Anda di halaman 1dari 32

Benih-benih

Islam Radikal
di Masjid
Studi Kasus Jakarta dan Solo

Kata Pengantar:
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Editor:
Ridwan al-Makassary
Ahmad Gaus AF
Benih-benih Islam Radikal di Masjid
Studi Kasus Jakarta dan Solo

Tim Peneliti/Penulis:
Ridwan al-Makassary
Irfan Abubakar
Sukron Kamil
Zakiyuddin Baidhawy
Ahmad Gaus AF
Amelia Fauzia
Almuntaqo Zain
Benni Setiawan
Farkhani
Idris Hemay
Khelmy Kalam Pribadi
Mohamad Nabil
Nazaruddin Latif
Rita Pranawati
Sholehudin A. Aziz
Sri Hidayati
Zaenal Abidin Eko Putro

Editor:
Ridwan al-Makassary
Ahmad Gaus AF

Penerbit:
Center for the Study of Religion and Culture (CSRC)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Kertamukti No. 5 Pisangan Ciputat 15419 Jakarta
Telp. (62) 21-7445173 Fax. (62) 21-7490756
Email: info@csrc.or.id
Website: www.csrc.or.id

Hak cipta dilindungi undang-undang


Copyright © CSRC UIN Jakarta
Tataletak dan perwajahan: Judek’s

Cetakan pertama, 2010


ISBN: 979-3531-26-6
Untuk mengenang Rosdiana Mustafa
(Diana) yang meninggal dunia pada saat
proses penulisan buku ini
iv
Kata Pengantar Direktur

Wajah damai Islam Indonesia dalam satu dasawarsa ini tercoreng


akibat maraknya aksi-aksi kekerasan dan teror, yang dipicu oleh pen-
ingkatan pemikiran radikal oleh karena eskalasi sosial dan politik baik
di tingkat lokal maupun global. Sejauh ini masyarakat Muslim Indone-
sia terkenal di mata dunia sebagai masyarakat yang memiliki karakter
Islam yang ramah dan damai sejalan dengan proses masuknya Islam
ke Indonesia yang juga damai (penetration pacifique) secara kultural
berangsur-angsur selama beberapa abad.
Kekhawatiran akan terjadinya perubahan wajah Islam Indonesia ini
tidak saja menyedot perhatian kalangan akademisi, melainkan juga ka-
langan masyarakat sendiri. Dua organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama pada akhirnya
telah mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan masjid-masjid yang
ada di bawah pengaruh mereka tidak terinfiltrasi oleh pemikiran-pe-
mikiran radikal. Kebijakan yang dimaksud adalah PBNU yang menge-
luarkan rekomendasi tentang sertifikasi masjid-masjid NU agar tidak
diambil-alih kelompok radikal. Sementara PP Muhammadiyah men-
geluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah
No.149/Desember 2006 agar hasil amal usaha Muhammdiyah tidak di-
caplok kelompok radikal. Sebuah anekdot mengatakan, jika orang NU
salat di masjid Muhammadiyah, sandalnya hilang. Kalau orang Mu-
hammadiyah salat di Masjid NU, maka masjid NU-nya yang hilang.
Sedangkan kalau orang PKS salat di masjid Muhammadiyah, maka ja-
maah masjidnya yang hilang. Ini hanyalah anekdot yang menyuarakan
kekhawatiran ormas Islam kehilangan masjid dan jamaahnya.
Benarkan ada pemikiran radikal di masjid dan seberapa jauh masjid
digunakan sebagai locus persemaian pemikiran radikal? Menjawab
kekhawatiran ormas di atas, CSRC (The Center for the Study of Reli-

v
gion and Culture) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
mengadakan penelitian tentang peta ¨ideologi masjid¨ di kota Jakarta
dan Solo. Buku Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Ja-
karta dan Solo ini adalah temuan-temuan pada penelitian diatas. Tidak
perlu ditutup-tutupi bahwa memang ada masjid yang menyemai ideolo-
gi radikal, tapi masih lebih banyak masjid yang moderat. Tetapi jika
ini terjadi terus tanpa ada upaya-upaya strategik dan terencana untuk
menghambatnya, maka akan berbahaya bagi masa depan Islam yang
ramah dan damai di tanah air. Singkatnya, ini dinamika sosial yang
penting untuk ditampilkan sebagai bahan refleksi bagi akademisi, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat kita sendiri untuk menyikapi
fenomena ini ke depan. Akan ke manakah dan seperti apakah umat Is-
lam Indonesia?
CSRC mengemban visi akademis yang dimandatkan oleh UIN Ja-
karta dan juga visi sosial kemasyarakatan untuk berkontribusi pada Is-
lam yang damai, yang rahmatan lil-alamin. CSRC berupaya memberi
solusi pada persoalan-persoalan yang menyangkut agama dan budaya,
khususnya dalam konteks Islam di Indonesia. Ada lima isu yang men-
jadi fokus CSRC selama ini yaitu resolusi konflik dan peace building,
filantropi Islam untuk keadilan sosial, good governance, Islam dan
HAM, dan demokrasi. Penelitian dan penerbitan buku ini adalah jihad
untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Saya mengucap-
kan terima kasih kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada Sdr. Ridwan al-Makassary, koordi-
nator penelitian dan penerbitan buku ini yang telah mencurahkan wak-
tu, tenaga dan pikirannya demi kesuksesan program ini, serta kepada
semua pihak yang membantu penelitian dan penerbitannya.
Buku ini adalah studi yang pertama kali secara khusus memetakan
ideologi masjid di Indonesia kontemporer yang penting dibaca oleh aka-
demisi, pemangku kebijakan, dan khalayak umum. Semoga bermanfat.

Selamat membaca!

Wassalam,
Dr. Amelia Fauzia
Direktur CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi
Kata Pengantar Rektor
Oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Masjid berasal dari kata dasar sajada, yang artinya sujud, sehingga
secara harfiah masjid berarti tempat bersujud atau salat. Istilah masjid
tidak saja merujuk pada suatu bangunan tempat salat semata. Nabi per-
nah mengatakan bahwa semua penjuru bumi tempat berpijak manusia
itu adalah masjid. Artinya, mendekatkan diri pada sang pencipta itu bisa
dilakukan di mana saja, tidak musti dilakukan di ruang tertentu yang
bernama masjid. Masjid adalah sesuatu yang abstrak dan bisa ada di
mana saja. Alam semesta dan aktivitas manusia sehari-hari adalah man-
ifestasi dari ibadah kepada yang Kuasa, manifestasi dari masjid yang
non-fisik.
Dalam perkembangannya, masjid yang berupa ruang fisik disakral-
kan, dan berkembang pesat sejalan dengan perkembangan peradaban.
Itulah masjid yang kita kenal sekarang ini, sebuah bangunan yang di-
patenkan digunakan untuk suatu fungsi spiritual dan karenanya diban-
gun dan dihias dengan arsitektur yang sesuai dengan fungsi tersebut.
Dalam Islam, masjid merupakan institusi penting yang usianya sama
dengan usia Islam itu sendiri. Masjid adalah sarana multifungsi, tidak
hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai balai pendidikan, lem-
baga perekonomian seperti baitul mal, tempat pelatihan aneka keter-
ampilan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa masjid merupa-
kan tempat yang strategis dalam melakukan perubahan sosial.
Secara kesejarahan, masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat pe-

