuti pola eksponensial seiring usia, sehingga pada orang tua
(70-80 tahun) menjadi 10-20% (Depkes RI, 2009). Meskipun insidens relatif
gagal jantung lebih rendah pada perempuan, perempuan berkontribusi pada
setidaknya setengah kasus gagal jantung karena angka harapan hidup mereka
lebih tinggi. Di Amerika, prevalensi gagal jantung pada usia 50 tahun ialah
sebesar 1%, pada usia 80 tahun mencapai 7,5%. Di Inggris, prevalensi gagal
jantung pada usia 60-70 tahun sebesar 5% dan mencapai 20% pada usia 80
tahun, situasi yang sama terjadi di Italia dan Portugal. Di Cina, prevalensi
gagal jantung pada usia 60 tahun ke atas sebesar 0,9% (Wang, 2006).
Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung muncul setiap
tahunnya di seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagal jantung akan
meninggal dalam waktu 5 tahun sejak diagnosis ditegakan (Kasper, et al.,
2005).
C. Etiologi CHF
CHF / Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara
epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung,
di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan
25
penyebab terbanyak. Penyebab dari gagal jantung sendiri diakibatkan oleh
penyakit-penyakit yang menyebabkan penurunan fungsi jantung seperti
inflamasi katup, hipertensi dan DM dan penyakit kronis lainnya. Kelainan
katup, hipertensi dan alkohol merupakan beberapa penyebab yang sering
menyebabkan terjadinya gagal jantung (Gardner et al., 2014).
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik.
Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban
volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk
hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung
pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat
aritmia (tersering atrial fibrilasi) (Barman & Djamel, 2014; Lee, 2005).
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Meningkatnya kecepatan kerja jantung dan peningkatan afterload,
menyebabkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi
miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas
jantung, yang akhirnya menyebabkan gagal jantung (Messerli et al, 2017).
Kerusakan otot jantung dapat terjadi akibat dari efek toksik dari alkohol
yang menyebabkan terjadinya hipertensi yang diinduksi oleh apoptosis.
Defisiensi nutrisi bersama, atau, jarang, aditif beracun untuk minuman
beralkohol. Perempuan lebih banyak mengelami kardiomiopati akibat alkohol
pada dosis alkohol seumur hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan
laki-laki. Alkohol dapat menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal
jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin (Goncalves et al, 2014).
26
D. Faktor Risiko CHF
1. Faktor Risiko yang tidak dapat Diubah
Menurut Nurhayati dan Nuraini 2010, faktor risiko CHF yang tidak
dapat dirubah adalah sebagai berikut:
a. Genetik
Faktor genetik memiliki peranan bermakna dalam patogenesis
penyakit jantung serta pertimbangannya penting dalam diagnosis,
penatalaksanaan dan pencegahan penyakit jantung. Beberapa
penelitian tentang genetika mengatakan bahwa riwayat keluarga yang
adekuat penting untuk menilai kemungkinan peranan hereditas dalam
penyakit jantung.
b. Jenis kelamin
Menurut beberapa penelitian, angka kematian gagal jantung lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan angka kematian wanita
karena tingkat estrogen pada wanita dapat melindungi dari penyakit
jantung. Tingginya angka penderita penyakit jantung pada kaum laki-
laki dapat dihubungkan dengan kebiasaan merokok, minum minuman
keras serta aktivitas yang lebih tinggi. Akan tetapi seiring
perkembangan zaman, penyakit jantung juga dapat menjadi penyebab
kematian nomor satu pada wanita, hal tersebut berhubungan dengan
gaya hidup wanita yang semakin lama hampir sama dengan laki-laki.
Pada masa reproduksi, kemungkinan wanita terkena gagal jantung
kongestif jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki, namun saat
memasuki masa menopause, risiko dapat menyamai laki-laki.
c. Usia
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan, usia yang rentan
terhadap terjadinya penyakit jantung yaitu usia antara 30-90 tahun
dengan kelompok terbanyak pada usia sekitar 60-70 tahun. Seiring
dengan bertambahnya usia, seseorang lebih berisiko mengalami
penyakit gagal jantung karena semakin bertambahnya usia maka akan
terjadi penurunan fungsi jantung. Proses penuaan juga menyebabkan
peningkatan proses aterosklerosis pada pembuluh darah yang
27
menyebabkan terganggunya aliran darah ke jantung sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan
suplai oksigen.
2. Faktor Risiko yang dapat Diubah
Menurut Nurhayati dan Nuraini 2010, faktor risiko CHF yang dapat
dirubah adalah sebagai berikut:
a. Pola Makan
Pola makan merupakan faktor pemicu yang paling berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit gagal jantung kongestif. Pola makan
yang tidak baik salah satunya yaitu mengkonsumsi makanan yang
mengandung kolesterol tinggi. Kolesterol yang tinggi dapat
mempercepat terjadinya penyakit tersebut karena makanan
berkolesterol banyak tertimbun dalam dinding pembuluh darah dan
menyebabkan ateroskelrosis yang menjadi pemicu penyakit jantung.
b. Merokok
Kebiasaan merokok dapat menjadi penyebab utama penyakit
jantung. Menurut beberapa penelitian, merokok menyebabkan seorang
perokok berisiko 3 kali lebih tinggi menderita penyakit jantung. Efek
rokok menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan
oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbon monoksida sehingga dapat terjadi takikardi, vasokontriksi
pembuluh darah dan merubah permeabilitas dinding pembuluh darah.
Paparan langsung asap rokok pada dinding pembuluh darah
menyebabkan dinding pembuluh darah mengeluarkan mediator
inflamasi dan sitokin-sitokin yang secara tdak langsung menyebabkan
kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bahan kimia dalam rokok
juga mengandung reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan
terjadinya nekrosis padasel endotel pembuluh darah. Molekul adhesi
yang teraktivasi pada pembuluh darah mempermudah penempelan
lipid yang telah teroksidasi oleh ROS pada pembuluh darah koroner.
Makrofag yang teraktivasi juga berperan dalam mencerna lipid
teroksidasi yang beredar bebas dalam pembuluh darah kedalam
28
lapisan endotel yang menyebabkan menebalnya dinding endotel dan
menyempitnya lumen pembuluh darah.
c. Obesitas
Obesitas merupakan penyebab terjadinya penyakit jantung dan dan
pembuluh darah. Obesitas menyebabkan peningkatan beban kerja
jantung karena dengan bertambahnya besar tubuh seseorang makan
jantung harus bekerja lebih keras memomppakan darah ke seluruh
jaringan tubuh.
d. Riwayat Diabetes Melitus
Pada pasien dengan diabetes melitus, pasien dapat mengalami
kekurangan insulin dalam tubuhnya. Hal tersebut menyebabkan lemak
di dalam tubuh sulit dihancurkan sewaktu metabolisme tubuh
berlangsung. Akibatnya, saluran darah menjadi lebih sempit dan
menyebabkan berkurangnya suplai darah ke jantung. Kadar glukosa
yang tinggi dapat menyebabkan glukotoksisitas. Glukotoksisitas dapat
menyebabkan peningkatan Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
(RAAS) sehingga akan meningkatkan risiko kejadian hipertensi.
