pernah menapaki jejak-jejak sejarah Banten. Dari sumber temuan prasasti Munjul
(Pandeglang, Banten), menerangkan sejak abad V masehi, daerah Banten telah masuk ke
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara yang pusatnya disekitar Bekasi sekarang.
Kerajaan ini menurut kronik Cina disebut T-Lo-Mo yang pada abad VI dan VII Masehi
mengirim utusannya ke Cina. Keadaan masyarakat Banten pada masa Tarumanegara masih
sangat sederhana. Mata pencaharian penduduk sangat bergantung terhadap alam sekitarnya.
Kegiatan-kegiatan seperti perburuan, pertambangan, perikanan, dan perniagaan, termasuk
mata pencaharian penduduk, disamping pertanian, pelayaran dan peternakan. Berita
mengenai perburuan dapat diperoleh dari berita tentang adanya cula badak dan gading gajah
yang diperdagangkan, badak dan gajah adalah binatang liar, terlebih dulu harus dilakukan
perburuan. Sebuah sumber
bahwa Mang Wang, Maharaja Bulugading (Tiongkok) memesan cula badak putih
dari Medanglili, yaitu sebutan untuk Banten, yang biasa dipakai oleh orang-orang
pada zaman Hindu, hingga abad ke-13, dan cula badak itu bisa didapatkan di
baik secara fisik maupun non fisik, pada waktu bersubordinasi di bawah Kerajaan
pengembangan kota dapat ditelusuri dari penggalian yang dilakukan oleh arkeolog
Kerajaan Banten Girang yang senantiasa terkena pengaruh ganda, pengaruh Jawa
dan Melayu. 56
mulai tahun 1275 masehi, setelah Raja Kertanegara melancarkan ekspedisi militer
Melayu pun, baik politik maupun budaya selama berabad-abad terasa di daerah itu
dari akhir abad ke-7 sampai abad ke-10, lalu dari awal abad ke-11 sampai paro
kedua abad ke-13.
serta di Bangka, salah satunya prasasti Bangka, dapat diketahui bahwa Sriwijaya
pada tahun 686 Masehi mempersiapkan ekspedisi militer terhadap Jawa. Menurut
hipotesis Moens (1937), nama “Jawa” itu harus dimengerti sebagai bagian barat
Pulau Jawa, jelasnya sebagai Kerajaan Tarumanegara yang hilang dari ajang
politik pada akhir abad ke-7, sebab beritanya tidak terdapat lagi di dalam sumber-
sumber sejarah.
bahwa Sunda, Madura dan seluruh tanah Jawa tunduk dan berbkti tiada yang alpa
tahun 1197 saka dan dikonversikan ke tahun masehi menjadi 1275 Masehi. Ibid.,
hlm. 212.
72
tergambar dengan nyata dalam sebuah surat pendek yang oleh syahbandar
keturunan Cina ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawa. Ciri yang paling
Sunda tidak dipakai. Bahkan tidak ditemukan satu prasasti pun dari masa Banten
Girang yang ditulis dalam bahasa itu, begitu pula tidak ada contoh pemakaiannya
Keraton Kerajaan Banten Girang sebagai pusat kerajaan saat itu dibangun
pada tempat yang memiliki topografi dataran tinggi. Keraton sebagai pusat
kerajaan yang dibangun diatas topografi yang lebih tinggi dari daerah bawahannya
seperti pasar dan pelabuhan terletak di topografi dataran rendah. Secara laten telah
131.
73
Cibanten. 61
pendek, kira-kira tiga puluh meter, sungai itu merupakan sumbu perhubungan
antara laut dan pegunungan vulkanis Karang-Pulosari-Aseupan yang subur,
Disepanjang sungai tersebut, yang debit airnya sangat berbeda pada musim
kering dan musim hujan, terdapat situs-situs yang berkaitan dengan berbagai
dan terakhir, kota lama Banten Girang yang artinya “Banten Hulu”. 62 Selain
Sungai Cibanten, akses transportasi juga bisa dilalui melalui jalan darat yang
berada di samping kiri dan kanan sepanjang sungai Cibanen. Jalan itu sering
ditemukan beberapa tempat yang menjadi bagian dari struktur kota, yaitu:
62 Claude Guillot, Lukman Nurhakim & Sonny Wibisono, op.cit., hlm. 23.
74
1. Kelunjukkan
Kata dasar lunjuk agaknya bertalian dengan kata Jawa lonjok atau lojok,
sebelah utara Kerajaan Banten Girang yang luasnya sendiri sebesar satu hektar.