vii
ribadatan, sebagaimana di singgung di atas. Multifungsi masjid men-
capai puncaknya pada masa Turki Utsmaniyah, yang dikenal dengan
istilah külliye. Sulaimaniye Külliye di Istanbul memiliki masjid besar
yang monumental, lima madrasah, dua sekolah dasar, rumah sakit dan
sekolah farmasi, penginapan untuk para sufi, hotel untuk para musafir,
tempat pemandian umum, dapur umum, perumahan untuk guru mengaji,
masjid dan penjaganya, tempat olah raga, kafe, toko, kuburan-kuburan
para raja dan pemakaman umum (John L. Esposito, 2002, h. 354).
Begitu pula di Indonesia. Sejak awal sejarah Islam di tanah air,
masjid telah menjadi pusat dakwah dan sarana penyebaran informasi
yang vital. Belakangan, masjid tidak hanya berkutat pada wacana/kea-
gamaan, tetapi juga memproduksi wacana politik, konflik, keamanan,
dan lain sebagainya. Alhasil, masjid mengalami polarisasi peran: me-
nyebarkan ketenangan tapi sekaligus juga kegelisahan.
Belum lama ini beberapa pekerja profesional dan eksekutif di ka-
wasan bisnis Sudirman dan Thamrin di Jakarta menyampaikan kepada
saya bahwa mereka ingin melaksanakan salat Jumat tetapi tidak ingin
mendengarkan khutbahnya. Alasannya, ketika mereka mendengarkan
khutbah, bukan ketenangan yang didapatkan tapi justru kegelisahan.
“Khutbahnya mengajak berperang,” kata mereka. Akhirnya, pada salat
Jumat di hari-hari berikutnya, mereka sengaja datang terlambat agar tak
kebagian khutbah yang seperti itu. Saya kira ini menarik untuk diteliti
lebih dalam karena merupakan gejala yang sedang meruyak di banyak
tempat.
Tak kurang ironisnya adalah anekdot berikut ini. Ada orang yang
mengidap penyakit insomnia, dan dia datang pada seorang dokter untuk
menyembuhkan penyakit susah tidurnya tersebut. Ia bercerita kepada
dokter bahwa dirinya sudah berobat ke mana-mana, namun tak kunjung
sembuh. Sang dokter balik bertanya dengan enteng apakah ia pernah da-
tang ke masjid untuk salat Jumat. Pasien itu menjawab, belum pernah.
Kalau begitu, kata dokter, Anda datanglah ke masjid untuk salat Jumat.
Si pasien pun mengikuti saran dokter. Ketika ceramah/khutbah dimulai,
orang mulai mengantuk dan tertidur. Begitu pula si pengidap insom-
nia tadi. Anekdot itu mungkin terlalu berlebihan, tetapi siapa yang bisa
memungkiri bahwa ceramah para khatib kerap membuat orang gelisah,
atau sebaliknya, mengantuk. Beberapa temuan dalam penelitian yang
diangkat buku ini menunjukkan hal tersebut.

***

viii
Mengapa Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbe-
sar di dunia, padahal dari segi nama, peninggalan sejarah, dan wari-
san kebudayaan, semestinya Indonesia menjadi kantong umat Hindu.
Salah satu jawabannya adalah: Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh
pedagang. Dan pada umumnya pedagang, mereka memiliki sifat ter-
buka, inklusif-moderat, yang berusaha merangkul berbagai kalangan
dan memperbanyak teman. Kalau pedagang tertutup, apalagi kasar,
maka barang dagangannya tidak akan laku, dan ia akan bangkrut. Fak-
tor lainnya ialah bahwa Islam yang dibawa oleh para pedagang berc-
orak mistik-tasawuf, dan menekankan pada akhlakul karimah. Inilah
yang menyebabkan Islam mudah diterima dan meresap ke dalam kultur
lokal. Raja-raja di Nusantara tidak menganggapnya sebagai ancaman,
sehingga mereka dengan para pendakwah bisa berdialog dengan damai
dan santun.
Meskipun pusat dakwah Islam tetap di masjid, tetapi mobilitas dak-
wah melalui perdagangan dilakukan lewat jalur perairan/pelayaran.
Perlahan tapi pasti, kota-kota pantai yang menjadi jalur dagang dan
dakwah ini tidak hanya menjadi pusat bisnis tapi juga pusat Islam den-
gan ciri utama bangunan masjid yang mulai didirikan. Bahasa Melayu
menjadi bahasa pergaulan yang digunakan di pantai-pantai. Penggu-
naan bahasa ini tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan maritim
Sriwijaya di masa lalu yang memapankan bahasa Melayu di sepanjang
pantai Sumatra. Namun lebih dari itu, bahasa Melayu dianggap egaliter,
tanpa hirarki, cocok dengan watak pedagang yang juga egaliter. Jadi
budaya pedagang, tradisi mistik, budaya pantai, dan bahasa Melayu, te-
lah membentuk pola persilangan budaya (cross culture) yang beragam
itu membuat bangsa ini moderat dan inklusif.
Masjid pun tidak terlepas dari warisan budaya di luar Islam. Jika ada
pertanyaan, apa yang paling Islam dari masjid, maka jawabannya sangat
sederhana: salatnya. Selebihnya merupakan hasil ijtihad. Kubah, misal-
nya, tidak dikenal dalam tradisi Arab. Ia merupakan warisan dari Bizan-
tium. Di Eropa kubah identik dengan gereja. Jadi kubah itu merupakan
Islamisasi kultural oleh umat Islam. Menara, yang kini menjadi bagian
penting dari masjid, juga bukan berasal dari Islam. Menara (manarot)
pada mulanya adalah tempat api untuk memuja dewa dari bangsa Ma-
jusi yang biasa digunakan dalam pembukaan Olimpiade. Perjumpaan
umat Islam dengan menara ini kemudian diadopsi menjadi bagian dari
masjid untuk memudahkan bilal ketika azan agar suaranya bisa terden-
gar lantang ke mana-mana. Dan belakangan, ada loud speaker sehingga

ix
muazin yang hendak azan tidak perlu bersusah payah naik ke atas me-
nara. Ini juga merupakan “bidah budaya”, yang sebenarnya meniru sifat
Allah, karena Allah itu al-Badiir, Maha Kreatif, “Maha Bidah”.
Jadi, kubah, menara, loud speaker, lalu tape recorder dan kaset yang
dibunyikan untuk menunggu jamaah salat Jumat, sebenarnya bukan be-
rasal dari Islam, tetapi merupakan Islamisasi kultural kaum Muslim.
Dari semua ini, kesimpulan saya adalah bahwa Islam—yang dalam
hal ini disimbolkan oleh masjid—sejak awal kehadirannya sangat ko-
smopolit sehingga bisa menerima dan mengadopsi seluruh kekayaan
budaya yang datang dari luar Islam dan kemudian menjadi bagian tak
terpisahkan dari kekayaan Islam itu sendiri. Warisan kekayaan budaya
ini dalam hemat saya penting untuk terus menerus dijaga dan dipelihara
tanpa meninggalkan fungsi dan peran utama masjid sebagai tempat iba-
dah dan pusat informasi untuk transformasi sosial.