Hipertensi yang disertai peningkatan stres oksidatif dan aktivitas
spesies oksigen radikal akan memediasi kerusakan pembuluh darah
akibat aktivasi angiotensin II sehingga memperberat disfungsi
endotel..
e. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang cukup menyebabkan peningkatan aliran darah
dan mendorong peningkatan produksi nitrit oksida yang menyebabkan
relaksasi dan melebarkan pembuluh darah. Peningkatan kadar nitrit
oksida dapat merangsang perbaikan pada fungsi endotel pembuluh
darah dan mencegah aterosklerosis. Apabila aktivitas fisik jarang
dilakukan, maka risiko terjadinya aterosklerosis menjadi lebih besar.
f. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan peningkatan pada beban jantung. Pada
hipertensi, jantung seolah dipaksa untuk memompa darah dengan
sangat kuat untuk mendorong darah ke dalam arteri akibat
29
peningkatan resistensi perifer. Semakin lama beban jantung
meningkat, otot jantung akan mengalami penebalan. Penebalan dan
dan pembesaran pada jantung menyebabkan irama jantung menjadi
kaku sehingga irama denyut tidak teratur.
g. Stres
Stres psikologi terbagi menjadi 2, yaitu akut dan kronis. Stres
psikologi akut disebabkan oleh stres emosi jangka pendek dan
kemarahan yang intens. Stres psikologi kronis disebabkan oleh status
sosioekonomi rendah, stres pekerjaan, tarikan kronis, isolasi sosial,
tekanan, kecemasan serta permusuhan. Stres yang terjadi terus-
menerus dapat merangsang sistem kardiovaskular dengan
dilepaskannya katekolamin yang meningkatkan kecepatan denyut
jantung dan menimbulkan vasokontriksi. Stres juga dapat memicu
pelepasan faktor Van Willebrand dan fibrinogen sehingga menjadi
faktor predisposisi timbulnya aterosklerotik yang jika berlangsung
lama maka bisa menyebabkan gagal jantung.
h. Akses Pelayanan Kesehatan
Kemudahan akses ke Puskesmas sebagai salah satu bentuk
pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor, antara lain
jarak tempat tinggal dan waktu tempuh ke sarana kesehatan, serta
status sosial ekonomi dan budaya. Akses yang sulit menuju
puskesmas menyebabkan pasien malas untuk berobat ke puskesmas
sehingga dapat menyebabkan penyakit yang dideritanya semakin
parah. Pasien cenderung memilih pelayanan pengobatan yang
termudah seperti pergi ke pengobatan alternatif.
E. Klasifikasi CHF
Klasifikasi berdasarkan abnormalitas struktural jantung (ACC/AHA)
atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)
tertera pada tabel 1 (Dickstein, et al., 2008).
30
Tabel 4.1. Klasifikasi CHF
31
dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi perlahan-lahan. Kongesti
perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan
baik
4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal
jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer / sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali dan distensi vena jugularis.
F. Patomekanisme CHF
Beberapa mekanisme yang mempengaruhi progresivitas gagal
jantung, antara lain mekanisme neurohomonal yang meliputi aktivasi sistem
saraf simpatis, aktivasi sistem renin-angiotensin dan perubahan vaskuler
perifer serta remodeling ventrikel kiri, yang semuanya berperan
mempertahankan homeostasis (Mann, 2007).
a. Aktivasi sistem saraf simpatis
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan mengaktifkan
serangkaian mekanisme adaptasi untuk mempertahankan homeostasis
kardiovaskuler, mekanisme ini merupakan adaptasi yang penting segera
setelah terjadi penurunan curah jantung. Aktivasi sistem saraf simpatik
terjadi bersamaan dengan berkurangnya tonus parasimpatik. Pada keadaan
ini, terjadi penurunan inhibisi refleks baroreseptor arterial atau
kardiopulmoner. Reseptor ini berfungsi menurunkan tekanan darah. Di
sisi lain terjadi peningkatan eksitasi kemoreseptor perifer nonbarorefleks
dan metaboreseptor otot., akibatnya meningkatkan tonus simpatis dan
pengurangan tonus parasimpatis dengan hasil akhir penurunan denyut
jantung dan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Karena tonus simpatis
meningkat, akan terjadi peningkatan kadar norepinefrin, neurotransmiter
adrenergik yang poten, di sirkulasi seiring berkurangnya ambilan kembali
norepinefrin dari ujung saraf. Meskipun demikian, pada gagal jantung
32
stadium lanjut akan terjadi penurunan norepinefrin miokard karena
mekanisme yang masih belum diketahui (Mann, 2007).
Peningkatan aktivasi reseptor simpatis β-adrenergik meningkatkan
denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard yang berakibat
peningkatan curah jantung. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan
stimulasi reseptor α-adrenergik miokard yang menyebabkan inotropik
positif dan vasokonstriksi arteri perifer. Meskipun norepinefrin
meningkatkan kontraksi dan relaksasi serta mempertahankan tekanan
darah, hal ini justru menyebabkan kebutuhan energi miokard akan
bertambah sehingga memperburuk iskemi saat distribusi oksigen terbatas.
Penambahan arus adrenergik dari sistem saraf pusat akan menyebabkan
ventricular tachycardia atau sudden cardiac death (Mann, 2007).
Di sisi lain, peningkatan tonus simpatis renal menyebabkan
vasokonstriksi sehingga aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan
peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubular ginjal. Selain itu, terjadi
pula pelepasan arginin vasopressin (AVP) dari hipofisis posterior untuk
mengurangi ekskresi air yang akan memperburuk vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II juga menstimulasi pusat haus di otak dan menyebabkan
pelepasan AVP dan aldosteron, yang keduanya menyebabkan disregulasi
homeostasis garam dan air (Mann, 2007).
Pada pasien gagal jantung, terjadi pula peningkatan PGE2 dan PGI2,
serta pelepasan Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan Brain Natriuretic
Peptide (BNP). Dalam kondisi fisiologis, keduanya dilepaskan saat terjadi
regangan miokard dan peningkatan asupan natrium. Setelah dilepas,
keduanya berperan meningkatkan ekskresi air dan garam serta
menghambat pelepasan renin-aldosteron, atau dengan kata lain sebagai
“counterregulatory”. Meskipun demikian, makin parah derajat gagal
jantung, efek ANP dan BNP terhadap ginjal makin berkurang (Mann,
2007).
b. Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin (Reninangiotensin System, RAS)
Berbeda dengan pengaktifan tonus simpatis, aktivasi sistem renin-
angiotensin terjadi setelah selang waktu yang lebih lama. Mekanisme
33
aktivasi RAS pada gagal jantung meliputi hipoperfusi renal, penurunan
filtrasi natrium ketika mencapai makula densa, dan peningkatan stimulasi
simpatik di ginjal yang berakibat pelepasan renin dari apparatus
jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan dengan angiotensinogen
yang disintesis di hati untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin
converting enzyme (ACE) berikatan dengan angiotensin I membentuk
angiotensin II. Sebanyak 90% aktivitas ACE terjadi di jaringan dan 10%
sisanya pada interstitial jantung dan pembuluh darah (Mann, 2007).
Angiotensin II akan meningkatkan efeknya setelah berikatan
dengan reseptor AT1 dan AT2. AT1 banyak berlokasi pada saraf miokard
sementara AT2 pada fibroblas dan interstitial. Aktivasi reseptor AT1
menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan
pelepasan katekolamin; sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan
vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan
bradykinin (Mann, 2007).
Angiotensin II berperan mempertahankan homeostasis sirkulasi
dalam jangka pendek. Meskipun demikian, ekspresi berlebihan
angiotensin II menyebabkan fibrosis pada hati, ginjal, dan organ lainnya.
Angiotensin II juga dapat memperburuk aktivasi neurohormonal dengan
meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain itu,
terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron yang
juga berperan dalam mempertahankan homeostasis jangka pendek dengan
mempengaruhi reabsorpsi natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun
demikian, ekspresi aldosteron berlebihan menyebabkan hipertrofi dan
fibrosis vaskuler serta miokard yang menyebabkan berkurangnya
compliance vaskuler dan meningkatkan kekakuan ventrikel. Aldosteron
berlebihan juga menyebabkan disfungsi sel endotel, disfungsi
baroreseptor, serta inhibisi ambilan norepinefrin, yang semuanya akan
memperburuk gagal jantung (Mann, 2007).
c. Perubahan Neurohormonal Vaskuler Perifer
Pada pasien gagal jantung, terjadi interaksi kompleks antara sistem
saraf otonom dengan mekanisme autoregulasi lokal yang bertujuan
34
mempertahankan suplai darah ke otak dan jantung, sementara mengurangi
suplai ke kulit, otot rangka, organ splanknik dan ginjal; semua itu akibat
pelepasan norepinefrin sebagai vasokonstriktor yang poten, natriuretic
peptides, NO, bradikinin, PGI2 serta PGE2.