lalu lalang antara pelabuhan dan pusat Kerajaan Banten Girang. Dengan kata
lain, Kalunjukkan rupanya adalah sebuah pintu ke ibu kota, setiap orang lewat
2. Telaya
berasal dari masa perang antara Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten
keenam) dan pihak kolonial Belanda. Pada tahun 1682 nama Banten Girang
Disebelah timur Telaya masih terlihat sebuah gua kuno buatan yang digali
dalam tebing jurang (Lihat lampiran 4, Gambar 4 halaman 210). Terdapat dua
pintu masuk dan tiga ruang kamar di dalam gua. Menurut penduduk, gua
63 Claude Guillot, Lukman Nurhakim & Sonny Wibisono, op.cit., hlm. 81.
75
tersebut dijadikan tempat bagi Raja Pucuk Umun bersemadi. Diatasnya ada
Luas situs Telaya hampir enam hektar. Pemilihan Telaya sebagai area
pusat kota karena terlindung secara alamiah oleh dinding alam berupa: jurang
dan sungai sepanjang lebih dari separuh kelilingnya, kolam di sebelah barat
laut dan oleh ceruk di sebelah barat. Perlindungan alamiah tersebut diperkuat
oleh sebuah parit (dalamnya empat meter dan lebarnya delapan meter dari
permukaan) yang digali mengitari seluruh situs itu. 64 Denah parit dibangun
3. Pandaringan
Di sebelah barat laut Telaya ada sebuah ceruk yang pada musim hujan
berubah menjadi rawa karena terkumpulnya air hujan dan naiknya air sungai.
Pada saat itu orang mudah menangkap ikan. Oleh karena itu dan juga karena
menurut tradisi setempat, tempat terakhir adalah bekas kolam ikan pada zaman
Sudah menjadi hal yang lumrah jika air menjadi unsur yang penting
dalam peradaban Asia Tenggara yang terpengaruh India, baik dalam kehidupan
64 Claude Guillot, Lukman Nurhakim & Sonny Wibisono, op.cit., hlm. 81.
76
Hindu. Keraton Banten Girang sebagai pusat kota digambarkan sebagai Meru
yang dikelilingi oleh air berupa kolam dan aliran sungai Cibanten. Seusai
dengan namanya Tirtalaya atau Telaya, berarti “Tempat Suci diatas air”.
4. Banusri
di dalam sebuah lekukan sungai dan tertutup oleh garis pertahan berupa parit
dan tembok tanah. Menurut tradisi setempat area ini dahulu merupakan pasar di
5. Alas Dawa
Alas Dawa (hutan panjang) terletak di bagian selatan dari situs Kerajaan
Banten Girang yang berjarak sekitar dua kilometer. Area ini dinamakan Alas
Dawa karena banyak tumbuh pohon tinggi yang memanjang dan membentuk
semacam hutan kecil. Di samping alas itu terdapat jalan setapak yang
Girang, yaitu sungai dan kedua ‘jalan sultan’, maka diduga bahwa tempat itu
daerah tersebut terdapat beberapa makam keramat yang agak sepi namun tetap
terawat.
Nama tempat ini berasal dari pohon asem yang didekatnya terdapat
Girang, yang merupakan misan selir Prabu Siliwangi, yaitu Jong dan Jo (Lihat
lampiran 4, Gambar 4 halaman 210). Dua orang itu pendekar Banten yang
dianggap sebagai tangan kanan Pucuk Umun. Setelah masuk Islam kedua
pendekar itu diberi gelar Mas untuk Jong dan Agus buat Jo. 66 Belum ada bukti
Kerajaan Banten Girang dikelilingi oleh benteng dari perpaduan alam dan
primitif tetapi merupakan sistem pertahanan yang kuat dan mengesankan. Itulah
diceritakan dalam Sajarah Banten (pupuh XVII) sebagai perebutan pusat Kerajaan
Diantaranya telah ditemukan beberapa bungkah bijih besi, sebuah batu yang
pernah menjadi dasar sebuah dapur pengecoran besi, sejumlah besar terak besi
dan sisa-sisa benda besi yang cukup banyak di sekitar situs Kerajaan Banten
Girang.