***
Dewasa ini kita menyaksikan pertumbuhan Islam yang sangat pesat
di dunia Barat. Namun pada saat yang bersamaan, muncul gerakan-
gerakan radikal di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Situasi ini mela-
hirkan polarisasi tersendiri baik pada umat Islam maupun pada orang-
orang Barat. Bagi kaum Muslim Indonesia, yang menjadi kekhawatiran
adalah kristenisasi/dengan maraknya upaya pembangunan gereja di ma-
na-mana; sementara umat Kristen di Barat khawatir terhadap Islamisasi
dengan meruyaknya pembangunan masjid di negeri-negeri mereka.
Di Indonesia, umat Kristen mengalami banyak kesulitan untuk
membangun gereja atau tempat ibadah karena menuai resistensi/dan
protes dari beberapa kaum Muslim yang tidak menyetujuinya. Begitu
juga dengan kaum Muslim di negeri-negeri Barat, mereka mendapatkan
kesulitan untuk membangun masjid karena mendapatkan penentangan
dari orang-orang Kristen. Fenomena ini harus betul-betul disadari dan
diketahui oleh umat Islam Indonesia agar bisa lebih adil memperlaku-
kan saudara-saudara mereka yang beragama Kristen. Jadi, sebenarnya,
di antara mereka ada suatu jaringan persaudaraan internasional seh-
ingga ketika umat Kristen di sini diperlakukan tidak adil oleh saudara-
saudara Muslim mereka, maka mereka juga akan melakukan hal yang
sama pada saudara-suadara Muslim mereka di Barat. Oleh karena itu,
masalah ini harus dipikirkan ulang oleh kaum Muslim karena ketaku-
tan kepada “Kristenisasi” sebagaimana ketakutan kepada “Islamisasi”
sekarang ini cenderung berimbang. Sekali lagi, perkembangan Islam

x
di Barat akhir-akhir ini terbilang sangat pesat, sehingga salah satu ob-
jek studi keislaman terbaru di Barat adalah mengenai diaspora kaum
Muslim. Jika masalah-masalah di atas tidak diselesaikan secara dewasa
dan dialogis, besar kemungkinan hubungan Islam-Barat di masa depan
tidak akan terlalu cerah.
Sebagai penutup, meski belakangan ini muncul gerakan-gerakan
Islam radikal, tapi itu sebenarnya fenomena baru. Pada prinsipnya, se-
bagaimana disampaikan di atas, umat Islam Indonesia adalah moderat,
meski ia silent majority, tidak seperti kelompok yang radikal yang se-
lalu bersuara lantang. Oleh karena itu, saya senang sekali dengan pene-
litian teman-teman CSRC ini, yang berusaha melihat peta gerakan dan
ideologi Islam di jantung kehidupan umat Islam sendiri, yaitu di dalam
masjid. Dengan penelitian ini, kita menjadi terbiasa dengan analisa dan
pemetaan. Selama ini, para muballig kita pada umumnya hanya naik
mimbar dengan persiapan seadanya, lalu berceramah. Mereka kurang
terbiasa memberikan analisa dan pemetaan karena memang tidak punya
tradisi penelitian. Saya ucapkan selamat kepada kawan-kawan CSRC
yang telah melakukan penelitian ini, dan semoga temuan-temuan dalam
penelitian ini bermanfaat untuk masyarakat. []

xi
xii
Tentang Para Penulis

Ahmad Gaus AF, lahir di Tangerang, 10 Agustus 1968. Pernah belajar


di pesantren Daar el- Qolam Gintung Tangerang dan tercatat sebagai alum-
nus Fakultas Kominukasi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta 1995.
Pernah bekerja sebagai wartawan dan sejak mahasiswa aktif menulis artikel,
resensi, naskah untuk radio serta reportase jurnalistik untuk sejumlah media
massa di Jakarta. Menyunting beberapa buku, diantaranya Passing Over, me-
lintas batas agama (Gramedia, 2001).
Almuntaqo Zain, lahir di Pardasuka, Lampung, 23 Desember 1977. Mem-
peroleh gelar Sarjana Agama (2001) di bidang teologi Islam dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta dan gelar Master Studi Islam (2009) di bidang fil-
safat Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sejak
tahun 2001 terlibat aktif di Pusat Studi Budaya & Perubahan Sosial (PSB-PS)
UMS.
Amelia Fauzia, Lahir di Tangerang, 25 Maret 1971. Alumni program studi
Sejarah dan Peradaban Islam, UIN/IAIN Jakarta ini melanjutkan studi S2-nya
di University of Leiden, Belanda dan S3 di Melbourne University Australia.
Selain sebagai dosen tetap pada Fakultas Adab dan Humaniora, juga menjabat
sebagai Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya (CSRC) UIN Jakarta peri-
ode 2009-2010.
Benni Setiawan, lahir di Pangkal Pinang, 29 Maret 1983. Menempuh pen-
didikan tinggi S1 dan S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alumni Fakultas
Syariah UIN Sunan Kalijaga (2005) ini melanjutkan studi S2-nya di Program
Paskasarjana Konsentrasi Hukum Keluarga pada universitas yang sama. Selain
sebagai editor pada penerbit buku Panji, ia juga peneliti di lembaga Lembaga
Ma’rifat Indonesia dan Lentera Institute.

xiii
Tim peneliti Solo:
Berdiri belakang (dari kiri): Sholehuddin A. Aziz, Almuntaqo Zain, Khelmy Kalam Pribadi, Ridwan
al-Makassary, Zakiyuddin Baidhawy, Benni Setiawan, Nazaruddin Latif,
Berdiri tengah (dari kiri): Idris Hemay, Evrida Yasni, Rita Pranawati
Duduk Depan (dari kiri): Mohamad Nabil, Zainal Abidin Eko Putro, Farkhani

Farkhani, lahir
������������������������������������������������������������
di Indramayu, 24 Mei 1976. Sejak pendidikan dasar ber-
sekolah di institusi pendidikan Muhammadiyah sampai akhirnya menyandang
gelar M.Hum dari Paskasarjana UMS pada tahun 2010. Dosen di STAIN Sa-
latiga ini aktif menulis sebagai kontributor di beberapa buku juga menulis di
berbagai surat kabar lokal maupun nasional.
Idris Hemay lahir di Pamekasan, Madura, 3 April 1982. Pernah menem-
puh pendidikan menengah di Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep
Madura (2000). Pendidikan S1-nya ia tempuh di UIN Syarif Hidayatullah Ja-
karta jurusan Pemikiran Politik Islam (PPI) (2007). Saat ini ia bekerja sebagai
peneliti muda di Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Di bawah bimbingan Andy Agung Prihatna, ia
memiliki keahlian metodologi survei opini publik dengan kompentensi bidang
keagaman dan sosial-politik.
Irfan Abubakar Lahir di Bima, NTT, 7 Mei 1967. Menyelesaikan pen-
didikan menengah atas di pesantren modern Kulliyatul Muallimin al Islamiyah
(KMI) Gontor, Ponorogo. Alumni di program studi Sastra Arab Fakultas Adab,
1995, UIN Jakarta ini meneruskan program magister pada universitas yang
sama dalam bidang Islamic study. Saat ini sedang menyelesaikan program