Bagi jantung, peningkatan tonus simpatis ini bertujuan
mempertahankan tekanan arteri, sementara stimulasi simpatik pada vena
menyebabkan peningkatan tonus vena untuk mempertahankan venous
return dan pengisian ventrikel untuk mempertahankan hukum Starling.
Seharusnya pada keadaan normal, pelepasan NO terus-menerus akan
menyebabkan “counter-response” yakni vasodilatasi, namun hal ini tidak
terjadi pada gagal jantung stadium lanjut (Mann, 2007).
d. Remodeling Ventrikel Kiri
Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan miosit jantung, yakni
berkurangnya kontraktilitas otot jantung, berkurangnya miofi lamen
miosit jantung, perubahan protein sitoskeleton, serta desensitisasi sinyal
β-adrenergik. Selain itu, terjadi pula pelepasan mediator-mediator radang
seperti TNF-α dan IL-1 saat terjadi kerusakan pada jantung, yang
berperan dalam perburukan gagal jantung. Hipertrofi miosit jantung
karena peningkatan tekanan sistolik dinding ventrikel menyebabkan
penambahan sarkomer paralel dan peningkatan ukuran miosit sehingga
menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri (pressure overload
menyebabkan hipertrofi konsentrik). Pada volume overload, peningkatan
tekanan diastolik menyebabkan peningkatan panjang miosit dan
penambahan jumlah sarkomer serial (hipertrofi eksentrik) (Mann, 2007).
Pada gagal jantung terjadi mekanisme kompensasi Frank Starling. Gagal
jantung yang disebabkan oleh penurunan fungsi ventrikel kiri
menyebabkan isi sekuncup (stroke volume) menurun dibandingkan
jantung normal. Penurunan isi sekuncup menyebabkan pengosongan
ventrikel menjadi tidak adekuat; akhirnya volume darah yang
terakumulasi di ventrikel selama fase diastolik menjadi lebih banyak
dibandingkan keadaan normal. Mekanisme Frank-Starling menyebabkan
peningkatan peregangan miofiber sehingga dapat menginduksi isi
35
sekuncup pada kontraksi berikutnya, sehingga dapat membantu
pengosongan ventrikel kiri dan meningkatkan curah jantung (cardiac
output). Kompensasi ini memiliki keterbatasan. Pada kasus gagal jantung
berat dengan depresi kontraktilitas, curah jantung akan menurun, lalu
terjadi peningkatan end diastolic volume dan end diastolic pressure (yang
akan ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmoner, dan
kapiler) sehingga dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema
(Shah & Fifer, 2007).
e. Patofisiologi Gagal Jantung pada Geriatri
Disfungsi diastolik yang relatif tidak umum pada dewasa muda,
didapat pada 50% kasus gagal jantung pada orang tua dan umum terjadi
pada perempuan. Pada disfungsi diastolik, relaksasi miokard yang
berkepanjangan dan peningkatan kekakuan (yang menurunkan tingkat
pengisian dan volume) meningkatkan tekanan diastolik ventrikel kiri dan
mengurangi isi sekuncup saat istirahat dan selama bekerja. Akibatnya,
terjadi gagal jantung, bahkan ketika fungsi sistolik (yang ditunjukkan oleh
fraksi ejeksi) normal atau mendekati normal (Beers, 2006).
Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan struktur jantung dan
sistem kardiovaskular merendahkan ambang rangsang untuk gagal
jantung. Kolagen interstisial dalam miokardium meningkat, miokardium
menegang, dan relaksasi miokard menjadi lebih panjang. Perubahan ini
menyebabkan penurunan signifikan fungsi diastolik ventrikel kiri, bahkan
pada orang tua sehat. Penurunan fungsi sistolik juga terjadi seiring
bertambahnya usia. Selain itu, terjadi penurunan pada miokard dan
respons vaskular terhadap stimulasi beta adrenergik yang akan merusak
kemampuan respons sistem kardiovaskular terhadap peningkatan
kebutuhan kerja. Perubahan ini menurunkan kapasitas kerja puncak secara
signifikan (sekitar 8% per dekade setelah umur 30) dan curah jantung
pada puncak latihan berkurang lebih bermakna. Dengan demikian, pasien
lanjut usia lebih rentan terkena gagal jantung sebagai respons terhadap
stres atau kelainan sistemik. Stresor termasuk infeksi (paling sering
pneumonia), hipotiroid, hipertiroidi, anemia, iskemia miokard, hipoxia,
36
hipotermia, hipertermia, gagal ginjal, obatobatan, (termasuk NSAID
(nonsteroidal antiinfl ammatory drug), penyekat beta (beta blocker), dan
penyekat kanal kalsium (calcium channel blocker)) (Beers, 2006).
G. Penegakan Diagnosis CHF
Diagnosis gagal jantung ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Menurut Imaligy 2014, pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala dan tanda seperti pada tabel
berikut:
37
Berikut langkah diagnostik gagal jantung menurut ESC (European Society of
Cardiology).
G
a
m
b
a
r
4
.
1
S
k
e
m
a
d
Gambar 4.1 Diagnostik gagal jantung (PERKI, 2015)
38
anatomi. Hasil pemeriksaan EKG tidak spesifik menunjukkan adanya
gagal jantung (Loscalzo, et al., 2008).
2. Foto toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru,
efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang
menyebabkan ataumemperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak
ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
39
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung
adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit),
elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi
hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai
tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna
jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan
penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan
terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosteron. (Dickstein, et al., 2008)
4. USG jantung/Echokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi digunakan untuk merujuk kepada
semua USG jantung, teknik pencitraan, termasuk gelombang berdenyut
dan berkesinambungan Doppler, Doppler warna dan gambar jaringan
Doppler . Konfirmasi dengan echocardiography dari diagnosis gagal
jantung dan / atau disfungsi jantung adalah wajib dan harus dilakukan tak
lama setelah dicurigai diagnosis gagal jantung. Echocardiography tersedia
secara luas, cepat, non-invasif, dan aman, dan menyediakan luas
informasi tentang anatomi jantung (volume, geometri, massa), gerakan
dinding, dan fungsi katup. (Dickstein,2008)
Kelemahan echocardiography (USG jantung) adalah biayanya
relatif mahal, hanya ada di rumah sakit dan tidak tersedia untuk
pemeriksaan skrining yang rutin untuk hipertensi pada praktek umum
(National Clinical Guideline Centre, 2010).
5. Pemeriksaan biomarka
Brain natriuretic peptide (BNP) dan pro-BNP sensitif untuk
mendeteksi gagal jantung. Nilai BNP ≥100pg/ml atau NT-proBNP ≥300
pg/ml dapat dikatakan gagal jantung. Manfaat dari BNP adalah untuk
meminimalisasi diagnosis negatif palsu, bila ekokardiografi tidak tersedia
(Liwang, 2014).
40
H. Penatalaksanaan CHF
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan
karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan paripurna penderita gagal
jantung. Penatalaksanaan gagal jantung ditujukan untuk memperbaiki gejala
dan progosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari
etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui
penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya.
a. Non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara
lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya,
pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan
gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada
penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi
alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita
terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga
dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif
terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap
kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan.
b. Farmakologis
1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk
dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
2) Diuretik
Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung akut yang
selalu disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema
perifer. Diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan
41
meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik
mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan
ekstraseluler, arus balik vena dan preload. Untuk tujuan ini biasanya
diberikan diuretik kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40 mg,
ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup. Elektrolit serum
dan fungsi ginjal harus sering dipantau. Setelah euvolemia tercapai
dosis harus segera diturunkan sampai dosis minimal yang diperlukan
untuk mempertahankan euvolemia. Pada pasien geriatri, deplesi
volume dan hipotensi harus diperhatikan karena fungsi baroreseptor
yang tidak baik lagi; oleh karena itu diuretik tidak boleh diberikan
pada gagal jantung asimptomatik maupun tidak ada overload cairan.