besi juga menjadi salah satu pekerjaan yang banyak ditemui pada kerajaan
bercorak Hindu di Nusantara. Bukti ini diabadikan pada sebuah relief di Candi
Sukuh, dimana relief tersebut menggambarkan kegiatan dua pandai besi sedang
menempa sebuah pedang dan yang satu lagi sedang memegang tangkai ububan 67
didapati fakta, bahwa Candi Sukuh terletak di Dusun Berjo, Desa Sukuh,
pada ketinggian 910 meter diatas permukaan laut. Dibangun pada abad ke-15
ditemukan tahun 1815 oleh Johnson pada masa Gubernur Jenderal Raffless. Salah
candi ini paling unik dan erotik di pulau Jawa, karena terdapat relief yang
79
disinggahi oleh pedagang asing, baik dari Eropa maupun Asia. Pedagang asing
Kedatangan pedagang Cina oleh karena mereka terlibat dalam perdagangan lada.
Mulai akhir abad ke-12, ketika lada untuk pertama kali disebut di Banten, jung-
Kerajaan Banten Girang mempunyai barang lain yang dapat dijual kepada
orang Cina, khususnya cula badak. Badak terdapat dalam jumlah besar sekali di
bagian selatan wilayah Banten. Pada akhir abad ke-19 perburuannya masih
merupakan salah satu hiburan yang paling digemari di kalangan Eropa yang
tinggal atau sedang singgah di daerah itu. Pecahan rahang badak yang ditemukan
perdagangan itu. Begitupula bagian kulit penyu, yang juga dihasilkan oleh
Pengaruh hindu-budha juga ditemukan didaerah banten. Bukti-bukti pengaruh tersebut kini
hanya dalam bentuk peninggalan, seperti arca Ganesha yang ditemukan di pulau panaitan ada
arca Dwarapala dari daerah aliran sungai cibanten. Patut dicermati, meskipun budaya hindu-
budha telah mempengaruhi prilaku dan pola hidup sebagian masyarakat banten masa
lalu,namun budaya dan tradisi sebelumnya yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun
tetapi dipraktekkan dalam aktifitas dan tidak di tinggalkan begitu saja.
Sumber asing pertama yang secara samar-samar berkaitan dengan banten adalah sumber
tertulis yang berasal dari yunani,yaitu geographike hyphegesis karya cloudius ptolomaeus.
Disebutkan tentang tempat yang bernama argyre yang terletak diujung barat iabadiou. Dalam
bahasa sansekerta iabadiou berarti yawadwipa (pulau jelai) yang merujuk pada pulau jawa.
Sedangkan argyre berarti perak,sementara diujung barat pulau jawa terletak disebuah kota
bernama merak.3)
Interpretasi kata perak diatas agaknya berkaitan pula dengan berita cina dari tahun 132
menyebutkan bahwa raja pien dari kerajaan ye-tiao meminjamkan materai emas dan pita
ungu kerajaannya kepada maharaja tiao-pien. Menurut G. Ferrand ye-tiao adalah bahasa cina
dari yawadwipa, sedangkan tiao-pien adalah lafal cina dari nama sansekerta Dewawarman.
Penelitian awal ini,menyimpulkan bahwa di pulau panaitan, pada kira-kira tahun 130 m
pernah berdiri sebuah kerajaan bernama salakanagara (artinya ‘negeri perak ‘) yang
beribukota Rajatapura dengan rajanya yang bernama Dewawarman.
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam
masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha.
Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan
kepercayaan yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan
Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan
benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat
keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga
awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan
patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di
Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan
lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat
dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga
mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak
corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa,
Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah
yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih
jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak
Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa
Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah
Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke
daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam
keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan
pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah
berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara
Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada
waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula
masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.
(Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII,
kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena
data yang diperoleh para akhli belum lengkap.