xiv
S3nya di Paskasarjana UIN Jakarta. Selain sebagai Dosen tetap pada Fakultas
Adab dan Humaniora, Ia juga aktif sebagai Koordinator Program Peacebuild-
ing di CSRC UIN Jakarta.
Khelmy Kalam Pribadi, lahir di Solo, 14 Desember 1985. Pernah aktif di
diberbagai organisasi diantaranya di Center for Social and Political Research
(CENSOR) FISIP UNS pada tahun 2006-2007. Aktif menulis artikel di surat
kabar local maupun jurnal universitas. Saat ini masih tercatat sebagai maha-
siswa di Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Mohamad Nabil, lahir di Sumenep sekitar dua puluh tujuh tahun lalu.
Meraih gelar S1 bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (2007). Beberapa kali terlibat dalam kegiatan Center for
the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Anak muda yang biasa dipanggil “Bung” ini sering menyapa publik melalui
komentar politiknya di sejumlah media seperti Republika, Koran Tempo, Me-
dia Indonesia, www.inilah.com, Majalah Adil, Kompas, dan lain-lain. Kini ia
menjabat sebagai vice president ‘Forum Inteligensia Bebas,’ sebuah forum
anak muda yang punya perhatian pada masalah-masalah kenegaraan.
Nazaruddin Latif, lahir tanggal 15 Oktober 1981 di Kudus. Menamat-
��������
kan studi di pesantren Ma’ahid Kudus. Menyelesaikan studi S1 Ushuluddin di
Univ. Muhammadiyah Surakarta (2004) dan studi ilmu hukum di universitas
yang sama (2005). Program studi S2 diselesaikan di Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mengambil konsentrasi filsafat Islam. saat
ini aktif mengabdi di Lembaga Pengembangan Ilmu-ilmu Dasar-Universitas
Muhammadiyah Surakarta (LPID-UMS).
Ridwan al-Makassary adalah alumni pesantren Muhammadiyah Darul
Arqam Gombara Makassar; S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Indonesia
(UII); S2 Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah mengikuti
Study of the United States Institute on Religious Pluralism and Public Pres-
ence in University of California Santa Barbara (UCSB) funded by American
Government (2007). Saat ini sebagai Koordinator Program Islam dan Hak
Asasi Manusia di CSRC UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Rita Pranawati, Lahir di Kebumen 6 April 1977. Menamatkan masternya
di Interdisciplinary Islamic Studies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006).
Merupakan salah satu ketua pada Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah. Saat
ini menjadi Koordinator Program Filantropi Islam untuk Keadilan Sosial di
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholehudin A. Aziz lahir di Jember, Jawa Timur, 5 Maret 1975. Menyele-
saikan S-1 di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan kon-
sentrasi Ekonomi Islam. Dengan program studi yang sama ia menamatkan
Masternya di Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini
aktif sebagai peneliti di Center for the Study of Reigion and Culture (CSRC)
UIN Jakarta.

xv
Sri Hidayati. Lahir di Tangerang, 8 Juni 1977. Merupakan alumni fakul-
tas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyelesaikan program Master
di Faculty of Education Monash University Australia pada studi: Leadership,
Policy and Change. Saat ini bekerja sebagai peneliti di Center for Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sukron Kamil Lahir di Bogor, 15 April 1969. Menyelesaikan Pendidi-
kanSI di program studi sastra Arab UIN/ IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
S-2 bidang Pemikiran Politik Islam Modern, S-3 Isu-isu Islam Kontemporer
khususnya Relasi Islam dan Sastra. Pada saat ini bekerja sebagai Koordinator
Program Demokrasi dan Pluralisme dan dosen tetap Fakultas Adab, Sastra Hu-
maniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah mengikuti program Religion
and Society: Dialogue Indonesia-USA, April 2007 di Amerika Serikat.
Zaenal Abidin Eko Putro lahir di Nganjuk, 8 Juli 1975. Menyelesaikan
Magister Sosiologi di Universitas Indonesia (2008), dan S1 di Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta (2000). Saat ini menjadi Associate Researcher di Lab Sosio
UI, CSRC UIN Syarif Hidayatullah, dan PIRAC, disamping menjabat direktur
eksekutif di Centre of Asian Studies (CENAS), Jakarta.
Zakiyuddin Baidhawy lahir di Indramayu, Jawa Barat. Kini tinggal di
Solo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam (Perbandingan
Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah nyantri di
Pondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). Studi S-2 pada Paskasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada Universitas yang sama
(2007). Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, Staf
Edukatif STAIN Salatiga, dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadi-
yah (JIMM).

xvi
Daftar Isi

Kata Pengantar Direktur | v


Kata Pengantar Rektor | vii
Tentang Para Penulis | xiii
Daftar Isi | xvii
Daftar Tabel, Grafik dan Foto | xix
Kata Pengantar Editor | xxi
Executive Summary | xxviii

Pendahuluan | 1
Islamisme, Masjid dan Gerakan Islam Radikal di Indonesia | 11
Pengajaran Keagamaan dan Ideologi Masjid di Jakarta dan Solo | 57
Deskripsi Temuan dan Hasil Survei di Jakarta | 75

Deskripsi Hasil Riset Sepuluh Masjid di Solo | 99


Masjid Muhammadiyah Kottabarat: Tantangan Gerakan Islam Moderat | 101
Masjid al-Firdaus: Proyek Moderasi Islam | 127
Masjid Agung Surakarta: Moderasi Islam Setengah Hati | 147
Masjid Laweyan: Mengkompromikan Ide Keislaman | 163
Masjid al-Maghfiroh Pesantren al-Kahfi Hidayatullah: Menjaga Khitah Per-
juangan Hidayatullah | 181
Masjid al-Hikmah, Kratonan: Mengembangkan Model Islam yang Toleran |
197

xvii
Masjid al-Muttaqien Kartopuran: Islamisasi dalam Pusaran Pluralitas
Masyarakat | 213
Masjid Jamsaren: Moderasi Islam di Tengah Keragaman Ideologi Keagamaan
| 227
Masjid al-Islam Gumuk Mangkubumen: Basis Esklusivisme Islam | 247
Masjid Nurulhuda UNS: Neofundamentalisme Terselubung | 261

Penutup | 283

Bibliografi | 287
Index | 291

Lampiran
Penjelasan Singkat Metodologi Riset di Jakarta dan Solo | 297
Profil Kota Solo | 303
Profil Masjid dan Takmir di Jakarta dan Solo | 317

