Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan yang persisten dalam


mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang
memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-
laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan
mempertahankannya. Hal ini sangat penting bagi laki-laki sebab disfungsi ereksi
dapat menimbulkan depresi bagi penderita yang berujung terganggunya
hubungan suami istri serta menyebabkan masalah dalam kehidupan rumah
tangga. Secara garis besar, penyebab disfungsi ereksi terdiri dari faktor organik,
psikis, dan andropause (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2008).

Umumnya laki-laki berumur lebih dari 40 tahun mengalami penurunan kadar


testosteron secara bertahap. Saat mencapai usia 40 tahun, laki-laki akan
mengalami penurunan kadar testosteron dalam darah sekitar 1,2 % per tahun.
Bahkan di usia 70, penurunan kadar testosteron dapat mencapai 70% (Purnomo,
2011).

Penelitian National Institutes of Health 2002 menunjukkan kurang lebih 15 juta


sampai 30 juta laki-laki di Amerika mengalami disfungsi ereksi. Insidensi
terjadinya gangguan bervariasi dan meningkat seiring dengan usia. Pada usia 40
tahun, terdapat kurang lebih 5% laki-laki mengalami keadaan disfungsi ereksi,
pada usia 65 tahun, terdapat kurang lebih 15-25% (Handriadi Winaga, 2006).

Prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia belum diketahui secara tepat,


diperkirakan 16 % laki-laki usia 20 – 75 tahun di Indonesia mengalami disfungsi
ereksi. Disfungsi ereksi merupakan masalah yang signifikan dan umum di bidang
medis, merupakan kondisi medis yang tidak berhubungan dengan proses penuaan
walaupun prevelensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.Pria
dengan diabetes,penyakit jantung iskemik dan penyakit vaskuler perifer lebih
banyak menderita disfungsi ereksi (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2008).

Walaupun di Indonesia tidak terdapat survei yang cukup besar, namun gambaran
penderita disfungsi ereksi yang datang ke klinik impotensi di perkirakan hasilnya
tidak jauh berbeda. Banyak cara yang dilakukan dalam mengatasi keluhan
disfungsi ereksi ini, salah satunya adalah dengan obat-obatan. Salah satu obat
yang terbaru dan dapat dikonsumsi secara oral adalah sidenfil sitrat (Samekto
Wibowo dan Abdul Gofir, 2008).
BAB II
DISFUNGSI EREKSI

2.1 Definisi

2.2 Anatomi Fisiologi

2.3 Etiologi

Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Walaupun


secara garis besar faktor penyebabnya dibagi menjadi penyebab fisik (organik),
psikologis (psikogenik), tetapi belum tentu salah satu faktor tersebut menjadi
penyebab tunggal disfungsi ereksi (Purnomo, 2011).

Faktor fisik menyebabkan sekitar 60-80% kasus disfungsi ereksi. Yang termasuk
penyebab fisik adalah
1 penyakit kronik (misalnya aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung)
2 obat-obatan, contoh antihipertensi (terutama diuretik thiazid dan penghambat
beta), antiaritmia (digoksin), antidepresan dan antipsikotik (terutama
neuroleptik), antiandrogen, antihistamin II (simetidin), (alkohol atau heroin),
obat penenang, litium
3 pembedahan/ operasi misal operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal
4 trauma (misal spinal cord injury)
5 radioterapi pelvis.
6 Inflamasi prostat (prostatitis)
7 Penyakit parah (anemia, tuberkulosis, pneumonia, dll)
8 Gangguan hormonal
9 Multiple sclerosis dan penyakit saraf lainnya
Di antara sekian banyak penyebab fisik, gangguan vaskular adalah penyebab
yang paling umum dijumpai. Faktor psikologis dapat menyebabkan cacat fisik
ringan menjadi disfungsi ereksi. Banyak pria merasa gagal sebagai lelaki ketika
daya seksual mereka melemah.Kegagalan awal mempertahankan ereksi
menimbulkan kecemasan dan stress yang pada gilirannya justru memperburuk
disfungsi ereksi. Hal tersbut menjadi lingkaran setan. Beberapa masalah
psikologis yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi antara lain:
1 Kurangnya kepercayaan diri
2 Gangguan hubungan personal
3 Kurangnya hasrat seksual
4 Cemas, depresi, stress, kepenatan, kehilangan, kemarahan
5 Konflik rumah tangga

