Anda di halaman 1dari 23

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI

INDONESIA

oleh :
Prof.Dr.H.Dwidja Priyatno,SH,MH,SpN

dwidja/2006
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan
bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal Policy).
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung
makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai
sentral sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia.
Secara singkat pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan
sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ( value-
oriented approach).
dwidja/2006
H.Pidana Materiil/Substantif

H.Pidana Formal /H.Acara Pidana


Pembaharuan Hukum
Pidana

H.Pelaksanaan Pidana

dwidja/2006
Alasan-alasan dilakukan pembaharuan hukum pidana

1. Alasan Politik : Negara R.I. Yang merdeka


wajar mempunyai KUHP yang diciptakan sendiri.
KUHP yang diciptakan sendiri dapat dipandang
sebagai lambang (simbol) dan merupakan
kebanggaan suatu negara yang telah merdeka
dan yang telah melepaskan diri dari kungkungan
penjajahan politik. KUHP suatu negara yang
dipaksakan untuk diberlakukan di negara lain,
dapat dipandang sebagai simbol penjajahan oleh
negara yang membuat KUHP itu.

dwidja/2006
2. Alasan Sosiologis :
pengaturan dalam hukum pidana merupakan
pencerminan ideologi politik suatu bangsa di
mana hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa
nilai sosial budaya bangsa itu mendapat tempat
dalam pengaturan hukum pidana. Ukuran
mengkriminalisasikan suatu perbuatan,
tergantung dari nilai pandangan kolektif yang
terdapat dalam masyarakat tentang apa yang
baik, yang benar, yang bermanfaat atau
sebaliknya.

dwidja/2006
3. Alasan Praktis ( Kebutuhan dalam
praktek)
Teks resmi KUHP masih bahasa Belanda, maka
sebenarnya apabila kita hendak menerapkan
KUHP itu secara tepat, maka orang harus
mengerti bahasa Belanda, kiranya hal ini tidak
mungkin diharapkan dari bangsa yang sudah
merdeka dan mempunyai bahasa nasionalnya
sendiri. Teks yang tercantum dalam KUHP yang
disusun oleh Prof Moeljatno, R Soesilo dan lain-
lain merupakan terjemahan belaka; terjemahan
partikelir dan bukan terjemahan resmi yang
disahkan oleh suatu dwidja/2006
undang-undang.
4. Alasan Adaptif ,
Hukum pidana ( KUHP Nasional) di
masa mendatang harus dapat
menyesuaikan diri dengan
perkembangan-perkembangan
Internasional yang sudah disepakati
oleh masyarakat beradab.

dwidja/2006
Cara-cara melakukan Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia
1. Kriminalisasi , perubahan nilai menyebabkan
sejumlah perbuatan yang tadinya merupakan
perbuatan yang tidak tercela dan tidak tiunutt
pidana, berubah menjadi perbuatan yang
dipandang tercela dan perlu dipidana. Ini
merupakan delik baru yang bila dihadapkan
kepada KUHP yang ada sekarang (sebagai hukum
pidana lama) sama sekalai tidak dapat dituntut,
meskipun masyarakat pada umumnya
memandang sebagai perbuatan jahat (delik)
yang patut dipidana.
2. Dekriminalisasi , yaitu perubahan penilaian
terhadap sejumlah perbuatan yang diancam
pidana menjadi perbuatan yang dipandang
sebagai bukan kejahatan yang perlu dipidana.
dwidja/2006
3. Rekriminalisasi , perubahan penilaian terhadap
sejumlah perbuatan yang diancam pidana menjadi
perbuatan yang dipandang sebagai bukan kejahatan yang
perlu dipidana tetapi dalam perkembangannya perbuatan
tersebut perlu dijadikan delik kembali.Contoh UU No. 17
tahun 1964 mengancam pidana berat bagi penarik cek
kosong dengan tujuan penipuan dan manipulasi moneter.
Tetapi setelah UU tersebut dicabut dengan UU No. 1 Prp
Tahun 1971, maka persoalan cek kosong diselesaikan
menurut Hukum perdata. Karena di dalamnya ada unsur
penipuan, maka hal ini dituntut melalui Pasal 378 KUHP.
Tetapi ternyata tidak sedikit orang yang menjadi korban
penarikan cek kosong, sehingga sebagian warga
masyarakat mendukung kriminalisasi kembali
(rekriminalisasi) terhadap penarikan cek kosong dengan
jalan mengaturnya dalam suatu peratuan hukum yang
dapat memidana pelaku tersebut.