xviii
Daftar Tabel, Grafik dan Foto

Grafik
Grafik 1, Persepsi Takmir terhadap Fungsi Masjid Sebagai Tempat Pengajaran - 76
Grafik 2, Kegiatan Pengajaran Islam di Masjid (Multiple Responses) - 77
Grafik 3, Keberadaan Kelompok Pengajian Remaja di Masjid - 77
Grafik 4 Penentuan Pembina Pengajian Remaja - 78
Grafik 5, Peran Pengurus Masjid dalam Penentuan dan Pengawasan Materi - 79
Grafik 6, Kebebasan Pengajar dalam Menentukan Materi Pengajaran - 80
Grafik 7, Keberadaan Model Pengajaran Tertutup - 80
Grafik 8, Model Pengajian Tertutup di Masjid - 81
Grafik 9, Metode Pengajian di Masjid - 82
Grafik 10, Kitab-kitab yang digunakan dalam Pengajian (Multiple Response) - 83
Grafik 11 Perpustakaan di Masjid - 83
Grafik 12, Buletin Jumat Gratis - 86
Grafik 13, Aspirasi Jamaah dalam Penentuan Khatib - 86
Grafik 14, Cara Penentuan Khatib (Multiple Responses) - 86
Grafik 15, Orang yang diperbolehkan Menjadi Khatib (Multiple Responses) - 87
Grafik 16, Asal Khatib - 87
Grafik 17, Lulusan Pendidikan Terakhir Khatib yang Lebih Diutamakan - 89
Grafik 18, Isu-isu atau Masalah dalam Khutbah - 90
Grafik 19, Persepsi Takmir Masjid terhadap Jihad, Kekerasan, dan Terorisme - 93
Grafik 20, Persepsi Takmir Masjid terhadap Kesetaraan Jender - 95
Grafik 21, Persepsi Takmir Masjid terhadap Pluralisme -95
Grafik 22, Persepsi Takmir Masjid terhadap Hak Minoritas - 96
Grafik 23, Tindakan terhadap Jemaat Ahmadiyah - 97

Tabel
Tabel 1, Jumlah Masjid di Indonesia 1981-2003 - 48
Tabel 2, Materi yang diajarkan di Masjid - 79
Tabel 3, Jenis Kegiatan Pengajaran Islam di Masjid - 81
Tabel 4, Buku-buku yang Tersedia di Perpustakaan Masjid - 84
Tabel 5, Lembaga Dakwah Pemasok Khatib (Multiple Responses) - 88
Tabel 6, Isu-isu Sosial dan Politik dalam Khutbah Jumat - 90
Tabel 7, Persepsi Takmir Masjid terhadap Sistem Pemerintahan - 91
Tabel 8, Persepsi Takmir Masjid terhadap Formalisasi Syariah Islam - 92
Tabel 9, Persepsi Takmir Masjid terhadap Jihad, Kekerasan, dan Terorisme - 94

Foto
Foto 1, Tim Peneliti Solo - xiv
Foto 2, Masjid Kottabarat tampak dari depan -104
Foto 3, Jamaah Masjid al-Maghfirah sedang mengikuti pengajian - 185
Foto 4, Masjid al-Muttaqien Kartopuran - 217

xix
xx
Kata Pengantar Editor

Masjid selalu identik dengan citra yang sakral. Di mihrabnya, para


takmir menyerukan ayat-ayat suci, sabda Nabi, dan nasihat para ulama.
Semua yang tak suci, yang profan, berbau duniawi, berada di luar ka-
wasan masjid. Sesuai dengan namanya, masjid adalah tempat untuk
bersujud—simbol ketundukan manusia kepada Allah, Sang Pencipta
dan Penguasa seluruh makhluk. Karena itu, sekali lagi, setiap perkara di
luar kepentingan untuk tunduk kepada Allah, diletakkan di luar masjid,
semata-mata demi menjaga kesucian masjid itu sendiri.
Akan tetapi, kita tahu, sejarah perkembangan Islam tidak mencatat
adanya upaya pemisahan yang eksklusif antara masjid dan urusan
masyarakat. Sebabnya mungkin ini: urusan masyarakat di dalam Islam
merupakan perkara mu’amalah ma’annas yang notabene mengandung
makna ibadah dan nilai kesucian juga. Karena itu, perkara seperti ini
dianggap absah untuk dibawa ke dalam masjid. Terlebih lagi, banyak
riwayat mengemukakan bagaimana masjid di masa-masa awal perkem-
bangan Islam juga bersifat multifungsi: sebagai tempat musyawarah,
pendidikan, pelatihan kader, rapat pemerintahan, sidang kasus-kasus
perselisihan hukum, sampai penyusunan strategi perang.
Pakar peradaban Islam, Marshall G.S. Hodgson, dalam karya
klasiknya, The Venture of Islam, Conscience and History in a World
Civilization, mengemukakan bahwa dalam sejarah Islam masjid selalu
menjadi pusat aktivitas masyarakat. Di mana pun umat Islam mengua-
sai sebuah kota, maka masjid akan didirikan di sana. Sebagai pusat ak-
tivitas masyarakat, masjid memang telah melampaui fungsi utamanya
sebagai tempat untuk bersujud. Konsekuensinya, masjid pun tidak bisa

xxi
lepas dari keterlibatannya dengan fenomena sosial dan politik. Bah-
kan dalam dinasti dan kerajaan Islam, masjid pernah menjadi pusat
politik penguasa. Para sultan dan penguasa Islam dalam banyak kasus
memanfaatkan masjid untuk kepentingan kekuasaan dan memantapkan
wilayah dominasi mereka. Karena itu ketika terjadi persaingan politik,
misalnya antara faksi Abbasiyyah dan Umayyah, atau antara Sunni dan
Syiah, masjid secara langsung maupun tidak langsung digunakan un-
tuk propaganda. Forum khutbah Jumat, misalnya, menjadi media yang
dianggap efektif, di mana pada awal maupun akhir khutbah, seorang
khatib memuji nama khalifah yang berkuasa, dan menghujat lawan
politik mereka.
Masjid juga digunakan para penguasa untuk mempropagandakan
aliran keagamaan tertentu yang didukung oleh suatu dinasti. Masjid Al-
Azhar di Kairo, misalnya, didirikan pada tahun 970-972 oleh Dinasti
Fatimiyyah yang beraliran Syiah untuk meningkatkan kajian mengenai
Syiah. Masjid ini menjadi masjid utama pada masa Dinasti Fatimiyyah
sampai abad ke-12. Contoh lain, pemerintahan Turki Utsmani pernah
berupaya mengontrol masjid untuk memerangi gerakan heterodoks
yang dianggap separatis. Pemerintah kemudian membangun masjid di
desa-desa untuk mempromosikan pemahaman Islam Orthodoks yang
dalam dunia Islam dipimpin oleh pemerintahan Utsmaniyah
Tatkala suatu dinasti atau pemerintah mulai melemah, masjid mu-
lai banyak didirikan oleh masyarakat. Tapi, bukan berarti politisasi di
masjid kemudian hilang. Kecenderungan dominasi tetap ada dilakukan
oleh berbagai kelompok sosial keagamaan dan politik. Dengan muncul-
nya banyak kelompok yang menganut perbedaan ideologi keagamaan,
mazhab fikih, dan politik tertentu, maka masjid pun tampil dengan cor-
ak dan orientasi ideologi-politik yang beragam.
Hubungan-hubungan intensif antarnegara di era globalisasi saat ini
juga mengintensifkan bantuan pendirian masjid di suatu negara oleh
negara lain. Kalau sebelumnya masjid lebih banyak didirikan dan di-
danai oleh penguasa dan masyarakat lokal, dewasa ini ada upaya untuk
membantu pendirian dan keberlangsungan masjid di luar negaranya.
Kerajaan Saudi Arabia yang dipengaruhi kuat oleh aliran Wahabi ada-
lah salah satu yang terkenal memiliki perhatian tinggi untuk mendirikan
masjid. Upaya ini menguat ketika pada tahun 1970-an booming minyak
memberi berkah kekayaan melimpah bagi kerajaan Saudi. Pada tahun
1980-an, dan terus berlangsung sampai dekade pertama abad ke-21,
pemerintah Saudi memberikan kontribusi signifikan dalam pendirian