Penyebab yang bersifat fisik lebih banyak ditemukan pada pria lanjut usia,
sedangkan masalah psikologis lebih sering terjadi pada pria yang lebih muda. Pada
pria muda, faktor psikologis ini menjadi penyebab tersering dari disfungsi ereksi
intermiten. Semakin bertambah umur seorang pria, maka impotensi semakin sering
terjadi, meskipun impotensi bukan merupakan bagian dari proses penuaan tetapi
merupakan akibat dari penyakit yang sering ditemukan pada usia lanjut. Sekitar
50% pria berusia 65 tahun dan 75% pria berusia 80 tahun mengalami impotensi
(Tanagho et al, 2008).
Tabel. Etiologi Disfungsi Ereksi

Psikogenik Ansietas,depresi,konflikrumahtangga,perasaanbersalah,dannormaagama.

Neurogenik o Kelainanpadaotak:tumor,cederaotak,epilepsi,CVA, Parkinson


o Kelainanpada medulaspinalis: tumor,cedera,TabesDorsalis,
o Kelainanpadasarafperifer: diabetesmelitusdandefisiensivitamin.

Hormonal Diabetesmelitus
o
Hipogonadismeantaralaintumorpadahipotalamus,hipofisis,pengobatan
o
antiandrogen,orkidektomi
o Hiperprolaktinemia
o Hiperparatiroidisme,hipotiroidisme,penyakitCushing,dan Addison.

Arteriel Kelainan pembuluh darah pada:


1. Ekstrapenis:arteriosklerosisyangmengenaiaorta,arteriiliaka,arteripudenda
interna,dantraumadi daerahpanggul
2. Intrapenis:arteriosklerosis,prosesaging,dandiabetesmelitus

Kavernosa PenyakitPeyroniyangmenyebabkandistorsitunikaalbuginea
o
AdanyafibrosisataudisfungsiototkavernosasehinggatidakdapatrelaksasNe
o
urotransmiteryangdilepaskanuntukmemulaiereksitidakadekuatyang
o
disebabkankarenafaktorneurologikataupsikologik
o Pascaoperasishuntingpadapriapismussehinggaterdapathubunganabnormal
di antarakorpuskavernosumdengankorpusspongiosum
Obat-obatan Antihipertensi:metildopa,alfabloker,danbetablocker
o
Antidepresan:trisiklik,penghambatMAO,dan tranqulzer
o
Antiandrogen:estrogen,flutamid,danLHRH analog
o

Penyakitsitemik Diabetesmelitu
o
Gagalginjal
o
Gagalhepar
o
Tabel. Obat yang menyebabkan disfungsi ereksi