Penggunaan diuretik harus dikombinasi dengan ACE inhibitor.
3) Digoksin
Digoksin memiliki efek inotropik positif dengan menahan Ca2+
intrasel sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Pada
pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat menurunkan gejala/ Obat ini juga
memiliki efek mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat
mengurangi denyut jantung pada pasien fibrilasi atrium. Efek toksik
digoksin jarang, tetapi dapat terjadi pada pasien geriatri dengan
penurunan fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin tidak
menurunkan mortalitas sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini
pertama, tetapi dapat memperbaiki gejala dan mengurangi rawat inap
akibat memburuknya gagal jantung. Pada pasien geriatri, dosis
digoksin harus diturunkan dan harus dipantau kadarnya dalam darah.
4) Beta Bloker
Pemberian penyekat beta pada gagal jantung sistolik akan
mengurangi kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel-sel
jantung dan efek antiaritmi lain, sehingga mengurangi risiko aritmia
jantung dan dengan demikian mengurangi risiko kematian mendadak.
Obat ini juga menghambat pelepasan renin sehingga menghambat
aktivasi sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron) akibatnya terjadi
42
penurunan hipertrof miokard, apoptosis dan fibrosis miokard dan
remodeling miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat
dan dengan demikian menghambat perburukan kondisi klinis.
Metoprolol, bisoprolol dan carvedilol bermanfaat menurunkan
progresi klinis, hospitalisasi dan mortalitas pasien gagal jantung
ringan dan sedang (NYHA kelas II-III) stabil dengan fraksi ejeksi
<35%-45%. Obat ini juga diindikasikan untuk gagal jantung dengan
etiologi iskemik maupun noniskemik. Pemberiannya dapat
dikombinasi dengan ACE inhibitor dan diuretik.
43
I. Kerangka Teori
PELAYANAN
GENETIK PERILAKU LINGKUNGAN KESEHATAN
Hipertensi
GAGAL
JANTUNG Beban jantung
KONGESTIF meningkat
CHF
Keterangan:
K. Hipotesis
Terdapat hubungan antara faktor risiko CHF dengan kejadian CHF.
45
V. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakaan penelitian analitik observasional dengan
pendekatan studi Case control, yaitu untuk melihat faktor risiko diabetes
mellitus dengan kejadian diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas I
Wangon.
Penelitian dengan desain ini, dilakukan dengan membagi sampel
penelitian ke dalam dua kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus
merupakan kelompok yang menyandang penyakit gagal jantung kongestif,
sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak menyandang
penyakit gagal jantung kongestif di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas I Wangon
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah masyarakat di desa
wangon.
2. Sampel
Pengambilan subjek dilakukan dengan teknik non probability
sampling dengan metode consecutive sampling yaitu semua subjek yang
datang ke tempat pengambilan sampel secara berurutan dan memenuhi
kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subjek
yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2014).
Besar subjek minimal yang dibutuhkan dengan uji hipotesis beda 2
proporsi (two tail) dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus berikut (Sastroasmoro., Ismael, 2011; Trisnawati, 2013):
46
( Z 2 PQ Z P1Q1 P 2Q2 ) 2
n1 n2 n
( P1 P 2) 2
Keterangan :
Zα = deviasi baku Alfa (ditentukan 5% = 1,96)
Zβ = deviasi baku Beta (ditentukan 20% = 0,85)
P2 = proporsi efek standar dari penelitian yang dilakukan oleh Komanduri
et al, 2017, persentase kejadian non -gagal jantung kongestif dengan faktor
risiko (31% = 0,31)
Q2 = 1 – P2 = 1 – 0,31 = 0,69
P1 = proporsi efek yang diteliti (Clinical judgment) (0,68)
𝑂𝑅 𝑥 𝑃2
𝑃1 = ( )
(1 − 𝑃2) + (𝑂𝑅 𝑥 𝑃2)
4,71 𝑥 0,31
𝑃1 = ( )
(1 − 0,31) + (4,71 𝑥 0,69)
𝑃1 = 0,68
Q1 = 1 – 0,68 = 0,32
P = ½ (P1+P2) = ½ (0,68 + 0,31) = 0,5
Q = ½ (Q1+Q2) = ½ (0,69 + 0,32) = 0,5
Maka, jumlah subjeknya adalah :
( Z 2 PQ Z P1Q1 P 2Q2 ) 2
n1 n2 n
( P1 P 2) 2
3,6
𝑛1 = 𝑛2 = 𝑛 = ( )
(0,144)
𝑛1 = 𝑛2 = 𝑛 = 25
Dari perhitungan jumlah subjek didapatkan hasil 25 subjek kasus dan 25
subjek kontrol.
a. Kriteria inklusi kasus
- Pasien berdomisili di Desa Wangon
- Pasien berusia 40-80 tahun
47
- Penyandang penyakit jantung kongestif yang didiagnosis oleh dokter
puskesmas di Desa Wangon
- Bersedia menjadi responden penelitian
b. Kriteria eksklusi kasus
- Pasien dengan CHF usia <40 tahun atau >80 tahun
c. Kriteria inklusi kontrol
- Penduduk berdomisili di wilayah Desa Wangon yang bertempat
tinggal dalam wilayah 1 rw dengan pasien
- Penduduk dengan usia 40-80 tahun
- Penduduk yang tidak didiagnosis CHF oleh dokter Puskesmas di
Desa Wangon
- Bersedia menjadi responden penelitian
d. Kriteria eksklusi kontrol
- Penduduk dengan usia <40 tahun atau >80 tahun
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian gagal jantung kongestif, di antaranya genetik
CHF, usia, jenis kelamin, pola makan, riwayat DM, aktivitas fisik,
obesitas, hipertensi, merokok, akses pelayanan kesehatan, dan stres tinggi.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian gagal jantung kongestif.
48
D. Definisi Operasional
Tabel 5.1 Definisi Operasional
Variabel Keterangan Skala
Congestive Merupakan sindrom kompleks dengan tampilan gejala khas: sesak saat istirahat atau saat aktivitas, kelelahan,
Heart serta tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki, tanda khas: takikardi, takipnea,
Failure ronki, efusi pleura, peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali serta bukti objektif kelainan struktural atau Nominal
fungsional jantung saat istirahat: kardiomegali, bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada ekokardiografi ,
peningkatan natriuretic peptide (Dickstein et al., 2008).
Pasien CHF ini merupakan pasien yang telah terdiagnosis CHF pada saat di poli Puskesmas
Kontrol Merupakan kelompok responden non-CHF yang terdiagnosis bukan CHF Nominal
(non-CHF)
Jenis kelamin Merupakan jenis kelamin responden penderita CHF dan kelompok kontrol Nominal
a. Laki-laki
b. Wanita
Usia Lama waktu hidup responden dalam tahun sejak lahir sampai tahun terakhir pada saat penelitian Nominal
a. ≥50 tahun
b. <50 tahun
Ada atau tidak Ada atau tidak adanya keluarga kandung responden yang menderita CHF Nominal
adanya a. Ada
keluarga b. Tidak ada
kandung
responden yang
menderita CHF
Kegemukan Kegemukan adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi Ordinal
/obesitas lemak berlebihan di dalam tubuh. Kegemukan atau obesitas diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh atau
Body Mass Index (BMI).