xxii
masjid di berbagai negara. Pada tahun 2002 Ain Al-Yaqeen menuliskan
laporan bahwa pemerintah Saudi telah berkontribusi sebesar 45 milyar
US dollar untuk pendirian sekitar 1500 masjid, 210 pusat Islam (Islamic
center), 202 universitas, dan 2000 sekolah Islam di berbagai negara.
Masjid kemudian tidak saja mendapat pengaruh gerakan-gerakan
sosial dan politik lokal tapi juga gerakan Islam transnasional. Dalam
beberapa kasus mutakhir, masjid digunakan sebagai persemaian gera-
kan radikal. Di Pakistan, negara di mana konflik politik sangat keras,
masjid menjadi salah satu tempat persemaian kelompok-kelompok ini.
Lal Masjid (Masjid Merah) yang notabenenya adalah masjid pemerin-
tah menjadi ¨rumah¨ bagi gerakan radikal yang dipimpin oleh Abdul
Azis dan Abdul Rasyid Ghazi yang mendukung kelompok Taliban se-
cara terbuka. Di masjid ini pernah terjadi krisis berdarah akibat upaya
pemerintah merebut masjid ini dari kelompok garis keras.
Organisasi radikal seperti Al-Muhajiroun di Inggris sangat mema-
hami psikologi masjid dan memanfaatkanya untuk mensosialisasikan
ideologi gerakan mereka. Pimpinan Al-Muhajiroun, Omar Bakri Mo-
hammed, mengatakan bahwa masjid merupakan tempat yang paling
tepat karena ia adalah rumah Tuhan dan sarat dengan suasana religius.
Dengan pra-kondisi seperti ini umat Islam akan antusias membicarakan
persoalan-persoalan menyangkut agama sehingga sedikit demi sedikit
kelompok ini bisa menancapkan pengaruhnya di kalangan jamaah
masjid.
Di Indonesia sendiri, fenomena masuknya gerakan radikal ke da-
lam masjid bukanlah berita baru. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muham-
madiyah, dua organisasi massa Islam moderat terbesar di tanah air,
telah mengendus gerakan ini, dan telah pula mengambil sikap yang
tegas untuk memagari masjid-masjid mereka dari upaya penyusupan
dan pengambilalihan oleh gerakan radikal (lihat bab Pendahuluan buku
ini).
Walhasil, sebuah penelitian yang memberi perhatian pada gejala
masuknya radikalisme ke masjid-masjid bukanlah sesuatu yang dibuat-
buat. Kasus infiltrasi gerakan radikal ke masjid-masjid NU dan Muham-
madiyah merupakan sinyal awal betapa gerakan semacam ini bekerja
sungguh-sungguh dalam menyebarkan nilai dan menancapkan pengar-
uh mereka di sana. Secara kultural dan politis, NU dan Muhammadiyah
adalah arus utama Islam Indonesia yang sekaligus mewakili wajah Is-
lam Indonesia yang dikenal moderat di dunia internasional. Jika kedua
ormas moderat itu berhasil dikuasai kelompok-kelompok radikal, maka

xxiii
pergeseran karakter Islam Indonesia dari wajah yang humanis, toleran,
dan murah senyum (smiling face) ke dalam karakter yang kesar dan
beringas, tinggal menghitung hari.
Ada tengarai bahwa gerakan-gerakan semacam ini, terutama yang
bercorak transnasional, berhasrat ingin menyeret Islam Indonesia ke
dalam “jihad global” yang diserukan oleh kelompok-kelompok radikal.
Alasannya jelas, karena Indonesia merupakan negeri dengan penduduk
Islam terbesar di dunia, yang karena itu peranannya dalam kekerasan
global sangat didambakan oleh kelompok-kelompok yang mengingink-
an perang suci ini. Dan masjid, berdasarkan konfigurasi historisnya di
masa silam, sangat potensial untuk disulap menjadi ruangan yang sarat
dengan propaganda politik—tempat semua yang tak suci, yang profan,
dan berbau duniawi, diberi label sakral atas nama agama dan Tuhan.
Sekali lagi, dalam sejarah perkembangan Islam memang tidak ter-
catat adanya upaya pemisahan yang eksklusif antara masjid dan urusan
masyarakat. Tetapi, urusan masyarakat yang bagaimanakah yang absah
untuk dibawa ke dalam masjid? Penyelesaian sengketa, penyantunan
fakir miskin, pendidikan, musyawarah, dialog keilmuan, propaganda
kebencian, seruan permusuhan, politik yang memecah belah, semuanya
merupakan urusan sosial, tetapi memiliki implikasi yang berbeda-beda
dalam kehidupan bermasyarakat. Masalahnya adalah: ada batas yang
disamarkan antara yang sakral dan yang tidak, yang suci dan yang ni-
sta. Semua dilebur menjadi seakan-akan untuk kemaslahatan umat dan
kemuliaan Allah. Akibatnya, ruang masjid menjadi seperti pasar tempat
berlangsungnya transaksi aneka kepentingan.
Sebenarnya, setiap bangunan masjid terbuat dari iman yang di-
pancangkan ke langit, dicampur dengan adukan semen dan batu-bata
yang ditancapkan ke bumi. Karena itu setiap masjid adalah batas antara
langit dan bumi, yang sakral dan yang profan. Selama ini, peringatan
“batas suci” yang diletakkan di lantai tangga masjid hanya berfungsi
untuk memisahkan tempat sujud dengan alas kaki (sandal dan sepa-
tu). Padahal, batas suci yang sesungguhnya adalah masjid itu sendiri
dengan urusan-urusan duniawi. Nabi Muhammad SAW dalam sebuah
hadis bersabda: “Seburuk-buruk tempat adalah pasar, sebaik-baik tem-
pat adalah masjid.” Pasar di sini merupakan simbol semua urusan dun-
iawi, dan masjid merupakan simbol kesucian. Sabda Nabi itu menjadi
preferensi utama bagi setiap upaya untuk mengembalikan masjid ke
fungsinya semula sebagai tempat untuk bersujud.
Buku yang terbit ini didasarkan pada hasil riset di Jakarta dan Solo.