dwidja/2006
4.Mitigering, adalah merubah
ketentuan sanksi pidana yang berat
menjadi sanksi pidana yang lebih
ringan, atau pengurangan beratnya
suatu sanksi dalam katagori sanksi
yang sama, termasuk di dalamnya
dari sanksi pidana menjadi sanksi
keperdataan atau sanksi
administratif,
dwidja/2006
Perkembangan hukum pidana nasional sampai saat ini mengikuti
pelbagai pendekatan (reform approach) sebagai berikut :

Pendekatan evolusioner melalui pelbagai


amandemen pasal-pasal tertentu baik yang
berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP
Jo. UU No. 1 Tahun 1965 ) maupun
dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal V UU
No. 1 Tahun 1946);
Pendekatan semi-global dengan munculnya
pelbagai tindak pidana khusus di luar KUHP
seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU tentang
Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan
sebagainya, mengingat kekhususan-kekhususan
pengaturan baik di bidang hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formil;
dwidja/2006
Pendekatan kompromi, dengan pengaturan
suatu Bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi
konvensi internasional yang signifikan
(misalnya Bab XXIX A KUHP Jo. UU No. 4
Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi
terhadap Konvensi-konvensi Montreal, Tokyo
dan Konvensi The Haque tentang Kejahatan
Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana
Penerbangan) ;
Pendekatan komplementer dengan munculnya
hukum pidana administrative (administrative
penal law) di mana sanksi hukum pidana
digunakan untuk memperkuat sanksi hukum
administrasi (UU Pers, UU tentang HAKI, UU
Perlindungan Konsumen dan sebagainya).
dwidja/2006
Sepanjang berkaitan dengan RUU KUHP baru
pendekatan yang dilakukan adalah bersifat
menyeluruh dan bukan bersifat ‘amandemen’
dengan maksud untuk menggantikan WvS
warisan Belanda dengan KUHP Nasional,
sehingga pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan global (global approach), yang tidak
mungkin bisa difahami secara sepotong-sepotong
(fragmented) seperti yang tersirat dalam polemik
di masyarakat akhir-akhir ini.. Usaha ini
sudah berlangsung lebih dari 40 tahun (1963)
semenjak Seminar Hukum Nasional I di
Semarang yang dimotori oleh BPHN Departemen
Kehakiman.. Tokoh-tokohnya seperti Prof. Oemar
Senoadji, Prof. Sudarto, Prof Ruslan Saleh
bahkan sudah wafat.
dwidja/2006
Karakteristik pendekatan global ini nampak
terutama dalam pengaturan-pengaturan yang
mendasar, baik yang berkaitan dengan asas-asas
hukum pidana (criminal law principles)
sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP, maupun
dalam pengaturan 3 (tiga) permasalahan pokok
hukum pidana yaitu pengaturan tentang
pelbagai perbuatan yang bersifat melawan
hukum (criminal act), pengaturan tentang
pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility) dan pengaturan tentang sanksi
baik yang berupa pidana (punishment, straf)
maupun tindakan (treatment, maatregel).
dwidja/2006
PELAKSANAAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946


a. Pasal V “Peraturan hukum pidana, yang
seluruhnya atau sebagian sekarang, tidak dapat
dijalankan, atau bertentangan dengan
kedududkan R.I. sebagai negara merdeka, atau
tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap
seluruhnya atau sebagian sementara tidak
berlaku lagi “
b. Pasal VI mengubah secara resmi
W.v.S.N.I. menjadi W.v.S dapat disebut Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.

dwidja/2006
2. UU No. 20 Tahun 1946
Menambah jenis pidana pokok yang terdapat dalam
Pasal 10 a KUHP dan Pasal 6 a KUHP Tentara dengan satu
pidana pokok baru, yaitu pidana tutupan.
3. UU No. 73 Tahun 1958
Pasal I menyatakan UU No. 1 Tahun 1946 tentanhg
peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh
wilayah R.I. Hal ini untuk menghilangkan dualisme hukum
pidana ; memasukkan beberapa p[asal baru dalam KUHP ,
yaitu Pasal 52a , 1421 dan 154a , semuanya menyangkut
bendera Indonesia.
4. Lembaran Negara No. 1 Tahun 1960
Sanksi pidana yang diancamkan kepada tiga delik culpous
dinaikkan menjadi maksimum lima tahun penajra atau satu
tahun kurungan ( Pasal 188, 359 dan 360 KUHP)