Indikasi masuknya peradaban Hindu-Budha ke Daerah Banten terjadi pada abad kelima, yang
mengakhiri zaman prasejarah ke zaman sejarah Hindu-Budha. Hal ini dibuktikan dengan
temuan sebuah prasasti tertulis di daerah Munjul, Kabupaten Pandeglang yang terindikasi
berasal dari kerajaan Taruma, Jawa Barat. Prasasti lainnya yang berkaitan ialah
ditemukannya dua potong prasasti kecil di situs Banten Girang. Menurut para ahli arkeologi
menyatakan bahwa berdasarkan gaya huruf prasasti yang ditemukan di situs Banten Girang
diperkirakan berasal dari abad kesepuluh Masehi. Bukti lainnya peradaban Hindu-Budha
telah masuk ke daerah Banten dari daerah Kabupaten Serang, yaitu situs Papatan di Cikande,
situs ini merupakan situs kelanjutan dari zaman prasejarah ke zaman masuknya Hindu-
Budha. Di Karangantu, pernah ditemukan batu Nandi. Arca Nandi dari Karangantu kini
disimpan di Museum Banten Lama dan dianggap dari abad ke-13 Masehi. Melihat bukti
arkeologis yang telah ditemukan, dapat dipastikan penduduk Banten telah menjalin hubungan
dengan bangsa asing, khususnya India dan China. Ada keterkaitan hubungan ekonomi dengan
terjalinnya Banten dengan bangsa lain, hal ini ditunjukan ditemukannya di Banten Girang
keramik-keramik yang berasal dari Dinasti Tang dan Sung awal. Bukan hanya itu saja,
ternyata masuknya bangsa lain ke wilayah Banten adanya unsur pengadopsian religi asing
yang dibawa ke penduduk lokal. Secara tidak disadari religi yang dibawa ternyata memiliki
kesamaan “nafas” dengan religi masyarakat lokal sebelumnya, sehingga praktik
penyebarannya tidak menimbulkan konflik sosial yang besar.
Pada tahun 1514, Tome Pires menyebutkan dalam catatannya yang dikenal, Suma Oriental,
ia menyebutkan bahwa adanya kerajaan Sunda di Jawa Barat, yang memiliki enam kota
pelabuhan, yaitu : Bautan (Banten), Pomdang (Pontang), Chegujde (nama itu menurut
Shigegero merujuk pada satu tempat pada muara sungai di Cisadane), Tamgara (Tangerang),
Calapa (Kelapa atau Sunda Kelapa, yang sekarang adalah Jakarta), dan Chemano (Cimanuk).
Menurut Pires, salah satu kota pelabuhan adalah Bautan (Banten). Di kota dagang ini, kapal
berlabuh. Di kota ini, dapat disaksikan para pedangan asing, seperti dari Maladewa. Di
Banten juga banyak diperdagangkan lada. Dimana lada merupakan mata dagang yang paling
dicari oleh para pedagang dari Cina. Padahal lada merupakan tumbuhan yang bukan berasal
dari Banten. Menurut G.P. Rouffaer, tanaman lada merupakan tanaman asli dari pantai bagian
barat Dekan Tengah, India. Hal tersebut menunjukan selain hubungan dagang dengan Cina,
Banten pun menjalin hubungan dengan India. Ini terbukti dengan fakta bahwa pada abad
keenam Masehi sudah berdiri satu kerajaan penting di Jawa Barat, Taruma, yang beragama
Hindu dan dapat dipastikan salah satu pelabuhannya di Banten, yang merupakan pintu masuk
pendatang asing.
Gunung Pulosari merupakan gunung dimana para arkeolog menemukan bukti-bukti artefak
yang menunjukan pembenaran bahwa Gunung Pulosari dipahami sebagai konsep peninggalan
kepercayaan Hindu. Di situs ini, banyak ditemukan keramik dan potongan arca dari abad ke-
10 Masehi. Informasi ini menambah keyakinan bahwa pada abad ke-10 sampai dengan abad
ke-15 Masehi, masyarakat Banten, mulai dari Banten Girang (Serang), Pandeglang (Gunung
Karang, Gunung Pulosari, Gunung Haseupan), sampai ke Labuan saat itu telah terpengaruh
kuat oleh religi Hindu-Budha. Berdirinya kerajaan Hindu-Budha di Banten Girang
menunjukan kekuatan Hindu di masyarakat Banten makin diterima dan institusi kenegaraan
yang mengatur tatanan masyarakat ini menjadi keniscayaan. Hal ini menjadi babak baru bagi
sejarah Banten mulai mengatur dirinya sendiri.
Ada pakar mengatakan bahwa pendiri kerajaan Banten Girang bukanlah orang Banten,
melainkan orang Jawa Tengah, yang hidup pada masa Mpu Sendok pindah ke Jawa Timur.
Sayangnya pendapat itu tidak berdasarkan bukti arkeologi ataupun bukti lainnya. Dalam hal
ini, masyarakat Banten lainnya masih menyakini bahwa pendiri Kerajaan Banten Girang
merupakan orang asli Banten sendiri.
Ditemukan di Kampung Lebak, Pandeglang, Banten. Prasasti ini menyebutkan bahwa Raja
Purnawarman adalah raja yang agung, pemberani, dan perwira.