xxiv
Penelitian “Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di DKI Jakarta” diawali
sebuah “Brainstorming Desain Riset”, Oktober 2008, di Bogor, Jawa
Barat, di mana kami mendiskusikan kerangka teoritik dan menyusun
kuesioner survei. Setelah survei berhasil diwawancarakan dan draft
laporan riset DKI Jakarta selesai dibuat, CSRC menyelenggarakan
“Seminar Sosialisasi Hasil Riset DKI Jakarta” di Jakarta Media Cen-
ter (JMC), 29 Januari 2009. Sementara sebuah “Brainstorming Desain
Riset” di Parung, Jawa Barat, September 2009 menandai dimulainya
program penelitian “Pemetaan Ideologi Masjid-masjid di Solo”. Para
peserta brainstorming telah berhasil merumuskan panduan penelitian,
yaitu draft pertanyaan wawancara mendalam dan panduan observasi,
untuk field work selama dua pekan di kota budaya tersebut. Tanggal 7
Januari 2010 bertempat di hotel Ambahara, “Seminar Sosialisasi Hasil
Riset di Kota Solo” disampaikan ke publik.
Buku ini, sejatinya, adalah hasil usaha kolektif di mana semua pe-
neliti/penulis dan tim manajemen yang bertugas telah memberikan kon-
tribusinya yang signifikan dalam kapasitasnya masing-masing. Dengan
ujaran yang berbeda, buku ini dapat terbit oleh karena keterlibatan se-
jumlah orang yang penuh dedikasi, komitmen dan tangguh, karena di
atas segalanya adalah tidak mudah mengolah hasil penelitian ilmiah
untuk dijadikan sebuah buku yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi
bagi publik. Karenanya, jika terdapat satu bentuk penghargaan yang
bisa kami pilih selain haturan terima kasih untuk mengespresikannya,
maka tentu kami akan memilihnya saat ini. Terima kasih mendalam
yang kami berdua haturkan lebih dari apa yang dapat kami tuliskan
dalam lembaran ini.
Terima kasih kepada tim program penelitian di DKI Jakarta. Mer-
eka adalah Rosdiana Mustafa, Evrida Yasni, Muchtadhirin, dan Abdul-
lah Sajad yang tergabung dalam tim manajemen. Sementara tim pe-
neliti adalah Sukron Kamil, Ahmad Gaus AF dan Sri Hidayati. Adapun
Chaider S. Bamualim dan Andy Agung Prihatna sebagai konsultan
yang berjasa mengarahkan bagaimana riset ini dilaksanakan. Idris He-
may sebagai staf yang piawai mengolah data survei; tim enumerator
yang terlatih, yaitu��������������������������������������������
Ade
�������������������������������������������
Darmawan, Ahmad Faizal, Helmiyono, Kha-
tibul Umam, M. Suri, Moh. Nabil, Nia Trisnawati, Reza Khairuddin,
Sholehudin A. Azis, dan Syauqi; tim pengentry data yang teliti (Nurul
Hayati dan Sylvia Nurman), dan panitia seminar hasil penelitian (Rita
Pranawati dan krunya). Secara khusus, Abdullah Sajad yang telah ber-
kontribusi dalam mendeskrispikan profil takmir masjid di Jakarta, yang

xxv
dimuat di lampiran. Juga, seluruh informan survei yang tersebar di Ja-
karta, yang namanya tidak dapat disebutkan satu demi satu di sini.
Kami ingin mengucapkan terima kasih yang sama kepada tim riset
Solo. Tim manajemen, yaitu Rosdiana Mustafa, Sri Hidayati, Muchta-
dhirin dan Evrida Yasni. Mereka ini yang telah bersusah payah mengatur
keseluruhan proses riset dari administrasi hingga logistik selama pene-
litian dan proses publikasi buku berlangsung. Tim peneliti senior, yakni
Irfan Abubakar, Sukron Kamil dan Zakiyuddin Baidhawy yang telah
membantu menyiapkan desain riset yang operasional dan mensuper-
visi sepuluh peneliti dalam koleksi data dan penulisan report penelitian.
Sepuluh peneliti, yang merupakan ujung tombak penelitian ini, yaitu
Rita Pranawati yang meneliti Masjid Kottabarat (Muhammadiyah, Kec.
Banjarsari); Sholehudin A. Azis, Masjid Agung Surakarta; Idris Hemay,
Masjid al-Firdaus (NU, Gendingan, Kec. Jebres); Mohamad Nabil,
Masjid Kampus UNS Nurul Huda (Kentingan, Kec. Jebres); Zainal
Abidin Eko Putro, Masjid Besar Laweyan (Kec. Laweyan); Farkhani,
Masjid al-Islam (Mangkunegaran (Gumuk), Kec. Banjarsari); Nazarud-
din Latif, Masjid al-Muttaqien Kartopuran (Gedung Umat Islam, Kec.
Laweyan)�������������������������������������������������������
; Khelmy Kalam Pribadi, Masjid Komplek al-Hikmah (Joyo-
diningratan, Kec. Serengan); Benni Setiawan, Masjid al-Maghfiroh (Pe-
santren al-Kahfi Hidayatullah, Mojosongo, Kec. Jebres); Almuntaqo
Zain, Masjid Pesantren Jamsaren (Kec. Serengan). Last but not least,
seluruh informan dan pihak-pihak yang telah membantu peneliti CSRC
selama bertugas di Solo, yang namanya tidak dapat dicantumkan satu
persatu di sini.
Terima kasih kepada sejumlah nama oleh karena telah memberikan
kontribusinya yang tidak kecil dalam publikasi ini. Rektor UIN Jakarta,
Prof Dr. Komaruddin Hidayat dalam kapasitasnya sebagai konsultan
penelitian Solo dan kesediaannya memberikan kata pengantar untuk
buku ini. Direktur CSRC UIN Jakarta, Amelia Fauzia, Ph.D sebagai
penanggung jawab penelitian Solo, dan juga ikut menulis kerangka teo-
ritik buku ini. Prof. Dr. KH Tarmidzi Taher dalam kapasitasnya seba-
gai ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang telah mendukung acara
”Seminar Hasil Riset Solo” di Jakarta. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan
dan K.H. Masdar Farid Masu’di sebagai pembanding dalam “Seminar
Hasil Riset Jakarta”. Sidney Jones (International Crisis Group) dan
Dr. Abdul Mu’ti M.Ed (Dosen IAIN Wali Songo Semarang) sebagai
pembahas dalam “seminar hasil laporan riset Solo” di Hotel Ambhara,
Jakarta. Secara khusus, penghargaan untuk Ibu Jones, di tengah pun-

xxvi
cak kesibukannya masih sempat meluangkan waktu membuat beberapa
catatan kritis untuk penyempurnaan draft laporan riset CSRC. Prof.
M.C. Ricklefs yang memberikan masukan-masukan berharga dari as-
pek kesejarahan. Noorhaidi Hasan, PhD, skolar bidang Islam politik,
yang memberikan masukan konstruktif kepada peneliti lapangan dalam
workshop pembahasan draft hasil riset. Emi Ilmiah dan krunya yang
telah melaksanakan program “Seminar Hasil Laporan Riset Solo” den-
gan baik. Mohammad Nabil dan Dave Henton, language editor dari
Australian Volunteers International (AVI) yang telah membantu dalam
proses publikasi buku ini. Judek’s yang telah merampungkan tata letak
dan perwajahan buku sehingga tampil seperti ini. Dan akhirnya, kepada
pihak-pihak tertentu yang telah memungkinkan program ini terlaksana
dan seluruh pegiat CSRC UIN Jakarta, yang namanya tidak tercantum
di sini, yang bantuan dan sumbangsih mereka adalah nyala semangat
yang memantapkan hati untuk menyukseskan program ini.
Editor dan seluruh anggota tim peneliti CSRC yang terlibat dalam
buku ini juga hendak memberikan tribute, penghargaan yang tinggi,
kepada almarhumah Rosdiana Mustafa, yang meninggal dunia di bu-
lan Januari 2010. Diana adalah project director program penelitian di
Jakarta dan Solo, yang memendam harapan yang tinggi agar buku ini
segera terbit dan bermanfaat. Kehidupannya sebagai seorang sahabat
dan saudari yang hangat di CSRC telah menginspirasi tim untuk mener-
bitkan buku ini sebaik-baiknya. Selamat jalan Diana, temukan keba-
hagiaanmu yang kekal di alam keabadian.
Kami berdua, Ridwan al-Makassasy dan Ahmad Gaus AF, mewakili
tim publikasi CSRC secara rendah hati menyatakan kami telah beru-
saha melakukan yang terbaik untuk menghasilkan sebuah buku yang
berkualitas. Namun, seperti kata pepatah “tidak ada gading yang tak
retak”, maka buku ini juga tak luput dari pelbagai kelemahan dan
kekurangan. Karenanya, sumbang saran dan masukan yang kritis-kon-
struktif untuk penyempurnaan buku ini di masa depan kami terima den-
gan pikiran dan hati yang terbuka. As a whole, semoga buku ini dapat
berguna tidak saja untuk menumbuhkan struktur kesadaran kita akan
ancaman radikalisasi dan aksi-aksi teror di atas nama luhur agama, me-
lainkan juga bermanfaat dalam membela, mengawetkan dan melestari-
kan wacana dan pemikiran Islam moderat di tanah air.[]