Status Gizi : BB/TB2 (kg/m2)
Ket.: BB = Berat Badan (kilogram)
TB = Tinggi Badan (meter)
49
Interpretasi:
Obesitas = IMT ≥ 25
Tidak Obesitas = IMT < 25
Pola makan Merupakan asupan gizi yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok yang dikelompokan menjadi Ordinal
a. Seimbang: makan secara teratur, konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan setiap hari?
b. Tidak seimbang: Tidak sesuai dengan kriteria Gizi seimbang
Olahraga Adalah kegiatan setiap gerakan tubuh yang reguler bertujuan meningkatkan dan mengeluarkan energi yang dilakukan Ordinal
sehari-hari bertujuan menjaga kesehatan. Olahraga dikelompokan menjadi :
a. Teratur: latihan fisik selama 30 menit atau lebih dan dilakukan minimal 3 kali seminggu
b. Tidak teratur: : latihan fisik selama kurang dari 30 menit atau dilakukan kurang dari 3 kali seminggu
Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah dengan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih Ordinal
dari 90 mmHg
Interpretasi:
Hipertensi = TD ≥ 140/90 mmHg
Tidak Hipertensi = TD < 140/90 mmHg
Merokok Responden digolongkan apakah merokok atau tidak merokok. Apabila merokok diukur dengan indeks brinkmen Ordinal
a. Tidak merokok
b. Merokok
Stres Perasaan, pikiran, tekanan hati yang terbawa dalam kegiatan sehari-hari diukur dari kuesioner stres Ordinal
a. Stres = skor > 14
b. Tidak stres = skor ≤ 14
Pelayanan Peran fasilitas kesehatan, program kesehatan, petugas kesehatan, serta partisipasi peserta dalam program kesehatan Ordinal
Kesehatan yang berpengaruh terhadap kesehatan Pasien puskesmas
Kategori:
a. Kurang: skor 1-3
b. Baik: skor 4-5
Ada atau tidak adanya riwayat DM yang didiagnosis oleh dokter Puskesmas
a. Ada
Riwayat DM b. Tidak Nominal
50
E. Instrumen Pengambilan Data
Sumber data adalah primer yang diperoleh dari wawancara terstruktur dengan
menggunakan kuesioner.
51
VI. HASIL DAN ANALISIS PENYEBAB MASALAH
1. Analisis Univariat
52
Seimbang 9 36 8 32
Kebiasaan 8 32 3 12
Ya
Merokok
Tidak 17 68 22 88
Riwayat DM Ada 4 16 0 0
Tidak 21 84 25 100
Stres Ya 9 36 8 32
Tidak 16 64 17 68
Pelayanan 3 12 3 12
Kurang
Kesehatan
Baik 22 88 22 88
Sumber : Data Primer Terolah
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik jenis kelamin responden kasus CHF, laki-laki
berjumlah 9 orang (36%) dan perempuan berjumlah 16 orang (64%).
Karakteristik jenis kelamin responden kontrol non-CHF, laki-laki
berjumlah 3 orang (12%) dan perempuan berjumlah 22 orang (88%)
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan usia adalah yang
berusia <50 tahun berjumlah 1 orang (4%) dan yang berusia >50 tahun
berjumlah 24 orang (96%). Sedangkan karakteristik responden kontrol
non-CHF berdasarkan usia adalah yang berusia <50 tahun berjumlah 7
orang (28%) dan yang berusia >50 tahun berjumlah 18 orang (72%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Genetik CHF
Karakteristik responden kasus yang memiliki riwayat keluarga
CHF berjumlah 2 orang (8%) dan yang tidak memiliki riwayat
keluarga CHF berjumlah 23 orang (92%). Sedangkan karakteristik
responden kontrol yang memiliki riwayat keluarga CHF berjumlah 4
orang (16%) dan yang tidak memiliki riwayat keluarga CHF
berjumlah 21 orang (84%).
53
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Obesitas
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan IMT dalam
penelitian ini adalah yang menunjukkan obesitas berjumlah 11 orang
(44%) dan tidak obesitas berjumlah 14 orang (56%). Karakteristik
responden kontrol non-CHF berdasarkan IMT dalam penelitian ini
adalah yang menunjukkan obesitas berjumlah 6 orang (24%) dan non
hipertensi berjumlah 19 orang (76%).
e. Karakteristik Responden Berdasarkan Tekanan Darah
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan tekanan darah
dalam penelitian ini adalah yang menunjukkan hipertensi berjumlah
19 orang (76%) dan non hipertensi berjumlah 6 orang (24%).
Sedangkan karakteristik responden kontrol non-CHF berdasarkan
tekanan darah dalam penelitian ini adalah yang menunjukkan
hipertensi berjumlah 11 orang (44%) dan non hipertensi berjumlah 14
orang (56%).
f. Karakteristik Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan aktivitas fisik
dalam penelitian ini adalah yang tidak teratur melakukan aktivitas
berjumlah 11 orang (44%) dan yang teratur melakukan aktivitas fisik
adalah 14 orang (56%). Karakteristik responden kontrol non- CHF
berdasarkan aktivitas fisik dalam penelitian ini adalah yang tidak
teratur melakukan aktivitas berjumlah 12 orang (48%) dan yang
teratur melakukan aktivitas fisik adalah 13 orang (52%).
g. Karakteristik Responden Berdasarkan Pola Makan
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan pola makan, yaitu
pola makan tidak seimbang berjumlah 16 orang (64%) dan pola
makan seimbang sebanyak 9 orang (36%). Karakteristik responden
kontrol non-CHF berdasarkan pola makan, yaitu pola makan tidak
seimbang berjumlah 17 orang (68%) dan pola makan seimbang
sebanyak 8 orang (32 %).
54
h. Karakteristik Responden Berdasarkan Merokok
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan aktivitas merokok
dalam penelitian ini adalah yang merokok berjumlah 8 orang (32%)
dan yang tidak merokok berjumlah 17 orang (68%). Sedangkan
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan aktivitas merokok
dalam penelitian ini adalah yang merokok berjumlah 3 orang (12%)
dan yang tidak merokok berjumlah 22 orang (88%).
i. Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat DM
Hasil penelitian pada responden kasus dengan CHF didapatkan
yang memiliki riwayat DM sebanyak 4 orang (16%) sedangkan yang
tidak sebanyak 21 orang (84%). Pada responden kontrol non-CHF
didapatkan yang memiliki riwayat DM sebanyak 0 orang (0%) dan
yang tidak sebanyak 25 orang (100%).
j. Karakteristik Responden Berdasarkan Stress
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan stress, yaitu
responden dengan stress berjumlah 9 orang (36%) dan tidak stres
sebanyak 16 orang (64%). Karakteristik responden kontrol non-CHF
berdasarkan stress yaitu responden dengan stress berjumlah 8 orang
(32%) dan tidak stres sebanyak 17 orang (68%).
k. Karakteristik Responden Berdasarkan Pelayanan Kesehatan
Karakteristik responden kasus CHF berdasarkan pelayanan
kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan cukup berjumlah 3 orang (13%)
danbaik sebanyak 22 orang (88%). Karakteristik responden kontrol
non-CHF berdasarkan pelayanan kesehatan yaitu yaitu pelayanan
kesehatan cukup berjumlah 3 orang (12%) dan baik sebanyak 22
orang (88%)
2. Analisis Bivariat
Untuk menguji ada tidaknya hubungan antara variabel independent
dan dependent digunakan uji Chi-Square. Penelitian ini menggunakan CI
95% sehingga variabel dinyatakan berhubungan signifikan apabila p-value
kurang dari 0,05 (p<0,05) atau nilai X2hitung lebih besar dari X2tabel
55
(3.841). Berdasarkan pengujian diperoleh hasil sebagai berikut disajikan
dalam tabel dibawah ini.
Hasil uji bivariat, faktor risiko yang dapat menyebabkan CHF
didapatkan 5 variabel yang signifikan, yaitu usia, jenis kelamin, obesitas,
hipertensi dan riwayat DM. Usia memiliki nilai signifikan 0,021 (p<0,05),
jenis kelamin memiliki nilai signifikan 0,047 (p<0,05), obesitas memiliki
nilai signifikan 0,041 (p<0,05), hipertensi memiliki nilai signifikan 0,021
(p<0,05), riwayat DM memiliki nilai signifikan 0,037 (p<0,05). Hal
tersebut memiliki arti bahwa terdapat hubungan antara faktor risiko usia,
jenis kelamin, obesitas, hipertensi dan riwayat DM dengan kejadian CHF
secara statistik.