Classification Drugs

Diuretics Thiazides, Spironolactone

Antihypertensives Calcium channel blockers, Methyldopa


Clonidine, Reserpine, Beta-Blockers
Guanethidine

Cardiac/anti-hyperlipidemics Digoxin, Gemfibrozil, Clofibrate

Antidepressants Selective serotonin reuptake inhibitors


Tricyclic antidepressants, Lithium
Monoamine oxidase inhibitors

Tranquilizers Butyrophenones, Phenothiazines

H2 antagonists Ranitidine, Cimetidine

Hormones Progesterone, Estrogens, Corticosteroids


GnRH agonists, 5-Reductase inhibitors
Cyproterone acetate

Cytotoxic agents Cyclophosphamide, Methotrexate


Roferon-A

Anticholinergics Disopyramide, Anticonvulsants

Recreational Ethanol, Cocaine,Marijuana


2.4 Patofisiologi

2.4 Klasifikasi

2.5 Penegakan diagnosis

1. Anamnesis
Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi
riwayat seksual, evaluasi medik, dan evaluasi psikologik. Tujuan evaluasi ini
adalah menentukan apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau
disfungsi seksual yang lain. Kadang-kadang pasien yang mengeluh disfungsi
ereksi ternyata bukan menderita disfungsi ereksi tetapi menderita penurunan
libido, ejakulasi dini, ejakulasi retrograd, tidak dapat menikmati orgasmus
(anorgasmus), atau kelainan lain. Untuk membantu mengidentifikasi
kemungkinan adanya disfungsi ereksi beberapa ahli telah merancang suatu
indeks fungsi ereksi, dan diantaranya adalah Indeks Internasional untuk
Fungsi Ereksi ke-5 atau International Index ofErectile Function –5 (IIEF-5).
Indeks ini terdiri atas 5 butir pertanyaan, danpertanyaan diberi nilai 0 sampai
5. Jika penjumlahan dari 5 pertanyaan hasilnya kurang atau sama dengan 21
menunjukkan adanya gejala disfungsi ereksi (Kavousi et al, 2012).
Gambar. Indeks Internasional Fungsi Ereksi – 5 (IIEF-5).

Anamnesis yang cermat dapat membedakan antara penyebab psikogenik dan


organik. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh faktor psikogen biasanya
menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Timbulnya mendadak dan didahului oleh peristiwa tertentu, misalnya
sehabis cerai/ditinggal isteri atau pasangannya, keluar dari pekerjaan, atau
oleh tekanan kejiwaan.
2. Situasional yaitu disfungsi timbul bila hendak melakukan aktivitas seksual
dengan wanitatertentu, tetapi ereksi timbul kembali jika hendak
berhubungan dengan wanita lain. Tidakjarang pasien masih dapat
merasakan ereksi yang maksimal dengan masturbasi, atau membayangkan /
menonton film porno, akan tetapi penis kembali lemas pada saat akan
melakukan senggama.
3. Ereksi nokturnal atau ereksi yang timbul pada saat bangun pagi masih
cukup kuat, akan tetapi pada siang hari ereksi menurun atau bahkan sama
sekali tidak dapat ereksi.

Penyebab psikogen ini ada hubungannya dengan ansietas, ketakutan, perasaan


bersalah, tekanan, atau norma-norma agama. Disfungsi ereksi yang
disebabkan oleh kelainan organik timbulnya gradual (perlahan-lahan), tidak
tergantung situasi, dan ereksi pada pagi hari tidak terlalu keras. Untuk mencari
adanya faktor neurologik yang menjadi penyebab disfungsi ereksi ditanyakan
apakah menderita kencing manis, peminum alkohol, pernah menderita cedera
kepala/tulang belakang, atau menderita kelainan saraf yang lain. Adanya
gangguan buang air besar atau buang air kecil mungkin disebabkan oleh
karena kelainan saraf. Pemeriksaan neurologi meliputi pemeriksaan
sensitifitas pada regio genitalia dan perineum, refleks bulbo-kavernosus, dan
pemeriksaan reflek patologik yang lain Kebanyakan pasien yang menderita
kelainan hormonal lebih banyak mengeluh terjadinya penurunan libido
daripada mengeluh penurunan ketegangan penis. Pada disfungsi ereksi yang
disebabkan oleh faktor hormonal dilakukan evaluasi terhadap sumbu
hipotalamus-hipofisis-gonad. Diperhatikan apakah ada atrofi testis,
mikropenis, pertumbuhan rambut di badan yang kurang, atau ginekomasti.

Untuk mencari kemungkinan penyebab arteriel ditanyakan tentang riwayat


pernah menderita kelainan vaskuler antara lain kludikasio intermitten atau
pernah menjalani operasi bypass koroner. Operasi radikal prostatektomi,
reseksi abdomino-perineal, atau cedera tulang pelvis dapat merusak pembuluh
darah yang memelihara penis sehingga dapat menimbulkan disfungsi ereksi.
Pada pemeriksaan fisis diperhatikan denyut nadi pada arteri karotis, arteri
brachialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis penis. Jika memungkinkan
diukur tekanan darah sistole pada penis dan membandingkannya dengan
tekanan darah sistole pada lengan sehingga mendapatkan indeks peno-brachial
atau PBI (Penile-Brachial Index):