xxvii
Executive Summary
This book, “Benih-Benih Islam Radikal di Masjid” (“The Seeds of
Radical Islam in Mosques”), presents the results of two field research
programs carried out by the Center for the Study of Religion and Cul-
ture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta in 2008 and 2009. These
were “Mapping the Ideology of Mosques in DKI Jakarta” and “Map-
ping the Ideology of Mosques in Solo.” The Jakarta based research took
the form of a quantitative survey of some 250 mosques, while in Solo
researchers used qualitative in-depth interviews and observations in ten
mosques.
Both programs shared a common background – the phenomena of
religious radicalism. Anecdotal evidence suggests that radical Islam has
been growing steadily in Indonesia since the end of the Suharto regime
in the late 1990s. This can be seen in the emergence of various Islamic
hard-line groups such as Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia,
Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, and several smaller mili-
tant groups in Solo, including Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS)
and Hizbullah dan Jundullah. The CSRC research confirmed the growth
of radicalism represented by these groups by quantifying its spread in
Jakarta and investigating its qualitative characteristics in Solo.
With only minor variations, these groups adhere to an Islamic salafi
ideology. Their followers are fundamentalists, in that they strive to
emulate the historical example of the Prophet Muhammad SAW and
his disciples. This goes beyond efforts to ‘purify’ Islam by returning
to its roots. Recently their radical doctrines have extended to opposing
all ways of thinking that are not firmly rooted in fundamentalist Islam.
The CSRC research clearly shows that the ideologies of this emergent

xxviii
radicalism are not those of moderate, majority Islam, as represented
by Indonesia’s two major Islamic organizations, Nahdhatul Ulama and
Muhammadiyah.
Indonesia is going through a process of national reformation, part
of which includes wide religious freedom. These groups have taken
advantage of this by acting independently of Indonesia’s established
religious institutions, apparently without any hindrance from them or
the state. Both Nahdhatul Ulama and Muhammadiyah are threatened by
this, and have acted to nourish Islamic moderatism and protect it from
radical groups. Nahdhatul Ulama’s stronghold is its mosques. In an at-
tempt to protect these from infiltration, in 2007 it promulgated Bahtsul
Masail PB NU, a statement urging a process of mosque certification.
Muhammadiyah’s strength lies in its social and educational institutions,
which include schools, orphanages, hospitals and universities. On De-
cember 1 of 2006 it published Surat Keputusan (Directive) No.149, as
a measure to protect these institutions from infiltration by proselytizing
groups or political parties intent on pushing radically divergent ideolo-
gies and agendas.
The research reported by this book sought to answer questions about
the ideologies promoted by mosques in DKI Jakarta and Solo. It asked
to what extent these remained those of moderate Islam, and examined
the prevalence of more radical Islamic concepts. To do this it observed
the teaching philosophies and practices of selected mosques, and en-
quired into the way mosque managers perceived five key indicator is-
sues, namely governmental system: democracy or Khilafah Islamiyah;
formalization of sharia law; jihad as martyrdom; gender equality, and
pluralism. These are issues in which there is clear divergence between
the moderate and the radical perspectives.
This research drew a number of significant conclusions about
mosque teaching practices. It concluded that generally speaking the
substance, nature and practices of mosque management in Jakarta and
Solo are overtly transparent, open and above all moderate. Teaching by
the use of standard religious texts remains the norm. The most com-
monly studied texts remain those of commentary and law, whose con-
cepts are moderate.
This said, the studies found a developing trend towards more co-
vert teachings, such as the school of thought represented by halaqah.
This was particularly noticed in Muhammadiyah’s Kottabarat mosque
in Solo. In a small number of cases radically inclined texts, such as the

xxix
commentary Fi Dhilalil Qur’an, have also become reference texts for
study. The researchers noted the presence of books and magazines of a
radical nature in mosque libraries, such as the books of Sayyid Quthb
and the magazines Sabili and Suara Hidayatullah. Moreover, the reli-
gious bulletin most widely distributed to mosques is al-Islam, published
by Hizbut Tahrir Indonesia.
Minor variations aside, it is apparent that these radical Islamic
groups are actively and systematically striving for an Islamic caliphate
and an Islamic State. Heavy handed efforts to formally enact sharia law
are part of this struggle. Their agenda and ideology do not shrink from
using the way of jihad, violence in the name of religion and actions
designed to inspire terror.
Their fundamentalist doctrines assert that both non-Muslims and
women are second class citizens. Neither has the right, for example, to
become Head of State, and they would invoke a religious prohibition
against (mengharamkan) any such possibility. They are particularly in-
tolerant of women’s rights. They seek to fetter these, and disapprove
strongly of any female participation in the public arena.
It should be stressed that while adherents of these radical doctrines
are growing in number, they remain a small minority within Indone-
sia’s Islamic community. The responses of most mosque managers to
the five indicator issues listed above reflect moderate views. They are
committed to a system of government which is firmly founded on the
integrity of the State and the Unitary Republic of Indonesia (NKRI).
Despite this, a small number of mosque managers support the concept
of establishing an Islamic state and an Islamic caliphate.
Overall, these radical notions of the ideal (Islamic) Indonesian State
should be noted with considerable concern. This book reports mosques
which were adamant in their support for establishing a Khilafah Islami-
yah – an Islamic caliphate which would abolish the democratic system
of government. This response was not confined to mosque communities
well known for their radical, exclusivist orientation, such as the al-Is-
lam mosque in Gumuk and the al-Maghfiroh mosque. Similar responses
came from the managers and communities of mosques generally seen
as having a more open religious environment, such as the al-Muttaqien
mosque in Kartopuran. Responses to the other indicator issues also rep-
resented a degree of acceptance of radical Islamic doctrines.
The book’s conclusion is that the while the majority of mosques in
DKI Jakarta propound the concepts of moderate Islam, a small num-

xxx
ber preach radical Islamic doctrines. The situation is different in the
ten mosques studied in Solo, a city known for its culture. The research
found that, to a worrying extent, these mosques have been and currently
are being used as vehicles for spreading radical Islamic ideas.
If the seeds of radical Islam planted in our mosques are allowed to
grow, their harvest will be the death of moderate Islam in the mother-
land we love.

xxxi

Anda mungkin juga menyukai