Variabel yang tidak signifikan terdiri dari genetik, aktifitas fisik,
pola makan, kebiasaan merokok, stres, dan pelayanan kesehatan. Genetik
memiliki nilai signifikan 0,384 (p>0,05), aktifitas fisik memiliki nilai
signifikan 0,777 (p>0,05), pola makan memiliki nilai signifikan 0,765
(p>0,05), kebiasaan merokok memiliki nilai signifikan 0,088 (p>0,05),
stres memiliki nilai signifikan 0,765 (p>0,05) dan pelayanan kesehatan
memiliki nilai signifikan 1,000 (p>0,05). Nilai signifikan pada masing
masing variabel menunjukan bahwa variabel tersebut tidak memiliki
pengaruh terhadap kejadian CHF secara statistik..
56
Tidak 6 24 14 56
Aktivitas Tidak 11 44 12 48 0,777 Tidak
Fisik teratur Signifikan
Teratur 14 56 13 52
Pola Makan Tidak 16 64 17 68 0,765 Tidak
seimbang Signifikan
Seimbang 9 36 8 32
9 36 8 32 0,765 Tidak
Stres Ya
signifikan
Tidak 16 64 17 68
Pelayanan 3 12 3 12 1,000 Tidak
Kurang
Kesehatan signifikan
Baik 22 88 22 88
57
b) Hubungan antara Usia dengan Gagal Jantung Kongestif.
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,021 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
usia dengan gagal jantung kongestif. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Komanduri et al, (2007). Pada pasien yang lebih tua, gagal
jantung dikaitkan dengan penurunan fungsi tubuh secara progresif.
Lebih dari setengah pasien HF ≥ 60 tahun melaporkan beberapa derajat
keterbatasan mobilitas, dan banyak yang mengalami kesulitan dengan
kegiatan sehari-hari. Timbulnya sindrom sindrom penyakit sistemik,
kelemahan tubuh dan penurunan toleransi terhadap stressor fisiologis
menjadi faktor mudahnya terkena penyakit jantung (Butrous &
Hummel, et al, 2016).
c) Hubungan antara riwayat DM dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,037 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
riwayat DM dengan gagal jantung kongestif. Hal ini sejalan dengan
penelitian Komanduri et al (2017). Diabetes mellitus dapat
berkembang menjadi gagal jantung karena terjadinya kegagalan dalam
metabolism glukosa. Glukoa berubah menjadi FFA mempengaruhi
kontraktilitas dan fungsi dari kerja jantung dan juga mengganggu
aktivitas transportasi kalsium dan regulasi kontraktilitas myofibril
yang nanti akan menyebabkan disfunsi kerja jantung dan
meningkatnya kebutuhan metabolisme dan terjadinya iskemik
(Rosano et al, 2017)
d) Hubungan antara Genetik dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,384 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
58
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara genetik dengan gagal jantung kongestif. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian harwick (2016) Orang dengan riwayat keluarga
dengan penyakit jantung akan meningkat sekitar 1,5 hingga 2,0 kali
lebih tinggi terkena penyakit jantung, terlepas dari faktor risiko
konvensional .
e) Hubungan Obesitas dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,041 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
IMT dengan gagal jantung kongestif. Hal ini sejalan dengan penelitian
Komanduri et al (2017) yang menyebutkan pasien obesitas
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Obesitas
yang diukur dari penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) >25.
Meningkatnya kebutuhan metabolik akibat timbunan lemak dalam
tubuh menyebabkan peningkatan aliran darah dan curah jantung.
Peningkatan volume darah meningkatkan aliran balik vena ke
ventrikel kanan dan kiri, mengakibatkan peningkatan tekanan dinding
dan terjadinya dilatasi pada dinding jantung. Stroke volume semakin
meningkat untuk menyesuaikan kebutuhan darah dalam tubuh.
Perubahan ini mengakibatkan ketidakseimbangan mehodinamik dan
peningkatan kerja jantung yang akhirnya menyebabkan gagal jantung
( Ebong et al, 2014).
f) Hubungan antara Hipertensi dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,042 dengan
demikian nilai p lebih kecil dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Hal ini sejalan dengan
penelitian Komanduri et al (2017), Peningkatan tekanan darah
mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah dan
59
ventrikel kiri.. Perubahan pada ventrikel kiri, misalnya hipertrofi dan
iskemia, merupakan predisposisi gagal jantung pada pasien hipertensi.
Hipertrofi jantung adalah respons adaptif, mekanisme kompensasi
terhadap tekanan atau volume berlebih yang mengarahkan ke
pelemahan tekanan dinding dan pengaturan curah jantung (Magyar et
al, 2015).
g) Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,77 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara aktivitas fisik dengan gagal jantung kongestif. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian Komanduri et al (2017) dan Nayor (2015)
yang mengatakan bahwa aktivitas fisik yang rutin dan teratur dapat
menurunkan gagal jantung. Aktivitas olahraga meningkatkan kinerja
otot rangka dengan meningkatkan kepadatan mitokondria,
meningkatkan kontraktilitas dan meningkatkan ekstraksi oksigen
perifer, sehingga meningkatkan kinerja otot rangka selama latihan.
Latihan fisik dapat mempengaruhi kinerja jantung, keseimbangan
neurohormon, fungsi endotel, komposisi otot perifer dan fungsi paru-
paru sehingga latihan atau aktivitas fisik cukup berpengaruh untuk
menurunkan morbiditas gagal jantung.
h) Hubungan antara Asupan Gizi dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi syarat
uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,765 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik tmenunjukkan tidak terdapat hubungan antara asupan
gizi dengan gagal jantung kongestif. Faktor gizi (asupan makanan)
dapat meningkatkan kejadian hipertensi pada penyakit jantung
koroner, tetapi modifikasi gaya hidup juga jelas menjadi cara yang
paling efektif untuk mengurangi risiko hipertensi pada populasi atau
penduduk yang berisiko tinggi mengalami penyakit jantung. Asupan
60
natrium mempunyai pengaruh terhadap tekanan darah. Salah satu
faktor penyebab terjadinya penyakit jantung adalah asupan konsumsi
seseorang yang mengandung banyak lemak. Lemak yang dikonsumsi
mengandung banyak kolesterol dan trigliserida yang menjadi salah
satu komponen kadar lemak dalam darah yang dapat menyebabkan
penyakit jantung. Peningkatan tekanan darah pada penderita
penyakit jantung disebabkan karena asupan makanan tinggi natrium
dan kolesterol ( Rahma & Wirjatmadi, 2017).
i) Hubungan antara Merokok dengan gagal jantung kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,080 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara merokok dengan gagal jantung kongestif. Hal ini bertentangan
dengan penelitian yang menyebutkan merokok dapat meningkatkan
risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Kandungan nikotin, CO dan
zat kimia oksidan yang menghasilkan radikal oksigen bebas terlibat
dalam patofisiologi penyakit kardiovaskular akibat merokok. Zat zat
ini meningkatkan atherothrombosis. Merokok juga menyebabkan
peradangan kronis, yang merupakan salah satu penyebab dari
aterosklerosis. Merokok meningkatkan sitokin proinflamatori seperti
interleukin-6, protein C-reaktif (CRP), tumor necrosis factor alpha
(TNF-a) yang menyebabkan kerusakan pada system endotel (Akcay &
yusel, 2017).
j) Hubungan antara Stress dengan Gagal Jantung Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 0,765 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara stres dengan gagal jantung kongestif.. Reaksi respon stres yaitu
sekresi sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan norepinefrin yang
menyebabkan peningkatan frekuensi jantung. Penurunan aktivitas
61
parasimpatis, peningkatan aktivasi simpatis, atau keduanya akan
menjadi penting karena ketidakseimbangan antara sistem simpatis dan
parasimpatis dapat meningkatkan risiko penyakit jantung (York et al,
2009).