PBI merupakan indikator yang baik untuk menilai kelainan pembuluh darah
arteri pada penis. Jika PBI > 0,90 berarti normal, tetapi PBI < 0,6 merupakan
tanda adanya disfungsi ereksi arteriogenik. Disfungsi ereksi yang disebabkan
oleh faktor kavernosa jika diderita oleh pria yang masih berusia muda ditandai
dengan ereksi yang tidak maksimal (parsial) atau ereksi yang tidak tahan
lama. Setelah penyuntikan obat-obat vasodilator intrakavernosa, pasien
mengeluh pusing, kemerahan pada wajah, atau tekanan darah tiba-tiba
menurun.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda hipogonadisme (termasuk testis kecil,
ginekomasti dan berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh dan janggut)
memerlukan perhatian khusus. Pemeriksaan penis dan testis dikerjakan untuk
mengetahui ada tidaknya kelainan bawaaan atau induratio penis. Bila perlu
dilakukan palpasi transrektal dan USG transrektal. Tidak jarang ED
disebabkan oleh penyakit prostat jinak ataupun prostat ganas atau prostatitis.

Pemeriksaan rektum dengan jari (digital rectal examination), penilaian tonus


sfingter ani, dan bulbo cavernosus reflek (kontraksi muskulus bulbokavernous
pada perineum setelah penekanan glands penis) untuk menilai keutuhan dari
sacral neural outflow. Nadi perifer dipalpasi untuk melihat adanya tanda-tanda
penyakit vaskuler. Dan untuk melihat komplikasi penyakit diabetes ( termasuk
tekanan darah, ankle bracial index, dan nadi perifer ).

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis ED antara
lain: kadar serum testosteron pagi hari (perlu diketahui, kadar ini sangat
dipengaruhi oleh kadar luteinizing hormone). Pengukuran kadar glukosa
dan lipid, hitung darah lengkap (complete blood count), dan tes fungsi
ginjal.

Sedangkan pengukuran vaskuler berdasarkan injeksi prostaglandin E1


pada corpora penis, duplex ultrasonography, biothesiometry, atau
nocturnal penile tumescence tidak direkomendasikan pada praktek
rutin/sehari-hari namun dapat sangat bermanfaat bila informasi tentang
vascular supply diperlukan, misalnya, untuk menentukan tindakan bedah
yang tepat.

Uji Diagnostik khusus

NPT atau Nocturnal Penile Tumescense adalah uji untuk mengetahui


adanya ereksi nokturnal pada saat tidur. Pasien disfungsi ereksi
psikogenik menunjukkan ereksi nokturnal yang normal sedangkan pada
disfungsi ereksi organik menunjukkan kelainan pada ereksi nokturnal.
Gambar. Pita pengukur ereksi nokturna pada uji snap gauge , A. Pita
pengukur dilingkarkan pada penis menjelang tidur, B. Pada pagi hari
dibandingkan diameternya dengan sebelum tidur.

Pemeriksaan yang sederhana untuk menilai ereksi nokturnal adalah


dengan uji rangko (stamp test) atau snap gauge. Pada uji perangko pasien
dianjurkan untuk melingkarkan beberapa perangko (yang satu dengan
lainnya masih berhubungan melalui perforator) pada penis menjelang
tidur, kemudian pada pagi harinya dinilai jumlah perangko yang terpisah.
Jika tidak ada satupun perangko yang terpisah (masih utuh) berarti tidak
terjadi ereksi nokturnal. Uji snap gauge mempergunakan seutas pita yang
dilingkarkan pada penis sebelum pasien berangkat tidur. Keesokan
harinya perubahan panjang pita yang melingkar pada penis dapat diamati.
Pemeriksaan lain yang dipakai untuk mengetahui tumesensi nokturna
adalah Rigiscan yang dilengkapi dengan monitor komputer (Tanagho et
al, 2008).

Kavernosografi/kavernosometri adalah pencitraan dan sekaligus secara


bersamaan mengukur tekanan korpora kavernosa. Pemeriksaan ini
dilakukan jika ada kecurigan kelainan pada sistem kavernosa.
Ultrasonografi Doppler dapat dipakai untuk menilai aliran darah pada
penis setelah dilakukan induksi ereksi. Injeksi Intrakavernosa dengan
obat-obat vasoaktif dimaksudkan sebagai uji diagnosis maupun untuk
terapi pada beberapa jenis disfungsi ereksi. Obat-obatan yang sering
dipakai adalah: papaverin, papaverin dikombinasikan dengan fentolamin,
atau alprostadil (prostaglandin PGE1). Setelah penyuntikan, dinilai
rigiditas penis mulai dari tidak ada respon hingga terjadi rigiditas penuh.
2.6 Tatalaksana