dwidja/2006
4. UU No. 16/Prp/ 1960
Mengubah kriteria beberapa kejahatan ringan
dalam KUHP seperti Pasal 364 KUHP pencurian
ringan , Pasal 373 KUHP, penggelapan ringan,
Pasal 379 KUHP penipuan ringan, Pasal 384
KUHP kecurangan dalam penjualan ringan, Pasal
407 ayat (1) tentang perusakan barang ringan ,
dari vijf en twintig gulden menjadi dua ratus
lima puluh rupiah, alasan perubahan karena
kemerosotan nilai rupiah pada waktu itu.
5. UU No. 18/Prp/1960
Sanksi pidana denda yang tercantum dalam
KUHP harus dibaca dalam mata uang rupiah dan
jumlahnya dilipatgandakan menjadi lima belas
kali.
dwidja/2006
6. UU No. 1 Pnps Tahun 1965
Menyisipkan satu Pasal baru yaitu Pasal 156a
KUHP, mengatur tentang ( di muka umum) sifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
agama yang dianut di Inddoensia dan
melakukan perbuatan agar orang tidak menganut
agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa
7. UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian
Merubah Pasal 542 KUHP menjadi Pasal 303 Bis
KUHP dan semua perjudian adalah kejahatan dan
ancaman pidana dalam Pasal 303 dan 303 bis
KUHP dinaikkan serta sistem perumusannya dari
sistem alternatif ke sistem kumulatif (…dan….)
dwidja/2006
8.UU No. 4 Tahun 1976
Mengisi kekosongan yang terdapat dalam KUHP, khususnya
yang menyangkut masalah penerbangan.
a. Perubahan dan penambahan Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4
KUHP menyangkut masalah ruang berlakuknya perundang-
undangan pidana amenurut tempat;
b. Penambahan tiga pasal baru dalam KUHP sesudah Pasal
95 , yaitu Pasal 95a, 95 b, 95 c KUHP
c. Penambahan sebuah Bab baru yaitu Bab XXIX A dari
KUHP Buku II setelah Bab XXIX Buku II KUIHP. Bab baru ini
memuat kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan dan terdiri atas 18 pasal
yaitu mulai dari Pasal 479a sampai 479 r KUHP. Perlu
dikritisi adalah ketentuan Pasal 479 j yaitu unsur dalam
penerbangan dan dalam pesawat udara, hal ni
mengandung pengertian yang sempit. Bandingkan dengan
Pasal 385 a KUHP Belanda yang memuat rumusan delik “
pembajakan pesawat udara “(vliegtuigkaping), hal ini
mengandung arti pembajakan pesawat udara tidak perlu
dilakukan dalam penerbangan dan dalam pesawat udara ,
melainkan bisa saja pembajakan itu dilakukan dari darat
atau dengan pesawat udara lain dan juga sebelum atau
sesudah pesawat udara dalam penerbangan
dwidja/2006
9. UU No 7 Drt 1955 ( UU Tentang TPE)
Pembaharuannya adalah :
a. Korporasi sebagai subjek tindak pidana ( Pasal
15 ayat 1 sampai 4 )
b. Perumusan sanksi pidananya menggunakan
sistem alternatif dam kumulatif ( Pasal 6)
c. Terdapat sanski berupa tindakan tata tertib (
Pasal 8 dan 9) dan dikenal sistem pemidanaan
dua jalur ( double track system)
d. Jenis pidana tambahan baru seperti
perampasan barang yang berwujud dan yang
tidak berwujud ( Pasal 4)
dwidja/2006
10. UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Berdasarkan Pasal 67 mencabut
ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP,
yang menentukan batas umur anak nakal
yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18
tahun dan belum pernah kawin.
11. UU No 27 Tahun 1999
Menambah 6 ketentuan baru Pasal 107
a,b,c,d,e,f KUHP tentang Kejahatan
terhadap Keamanan Negara
dwidja/2006
12. UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun
2001, menjadikan beberapa ketentuan dalam
KUHP seperti Pasal 209 (Ps 5), 210 (Ps 6), 387
dan 388 ( Ps 7), 415 (Ps 8), 416 (Ps 9), 417 (ps
10), 418 (Ps 11), 419, 420, 423, 425, 435 ( Ps
12), 220, 231, 421, 429, 430 KUHP (Ps 23)
menjadi tindak pidana Korupsi yang sifatnya
berdiri sendiri , ketentuan Pasal 92 KUHP
pengertian pegawai negeri diperluas (Ps 1 angka
2), Percobaan dan pembantuan diperluas dengan
pidana yang sama dengan pelaku (Ps 15).
Pengertian setiap orang adalah perseorangan
atau termasuk korporasi (Pasal 1 angka 3 )
dwidja/2006
dwidja/2006

Anda mungkin juga menyukai