k) Hubungan antara Pelayanan Kesehatan dengan Gagal Jantung
Kongestif
Pengujian terhadap data (tabel 6.2.) yang diperoleh memenuhi
syarat uji chi-square dengan hasil uji menunjukkan p = 1,000 dengan
demikian nilai p lebih besar dari α (α = 0,05). Hasil penelitian ini
secara statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara pelayanan kesehatan dengan gagal jantung kongestif. Hal ini
bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2016)
yang menyatakan bahwa Pelayanan kesehatan dalam hal ini
komunikasi efektif dan ketersediaan sarana kesehatan dari penyedia
layanana kesehatan dapat mendorong perilaku perawatan diri yang
lebih mandiri dan memberikan dampak pada peningkatan derajat
kesehatan yang optipmal. Pelayanan kesehatan yang kurang baik dan
sulit dijangkau oleh masyarakat mengakibatkan rendahnya tingkat
pengobatan rutin (kontrol) pada pasien CHF (Oktaviani et al, 2018)
62
Tabel 6.3. Skoring Metode Hanlon untuk Pemecahan Masalah
B
Masalah Kesehatan A C NPD D NPT Prioritas
S U C
Usia 9 2 2 0 0 0 0 0 5
Jenis kelamin 7 2 2 0 0 0 0 0 4
Obesitas 4 4 4 4 6 48 1 72 2
Hipertensi 8 8 8 10 8 133 1 133 1
DM 1 8 2 6 8 44 1 44 3
63
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
64
Tabel 7.1 Kriteria dan Skoring Efektivitas Jalan Keluar
Skor M I V
(Besarnya masalah (Kelanggengan (Kecepatan
yang dapat diatasi) selesainya masalah) penyelesaian masalah)
1 Sangat kecil Sangat tidak langgeng Sangat lambat
2 Kecil Tidak langgeng Lambat
3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat
4 Besar Langgeng Cepat
5 Sangat besar Sangat langgeng Cangat cepat
65
yaitu Penyuluhan mengenai pentingnya pencegahan dan pengelolaan
hipertensi terhadap CHF pada masyarakat.
66
VIII. RENCANA KEGIATAN DAN LAPORAN HASIL PELAKSANAAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Kesehatan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan
kesejahteraan umum. Pembangunan Kesehatan tersebut diselenggarakan
dengan berdasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional ( SKN ) yaitu suatu
tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya. (Depkes RI, 2008).
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan masalah kesehatan dunia (Dumitru, 2009). Gagal jantung
merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di
Amerika. American Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta
penduduk Amerika Serikat menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan
Medicare USA paling banyak mengeluarkan biaya untuk diagnosis dan
pengobatan gagal jantung (ACC/AHA 2005) (Wang, 2006). Di Indonesia, data
Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukan pasien yang dirawat dengan
diagnosis gagal jantung mencapai 14.449. Gagal jantung erat kaitannya dengan
penurunan kualitas hidup dan mortalitas tinggi, serta dapat mengakibatkan
ketidakmampuan fisik secara kronik sehingga menjadi beban ekonomi yang
tinggi (Kasper et al., 2005).
Salah satu penyakit yang masih merupakan suatu permasalahan dan
membutuhkan upaya promosi kesehatan secara lebih mulai dari tingkat
puskesmas adalah penyakit jantung salah satunya CHF. CHF merupakan
penyakit tidak menular (PTM) kardiovaskuler yang jumlah kasusnya terjadi
tiap tahun meningkat dan tidak jarang menyerang usia muda dan dapat
menyebabkan suatu kematian bagi individu yang terkena. Dengan adanya
pemecahan masalah di puskesmas I Wangon melalui promosi kesehatan ini
diharapkan tercapainya pembangunan kesehatan di sektor strata pertama yaitu
puskesmas.
67
Berdasarkan temuan dari data terbaru Puskesmas I Wangon pada Periode
Oktober sampai Desember 2018, penyakit CHF termasuk 15 penyakit terbesar
dan menempati urutan ke-13 dengan jumlah kasus 285 dan diperkirakan akan
terus meningkat. Maka penting bagi kita untuk memperhatikan dan mencermati
faktor-faktor risiko CHF pada masyarakat di wilayah Puskesmas I Wangon
untuk kemudian bisa mencari alternatif pengendalian terhadap faktor-faktor
tersebut sebagai pemecahan masalah kesehatan berupa menekan angka
prevalensi CHF yang tinggi di tempat penelitian tersebut
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kejadian CHF di wilayah Desa Wangon.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan pemahaman tentang faktor risiko CHF kepada masyarakat
di Desa Wangon.
b. Mengubah perilaku masyarakat mengenai pengendalian faktor risiko
CHF yang dapat dimodifikasi yaitu penyakit penyerta berupa diabetes
mellitus, hipertensi, dan obesitas sebagai upaya penurunan angka
kejadian CHF di Desa Wangon.
D. Sasaran
Para peserta Pengajian di rumah warga yang berjumlah 35 peserta.
E. Pelaksanaan
1. Personal
Penanggungjawab :dr. Tulus Budi Purwanto
68
Pembimbing :dr. Tulus Budi Purwanto dan Dr. dr. Nendyah
Roestijawati MKK
Pelaksana : Koass IKM Puskesmas I Wangon
2. Waktu dan Tempat
Hari :Sabtu- selasa (Direct Education) dan Minggu
(Penyuluhan CHF)
Tanggal : 22- 25 dan 30 Desember 2018
Waktu : 08.00 – selesai
Tempat : Rumah Warga (Penyuluhan CHF)
69
Tabel 8.1 Jadwal Kegiatan penyuluhan langsung
Jam Alokasi Kegiatan
08.00 – selesai 15 menit pada Direct education mengenai CHF
masing-masing
sampel
3. Output
Kehadiran sebanyak 75% dari keseluruhan peserta Pengajian di Rumah
Warga Desa Wangon dengan rerata minimal kenaikan nilai pretest dan
postest sebesar 20%.
70
IX. PELAKSANAAN DAN EVALUASI PROGRAM
A. Pelaksanaan
1. Pelaksanaan Kegiatan
Penyuluhan yang dilakukan diharapkan dapat mengatasi masalah-
masalah yang berhubungan dengan CHF faktor risiko terhadap kejadian
CHF di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Pelaksanaan kegiatan
penyuluan dilaksanakan melalui 3 tahapan, yaitu:
a. Tahap Persiapan
1) Perizinan
Perizinan diajukan dalam bentuk lisan kepada Kepala
Puskesmas I Wangon, bidan desa, serta Kepala rumah tangga
terkait.
2) Materi
Materi yang disiapkan adalah materi penyuluhan berupa materi
mengenai CHF,faktor risiko, penyebab dan pencegahan.
3) Sarana
Sarana yang digunakannya media leaflet dan penyampaian
secara lisan.
b. Tahap Pelaksanaan
1) Judul Kegiatan
“Jantung Sehat Hidup Bahagia”
2) Waktu
Penyuluhan dilaksanakan Sabtu-Selasa (penyuluhan langsung) ,
22-25 Desember 2018. Penyuluhan Masal, Minggu 30
Desember 2018
3) Tempat
Rumah Warga Desa Wangon Kecamatan Wangon
4) PenanggungJawab
a) Dr. dr. Nendyah Roestijawati, MKK selaku pembimbing
fakultas.