Tentunya terapi yang paling tepat adalah ditujukan terhadap penyebab


terjadinya disfungsi ereksi. Akan tetapi seringkali sulit untuk menentukan
faktor penyebab terjadinyakelainan itu dengan tepat; dan bahkan
seringkali tidak hanya satu faktor yang menjadipenyebab terjadinya
disfungsi ereksi. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam
menentukanpemilihan terapi yang tepat. Sebagai pedoman dalam
melakukan terapi disfungsi ereksi dibagi dalam tiga lini,yaitu dimulai dari
yang tidak invasif (lini pertama), kemudian invasif minimal (lini kedua),
dan terapi yang lebih invasif yaitu berupa operasi (lini ketiga) (Kavousi et
al, 2012).

Tabel. Terapi Disfungsi Ereksi

1. Lini pertama
Terapi lini pertama terdiri atas pemberian obat per oral, pemakaian
alat vakum penis, dan terapi psikoseksual.

Terapi lini pertama yaitu memberi oral pada pasien. Untuk tahap ini,
Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan telah mengizinkan tiga
jenis obat yang beredar di Indonesia, masing-masing dikenal dengan
jenis obat
a. Sildenafil (viagra),
b. Tadalafil (Cialis) dan
c. Vardenafil (Levitra).

Ketiga jenis obat ini merupakan obat untuk menghambat enzim


Phosphodiesterase-5 (PDE-5), suatu enzim yang terdapat di organ
penis dan berfungsi untuk menyelesaikan ereksi penis. Ketiga jenis
obat ini memiliki kelebihan dan kekurangan :
a. Sildenafil merupakan preparat erektogenik golongan PDE-5
yang pertama kali ditemukan. Mula kerja Sildenafil antara ½ jam – 1
jam. Sedangkan masa kerjanya berkisar 5-10 jam. Dari segi
profilnya, Sildenafil tidak begitu selektif dalam menghambat PDE-5.
karena, zat ini ternyata juga menghambat PDE-6, jenis enzim yang
letaknya di mata. Kondisi ini menyebabkan penglihatan mata
menjadi biru (blue vision). Obat ini juga tidak bisa diminum
berbarengan dengan makanan karena absorsi (penyerapannya) akan
terganggu jika lambung dalam kondisi penuh.
b. Vandenafil, lebih selektif dalam menghambat PDE-5
mengingat dosisnya tergolong kecil yaitu antara 10mg-20mg. Mula
kerjanya lebih cepat, 10 menit – 1jam, dengan masa kerja 5-10 jam.
Keunggulan Vandenafil adalah absorsinya tidak dipengaruhi oleh
makanan. Jadi jika Anda ingin melakukan hubungan intim dengan
istri setelah candle light dinner, boleh-boleh saja. Kelemahannya,
akan terjadi vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah di hidung
sehingga menyebabkan hidung tersumbat). Biasanya minum pertama
akan menyebabkan pening.
c. Tadalafil, masa kerjanya jauh lebih panjang yaitu 36 jam. Mula
kerjanya sekitar 1 jam dan tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga
absorsinya tidak terganggu. Kekurangannya, obat ini juga
menghambat PDE-11 enzim yang letaknya di pinggang sehingga jika
mengkonsumsi ini, si pria akan mengalami rasa sakit di pinggang.
Sedangkan farmakologi topikal dapat digunakan pada penderita yang
tidak dapat mengkonsumsi obat penghambat PDE 5. Obat topikal
dioleskan pada kulit batang penis dan glans penis. Beberapa agen
yang biasa digunakan adalah solusio minoksidil, nitrogliserin dan gel
papaverin. Sementara penggunaan VCD bertujuan untuk
memperbesar penis secara pasif yang kemudian cincin pengikat pada
pangkal penis akan mempertahankan darah dalam penis. Namun
penggunaan VCD ini dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri,
sulit ejakulasi, perdarahan bawah kulit (petekie) dan baal.