71
b) dr. Tulus Budi Purwanto selaku Kepala Puskesmas I
Wangon sekaligus Pembimbing Lapangan
5) Pelaksana
a) Muhammad Sidiq
b) Kirana Sitaresmi
c) Nabila Ramadhini
6) Peserta
Pasien dan Ibu-ibu Pengajian desa Wangon
7) PenyampaianMateri
Penyuluhan materi CHF (Gagal Jantung Kongestif) diberikan
pada warga Desa Wangon
B. Evaluasi
Tahap evaluasi adalah melakukan evaluasi mengenai 3 hal, yaitu:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif merupakan evaluasi sumberdaya yang meliputi
evaluasi 5M, yaitu man, money, methode, material, dan machine
terhadap masalah. Berikut rinciannya:
a. Man : Narasumber memiliki materi penyuluhan berupa cukup
komprehensif dengan menjabarkannya menggunakan
leaflet sehingga peserta penyuluhan dapat menerima
materi dengan baik.
b. Money : Sumber pendanaan cukup menunjang pelaksanaan
kegiatan
c. Method : Metode penyuluhan dilakukan secara interaktif, dengan
harapan peserta dapat aktif bertanya tentang materi
yang diberikan. Target acara ini adalah peserta paham
dengan materi yang diberikan serta dapat menerapkan
ke kehidupan sehari-hari.
d. Material : Materi penyuluhan yang diberikan berufa CHF ,
penyebab, faktor-faktor risiko, serta pencegahannya.
Media yang digunakan hanya berupa leaflet karena
tidak tersedia proyektor maupun microphone.
72
e. Machine : Kegiatan penyuluhan dilakukan di Rumah Warga
jumlah peserta yang datang 28 orang.
2. Evaluasi Proses
a. Sasaran
Sasaran peserta pada kegiatan ini telah terpenuhi yaitu sebanyak 28
peserta (80%) hadir dalam kegiatan penyuluhan masalah. Jumlah
tersebut telah memenuhi target awal yang telah ditentukan yaitu
minimal 75 % peserta hadir.
b. Waktu
Penyuluhan dilakukan pada saat kujungan langsung ke pasien Sabtu-
Selasa, 22 Desember- 25 Desember 2018 pada Pukul 08.00
s.d.selesai WIB.
c. Tempat
Tempat penyuluhan dilakukan di Rumah Warga
d. Kegiatan
Kegiatan dimulai dengan pembukaan, sambutan-sambutan, dan
dilanjutkan dengan penyuluhan. Materi penyuluhan yang diberikan
berupa pemahaman tentang penyakit CHF (gagal jantung kongestif).
Dilihat dari segi proses:
1) Keberlangsungan acara
Acara diselenggarakan di rumah warga di Desa Wangon. Semua
rangkaian kegiatan terlaksana dengan baik dan antusias peserta
baik dibuktikan dengan jumlah pertanyaan yang diajukan
peserta, selain itu peserta juga aktif menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan oleh pemateri.
2) Jadwal pelaksanaan kegiatan
Kegiatan berhasil dilaksanakan pada hari Sabtu- Selasa, 22
Desember – 25 Desember 2018, dan Minggu 30 Desember 2018
Acara dimulai pukul 19.30 WIB – 20.45 WIB. Acara
berlangsung selama 75 menit. Semua rangkaian acara terlaksana
dan sesuai dengan alokasi waktu yang telah direncanakan.
73
3. Evaluasi Sumatif
Peserta penyuluhan tidak hanya aktif dalam memperhatikan materi
penyuluhan, namun juga aktif dalam bertanya sehingga tercipta suasana
diskusi yang hidup. Peserta terlihat antusias dengan adanya kegiatan ini,
yang dibuktikan dengan adanya timbal balik yang memuaskan.
Rerata nilai post-test peserta setelah mengikuti penyuluhan adalah
87,8 dari skala 100. Hal ini menunjukkan peningkatan 26,4% jika
dibandingkan rerata nilai pre-test yaitu 61,4 dari skala 100.
74
X. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini didapatkan hasil analisis kesehatan
komunitas (Community Health Analysis) di wilayah kerja Puskesmas I
Wangon Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa CHF menjadi
prioritas masalah yang diambil.
Faktor risiko yang berhubungan signifikan secara statistik dengan
kejadian CHF di wilayah kerja Puskemas I Wangon adalah usia (p=
0,021), jenis kelamin (p=0,047), Hipertensi (p= 0,042), DM (p= 0,037)
dan Obesitas (p = 0,041).
Alternatif pemecahan masalah yang diprioritaskan untuk masalah
tersebut adalah Direct penyuluhan (penyuluhan langsung pada penderita)
dan penyuluhan masal CHF.
Penyuluhan secara langsung berjalan lancar pada hari Sabtu-
Selasa 22 -25 Desember 2018. Penyuluhan masal berjalan lancar pada
hari Minggu 30 Desember 2018. Secara sasaran, penyuluhan sudah
memenuhi target sesuai sampel yaitu sebanyak 28 orang dari target
peserta pengajian yang hadir. Rerata nilai post-test peserta setelah
mengikuti penyuluhan adalah 87,8 dari skala 100. Hal ini menunjukkan
peningkatan 26,4% jika dibandingkan rerata nilai pre-test yaitu 61,4 dari
skala 100.
B. Saran
1. Masyarakat diharapkan lebih berperan aktif dalam melakukan pencegahan
CHF dengan melakukan perubahan pola hidup sehat.
2. Bagi puskesmas sebaiknya lebih aktif dalam melakukan screening dan
pencatatan kejadian CHF dan PTM lain yang merupakan faktor risiko CHF
3. Perlu diadakannya penyuluhan secara periodik dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas I Wangon tentang factor risiko
CHF serta pencegahan yang dapat dilakukan.
75
DAFTAR PUSTAKA
American Hearts Association. 2018. Heart Diseases and Stroke Statistic 2018
At-a-Glance. America Herat Association.
Beers, M.H. 2006. Heart Failure. Merck Manual of Geriatric p 900-11. USA:
Whitehouse Station.
Butrous, Hoda., Hummer, Scott. 2016. Heart Failure in Older Adults. HHS Public
Access. Vol 32(9): 1140-1147.
Dickstein K, et al. 2008. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure 29;2388-442: Europian Society of
Cardiology.
Ebong, Imo A., Goff, David., Rodriguez, Carlos., Chen, Haiying., Bertoni, Alain.
2014. Mechanism of Heart Failure in Obesity. NIH Public Access. Vol 8(6):
540-548.
Imaligy, E. 2014. Gagal Jantung pada Geriatri. Cermin Dunia Kedokteran. 41 (1):
19-24.
Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., & Jameson,
J.L. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Heart Failure and
Cor Pulmonale 17th ed. New York: McGraw-Hill.
76
NHANES 2013-2014 epidemiological follow up study. Journal of
Communitiy Hospotal Internal Medicine Perspectives. Vol 7(1): 16-20.
Liwang, Frans., Wijaya, Ika Prasetya. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II.
Jakarta : Media Aesculapius
Mann, D.L. 2007. Pathophysiology of Heart Failure In: Libby, P., Bonow, R.O.,
Mann, D.L., & Zipes, D.P. (edt.). Braunwald Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 8th Ed. USA: Elsevier Saunders.
Mozaffarian, D., Benjamin, E.J., Go, A.S., Amett, D.K., Blaha, M.J., Cushman,
M., et al .2015. Heart Disease And Stroke Statistics 2015 Update : A
Report From The American Heart Association. Circulation. 131-133.
Nurhayati, E., Nuraini, I. 2010. Gambaran Faktor Risiko pada Paien Penyakit
Gagal Jantung Kongestif di Ruang X.A RSUP Dr. hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Kesehatan Kartika. 40-52
Panggabean, M.M. 2007. Gagal Jantung. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Marcellus, S.K., & Setiati, S. (edt). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi IV, h. 1513-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Ramani, G.V., Uber, P.A., dan Mehra, M.R., 2010, Chronic Heart Failure:
Contemporary Diagnosis and Management, Mayo Clinic
Proceedings, 85: 180–195
77
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Diunduh tanggal 16 Desember 2018 dari
http://www.litbang.depkes.go.id.
Shah, R.V. & Fifer, M.A. Heart Failure. In: Lilly LS (edt.). 2007.
Pathophysiology of Heart Disease, P 225-51. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
Yancy, C.W., et al. 2013. ACCF / AHA Guideline For The Management Of
Heart Failure. Circulation.
78