Pemakaian alat vakum penis saat ini mulai banyak digemari. Alat ini
berfungsi memberikan tekanan negatif pada penis yang
memungkinkan pengaliran darah ke dalam sinusoid sehingga terjadi
ereksi. Untuk mempertahankan volume darah di dalam sinusoid,
dipasang karet penjerat yang diletakkan pada basis penis sehingga
ereksi menjadi lebih lama
Gambar. Pemasangan alat vakum pada disfungsi ereksi, A.
Tekanan negatif diberikan dengan pompa vakum hingga penis
menjadi ereksi, B. Cincin penjerat diletakkan pada pangkal
penis untuk memperlama ereksi.
2. Lini kedua

Yang termasuk terapi pada lini kedua ini adalah injeksi obat-obatan
vasoaktif secara intrakavernosa. Jenis obat yang diberikan adalah:
papaverin, fentolamin, prostaglandin E1, atau kombinasi dari
beberapa obat-obatan itu. Terapi suntikan intrakarvenosa yang
digunakan adalah penghambat adrenoreseptor dan prostaglandin.
Prinsip kerja obat ini adalah dapat menyebabkan relakasasi otot polos
pembuluh darah dan karvenosa yang dapat menyebabkan ereksi.
melakukan penyuntikan secara entrakavernosa dan pengobatan secara
inraurethra yang memasukkan gel ke dalam lubang kencing. Pasien
dapat melakukan sendiri cara ini setelah dilatih oleh dokter (Kavousi
et al, 2012).

Pemberian injeksi intrakavernosa dapat menimbulkan penyulit


berupa fibrosis pada bekas suntikan, terjadinya peningkatan nilai faal
hepar, nyeri sewaktu ereksi, dan ereksi berkepanjangan sampai
menimbulkan priapismus (Kavousi et al, 2012).

Gambar. Injeksi obat Intrakavernosa


Terapi lain pada lini kedua ini adalah pemberian obat-obatan PGE1
per uretram yang dimasukkan ke dalam intrauretra melalui aplikator.
Nama dagang obat ini adalah MUSE (Medicate Urethral System for
Erection).

3. Lini ketiga

Jika dengan kedua cara di atas tidak banyak memberikan hasil,


pilihan terakhir adalah tindakan invasif berupa operasi, di antaranya
pemasangan prostesis penis. Hingga saat ini pemasangan prostesis
penis merupakan terapi yang paling efektif dibandingkan dengan cara
lain, akan tetapi harganya sangat mahal . Prostesis yang ditawarkan
saat ini berbentuk inflatable (yang dapat mengembang) dan non-
inflatable (tidak dapat mengembang). Prostesis yang dapat
mengembang diperlengkapi dengan alat pemompa dan reservoir
sehingga jika tidak ingin bersenggama penis dapat dilemaskan.
Prostesis non inflatable terbuat dari silikon yang bersifat semirigid
sehinggadapat dibengkokkan pada saat tidak bersanggama dan
diluruskan pada saat melakukan aktivitas seksual (Kavousi et al,
2012).
Gambar. Prostesis penis, A. Prostesis penis noninflatable batang
prostesis dapat ditegakkan dan dibengkokkan sesuai kebutuhan, B.
Penis prostesis nflatable, jika diinginkan ereksi, cairan yang berada
di dalam reservoir dipompakan ke dalam batang silinder.

2.7 Obat-obatan Erektogenik


BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Boolell M, Gepi-Attee S, Gingel JC, Allen MJ. 1996. Sildenafil : a novel effective
oral therapy for male erectile dysfucntion. Br J Urology.78:257-61.

Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB.1994.


Impotence and its medical and psychosocial correlates : results of the Massachusetts
male aging study. J Urology151:54-61.

Garbett R. 2002. New generation ED treatment in pipeline. Asian Medical News.


22:5.

Kavoussi L R, Partin A W, Peters C A, Novick A W. 2012. Campbell Walsh


Urology Tenth Edition. Philadelpia; Elsevier.

Purnomo P B. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi 6. Malang; CV Sagung Seto

Shah PK, Schwartz I, Mc Carthy D, Saldana MJ, Villaran C, Alholel B. et al.


Sildenafil in the treatment of erectile dysfunction. N Engl J Med 1998;339:699-702.

Tanagho E A, McAninch J W. 2008. Smith’s General Urology. New York; McGraw


Hill.

Anda mungkin juga menyukai